ANALISIS EFISIENSI EKONOMI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005 2011

(1)

i

PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005-2011

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

As’ad Asyhar Fathoni

NIM 7111409084

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

v

“Ilmu lebih baik daripada kekayaan karena kekayaan harus dijaga, sedangkan

ilmu akan menjagamu” (Ali Ibn Abi Thalib).

“You are either running free or you’re running scared” (Peter Schwartz)

Karya ini dipersembahkan untuk: Kedua orang tua dan saudara-saudaraku


(6)

vi

Fathoni, As’ad Asyhar. 2015. Analsis Efisiensi Ekonomi Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011.Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang.Pembimbing I.Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si. Pembimbing II. Fafurida, SE., M.Sc.

KataKunci: Biaya Input, DEA, Efisiensi Ekonomi, Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Nilai Output.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu basis kegiatan ekonomi di Jawa Tengah. Permasalahan yang terjadi pada industri TPT Jawa Tengah yaitu adanya perubahan pada input industri seperti biaya energi dan biaya tenaga kerja, dan harus adanya restrukturisasi mesin memberikan kemungkinan timbulnya ketidakefisienan dari industri TPT secara keseluruhan. Tujuan penelitian adalah melakukan pengukuran tingkat efisiensi ekonomi pada sektoral dan keseluruhan industri TPT Jawa Tengah.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang telah diterbitkan oleh BPS dan sumber lainnya yang memiliki keterkaitan. Objek penelitian ini adalah 17 subsektor yang tersebar di pengolahan hulu-hilir industri Tekstil dan Produk Tekstil Jawa Tengah pada periode tahun 2005-2011. Penelitian ini berfokus pada pengukuran tingkat capaian efisiensi teknis dan alokatif yang kemudian akan dihasilkan efisiensi ekonomi pada industri TPT. Metode analisis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis dengan asumsi Variabel Return to Scale. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah variabel input yang terdiri dari biaya dan harga tenaga kerja, bahan baku dan penolong, dan energi; serta variabel output yang diperoleh dari nilai dan harga barang yang dihasilkan.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa secara sektoral maupun keseluruhan industri TPT belum berada pada capaian efisiensi teknik dan ekonomi optimum. Sementara capaian efisiensi alokatif pada industri ini telah mencapai tingkat optimum. Sepanjang tahun 2005-2011 terdapat 3 (tiga) subsektor dengan frekuensi terbanyak yang berada dibawah rata-rata capaian efisiensi industri TPT yaitu 17121, 17122, dan 17124.

Berdasarkan penelitian ini disarankan agar industri melakukan penyesuaian biaya input dan peningkatan output secara parsial dan bersamaan. Perlunya sinergi antara pemerintah dan industri untuk meningkatkan capaian efisiensi.


(7)

vii

Economic Develeopment Departement. Faculty of Economics.State University of Semarang. Advisor. Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si.Co. Advisor. Fafurida, SE., M.Sc. Keywords: DEA, Economic Efficiency, Input Costs, Output Value, Textile

and Textile Products Industry.

The Industry of textiles and textile products (TTP) is one of the bases of economic activity in Central Java. Problems that occur in the textile industry in Central Java is a change in the input industries such as energy and labor costs, and restructuring the engine that should provide the possibility of inefficiency of the textile industry. The purpose of research is to measure the level of economic efficiency in the sector and the overall textile industry in Central Java.

The data used are secondary data published by BPS and other sources that have relevance. The object of this study is the 17 sub-sectors that are scattered in the upstream-downstream processing of textile and clothing industry in Central Java in the period 2005-2011. This study focuses on measuring the level of achievement of technical and allocative efficiency which will then be generated economic efficiency in the textile industry. The analytical method used is Data Envelopment Analysis assuming Variable Return to Scale. The variables used in the study is comprised of an input variable costs and the price of labor, raw materials, and energy; and output variables derived from the value and price of goods produced.

In this study it was found that the overall and sectoral in textile industry is not currently on the achievement of optimum technical and economic efficiency. The achievement of allocative efficiency in the industry has reached its optimum level. Throughout the years 2005-2011 there were 3 (three) sub-sectors with the highest frequency that is below the average performance of the textile industry efficiency are 17121, 17122, and 17124.

Based on this study suggested that the industry adjust input costs and increased output partially and simultaneously. There need for synergy between government and industry to improve performance efficiency.


(8)

viii

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas kuasa dan kasih sayang-Nya telah melimpahkan karunia dan petunjuk tak terhingga kepada makhluk-Nya, sehingga

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Analisis Efisiensi Ekonomi Industri

Tekstil Dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011”. Penulisan skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1 Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Skripsi ini merupakan sebuah karya yang tidak mungkin terselesaikan tanpa terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Wahyono, M.M, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di Fakultas Ekonomi.

3. Lesta Karolina Br. S., SE., M.Si. Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan dorongan untuk segera meyelesaikan studi.

4. Prof. Dr. Sucihatiningsih D. W. P., M.Si., sebagai Penguji yang telah memberikan saran dan koreksi agar lebih sempurnanya skripsi ini.


(9)

ix

6. Fafurida, SE., M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan bimbingan penulisan skripsi ini.

7. Shanty Oktavilia, SE., M.S.i dan Karsinah, SE., M.Si. yang telah bersedia memberikan saran dan kritik yang sangat bermanfaat untuk penulisan skripsi ini.

Penulis sadari tidak ada sesuatu yang sempurna. Jika terdapat kritik yang bersifat membangun demi lebih sempurnanya skripsi ini akan penulis terima. Akhir kata semoga skripsi ini memberikan khasanah pengetahuan bagi para pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, 8Januari 2015


(10)

x

Persetujuan Pembimbing ... i

Pengesahan Kelulusan ... ii

Pernyataan iii Motto Dan Persembahan ...iv

Sari ... v

Abstract ... vi

Prakata ... vii

Daftar Isi... ix

Daftar Tabel Dan Gambar ... xii

Daftar Grafik ... xiii

DaftarLampiran ... xiv

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian... 8

Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Industri Tekstil Dan Produk Tekstil ... 10

2.2 Biaya Dalam Jangka Panjang Dan Efisiensi Produksi ... 13

2.2.1 Kurva Biaya Rata-Rata Jangka Panjang: Skala Produksi Ekonomis Dan Disekonomis ... 13

2.2.2 Efisiensi Produksi ... 14

2.3 Pengukuran Efisiensi Dengan Data Envelopment Analysis ... 17

2.3.1 Model Constant Return To Scale (CRS) ... 19

2.3.2 Model Variable Return To Scale (VRS) ... 19


(11)

xi

3.2 Variabel Penelitian ... 28

3.2.1 Variabel Pengukuran Efisiensi Teknik ... 29

3.2.1.1 Variabel Input ... 29

3.2.1.2 Variabel Output ... 30

3.2.2 Variabel Pengukuran Efisiensi Alokatif ... 30

3.2.2.1 Variabel Harga Input ... 30

3.2.2.2 Variabel Harga Output ... 31

3.3 Jenis Dan Sumber Data ... 31

3.4Metode Pengumpulan Data ... 31

3.5.Metode Analisis Data ... 32

Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan 4.1Gambaran Umum Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Dalam Perekonomian Provinsi Jawa Tengah. ... 36

4.1.1 Penyerapan Tenaga Kerja. ... 36

4.1.2 Tingkat Pertumbuhan Dan Profit Industri... 39

4.2 Perhitungan Efisiensi ... 43

4.2.1 Efisiensi Ekonomi Sektoral Industri TPT Provinsi Jawa Tengah .. 43

4.2.2 Efisiensi Ekonomi Industri TPT Provinsi Jawa Tengah Keseluruhan ... 47

4.2.3 Usaha Perbaikan Capian Efisiensi Industri TPT Provinsi Jawa Tengah... 50

Bab V Penutup 5.1 Kesimpulan ... 55


(12)

xii


(13)

xiii

Tabel 1.2.Determinan Daya Saing ... 6 Tabel 2.1 Profil Industri TPT Indonesia ... 11 Tabel2.2 Banyaknya Perusahaan Industri TPT Jawa Tengah Berdasarkan

Kepemilikan Modal ... 12 Tabel 2.3 Perkembangan Subsektor Industri TPT Jawa Tengah ... 60 Tabel 3.1. Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Industri TPT Jawa Tengah ... 35 Tabel 4.1 Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Utama Atas Dasar Harga Konstan,

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011 ... 40 Tabel 4.2 Ringkasan Perhitungan Efisiensi Teknis Industri Tekstil Dan

Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sub Golongan Pokok ... 44 Tabel 4.3 Ringkasan Perhitungan Efisiensi Alokatif Industri Tekstil Dan

Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sub Golongan Pokok ... 46 Tabel 4.4. Ringkasan Perhitungan Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi

Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sub Golongan Pokok ... 65 Tabel 4.5.Tingkat Capaian Efisiensi Teknis Dan Ekonomi Subsektor

Dibawah Rata-Rata Capaian Industri Tahun 2005-2011 ... 51 Gambar 1.1 Koridor Ekonomi Jawa Dalam Masterplan Percepatan Dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ... 2 Gambar 2.1 Pohon Industri TPT ... 11 Gambar2.1. Kerangka Berpikir ... 27


(14)

xiv

Grafik 1.1.Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri TPT Jawa Tengah Tahun 2005-2011 ... 3 Grafik 1.2. Perkembangan Biaya per Tenaga Kerja Industri TPT Jawa Tengah

Tahun 2005-2011 ... 4 Grafik 2.1. Skala Produksi Ekonomis ... 14 Grafik 2.2. Representasi Efisiensi ... 16 Grafik 2.3. Model Analisis Organisasi Industri Pendekatan Hubungan

Struktur-Perilaku-Kinerja Pasar ... 23 Grafik 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 25 Grafik 3.1. Rasio Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja, Biaya Input Produksi

Dan Nilai Hasil Produksi Industri TPT Dan 17 Subsektor Objek Penelitian ... 27 Grafik 4.1.Total Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011 ... 37 Grafik 4.2.Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Provinsi

Jawa Tengah 2005-2011 ... 38 Grafik 4.3. Perkembangan Tingkat Perolehan Keuntungan Industri TPT Jawa

Tengah Tahun 2005-2011 ... 42 Grafik 4.4 Capaian Rata-rata Efisiensi Teknikdan Ekonomis Industri TPT

Provinsi Jawa Tengah 2005-2011... 48 Grafik 4.5 Perkembangan Tingkat Efisiensi Teknis Industri TPT Provinsi


(15)

xv

3. Lampiran 3.Tingkat Keuntungan Sektor Industri Tpt Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2005 – 2011 ... 63

4. Lampiran 4.Ringkasan Perhitungan Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sektoral. ... 64

5. Lampiran 5. Ringkasan Perhitungan Efisiensi Teknis, Alokatif Dan Ekonomi Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 ... 65

6. Lampiran 76hasil Perhitungan Efisiensi Teknis Menggunakan Dea ... 66

Lampiran 6.1 Tahun 2005... 66

Lampiran 6.2 Tahun 2006... 68

Lampiran 6.3 Tahun 2007... 70

Lampiran 6.4 Tahun 2008... 71

Lampiran 6.5 Tahun 2009... 73

Lampiran 6.6 Tahun 2010... 75

Lampiran 6.7 Tahun 2011... 77

7. Lampiran 7. Hasil Perhitungan Efisiensi Alokatif Menggunakan Dea ... 78

Lampiran 7.1 Tahun 2005... 78

Lampiran 7.2 Tahun 2006... 82

Lampiran 7.3 Tahun 2007... 86

Lampiran 7.4 Tahun 2008... 90

Lampiran 7.5 Tahun 2009... 95

Lampiran 7.6 Tahun 2010... 100

Lampiran 7.7 Tahun 2011... 105

8. Lampiran 8. Data Variabel Input Dan Output Pengukuran Efisiensi Teknis ... 110

9. Lampiran 9. Data Variabel Input Dan Output Pengukuran Efisiensi Alokatif ... 114

Lampiran 9.1 Tahun 2005... 114


(16)

xvi

Lampiran 9.4 Tahun 2008... 127

Lampiran 9.5 Tahun 2009... 131

Lampiran 9.6 Tahun 2010... 135


(17)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Perencanaan pembangunan daerah Provinsi Jawa Tengahmelalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2025, meletakkan sektor industri pengolahan sebagai salah satu penopang perekonomian daerah dengan cara menjadikan basis aktivitas ekonomi sehingga memiliki daya saing global, menjadi motor penggerak perekonomian sekaligus mendorong peningkatan sumber-sumber pembiayaan pembangunan.

Sedangkan dalam Peraturan Daearah Provinsi Jawa Tengah No. 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013dijelaskan bahwa pembangunan industri di Jawa Tengah yang berlandaskan pada kebijakan industri nasional maka terdapat kebijakan

mengenai penguatan klaster industri dengan pendekatan “Kompetensi Inti Industri Daerah”. Apabila melihat dari pendekatan tersebut, maka terdapat beberapa kelompok industri yang menjadi kompetensi inti daerah di Jawa Tengah, antara lain: industri tekstil dan produk teksil, industri mebel, industri makanan ringan, industri perlogaman, industri komponen otomotif, serta industri hasil tembakau (rokok).

Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam Koridor Ekonomi Jawa yang memiliki fungsi sebagai penggerak sektor industri dan jasa nasional (lihat gambar


(18)

1.1). Provinsi ini ditunjuk sebagai penggerak industri makanan dan minuman serta tekstil dan produk tekstil. Diharapkan pada provinsi akan mampu mencapai tiga tujuan besar MP3EI yaitu peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai produksi dan distribusi dari pengelolaan setiap potensi yang ada; mendorong agar terwujudnya efisiensi produksi dan pemasaran serta adanya integrasi pasar domestik; dan penguatan sistem inovasi nasional agar mendorong daya saing sehingga terwujudnya innovation-driven economy.

Gambar 1.1. Koridor Ekonomi Jawa dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Sumber: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (2011:74).

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi penting karena industri ini merupakan penyedia salah satu kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan


(19)

sandang.Industri TPT dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah mempunyai kinerja yang cukup baik, hal ini telihat dari konsentrasi ekspor provinsi ini yang meletakkan industri TPT sebagai konsentrasi ekspor utama (Rejekiningsih, 2012:117).

Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri TPT Jawa Tengah. Dalam persaingan global, adanya pencabutan sistem kuota ekspor dan terdapat penyesuaian terhadap General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan

mengahasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) yang mulai dilaksanakan

pada tanggal 1 Januari 2005. Permasalahan ini apabila dapat ditangani dengan baik menurut Hermawan (2011), akan berdampak positif bagi perkembangan industri TPT melalui perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT dunia. Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT

semakin besar melalui persaingan global, serta peluang pengembangan industri TPT akan semakin besar.

Grafik 1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri TPT Jawa Tengah Tahun 2005-2011

Sumber: BPS, Statistika Industri Besar dan Sedang Jawa Tengah, berbagai tahun terbitan, diolah.

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Industri Tekstil 441 822 682 554 645 641 585 Industri Pakaian Jadi 428 961 811 815 608 502 515

0 200 400 600 800 1000 1200 Ju m lah Pe ru sah aan


(20)

Permasalahan lainnya adalah pada persaingan antar perusahaan dalam industri TPT di Provinsi Jawa Tengah sendiri. Terlihat dalam grafik 1.1 yang menggambarkan perkembangan jumlah perusahaan yang ikut dalam persaingan di industri ini cenderung menurun. Jumlah perusahaan pada Industri TPT yang terus menerus mengalami penurunan terdapat pada subsektor industri pakaian jadi. Dengan tren penurunan ini dikhawatirkan akan menggangu tingkat capaian efisiensi produksi yang dibutuhkan dalam persaingan global.

Grafik 1.2. Perkembangan Biaya per Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil Jawa Tengah Tahun 2005-2011 (Rupiah per Tenaga Kerja)

Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, berbagai tahun, diolah.

Selain itu terdapat masalah lainnya yang mengganggu jalannya produksi di industri TPT yaitu adanya perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi khusus industri sejak tahun 2005 hingga 2011 (lihat tabel 1.1), serta adanya peningkatan biaya per tenaga kerja (lihat grafik 1.2). Perkembangan biaya per tenaga kerja dalam industri TPT Jawa Tengah dalam periode 2005 – 2011 mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat, ditambah fluktuatifnya harga bahan bakar minyak untuk jenis solar non-subsidi. Kenaikan harga tenaga kerja dan

7,580,582 11,127,709 12,420,845 8,656,942

24,112,809 7,332,115

10,066,684 10,780,705

8,801,986

16,455,373

7,495,742

10,704,272 11,843,268

7,661,700

19,376,177

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011


(21)

BBM akan memberikan dampak pada semakin besar biaya produksi pada industrti ini.

Tabel 1.1.

Perkembangan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis Minyak Solar Nonsubsidi Dalam Negeri 2005-2010

No Tahun M.Solar/Bio

Solar(Rp. /Liter)

1 2005 3.979

2 2006 5.566

3 2007 5.917

4 2008 8.622

5 2009 4.383

6 2010 5.800

7 2011 8.675

Sumber: http://www.esdm.go.id dan Milis Yahoo Group Forum Komunika Pekerja Tambang Indonesia, 2011.

Catatan:Harga yang dicantumkan merupakan perkembangan harga BBM non subsidi industri di Unit Operasional Pemasaran (UPms) Wilayah IV ex. Instalasi Semarang.

Peluang untuk memperkuat posisi industrti TPT agar dapat bersaing secara global dan mencapai tujuan besar MP3EI terletak pada memperbaiki daya saingnya. Tetapi melihat permasalahan lainnya berupa terdapat peningkatan biaya produksi akan menjadi faktor penghambat perbaikan daya saing dari industrti ini.

Terkait perbaikan daya saing kita dapat melihat determinan daya saing. Menurut Kadosca dalam Nur Efendi (2012) secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi dari daya saing yaitu faktor internal dan faktor eksternal (tabel 1.2). Dalam pembentuk daya saing dari dalam industri (internal) terdapat efisiensi biaya (cost-efficiency) yang harus terpenuhi oleh setiap perusahaan dalam

industri. Perhatian pada efisiensi dikarenakan pencapaian efisiensi menjadi salah satu tujuan dari MP3EI dan dapat menjadi celah keluar dari permasalahan tren peningkatan biaya produksi.


(22)

Kondisi efisien merupakan cara bagi industri, perusahaan dalam lingkup mikro, untuk bertahan dalam struktur persaingan bisnis. Kondisi efisien adalah kondisi dimana perusahaan mampu mengendalikan biaya inputnya untuk menghasilkan output yang optimal dan maksimisasi keuntungan. Tujuan perusahaan yang baik dalam mencari keuntungan adalah melalui efisiensi (Prasetyo, 2010:23).

Tabel 1.2. Determinan Daya Saing

Faktor Esternal Faktor Internal

Employment Productivity

Capital supply opportunities Globalisation EU Business relations Alliances Networks Marketing Innovation Productivity Knowledge-based development Capital supply Management, organisation, structure Cost-efficiency Compliance Sumber: Kadosca (2006) dalam Nur Efendi (2012)

Kondisi pencapaian tingkat efisiensi industri TPT di Jawa Tengah berdasarkan hasil penelitian Atmanti (2004) menunjukkan sektor ini berada dalam kondisi efisien sebelum dan setelah krisis tahun 1998. Hasil berbeda terlihat bahwa secara rata-rata industri tekstil dan produk tekstil belum berada dalam kondisi efisien dari tahun 2000 – 2005, kondisi ini terasa berat oleh pencapaian pada sektor industri pakaian jadi yang belum mampu menyentuh nilai 100 (efisiensi optimum), hanya mampu bergerak dengan pencapaian rata-rata efisiensi sebesar 51,36. Hal ini dikarenakan pengalokasian sumber daya dalam proses produksi yang tidak tepat mengarah pada rendahnya pencapaian output sehingga kinerja tidak maksimal (Tri Wahyu R, 2006:136).


(23)

Peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai salah satu determinan penentu daya saing industri yaitu tercapainya efisiensi industri. Selain itu, penelitian mengenai efisiensi dilakukan karena masalah pokok dan penting dalam ekonomi industri adalah masalah efisiensi industri (dalam hal penilaian dan pengukuran kinerja) (Prasetyo, 2010:66).

Periode observasi dalam penelitian ini dilakukan sepanjang tahun 2005 hingga 2011 karena telah dimulainya penerapan Agreement on Textile and Clothing (ATC) dan sepanjang tahun ini terjadi perubahan biaya perolehan input industri TPT seperti harga bahan bakar minyak (BBM) dan biaya tenaga kerja yang mengakibatkan beberapa perusahaan yang ada melakukan penyesuaian

faktor produksi lainnya. Dengan demikian, penelitian ini diberikan judul “Analisis Efisiensi Ekonomi Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011”.

1.2. Rumusan Masalah

Uraian pada subbab latar belakang masalah telah menjelaskan bagaimana pentingnya peranan dari sektor industri TPT dalam rantai perekonomian Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah khsusunya serta bagaimana dukungan perencanaan pembangunan terhadap sektor industri ini.

Perbaikan dalam hal efisiensi dapat menjadi salah satu cara pendorong daya saing industri terutama pada industri TPT. Berbagai perubahan pada input industri TPT seperti biaya energi dan biaya tenaga kerja memberikan peluang timbulnya ketidakefisienan dari industri TPT secara keseluruhan, yang selanjutnya akan


(24)

mengurangi tingkat daya saing industri TPT. Apabila tetap dibiarkan akan menenggelamkan industri TPT Jawa Tengah dan Indonesia secara lebih luas.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini berangkat dari uraian pada subbab Latar Belakang Masalah, antara lain:

a. Bagaimana capaian efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi sektoral industri Tekstil dan Produk Tekstil dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah? b. Bagaimana capaian efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi industri Tekstil

dan Produk Tekstil di Jawa Tengah? 1.3. Tujuan Penelitian

a. Menganalisa capaian efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi sektoral industri Tekstil dan Produk Tekstil dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah.

b. Menganalisa capaian efisiensi teknik, alokatif dan ekonomi industri Tekstil dan Produk Tekstil di Jawa Tengah.

1.4. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian maka, penelitian ini memiliki kegunaan secara praktis dan teoritis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis:

Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bentukpengembangan Ilmu Ekonomi Industri dan memberikan peluang untuk penelitian terapan lanjutan dalam bidang industri lainnya.


(25)

b. Kegunaan Praktis:

1) Memberikan saran kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam perumusan kebijakan pengembangan industri Tekstil dan Produk Tekstil terutama dalam mendukung peningkatan efisiensi.

2) Memberikan saran kepada Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Provinsi Jawa Tengah dalam pengendalian input produksi sehingga dapat membantu optimalisasi produksi industri Tekstil dan Produk Tekstil.


(26)

10

TELAAH TEORI

2.1. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

Secara garis besar, industri TPT terbagi dalam 3 bagian (gambar 2.1), yaitu sektor hulu, sektor antara (intermediate), dan sektor hilir.

1. Sektor Hulu: industri persiapan serat (17111), industri pemintalan benang (17112).

2. Sektor Antara: Industri kain rajut (17301), industri pertenunan (17114), industri pencetakan kain (17123)

3. Sektor Hilir: Industri pakaian jadi rajutan (17302), industri pakaian jadi (18101 dan 18102).

Industri TPT dalam struktur kelembagaan di Indonesia dibawah pembinaan Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementrian Perindustrian Republik Indonesia dan masuk dalam 6 (enam) kelompok industri prioritaspembangunan nasional. Oleh karena itu, maka ditetapkan strategi pokok pembangunan industri TPT, antara lain: memperkuat keterkaitan pada semua rantai nilai (value chain) dari industri, peningkatan nilai tambah dengan membangun kompetensi inti, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri.


(27)

Gambar 2.1. Pohon Industri TPT

Sumber: Asosiasi Pertekstilan Indonesia dalam Tim Kajian Pengembangan Industri Tektil dan Produk Tekstil (2011: 44)

Subsektor industri TPT memiliki karakteristik yang berbeda-beda terlihat dalam tabel 2.1 mengenai profil dari industri TPT di Indonesia dan tabel 2.2 mengenai kepemilikan modal industri TPT di Jawa Tengah. Dimana beberapa subsektor menggunakan teknologi yang tinggi dan sebagian lainnya menggunakan teknologi rendah. Pemasaran produk dari industri TPT masih dikonsentrasikan pada ekspor dan investasi dari swasta nasional.

Tabel 2.1. Profil Industri TPT Indonesia

Sektor Jenis Produk Teknologi Pasar Produk Investasi Serat Serat alam, serat

buatan (sintetis) Tinggi Domestik

PMA: Jepang, India, dan Austria

Pemintalan Benang Tinggi Domestik

dan Ekspor

PMA: Jepang dan India; PMDN

Pertenunan Kain Rendah Domestik

dan Ekspor PMDN

Garmen Pakaian Jadi Rendah Ekspor

PMDN dan PMA: Korea Selatan dan

Hong Kong Sumber: Departemen Perindustrian dalam Tjandraningsih dan Herawati (2009:50).


(28)

Tabel 2.2. Banyaknya Perusahaan Industri TPT Jawa Tengah Berdasarkan Kepemilikan Modal

Sektor Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

Swasta

Nasional Asing

Serat - - 3 -

Pemintalan 2 - 19 -

Kain, Pencetakan

Kain, dan Batik

- - 297 2

Pertenunan - - 6 1

Tali - - 17 -

Kapuk - - 20 -

Garmen - 1 495 19

Sumber: Statistik Industri Besar dan Menengah Jawa Tengah Volume I (2011: 23) Industri TPT di Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 27 subsektor pengolahan hulu-antara dan 9 (sembilan) subsektor pengolahan hilir. Selama tahun 2005-2011 terjadi fluktuasi jumlah subsektor yang disebabkan adanya perubahan secara struktural industri. Penyesuaian pada golongan pokok KBLI pada tahun 2010 yang menyebabkan terjadi perluasan subsektor menjadi 27 subsektor pengolahan hulu-antara dan 9 (sembilan) subsektor pengolahan hilir. Lebih lanjut jumlah perkembangan subsektor industri TPT Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 2.3 (Lampiran 1).

Tim Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tektil (2011:46) memaparkan bahwa subsektor garmen memiliki barier to entry yang rendah hal ini dikarenakan industri pakaian jadi tidak memerlukan pabrik dengan nilai investasi yang besar, karena akitivitasnya lebih banyak bersifat assembling. Akibatnya, siapapun bisa masuk ke industri ini meskipun belum memiliki


(29)

pengalaman yang cukup di industri. Ketika terjadi goncangan, subsektor garmen menjadi sangat rentan.

2.2. Biaya Dalam Jangka Panjang dan Efisiensi Produksi

Input perusahaan dalam jangka panjang dapat diubah sehingga tidak terdapat biaya tetap. Jangka panjang tidak hanya diartikan sebagai himpunan beberapa jangka pendek. Jangka panjang sebaiknya diartikan sebagai masa perencanaan (McEachern, 2001:77), hal ini karena pemilihan kombinasi input yang fleksibel. Biaya yang relevan dalam jangka panjang adalah biaya variabel, biaya rata-rata, dan biaya marginal. Biaya total jangka panjang adalah biaya yang dikeluarkan untuk produksi seluruh output dan semuanya bersifat variabel (Ariyanti, 2008:76).

LTC = LVC ... (2.6)

2.2.1. Kurva Biaya Rata-Rata Jangka Panjang: Skala Produksi Ekonomis dan Disekonomis

Bentuk kurva biaya rata-rata jangka panjang suatu perusahaan bergantung bagaimana variasi biaya sesuai skala operasinya. Ketika suatu penigkatan produksi pada perusahaan mengakibatkan adanya penurunan biaya rata-rata maka perusahaan tersebut berada pada skala ekonomis. Sebaliknya, bila peningkatan produksi mengakibatkan peningkatan pula pada biaya rata-ratanya maka perusahaan tersebut berada pada skala disekonomis.


(30)

Biaya LMC

Q* Produksi

Grafik 2.1. Skala Produksi Ekonomis (Ariyanti, 2008:78; Case dan Fair, 2007:227)

Grafik 2.1 menggambarkan biaya rata-rata dan biaya marjinal jangka pendek dan jangka panjangyang membentuk skala ekonomis pada kuantitas produksi tertentu. Kurva tersebut juga menggambarkan biaya rata-rata minimum yang dapat diperoleh oleh suatu perusahaan atau industri di beberapa periode jangka pendek.

Perusahaan akan berada pada titik efisiensi skala ekonomi pada saat LAC berada pada tiitk terendah yaitu pada produksi Q*. Pada titik ini, biaya marjinal jangka panjang atau LMC akan berpotongan dengan LAC sehingga akan baik bagi perusahaan atau industri berproduksi pada saat tersebut. Produksi Q* pun menjadi titik batas skala ekonomis, karena setelah melewati titik ini, perusahaan atau industri akan mengalami peningkatan biaya rata-rata produksi atas setiap pertambahan kuantitas produksi.

2.2.2. Efisiensi Produksi

Efisiensi merupakan penggunaan sumber daya ekonomi seefektif mungkin sehingga akan menimbulkan rasa puas. Salah satu aspek terpenting

LAC

SAC1 SAC2 SAC3

SAC5

SAC4 SMC1 SMC2 SMC3 SMC4

SMC5


(31)

dalam efisiensi secara ekonomi adalah efisiensi produksi. Efisiensi ini terjadi pada saat sebuah perekonomian tidak dapat melakukan kegiatan produksi lebih dari satu barang (output) dengan tidak mengurangi barang lainnya (Samuelson dan Nordhaus, 2005:13).

Menurut Al-Delaimi dan Al-Ani efisiensi (2006:136), dalam hal ini efisiensi teknis, memiliki arti bahwa adanya kegiatan pemindahan input yang berbentuk fisik seperti tenaga kerja dan modal menjadi hasil (output) pada tingkat kinerja terbaik dimana tidak terdapat input yang terbuang dalam kegiatan memproduksi sejumlah output. Technical Efficiency (TE) merupakan representasi dari kombinasi minimum dari input yang dibutuhkan untuk memproduksi output dalam jumlah tertentu, dan itu menjadi ukuran keberhasilan kinerja sebuah perusahaan dalam memproduksi jumlah maksimum output dari input yang ada.

Model analisis organisasi industri pada bagian kinerja terdapat dua jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokatif dan efisiensi teknikal. Delaimi dan Al-Ani (2006:136) menambahkan satu jenis efisiensi yaitu efisiensi biaya. Dalam mendefinisikan efisiensi alokatif, Al-Delaimi dan Al-Ani menekankan pada pemilihan input dalam tingkatan harga tertentu untuk menghasilkan output dengan tingkatan tertentu pula dan dalam kondisi biaya produksi rendah. Sedangkan konsep efisiensi biaya atau yang disebut juga efisiensi ekonomis, suatu kondisi yang dapat dicapai oleh suatu perusahaan ketika mencari kombinasi input-input, yang membuat mereka dapat


(32)

memproduksi output pada saat biaya rendah. Efisiensi ekonomis ini adalah gabungan antara efisiensi teknikal dan alokatif.

X2

E

X1

Grafik 2.2. Representasi Grafik Efisiensi (Al-Delaimi dan Al-Ani, 2006:137) Grafik 2.2 mengilustrasikan bahwa terdapat dua faktor produksi X1 dan X2 untuk memproduksi Y output yang dipresentasikan oleh kurva isoquant (I), yang juga mempresentasikan seluruh kombinasi efisiensi teknis antara dua faktor produksi untuk memproduksi output ditingkat yang sama. AA’ merupakan kurva isocost. Titik singgung E merupakan titik produksi yang optimum dan juga titik equilibrium dari perusahaan, dimana Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) antara X1 dan X2 sama dalam rasio harga, dan perusahaan yang beroperasi pada kondisi tersebut akan memperoleh efisiensi teknis dan ekonomis.

Perusahaan yang berada pada titik M memperoleh efisiensi teknis karena ia berada pada perpotongan dengan kurva isoquant (I), tetapi perusahaan ini tidak memperoleh efisiensi secara ekonomi. Sedangkan perusahaan yang berada pada titik N tidak dalam keadaan efisien. Efisiensi teknis dari perusahaan adalah OM/ON, sedangkan efisiensi alokatifnya berada saat OL/OM. Sedangkan efisiensi ekonomis yang dapat diperoleh

0

I A

L

N M


(33)

oleh perusahaan adalah hasil kalkulasi dari OL/ON, yang dapat ditulis: (OM/ON)*(OL/ON) (Al-Delaimi dan Al-Ani, 2006:138).

Rubedo (2011:19-20) menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam penekanan orientasi pada setiap jenis efisiensi. Efisiensi teknis menekankan orientasi pada output, efisiensi alokatif tujuan atau orientasi pada input, sedangkan efisiensi ekonomi orientasi pada maksimisasi keuntungan.

Dalam penelitian ini, konsep efisiensi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu Efisiensi Teknik (ET), Efisiensi Alokatif (EA) dan Efisiensi Ekonomi (EE). Hal ini sebagaimana tercantum pada penelitian Dipeolu dan Akinbode (2008:25) dan Johansson (2005:2) yang mengadopsi konsep dari Farrel (1957) tentang metodologi pengukuran efisiensi. Efisiensi Teknik (ET) didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproduksi pada batasan isokuan atau biaya input terkecil, sedangkan Efisiensi Alokatif (EA) adalah suatu kemampuan memproduksi pada output tingkatan tertentu dengan menggunakan cara minimisasi rasio biaya input. Efisiensi Ekonomi (EE) didefinisikan sebagai kapasitas sebuah perusahaan untuk memproduksi sejumlah kuantitas output yang telah ditentukan pada saat biaya minimum dengan tingkatan penggunaan teknologi tertentu.

2.3. Pengukuran Efisiensi dengan Data Envelopment Analysis

Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan alat pengukuran efisiensi relatif, yang mengukur inefisisensi unit-unit yang ada dibandingkan dengan unit lain yang dianggap paling efisien dalam set data yang ada. Dalam analisis DEA dimungkinkan beberapa unit mempunyai tingkat efisiensi 100 persen yang


(34)

artinya bahwa unit tersebut merupakan unit yang terefisien dalam set data tertentu dan waktu tertentu (Hadad, dkk, 2003:14).

Terdapat beberapa manfaat dan keterbatasanpada pengukuran efisiensi dengan DEA (Susilowati, dkk, 2004:2-3 dan Hadad, 2003:14):

1.Sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk mempermudah perbandingan antara unit ekonomi yang sama.

2.Kedua mengukur berbagai informasi efisiensi antar unit kegiatan ekonomi untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya.

3.Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya.

Keterbatasan DEA:

1. Mensyaratkan semua input dan output harus spesifik dan dapat diukur 2. DEA berasumsi bahwa setiap unit input atau output identik dengan unit lain

dalam tipe yang sama.

3. sangat rentan dengan adanya angka nol, negatif dan angka kecil yang mendekati nol

4. Dalam bentuk dasarnya DEA berasumsi adanya CRS (Constant Return to Scale).

5. Bobot input dan output yang dihasilkan DEA sulit untuk ditafsirkan dalam nilai ekonomi.

Dua model yang dapat digunakan dalam pengukuran efisiensi pada DEA, yaitu model CRS (Constant Return to Scale) dan model VRS (Variable Return to Scale).


(35)

2.3.1. Model Constant Return to Scale (CRS)

Model ini di kembangkan pertama kali oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (CCR) pada tahun 1978 (Fadholi, 2011:32; Safeedparri, dkk, 2013:3). Model ini menggunakan pendekatan input dengan asumsi rasio antara pertambahan input dan output adalah sama sehingga jika input ditambah sebesar n kali, maka ouput akan bertamabah sebesar n kali. Dengan tambahan asumsi setiap unit kegiatan ekonomi telah beroperasi pada skala yang optimal (Yulianto (2005) dalam Fadholi, 2011:33).

2.3.2. Model Variable Return to Scale (VRS)

Model VRS dikembangkan oleh R.D.Banker, A. Charnes, dan E. Rhodes pada tahun 1984 yang tercantum pada jurnal Managemenet Science Vol. 30. Model ini memperbolehkan setiap unit yang memiliki input rendah dalam kondisi increasing return to scale sementara unit lain yang memiliki input lebih tinggi terjadi decreasing return to scale (Safeedparri, dkk., 2013:3). Dengan kata lain kondisi unit dalam model tidak terdapat rasio yang sama antara input dan outputnya. Sehingga setiap pertambahan input sebesar n kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar n kali bahkan bisa lebih kecil atau lebih besar dari n kali (Fadholi, 2011:33). 2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang efisiensi pada sektor industri TPT dilakukan oleh Adanacioglu dan Olgun (2011). Penelitian ini mengambil observasi pada industri TPT pada subsektor Pemisahan Kapas di wilayah Aegean, Turki. Penelitian ini selain melihat pada efisiensi industri juga pada tingkat


(36)

profitabilitasnya. Penelitian ini dilakukan terhadap 15 perusahaan yang termasuk dalam industri pemisahan kapas dan berada pada wilayah Aegean dan pemilihan perusahaan ini didasarkan pada intensitas kapasitas dan kerja. Analisis dilakukan menggunakan DEA dengan asumsi Constant Return to Scale dan Variable Return to Scale, dan variabel input terdiri dari biaya bahan baku, tenga kerja, dan biaya lainnya. Sedangkan pada variabel output, penelitian ini menggunakan variabel nilai produksi.

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu, belum optimalnya penggunaan kapasitas produksi yang menjadi penyebab utama turunnya produksi kapas Turki beberapa tahun sebelumnya, selain itu, kombinasi biaya input mempengaruhi pada industri ini dan perlunya restrukturisasi mesin dan pembaharuan teknologi. Kemudian, penghambat dari efisiensi pada industri ini adalah peningkatan terhadap pengenaan VAT (Value Added Tax) yang dilakukan oleh pemerintah Turki. Penelitian ini menyebutkan bahwa pendidikan sangat penting untuk membentuk efisiensi secara teknis dan ekonomi pada industri ini.

Penelitian ini didasarkan kepada saran penelitian lanjutan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Hastarini Dwi Atmanti (2004) dimana dalam salah satu agenda penelitian lanjutan diharapakan dapat melakukan penelitian yang lebih spesifik pada satu industri manufaktur. Penelitian yang dilakukan Hastarini Dwi Atmanti (2004) bertujuan untuk menganalisa efisiensi industri manufaktur menengah dan besar di Jawa Tengah (ISIC 31-39) dan menganalisa keunggulan kompetitif di Jawa Tengah sebelum dan sesudah krisis 1998 dengan periode observasi tahun 1995-2000.


(37)

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel output (value added, nilai barang yang dihasilkan, jasa industri untuk output, keuntungan penjualan barang, penerimaan lainnya) dan input (bahan baku, tenaga kerja, bahan bakar dan listrik yang digunakan, barang lainnya di luar bahan baku, jasa industri untuk input, sewa gedung dan alat-alat, jasa non industri). Analisis efisiensi menggunakan DEA dengan asumsi Constant Return to Scale dihasilkan bahwa seluruh industri manufaktur yang menjadi objek penelitian dalam kondisi efisien, dan beberapa industri (KLUI 31, KLUI 32, KLUI 35, serta KLUI 39) menjadi keunggulan kompetitif Provinsi Jawa Tengah.

Hasil penelitian yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyu R. (2006) terhadap sektor industri manufaktur di Jawa Tengah periode tahun 2000-2005, sektor industri manufaktur Jawa Tengah belum dapat dikatakan dalam kondisi efisien dan industri Pakaian Jadi (KBLI 18), yang menjadi bagian dari industri TPT, dalam kurun waktu tahun 2000-2005 tidak pernah berada pada kondisi efisien. Penelitian ini menggunakan asumsi Variable Return to Scale dan alat analisis DEA versi Warwick.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel output dan input. Variabel output antara lain: barang yang dihasilkan, tenga listrik yang dijual, jasa industri, keuntungan jual beli, pertambahan stok barang setengah jadi danpenerimaan lain. Sedangkan variabel input terdiri dari bahan baku, bahan bakar, barang lainnya diluar bahan baku/bahan penolong, jasa industri, sewa gedung dan biaya jasa non industri.


(38)

Fadholi (2011) melakukan penelitian pada efisiensi industri TPT di Indonesia pada periode 2001-2005. Dengan menggunakan metode DEA dan model Variable Return to Scale (VRS) dan orientasi input. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel input (biaya bahan bakar, tenaga kerja, tenaga listrik, bahan baku, dan modal) dan Variabel output (nilai output dan value added). Hasil dari penelitian ini adalah sebagian besar dari subsektor industri TPT telah efisien, namun terdapat beberapa subsektor yang masih dalam kondisi inefsiensi pada variabel input bahan bakar, tenaga listrik, dan modal.

Penelitian lainnya yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah metode penelitian yang dilakukan oleh Al-Delaimi dan Al-Ani (2006) yaitu menekankan pada analisis efisiensi biaya (ekonomi). Penelitian yang dilakukan terhadap 24 Bank Syariah ini menghasilkan bahwa sebagian besar bank dalam keadaan efisien dan selalu meningkatkan efisiensinya. Menggunakan variabel input (modal, cadangan modal, dan simpanan dana pihak ketiga) dan variabel output (pengambilan produk investasi dan aset bank) dengan model penelitian Constant Return to Scale yang diadopsi dari Charnes, Cooper, dan Rhodes.

Penelitian ini merupakan pengembangan dan kombinasi dari penelitian terdahulu yang telah dicantumkan. Penelitian ini akan menekankan pada pengukuran efisiensi biaya ekonomi yang objek penelitian pada sektor industri manufaktur yang dispesifikasikan pada subsektor industri TPT (KBLI 2005 kode industri 17 dan 18; KBLI 2010 kode industri 13 dan 14) dengan menggunakan alat analisis Data Envelopment Analysis (DEA) dengan asumsi Variable Return


(39)

to Scalesehingga semua unit kegiatan ekonomi yang akan diukur akan menghasilkan perubahan pada berbagai tingkat output.

2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis

Industri TPT menjadi salah satu sektor penting dalam struktur perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi kunci sebagai basis percepatan pembangunan industri TPT yang tercantum dalam perencanaan pembangunan Indonesia melalui MP3EI. Dengan tujuan persaingan global, daya saing industri terus menerus ditingkatkan, salah satunya dengan menjadikan kondisi efisien di setiap subsektor industri ini.

Grafik 2.3. Model Analisis Organisasi Industri Pendekatan Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja Pasar

Sumber: Scherer (1973) dalam Nurimansjah Hasibuan (1993:8) dan William G. Shepherd (1990) dalam P. Eko Prasetyo (2010: 27).

Kondisi Dasar

Sisi Permintaan Sisi

Penawaran

Elastisitas Bahan baku

Pertumbuhan industrti Teknologi Struktur Pasar

Ukuran perusahaan integrasi horizontal dan vertikal Kondisi biaya konglomerasi

Entry barier organisasi buruh

Perilaku Pasar Strategi harga Advertasi

Kolusi Penelitian dan inovasi

Kinerja Pasar

Pola harga dan keuntungan Perkembangan Teknologi


(40)

Model analisis organisasi industri yang tergambar pada grafik2.3menyatakan bahwa kondisi dasar bagi industri baik dari sisi penawaran dan permintaan akan mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja dari suatu industri. Setiap perubahan pada kondisi dasar akan mempengaruhi struktur industri yaitu kondisi biaya produksi dan jumlah perusahaan yang bersaing. Hal ini di sebabkan kondisi faktor produksi yang akan digunakan dalam kegiatan produksi, apabila langka dan terjadi kenaikan harga akan berpengaruh pada kondisi biaya input (faktor produksi) yang tinggi, dan tidak setiap perusahaan dalam suatu industri mampu memenuhi input dengan kondisi biaya produksi tinggi, selanjutnya akan menjatuhkan perusahaan-perusahaan yang kurang dalam faktor produksi lainnya yaitu modal.

Berkurangnya perusahaan dalam suatu industri dapat diindikasikan semakin terkonsentrasinya persaingan dalam industri, yang menyebabkan persaingan kurang sehat. Sedangkan pengaruh bagi kinerja industri sendiri adalah bila industri semakin terkonsentrasi, maka menimbulkan inefisiensi perusahaan dalam industri (Prasetyo, 2010:23).

Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah didasarkan pada ditunjuknya Provinsi Jawa tengah sebagai salah satu pemegang peran dalam percepatan pembangunan industri TPT di Indonesia. Pengamatan pada perkembangan tingkat keuntungan dari industri TPT dan tingkat penyerapan tenaga kerja sebagai suatu aspek perhatian perkembangan industri karena MP3EI memiliki tujuan adanya perluasan nilai tambah dari setiap sektor penggerak perekonomian.


(41)

Grafik 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian

Perubahan kondisi dasar industri TPT dalam hal ketersediaan energi mengakibatkan adanya perubahan struktur industri TPT dimana biaya produksi mengalami penyesusaian, dan jumlah perusahaan dalam industri ini cenderung mengalami penurunan dan berdampak pada persaingan dalam industri TPT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi efisiensi ekonomi dari setiap subsektor pada industri TPT di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan hasil dari perhitungan efisiensi teknis dan alokatifnya (grafik 2.4).

Kinerja Industri TPT

Efisiens i Teknis

Provinsi Jawa Tengah Sebagai Salah Satu Pusat Percepatan Industri TPT Indonesia dalam

MP3EI

Perubahan Struktur Industri TPT pada sisi Biaya Energi, Biaya Tenaga Kerja, Perubahan

Jumlah Perusahaan Dalam Industri.

Efisien si Efisiensi

Ekonomi

Perkembangan Tingkat Keuntungan Industri; dan Tingkat


(42)

26

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dimana penelitian yang didasar pada analisis data numerikal yang diolah dengan metode tertentu. Penelitian ini bertujuan mengukur tingkat efisiensi dari industri TPT dan subsektornya (KBLI 2005 17 dan 18; KBLI 2010 13 dan 14) di provinsi Jawa Tengah periode 2005-2011.

Industri TPT yang menjadi objek penelitian adalah industri yang termasuk dalam industri besar dan sedang. Industri besar diklasifikasi sebagai setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 orang atau lebih. Sementara pada industri sedang, setiap perusahaan yang mempekerjakan antara 20-99 orang.Dipilih 17 subsektor industri TPT yang menjadi objek penelitian, tercantum pada tabel (lampiran 3). Pemilihan 17 subsektor dinilai representatif karena memiliki proporsi > 80% dari total tenaga kerja, biaya input dan nilai hasil produksi pada industri TPT Jawa Tengah (lihat grafik 3.1). Pemilihan objek penelitian disesuaikan dengan perubahan kode klasifikasi ditahun 2005 dan 2010 tanpa mengurangi tujuan penelitian.


(43)

i) Grafik perbandingan jumlah tenaga kerja pada 17 Subsektor Objek Penelitian terhadap industri TPT

ii)Grafik rasio perbandingan biaya input dan nilai hasil produksipada 17 Subsektor Objek Penelitian terhadap industri TPT (persen)

Grafik 3.1. Rasio perbandingan jumlah tenaga kerja, biaya input produksi dan nilai hasil produksi industri TPT dan 17 subsektor objek penelitian.

Sumber: Statistik indutstri Besar dan Sedang Jawa Tengah 2005-2011 Volumte I, diolah.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Data Envelopment Analysis untuk mengukur dan mengidentifikasi tingkat efisiensi di setiap subsektor industri TPT Jawa Tengah. Penelitian akan menggunakan alat bantu perangkat lunak Aplikasi Data Envelopment Analysis yang dikembangkan oleh University of Warwick versi 1.03.

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Industri TPT 191,581 438,456 236,013 231,293 223,211 222,245 235,583 17 Subsektor Penelitian 182,288 423,652 219,887 225,114 215,542 215,513 210,364

100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 Ora n g

97 98 91 88 97 99 89

97 98 91

88 97 98 78

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011


(44)

Pengukuran tingkat efisiensi akan dimulai dengan pengukuran terhadap kondisi tingkat efisiensi teknik dengan menggunakan variabel input dan output. Langkah selanjutnya akan dilakukan pengukuran tingkat efisiensi alokatif dengan menggunakan variabel harga dari input dan output. Tahap terakhir adalah melakukan perhitungan nilai efisiensi teknik dan efisiensi alokatif dengan cara mengkalikan nilai keduanya disetiap objek penelitian sehingga di dapat nilai efisiensi ekonomi untuk objek penelitian.

Pada tahap pembahasan dan analisis, akan dilakukan analisis secara makroekonomi dalam gambaran umum industri TPT dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah atas implementasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang meliputi analisis terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil dan analisis mengenai perkembangan tingkat keuntungan pertumbuhan industri TPT. Kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan terhadap hasil pengolahan data yang menunjukkan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi objek penelitian.

3.2. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang dinilai representatif terhadap kondisi dari objek penelitian. Pengukuran efisiensi teknik membutuhkan variabel input dan output, kriteria nilai input dan output yang dijadikan sebagai variabel dari penelitian secara keseluruhan memiliki proporsi

sebesar ≥ 80% (persen) dari total input dan nilai output produksi. Penelitian menggunakan variabel input yang terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya bahan baku dan penolong, dan biaya energi (bahan bakar, tenaga listrik dan gas).


(45)

Sedangkan variabel output yang digunakan adalah nilai dari barang yang dihasilkan. Pengukuran efisiensi alokatif digunakan variabel harga input (harga tenaga kerja, harga bahan baku dan penolong, dan harga energi) dan variabel harga output (harga barang yang dihasilkan).

3.2.1. Variabel Pengukuran Efisiensi Teknik 3.2.1.1. Variabel Input

a) Biaya Tenaga Kerja

Berdasarkan Statistik Industri Besar dan Sedang yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah biaya tenaga kerja adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh suatu industri kepada seluruh tenaga kerja yang terdiri dari biaya gaji atau upah, upah lembur, hadiah atau bonus, iuran dana pensiun, tunjangan sosial, dan asuransi kecelakaan dalam nilai satuan Rupiah.

b) Biaya Bahan Baku dan Penolong

Biaya bahan baku dan penolong merupakan pengeluaran oleh setiap perusahaan yang terdapat pada industri untuk memperoleh input berupa bahan baku dalam proses produksi. Dalam penelitian ini biaya bahan baku dan penolong adalah jumlah biaya yang telah dikeluarkan oleh seluruh perusahaan yang ada pada tiap subsektor industri TPT untuk mendapatkan bahan baku dalam satuan Rupiah.


(46)

c) Biaya Energi

Biaya energi pada penelitian ini adalah jumlah pengeluaran seluruh perusahaan yang terdapat pada subsektor industri TPT untuk mendapatkan bahan bakar dan tenaga listrik dalam satuan Rupiah.

3.2.1.2. Variabel Output

Variabel output dalam penelitian ini adalah nilai barang yang dihasilkan, yaitu jumlah barang yang diproduksi oleh seluruh perusahaan dalam subsektor industri TPT dalam satuan Rupiah.

3.2.2. Variabel Pengukuran Efisiensi Alokatif 3.2.2.1. Variabel Harga Input

a) Harga Tenaga Kerja

Penentuan harga tenaga kerja berdasarkan jumlah pengeluaran untuk tenga kerja dibagi jumlah tenaga kerja yang terdapat disetiap subsektor industri TPT dalam satuan Rupiah.

b) Harga Bahan Baku dan Penolong

Penentuan harga bahan baku dan penolong didasarkan pada jumlah pengeluaran untuk bahan baku dan penolong kemudian dibagi dengan kuantitas setiap bahan baku dan penolong yang digunakan di tiap subsektor industri TPT dalam satuan Rupiah.

Penentuan bahan baku yang dipilih untuk digunakan dalam perhitungan efisiensi pada penelitian ini didasarkan pada:

1.Besarnya nilai atau dana yang dikeluarkan oleh industri untuk memperolehnya


(47)

2.Besarnya kuantitas penggunaan bahan baku

3.Asal perolehan bahan baku (impor atau produk domestik) c) Harga Energi

Penentuan harga energi dalam penelitian ini didasarkan biaya energi dibagi dengan jumlah penggunaan energi (BBM dan tenaga listrik), dimana penggunaan tenaga listrik diasumsikan setiap perusahaan pada industri TPT menggunakan tingkat daya listrik yang sama, dalam satuan Rupiah per KWh dan Rupiah per liter solar industri untuk variabel input bahan bakar.

3.2.2.2. Variabel Harga Output

Harga output didasarkan pada besarnya nilai dan kuantitas produksi. Perhitungan harga output ialah jumlah nilai produksi dibagi dengan kuantitas produk industri TPT dalam satuan Rupiah.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari industri TPT yang terklasifikasikan sebagai industri besar dan sedang. Data dikumpulkan beradasarkan variabel penelitian sehingga akan terdapat kesesuaian dengan tujuan penelitian. Data bersumber dari Statistika Industri Besar dan Sedang Provinsi Jawa Tengah Volume I, II dan III dari tahun 2005 hingga tahun 2011 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

3.4. Mettode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi atau studi pustaka melalui pencarian data yang sesuai dengan


(48)

variabel penelitian. Menurut Arikunto (2002) dalam Fadholi (2011:43) metode dokumentasi yaitu mencaridata mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, suratkabar, majalah, parasasti, notulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya. Implementasi dari metode dokumentasi pada penelitian ini adalah dengan pengumpulan data dari buku Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Jawa Tengah Volume I, II dan III dari tahun 2005 hingga tahun yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), serta bebagai literatur lainnya berupa jurnal penelitian maupun publikasi lainnya.

Analisis efisiensi teknis menggunakan data kinerja dari subsektor industri TPT yang menjadi objek penelitian sepanjang tahun observasi. Analisis efisiensi alokatif, pemilihan data berdasarkan variabel penelitian, yaitu 1-5 biaya input bahan baku dan penolong terbesar berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan dan syarat lainnya sebagaimana tercantum dalam metode penentuan variabel harga input bahan baku, penggunaan bahan bakar jenis solar khusus industri dan tenaga listrik yang dibeli, serta 1-5 nilai dan kuantitas barang yang diproduksi terbesar berdasarkannilai barang dari tiap subsektor industri TPT yang menjadi objek penelitian sepanjang tahun observasi dengan memperhatikan persyaratan data dalam analisis menggunakan DEA.

3.5. Metode Analisis Data

Penelitian ini bertujuan menganalisa kinerja industri TPT Provinsi Jawa tengah dengan penekanan pada analisis tingkat efisiensi ekonomi. Pengukuran efisiensi dipilih menggunakan teknik analisis DEA karena teknik ini dapat mengevaluasi efisiensi pada suatu industri yang telah ditentukan dan melakukan


(49)

perbandingan terhadap industri yang memiliki kinerja terbaik (Coelli, Rao, et.al (1998) dalam Jayamaha dan Mula, 2011:456). Lebih lanjut Jayamaha dan Mula (2011:456) dengan menyadur dari Fried, Lovell dan Schmidt (2002) bahwa DEA merupakan metode yang tepat untuk mengukur efisiensi relatif dari beragam unit kegiatan ekonomi dengan melingkupi seluruh elemen dari input dan output.

Cara kerja dari DEA adalah menentukan rasio tertimbang dari input dan output setiap unit. Penentuan bobot tertimbang akan menjadi suatu permasalahan penting dalam pengukuran efisiensi, DEA memberikan kesempatan kepada tiap unit kegiatan ekonomi untuk menentukan pembobotnya masing-masing (Samsubar Saleh (2000) dalam Tri Wahyu R, 2006:134). Setiap unit kegiatan ekonomi akan memiliki bobot yang akan memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total weighted output/total weighted input) (Fadholi, 2011:44). Nilai dari hasil pengukuran efisiensi melalui DEA adalah 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) dengan pengertian bahwa bila hasil pengukuran sama dengan 1 (satu) maka subsektor industri tersebut dinilai telah efisien, begitu pula sebaliknya bila hasil pengukuran dibawah 1 (satu) maka subsektor industri dinilai belum mencapai kondisi efisien. Pengukuran efiensi subsektor industri TPT dengan DEA diadopsi dari Fadholi (2011:43-44) dan Atmanti (2004:4-5) adalah sebagai berikut:

∑ ... (3.1)

Dengan Batasan atau kendala:


(50)

Dimana:

= jumlah output r yang dihasilkan oleh subsektor industri k

Xij = jumlah input i yang diperlukan oleh subsektor industri j Yrj = jumlah output r yang dihasilkan oleh subsektor industri j Xik = jumlah input yang idperlukan oleh subsektor k

S = jumlah subsektor industri yang dianalisis M = jumlah input yang digunakan

Urk = bobot tetimbang dari output yang dihasilkan tiap subsektor industri k

Vik = bobot tertimbang input i yang digunakan subsektor industri k Ek = nilai yang dioptimalkan sebagai indikator efisiensi relatif dari

subsektor indsutri k

Dalam penggunaan DEA, asumsi model dalam penelitian ini adalah Variable Return to Scale dengan alasan bahwa dalam sektor industri adanya pertambahan pada proporsi input belum tentu dapat meningkatkan proporsi output dengan nilai yang sama, karena hasil (output) ditentukan pula oleh kondisi ekonomi makro permintaan, penawaran dan lainnya (Fadholi, 2011:46).


(51)

Tabel 3.1. Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Industri TPT Jawa Tengah

Kriteria Efisiensi Nilai Efisiensi

Sempurna/Optimum Tinggi Sedang Rendah Tidak efisien

1 0,81 – 0,99 0,60 – 0,80 0,41 – 0,59

≤ 0,40

Sumber: Hidayat, 2014:124

Agar dapat dipastikan tingkat capaian efisiensi pada industri TPT secara sektoral maupun keseluruhan, maka perlu adanya pembagian kriteria ukuran tingkat efisiensi, yaitu efisensi tinggi, efisiensi sedang, efisiensi rendah, serta tidak efisien (Hidayat, 2014:124). Kriteria ukuran tingkat efisensi dapat terlihat pada tabel 3.1.


(52)

36 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Umum Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Dalam Perekonomian Provinsi Jawa Tengah

Industri TPT yang berada di provinsi Jawa Tengah mencakup sebagian besar subsektor industri, mulai dari pengolahan hulu seperti industri persiapan serat, pengolahan antara seperti pencetakan kain hingga pengolahan hilir seperti industri pakaian jadi. Sebagaiamana peranannya dalam RPJPD Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu industri kopetensi inti daerah, industri TPT harus memiliki tingkat kemampuan penyerapan tenaga kerja yang besar, dan memiliki tingkat kinerja baik pertumbuhan industri maupun tingkat keuntungan yang terjaga dengan baik. Dalam subbab selanjutnya akan di jelaskan mengenai gambaran umum dari industri ini dalam hal tingkat penyerapan tenaga kerja, dan perkembangan tingkat pertumbuhan dan keuntungan industri.

4.1.1. Penyerapan Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi utama dalam suatu proses produksi. Penyerapan tenaga kerja oleh setiap sektor dalam perekonomian mempunyai andil besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(53)

Grafik 4.1. Total Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011

Sumber: Data sekunder diolah

Penyerapan tenaga kerja pada salah satu sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, dalam penelitian ini sektor industri pengolahan, secara umum mengalami perlambatan (grafik 4.1). Perlambatan pada penyerapan tenaga kerja dimungkinkan sebagai akibat dari perlambatan pertumbuhan pada sektor industri pengolahan, dampak dari krisis global yang menyebabkan tidak stabilnya pasar, serta terdapat peningkatan harga input produksi yang mengharuskan adanya penyesuaian biaya produksi. Situasi yang sama juga dialami oleh sektor industri TPT, perlambatan dalam penyerapan tenaga kerja terjadi sejak tahun 2007. Dalam grafik 4.2 terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor industri tekstil (KBLI 17) paling tinggi pada sektor industri pengolahan.

Sebagaimana ditunjukkan oleh grafik 4.2 bahwa sepanjang tahun observasi nilai rata-rata pergerakan (moving average) penyerapan tenaga kerja pada industri TPT (KBLI 17 dan 18) mengalami penurunan. Kondisi ini harus menjadi perhatian karena industri TPT mempunyai karakteristik padat karya, apabila terdapat penurunan penyerapan tenaga kerja akan

574.869

1.253.493

713.777

694.145 674.072 734.898 732,031

500,000 1,000,000 1,500,000 Ten ag a Ker ja (Or an g )


(54)

berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran yang akan mengganggu perekonomian daerah.

Grafik 4.2. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Tengah 2005-2011 (orang)

Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang Jawa Tengah, berbagai tahun diolah

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan RPJPD Provinsi Jawa Tengah menetapkan industri TPT menjadi salah satu sektor pendorong perekonomian nasional dan daerah. Sehingga sektor ini harus mampu memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja, dan memberikan rangsangan terhadap tumbuhnya industri penunjangnya. Perlambatan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri TPT di Jawa Tengah

0 100000 200000 300000

1 2 3 4 5 6 7

15 16 17

18 19 20

21 22 23

24 25 26

27 28 29

30 31 32

33 34 35

36 37 33-KBLI 2010

2 per. Mov. Avg. (17) 2 per. Mov. Avg. (18)


(55)

menimbulkan pertanyaan mampukah industri ini melakukan fungsinya sebagai salah satu sektor utama penyerap tenaga kerja di Jawa Tengah.

Apabila pemerintah daerah ingin industri ini tetap menjadi sektor kompetensi inti perekonomian, maka dalam hal penyerapan tenaga kerja pemerintah dapat melakukan insentif pada industri yang telah melakukan penyerapan tenaga kerja besar dan memiliki produksi yang tinggi pula, karena apabila penyerapan tenaga kerja yang tinggi tidak diimbangi dengan produksi tinggi maka akan merugikan industri tersebut karena akan memberatkan biaya produksi dan dikhawatirkan akan terjerat pada kondisi law of deminishing return.

4.1.2. Tingkat Pertumbuhan dan Profit Industri

Proses industrialisasi di suatu wilayah dapat dimulai dengan pembangunan industri TPT. Karena industri ini memiliki karakteristik yang padat karya, sehingga mampu mengatasi permasalahan penyerapan tenaga kerja serta dalam peningkatan orientasi ekspor. Walaupun pertumbuhan industri TPT dalam analisis organisasi industri tidak termasuk pada sisi kinerja industri, tetapi secara makro pertumbuhan industri dapat menjadi suatu evaluasi peranan sektor industri dalam perekonomian.

Pertumbuhan industri TPT dapat dilihat dari perkembangan jumlah perusahaan yang ada dalam industri dan persentase produksi industri ditiap tahunnya sedangkan sebagai pelengkap informasi mengenai pertumbuhan industri, dapat diperoleh dari perkembangan tingkat keuntungan industri. Peranan industri TPT pada perekonomian Provinsi Jawa Tengah akan


(56)

semakin baik bila kondisi tingkat pertumbuhan dan keuntungannya terus mengalami peningkatan.

Perumbuhan jumlah perusahaan dalam industri ini mengalami penurunan. Terlihat dalam grafik 1.1 yang menggambarkan perkembangan yang cenderung turun dalam jumlah perusahaan yang ikut meramaikan persaingan di industri ini. Jumlah perusahaan pada Industri TPT yang terus menerus mengalami penurunan terdapat pada subsektor industri pakaian jadi. Penurunan jumlah perusahaan ini dapat berpengaruh pada intensitas persaingan antarindustri. Sedangkan persaingan sendiri dalam model analisis organisasi (lihat grafik 2.3) industri dapat berpengaruh terhadap kinerja industri, seperti tingkat keuntungan, tingkat capaian efisiensi dan kesempatan kerja.

Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Utama Atas Dasar Harga Konstan, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011 (persen)

No Sektor 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata 1. Pertanian 4,61 3,60 2,78 3,19 3,71 2,51 1,27 3,10 2. Industri

Pengolahan -Tekstil, barang

kulit dan alas kaki 4,80 2,71 4,52 5,26 5,56 6,12 5,06 4,35 3,79 1,97 6,87 6,92 6,60 6,02 5,31 4,76 3. Perdagangan,

Hotel, Dan Restoran

6,05 5,85 6,54 7,23 7,21 6,06 7,75 6,67 Produk Domestik

Regional Bruto

5,35 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84 6,03 5,56 Sumber: BPS, Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah, berbagai tahun

terbitan

Catatan: Penentuan tiga sektor utama berdasarkan tiga sektor terbesar pada distribusi persentase terhadap PDRB tiap tahun.


(57)

Pertumbuhan sektor industri pengolahan sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2009 berada dibawah rata-rata dari pertumbuhan total PDRB di periode yang sama dan mulai bangkit kembali di tahun 2010 dan 2011 (tabel 4.1). Hal yang sama terjadi pada laju pertumbuhan sektor industri TPT 2005-2009 secara umum berada dibawah pertumbuhan PDRB, kemudian di tahun 2010 mampu meningkat tajam dan mampu mengulang kembali pertumbuhan sektor ini diatas tingkat pertumbuhan PDRB di tahun 2007. Pada tahun berikutnya, industri ini mengalami perlambatan yang hanya mampu bergerak sebesar 6,02 dan masih berada dibawah laju pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Tengah. Secara rata-rata pun industri tekstil memiliki laju pertumbuhan dibawah rata-rata PDRB Jawa Tengah.

Laju tingkat keuntungan industri TPT tahun 2005 – 2006 mengalami peningkatan dua kali lipat, keadaan ini memberi kepercayaan pada industri untuk melakukan perluasan kapasitas produksi. Tahun 2007 keuntungan industri TPT menurun hingga 50% dibanding tahun sebelumnya. Namun keadaan ini tidak melemahkan produksi industri ini, tercatat hingga tahun 2010 industri TPT memiliki tingkat keuntungan yang meningkat. Tren peningkatan perolehan keuntungan memberikan pergerakan yang baik bagi kinerja industri TPT dari sisi penawaran, ditengah banyaknya hambatan pada kondisi dasar industri dari peningkatan harga bahan baku, serta persaingan dengan produk impor.


(58)

Grafik 4.3. Perkembangan Tingkat Perolehan Keuntungan Industri TPT Jawa Tengah Tahun 2005-2011 dalam rupiah.

Sumber: BPS, Statistika Industri Besar dan Sedang, berbagai tahun terbitan diolah.

Tingkat keuntungan indsutri TPT ditahun 2011 menurun, akan tetapi terdapat peningkatan keuntungan dibeberapa sektor secara parsial, yaitu sektor barang jadi tekstil dan permadani, perajutan, dan kapuk. Dengan peningkatan tertinggi pada sektor barang jadi tekstil dan permadani dengan jumlah peningkatan keuntungan sebesar Rp. 113.163.809,- (lihat lampiran 3).Perlambatan keuntungan pada tahun 2011 dikhawatirkan akan terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya dengan adanya perlambatan ekonomi dunia yang menjadikan menyempitnya ruang gerak bagi pemasaran produk tekstil serta semakin intensnya persaingan produk tekstil Indonesia – secara umum – dengan negara-negara lain seperti Vietnam, India, dan Cina.

Perhatian penelitian tidak hanya berdasarkan kinerja secara makroekonomi, tetapi penulis ingin menekankan pula kinerja industri TPT Jawa Tengah pada aspek mikroekonomi. Perhatian pada tingkat mikro ini

5,632,231,362 12,046,351,515 6,390,970,397 7,792,523,824 7,792,523,824 12,808,751,324 10,837,868,764 0 2,000,000,000 4,000,000,000 6,000,000,000 8,000,000,000 10,000,000,000 12,000,000,000 14,000,000,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011


(59)

perlu, selain mendukung perencanaan ekonomi nasional (MP3EI) juga dikarenakan adanya berbagai aspek perubahan yang terjadi pada industri TPT.

4.2. Perhitungan Efisiensi

Dalam subbab ini akan dipaparkan tentang hasil perhitungan efisiensi menggunakan alat bantu DEA dengan variabel input dan output yang telah ditentukan pada metodologi penelitian. Perhitungan efisiensi meliputi perkembangan tingkat capaian efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi setiap sektorpada industri TPT, capaian efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi pada industri TPT secara keseluruhan.

4.2.1. Efisiensi Ekonomi Sektoral Industri TPT Provinsi Jawa Tengah Menggunakan data tahunan dimulai dari tahun 2005 hingga tahun 2011, maka diperoleh hasil perhitungan tingkat efisiensi industri TPT secara teknis, alokatif dan ekonomi baik secara sektoral maupun keseluruhan industri. Untuk lebih memudahkan analisis hasil perhitungan efisiensi sektoral, maka dibuat tabel 4.2 hingga tabel 4.4 sebagai ringkasan perolehan tingkat efisiensi dari setiap sub golongan pokok yang ada pada industri TPT.

Perkembangan tingkat efisiensi secara teknis pada sektoral dari industri TPT sebagian besar berada pada kriteria efisiensi tinggi, kecuali sektor industri pakaian jadi yang mampu membukukan tingkat efisiensi optimum disepanjang periode penelitian, walaupun terdapat penurunan di tahun 2009 dan 2010. Capaian efisiensi teknis terendah diperoleh oleh


(60)

sektor industri barang jadi tekstil dan permadani pada periode produksi 2006 dimana hanya mampu memperoleh capaian sebesar 0,66.

Apabila kita ingin melihat lebih dalam lagi, maka ditemukan subsektor yang masuk pada kriteria tidak efisien seperti subsektor dengan nomor klasifikasi 17113 (industri pemintalan benang jahit) yang memiliki tingkat efisiensi sebesar 0,37 pada tahun 2008, dan subsektor 17293 (industri bordir/sulaman) dengan nilai efisiensi sebesar 0,40 ditahun 2006 (lihat lampiran 4).Penurunan capaian efisiensi teknis yang drastis terdapat pada sektor pemintalan, pertenunan, pengolahan akhir tekstil pada tahun produksi 2007 ke 2008 yang turun sebesar 15 persen dan sektor barang jadi tekstil dan permadani ditahun produksi 2005 ke 2006 turun sebesar 33 persen.

Tabel 4.2. Ringkasan Perhitungan Efisiensi Teknis

Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sub Golongan Pokok

Sektor/Sub Golongan Pokok

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata Pemintalan,

Pertenunan, Pengolahan Akhir Tekstil

0,93 0,97 0,90 0,76 0,75 0,87 0,93 0,87

Barang Jadi Tekstil Dan Permadani

0,99 0,66 0,85 0,87 1 0,96 0,87 0,88 Perajutan 0,84 0,83 0,93 0,99 1 0,85 0,92 0,91

Kapuk 1 0,93 0,75 0,92 0,80 0,71 1 0,87

Pakaian Jadi 1 1 1 1 0,93 0,97 1 0,98

Sumber: diolah dari hasil perhitungan efisiensi

Penurunan tingkat efisiensi teknis yang drastis pun dialami oleh subsektor yang ada pada industri TPT (lihat lampiran 4), seperti yang dialami oleh subsektor dengan nomor klasifikasi 17231 (industri tali) dan


(61)

17293 (bordir/sulaman) tahun 2006 sebesar 41 dan 60 persen; kemudian subsektor 17115 (kain tenun ikat) dan 17121 (penyempurnaan benang) ditahun 2009 turun sebesar 32 – 57 persen; dan subsektor 17301 (kain rajut) ditahun 2010 merosot hingga 55 persen. Penurunan pada subsektor tersebut dapat dikarenakan berbagai macam masalah.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa subsektor yang mengalami penurunan harus melakukan penyesuaian pada input maupun output dengan variasi penanganan yang berbeda (lihat lampiran 6). Permasalahan yang terjadi pada subsektor 17293 yang turun hingga 60 persen. Menurut hasil perhitungan, subsektor ini harus memperbaiki variabel input dengan mengurangi biaya tenaga kerja sebesar 20,1 persen dan peningkatan produksi hingga 149,3 persen (lampiran 6.2). Berbeda dengan penangan pada kasus subsektor 17121 yang mengalami penurunan sebesar 32 persen ditahun 2009. Penyesuaian yang dapat dilakukan oleh subsektor ini ialah mengurangi pengeluaran pada biaya energi sebesar 55,7 persen dan diimbangi dengan peningkatan produksi hingga 134,7 persen (lampiran 6.5).

Capaian efisiensi teknis yang fluktuatif terdapat diseluruh sektor industri TPT, tetapi masih dalam kriteria dengan tingkat efisiensi sedang hingga optimum.

Walaupun terlihat capaian kinerja baik – tergambar dari rata-rata tingkat efisiensi tinggi – tetapi perlu adanya berbagai penyesuaian terutama pada pengaturan biaya produksi. Hal ini dapat dikatakan subsektor industri TPT belum mampu mencapai produksi pada batasan isokuan atau biaya


(62)

input terkecil secara optimum. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelaku industri perlu mengurangi biaya produksi yang dinilai mengganggu untuk meningkatkan capaian kinerja.

Sementara perkembangan tingkat efisiensi alokatif di seluruh sektor industri TPT, sepanjang periode penelitian berada pada efisiensi yang optimum. Ditunjukkan pada tabel 4.3 dimana seluruh subsektor pada industri TPT mampu memperoleh nilai 1.

Tabel 4.3. Ringkasan Perhitungan Efisiensi Alokatif

Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2011 Berdasarkan Sub Golongan Pokok

Sektor/Sub Golongan Pokok 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Pemintalan, Pertenunan,

Pengolahan Akhir Tekstil

1 1 1 1 1 1 1

Barang Jadi Tekstil Dan Permadani

1 1 1 1 1 1 1

Perajutan 1 1 1 1 1 1 1

Kapuk 1 1 1 1 1 1 1

Pakaian Jadi 1 1 1 1 1 1 1

Sumber: diolah dari hasil perhitungan efisiensi

Terdapat dua kriteria bagi objek perhitungan efisiensi pada DEA yang memiliki nilai kinerja 1 atau 100 persen. Pertama, apabila tidak ada unit atau objek lain yang menggunakan jumlah input yang sama. Kedua, jumlah output yang dihasilkan sedikitnya sama dengan jumlah output yang dihasilkan oleh unit lain yang berkinerja 100 persen (PAU-SE UGM, 2000:26). Hasil perhitungan efisiensi alokatif ini menunjukkan bahwa subsektor secara keseluruhan mampu memproduksi pada tingkatan output tertentu dengan cara meminimisasi rasio biaya input secara optimum.


(63)

Capaian efisiensi ekonomi sektoral pada industri TPT Jawa Tengah selama periode penelitian dilakukan dengan cara mengkalikan hasil perhitungan efisiensi teknis dan hasil efisiensi alokatif. Dalam tabel 4.4(lampiran 5) terlihat hasil efisiensi ekonomi yang diperoleh sama dengan hasil capaian efisiensi teknis pada industri ini, hal ini dikarenakan capaian efisiensi alokatif sektoral industri TPT bernilai sempurna. Perolehan tingkat efisiensi ekonomi sektoral industri TPT mengindikasikan bahwa industri ini belum mampu memproduksi sejumlah kuantitas output tertentu pada saat biaya minimum secara optimum.

4.2.2. Efisiensi Ekonomi Industri TPT Provinsi Jawa Tengah Keseluruhan

Industri TPT Jawa Tengah dalam penelitian ini memiliki tingkat capaian efisiensi ekonomidengan nilai rata-rata sepanjang periode penelitian sebesar 0,88. Hasil ini diperoleh dari perhitungan rata-rata nilai capaian efisiensi dari setiap subsektor industri TPT yang telah dilakukan sebelumnya. Nilai efisiensi ekonomi tersebut menggambarkan bahwa industri TPT Jawa Tengah selama periode penelitian belum mampu memproduksi dengan jumlah tertentu pada saaat biaya minimum dengan penggunaan tingkat teknologi tertentu secara optimum.

Masuk lebih dalam mengenai dasar penggunaan nilai efisiensi ini dapat dilihat dari perkembangan perolehan nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis sektoral industri TPT sepanjang periode penelitian. Penggunaan capaian tingkat efisiensi teknis dikarenakan efisiensi ekonomi merupakan hasil perkalian antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Sebagaimana


(64)

yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, bahwa efisiensi alokatif dari sektoral industri TPT memiliki nilai optimum atau 1, sedangkan nilai capaian efisiensi teknis dari industri ini fluktuatif, maka dapat dipastikan perolehan nilai capaian efisiensi ekonomi industri TPT sama dengan nilai rata-rata efisiensi teknis sektoralnya.

Perkembangan nilai capaian efisiensi teknik dan ekonomi industri TPT selama periode penelitian dapat dilihat dalam grafik 4.4 dibawah. Bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Atmanti (2004) dan Tri Wahyu R (2006), terjadi penurunan pada capaian tingkat efisiensi teknis pada industri tekstil dan adanya peningkatan yang signifikan pada industri pakaian jadi.

Grafik 4.4. Capaian Rata-rata Efisiensi Teknikdan Ekonomi Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah 2005-2011

Sumber: diolah dari hasil perhitungan efisiensi

Dalam penelitian Pengukuran efisiensi industri tahun 1995-2000 oleh Atmanti (2004),industri TPT diklasifikasikan menjadi satu bagian dengan industri alas kaki dengan nomor klasifikasi 32, ditemukan bahwa industri TPT dapat bertahan pada tingkat capaian efisiensi optimum sebelum dan

0.93 0.89 0.88 0.83 0.83 0.88 0.93 1 1 1 1 0.93 0.97 1 0.97 0.95 0.94

0.92 0.88 0.93 0.97

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Efisiensi Industri Tekstil dan Produk Tekstil Efisiensi Industri Pakaian Jadi


(1)

KOKON ULAT SUTERA KG 20.001 BENANG TENUN/RAJUT BAL 4.289.622 BENANG AFVAL TALI KG 75.000 KAIN GREIGE METER 14.120 ETIKET BENANG BUAH 150 BENANG BAL 5.365.015 KANTONG PLASTIK BUAH 15.000

TENAGA KERJA ORANG/TH 23.941.000 SOLAR INDUSTRI LITER 8.675 LISTRIK KWH 667

KBLI 13112

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

KAPAS KG 28.360 RWH KG 33.241

POLYESTER KG 13.843 BENANG RAYON KG 38.799

FIBER RAYON BAL 6.279.691 BENANG KG 8.893

TENAGA KERJA ORANG/TH 34.177.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 530

KBLI 13113

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

DYESTUFF KG 101.936 POLYESTER FILAMEN KG 50.702

CHEMICAL KG 102.994 YOSM POLYESTER FIL KG 20.284

CHIPS KG 14.107

TENAGA KERJA ORANG/TH 59.631.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 531

INPUT OUTPUT


(2)

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG BAL 5.174.320 KAIN TENUN YARD 7.064

PEWARNA KG 122.227 SARUNG TENUN POTONG 28.700

SUPPORTING MATRIAL KG 8.083

TENAGA KERJA ORANG/TH 12.673.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 494

KBLI 13122

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG KATUN KG 56.537 KAIN MESRIS METER 30.941

BENANG SUTERA KG 363.361 KAIN IKAT SUTERA METER 25.725

BENANG CSM 80/2 KG 121.389 KAIN AIR BRAS METER 109.002

TENAGA KERJA ORANG/TH 2.626.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 555

INPUT OUTPUT

KBLI 13131

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG BAL 1.100.000 KAIN POLOS WARNA METER 6.000 OBAT WAPPOC KG 115.000

KIPRET KG 3.500

TENAGA KERJA ORANG/TH 13.238.000 SOLAR INDUSTRI LITER 8.675 LISTRIK KWH 658

KBLI 13132

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG BAL 4.645.621 KAIN JADI METER 8.000

KAIN GRAY METER 6.364 KAIN POLOS METER 7.041 PEWARNA FINISH KG 604.141 PRODUK KAIN FINISH METER 2.060 TENAGA KERJA ORANG/TH 6.360.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675 LISTRIK KWH 581

INPUT OUTPUT


(3)

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

KAPAS KG 45.705 RAYON METER 591

KAIN GRAY METER 11.055 KAIN GRAY METER 10.011

ALBIKAT KG 67.000 KAIN PRINTING METER 12.808

TENAGA KERJA ORANG/TH 56.838.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 452

KBLI 13134

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

KAIN MORI METER 7.809 BATIK TULIS PRIMA POTONG 147.299

KAIN SUTERA TWISS METER 50.301 KAIN BATIK TIC DYET YARD 392.195

MALAM KG 24.180 KAIN KEMEJA POTONG 23.220

TENAGA KERJA ORANG/TH 7.287.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 554

INPUT OUTPUT

KBLI 13911

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

YARN BUAH 9.000 PANEL BUAH 39.199

OTHER RAWS BUAH 397.558 PRJUTAN BHN KAOS KG 6.286

TENAGA KERJA ORANG/TH 28.244.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 552

INPUT OUTPUT

KBLI 13912

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

KAIN SUTERA METER 112.485 BHN KEBAYA BORDIR POTONG 76.667

KAIN KERUDUNG POTONG 6.000 BORDIR BUAH 515

BENANG BUAH 6.000 KERUDUNG BORDIRAN POTONG 15.000

TENAGA KERJA ORANG/TH 192.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 630

OUTPUT INPUT


(4)

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

FILAMEN KG 1.000.000 DOGOL KG 13.000.000

PLASTIK BEKAS KG 5.000.000 TALI RAFIA KG 16.200

PLASTIK BERAS KG 7.300.000 SEDOTAN BAL 1.000

TENAGA KERJA ORANG/TH 3.002.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH n.a

KBLI 13942

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG AVAL KG 2.200 SUMBU DAN TALI PRMUKA KG 4.500

BENANG POLYESTER KG 22.500 RENDA BUAH 3.790

BENANG KATUN KG 13.500

TENAGA KERJA ORANG/TH 8.982.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 350

INPUT OUTPUT

KBLI 13997

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

KAPUK GLONDONG KG 3.865 KAPUK ODOLAN KG 11.000

TENAGA KERJA ORANG/TH 1.015.000 KAPUK RANDU ODOLAN KG 16.022

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675 ISI RANDU KG 1.432

LISTRIK KWH 506

OUTPUT INPUT


(5)

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

COTTON CVC KG 111.090 SARUNG TENUN KODI 1.901.155

KAIN YARD 35.457 MEN'S SHIRT POTONG 50.112

POLAR FLEECCE YARD 23.943 CELANA JEANS LUSIN 618.055

KAIN KAOS LOTTO KG 50.459 BLOUSE WANITA POTONG 38.024

TENAGA KERJA ORANG/TH 15.962.000 PKAIAN OLAHRAGA SET 75.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675

LISTRIK KWH 455

KBLI 14301

INPUT OUTPUT

JENIS SATUAN HARGA JENIS SATUAN HARGA

BENANG 40'S BAL 7.389.033 SWEATER POTONG 56.069

KAIN SALUR YARD 21.837 MEN'S SHIRT POTONG 48.325

KAIN/PANEL METER 42.551 KEBAYA POTONG 29.332

INTERLINING YARD 8.060

TENAGA KERJA ORANG/TH 20.392.000

SOLAR INDUSTRI LITER 8.675


(6)