Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia
Iwan Hermawan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2008
Iwan Hermawan NRP. A. 151040161
(3)
Produk Tekstil (TPT) Indonesia (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua dan ENDAH MURNININGTYAS sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mempunyai peran penting di dalam perekonomian Indonesia. Namun dalam lima tahun terakhir, secara nasional pangsa industri ini terhadap GDP mengalami penurunan, sementara persaingan TPT di pasar dunia cenderung semakin ketat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi posisi dan daya saing ekspor TPT Indonesia di pasar dunia, menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia dan pasar TPT dunia. Metode analisis yang digunakan adalah CMS, 2SLS, dan simulasi kebijakan ekonomi dan non ekonomi.
Secara keseluruhan, meskipun laju ekspor TPT Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun posisi daya saing TPT Indonesia di pasar TPT dunia masih di bawah China, India, dan Italia. Di samping itu produksi tekstil dan garmen domestik dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia dan upah riil tenaga kerja TPT. Ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh produksi tekstil domestik. Sedangkan ekspor garmen Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil tekstil dunia dengan harga riil garmen domestik tahun sebelumnya. Prospek industri TPT Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku berupa kapas dan pertumbuhan ekonomi dunia pada umumnya.
Kata Kunci: Tekstil dan Produk Tekstil, daya saing, constant market share,
(4)
ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA
Iwan Hermawan
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(5)
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak
sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kepanjen, kabupaten Malang pada tanggal 11 Juni 1978, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Kamsuri dan Yuniawati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02 Kepanjen, Malang tahun 1989. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 04 Kepanjen, Malang. Dan pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 01 Malang. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan Diploma III (AMd) jurusan Agribisnis di Universitas Brawijaya. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (SP) pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Kemudian pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
(7)
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dengan judul Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia, penulis berharap tesisi ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya pengembangan industri TPT Indonesia.
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah sebagai ketua dan Ibu Dr. Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc (Direktur Penanggulangan Kemiskinan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagai anggota komisi pembimbing atas segala masukan, bimbingan, dan dukungannya selama penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A yang telah memberikan kontribusi untuk perbaikan tesis ini.
Terima kasih kepada Dr. Reni Kustiari, Dr. Yundy Hafizrianda, dan Dr. Inna Sri Supina Adi atas segala bantuan berupa bahan bacaan tentang metode analisis dan kesempatan berdiskusi. Kepada Puji Dwi Handayani (Badan Pusat Statistik, Jakarta) Redma Gita Wirawasta, Asep Setiaharja, S.Si, MM dan Suci Widyaningsih (Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jakarta) yang sangat membantu dalam mendapatkan data, bahan bacaan, dan juga diskusi tentang TPT Indonesia. Kepada teman-teman peserta S2 dan S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian tahun 2004 dan 2005, dan kepada Mbak Santi, Ruby dan Yani atas bantuan dan kerja samanya.
(8)
Terima kasih teristimewa penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak-kakak (Yuhin Wahyudi dan Fifi Kurniawati), dan adik-adik (Lili Farida dan Titik Firawati) atas doa dan dukungannya selama penulis menempuh program S2 di IPB.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan industri TPT Indonesia.
Bogor, Januari 2008
(9)
Halaman
DAFTAR TABEL ………... iv
DAFTAR GAMBAR ………. vii
DAFTAR LAMPIRAN ………... viii
I. PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 1 5 7 7 II. INDUSTRI TPT GLOBAL DAN INDONESIA ... 9
2.1. Sejarah dan Pengertian Industri TPT...………... 2.2. Industri TPT Indonesia ...………... 2.3. Kebijakan Perdagangan TPT ...……... 9 11 17 2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia ...…….…….……….. 2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Domestik ... 17 23 III. TINJAUAN PUSTAKA ... 28
3.1. Tinjuan Penelitian TPT Indonesia ... 3.2. Tinjauan Penelitian TPT Dunia ………... 28 31 IV. KERANGKA ANALISIS ... 34
4.1. Kerangka Teoritis ... 4.1.1. Daya Saing Ekspor ... 4.1.2. Permintaan dan Penawaran ... 4.2. Metode Analisis ... 4.2.1. Constant Market Share Model ... 4.2.2. Model Ekonomi TPT Indonesia ... 34 34 38 50 51 52 4.3. Sumber dan Jenis Data ... 75
V. ANALISIS PERUBAHAN EKSPOR TPT INDONESIA ... 77 5.1. Perubahan Nilai Ekspor TPT Negara Produsen ...
5.1.1. Periode Tahun 1995-2005 ... 77 77
(10)
5.1.2. Periode Tahun 1995-1997 ... 5.1.3. Periode Tahun 1998-2000 ... 5.1.4. Periode Tahun 2001-2004 ... 5.2. Diskusi dan Implikasi dari Analisis Perubahan Ekspor
TPT Indonesia ... 82 87 90
94 VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN
INDUSTRI TPT INDONESIA ... 103
6.1. Kinerja Umum Hasil Pendugaan Model
Industri TPT Indonesia ... 6.2. Keragaan Pasar Tekstil Indonesia ... 6.2.1. Produksi Tekstil Domestik ... 6.2.2. Ekspor Tekstil Indonesia ... 6.2.3. Penawaran Tekstil Domestik ... 6.2.4. Harga Tekstil Domestik ... 6.2.5. Permintaan Tekstil Domestik ... 6.2.6. Impor Tekstil Indonesia ... 6.3. Keragaan Pasar Tekstil Dunia ... 6.3.1. Total Ekspor Tekstil Dunia ... 6.3.2. Total Impor Tekstil Dunia ... 6.3.3. Harga Tekstil Dunia ... 6.3.4. Ekspor Tekstil Jerman ... 6.3.5. Ekspor Tekstil Amerika Serikat ... 6.3.6. Ekspor Tekstil China ... 6.3.7. Impor Tekstil Italia ... 6.3.8. Impor Tekstil Amerika Serikat ... 6.3.9. Impor Tekstil China ... 6.4. Keragaan Pasar Garmen Indonesia ... 6.4.1. Produksi Garmen Domestik ... 6.4.2. Ekspor Garmen Indonesia ...
103 104 104 109 111 112 113 116 118 118 118 119 121 122 123 125 126 127 129 129 131 ii
(11)
6.4.5. Permintaan Garmen Domestik ... 6.4.6. Impor Garmen Indonesia ... 6.5. Keragaan Pasar Garmen Dunia ...
6.5.1. Total Ekspor Garmen Dunia ... 6.5.2. Total Impor Garmen Dunia ... 6.5.3. Harga Garmen Dunia ... 6.5.4. Ekspor Garmen Jerman ... 6.5.5. Ekspor Garmen China ... 6.5.6. Ekspor Garmen Turki ... 6.5.7. Impor Garmen Jerman ... 6.5.8. Impor Garmen Amerika Serikat ... 6.5.9. Impor Garmen Jepang ... 6.6. Diskusi dan Implikasi dari Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Industri TPT Indonesia ...
136 137 140 140 140 141 142 144 146 148 149 151 152 VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN
ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 156
7.1. Validasi Model Ekonomi Industri TPT Indonesia ... 7.2. Hasil Peramalan Perkembangan Industri TPT Indonesia
Tahun 2007-2010 ... 7.2.1. Penurunan Suku Bunga Riil Bank Sebesar 5 Persen ... 7.2.2. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah/USD Sebesar 15 Persen 7.2.3. Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen ... 7.2.4. Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen, Masing-Masing Sebesar 14.5 Persen dan 15 Persen ... 7.2.5. Penurunan Tarif Impor Tekstil dan Garmen Hingga 0 Persen ... 7.2.6. Penurunan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen
156
159 159 160 161
161
162 163
(12)
7.2.7. Kenaikan GDP Riil Indonesia Sebesar 8 Persen, dan Pertumbuhan Populasi Indonesia Naik Sebesar
1.1 Persen ………….………
7.2.8. Kenaikan GDP Riil Amerika Serikat Sebesar
3.1 Persen dan GDP Riil China Sebesar 8.5 Persen ... 7.2.9. Kombinasi Kebijakan Penurunan Suku Bunga Riil Bank
Sebesar 5 Persen Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen, Masing-Masing Sebesar 14.5 Persen dan 15 Persen………. 7.2.10. Kombinasi Kebijakan Depresiasi Nilai Tukar Rupiah/USD Sebesar 15 Persen dan Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen ……… 7.2.11. Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen dan
Penurunan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen 7.2.12. Kombinasi Kebijakan Mendepresiasi Nilai Tukar
Rupiah/USD Sebesar 15 Persen, Menurunkan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen, dan Menurunkan Tarif Impor Tekstil dan Garmen hingga Nol Persen ... 7.2.13. Kombinasi Kebijakan Mendepresiasi Nilai Tukar
Rupiah/USD Sebesar 15 Persen, Kenaikan GDP Riil Indonesia Sebesar 8 Persen, Pertumbuhan Populasi Indonesia Sebesar 1.12 Persen, dan Penurunan Tarif Impor Tekstil dan Garmen hingga Nol Persen ... 7.3. Diskusi dan Implikasi dari Simulasi Peramalan Perkembangan Industri TPT Indonesia Tahun 2007-2010 ...
163
164
165
166
167
168
168
169
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 173
8.1. Simpulan ... 8.2. Implikasi Kebijakan ... 8.3. Penelitian Lanjutan ...
173 176 177
DAFTAR PUSTAKA ... 178
LAMPIRAN ... 184
(13)
Nomor Halaman
1. Negara-Negara Pengekspor TPT di Kawasan ASEAN Tahun
2003 ... 4
2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia ... 16
3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan
GATT Selama 10 Tahun ... 20
4. Jenis, Sumber Data, dan Metode Analisis yang Digunakan
dalam Penelitian ... 75
5. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-2005 ... 78
6. Pemenuhan Kuota Tahun 2002 ... 81
7. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-1997 ... 83
8. Pangsa Pasar TPT Indonesia, India, China, dan Italia
Berdasarkan Jenis Produk Tahun 1995-2005 ... 85
9. Pangsa Pasar TPT Indonesia Berdasarkan SITC Digit 3 Tahun
1995-1997 ... 85
10. Pangsa Pasar TPT India Berdasarkan SITC Digit 3 Tahun
1995-1997 ... 86
11. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1998-2000 ……….... 88
12. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 2001-2004 ……….... 91
13. Pangsa Pasar Pra dan Post Safeguard Garmen di Pasar
Amerika Serikat Tahun 2005 ... 96
14. Perkembangan Daya Saing TPT Indonesia Tahun 1995-2005 97
15. Produksi, Ekspor, dan Impor Kapas Tahun 2003/2004 …………. 99
16. Tingkat Tarif pada Tekstil dan Garmen ………....…... 100
17. Upah Tenaga Kerja di Industri TPT Tahun 2002 ... 101
18. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Tekstil Domestik (PTD) ... 105
19. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Indonesia (XTI) ... 110
20. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Tekstil Domestik (HTDR) ... 112
21. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Tekstil Domestik (DTD) ... 113
(14)
22. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil Indonesia (MTI) ... 116
23. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Tekstil Dunia (HTWR) ... 119
24. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Jerman (XTG) ... 121
25. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Amerika Serikat (XTA) ... 122
26. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil China (XTC) ... 124
27. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil Italia (MTL) ... 125
28. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil Amerika Serikat (MTA) ... 126
29. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil China (MTC) ... 128
30. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Garmen Domestik (PGD) ... 129
31. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Indonesia (XGI) ... 132
32. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Garmen Domestik (HGDR) ... 134
33. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Garmen Domestik (DGD) ... 136
34. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Indonesia (MGI) ... 138
35. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Garmen Dunia (HGWR) ... 141
36. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Jerman (XGG) ... 142
37. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen China (XGC) ... 144
38. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Turki (XGT) ... 146
39. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Jerman (MGG) ... 148
40. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Amerika Serikat (MTA) ... 150
41. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Jepang (MGJ) ... 151
42. Hasil Pendugaan Validasi Model Industri TPT Indonesia di
Pasar Domestik dan Dunia ... 157
(15)
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas Indonesia
Tahun 1993-2006 ... 1
2. Impor TPT di Pasar Amerika Serikat Tahun 2005 ... 2
3. Impor TPT di Pasar Uni Eropa Tahun 2005 ... 3
4. Global Value Chain Industri TPT ... 10
5. Lokasi Industri TPT di Indonesia ... 15
6. Keterkaitan Antar Blok Dalam Perdagangan TPT di Pasar Indonesia dan Dunia ... 53
7. Diagram Model Ekonomi TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia ... ...…... 55
8. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-2005 ... 80
9. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-1997 ... 86
10. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1998-2000 ... 89
11. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 2001-2004 ... 93
12. Impor Kapas Indonesia dan Harga Kapas Dunia Tahun 1981-2006 ... 97
13. Produksi, Konsumsi, Impor, dan Ekspor Kapas Indonesia Tahun 1981-2006 ... 107
14. Jumlah Tenaga Kerja di Industri TPT Indonesia Tahun 2005 ... 130
(17)
Nomor Halaman
1. Klasifikasi Industri TPT Menurut Harmonized System ..... 183
2. Klasifikasi Komoditas TPT Berdasarkan Standart International
Trade Classification ... 184
3. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model Constant Market
Share TPT Indonesia ... 185
4. Pohon Industri TPT Indonesia Tahun 2000 ... 186
5. Program dan Hasil Pendugaan Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 187
6. Program dan Hasil Validasi Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 202
7. Program dan Hasil Peramalan Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 209
8. Data Penelitian Model Ekonomi Perkembangan Industri TPT
Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia ... 216
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa ekspor hasil industri pengolahan. Sedangkan pangsanya terhadap ekspor non migas sebesar 16.66 persen, meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Industri TPT tetap mampu menghasilkan devisa sebesar 9.52 miliar USD pada tahun 2006, meningkat tajam dari hanya 559 juta USD pada tahun 1985 (Gambar 1).
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Ju
ta
U
S
D
TPT Kayu Olahan Karet Olahan Alat-Alat Listrik Kertas dan Produk Kertas
Gambar 1. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas Indonesia Tahun 1993-2006
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1993-2006.
Selain mempunyai kontribusi yang besar di dalam PDB dan perolehan devisa, industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Pangsa tenaga kerja industri TPT terhadap industri pengolahan mencapai rata-rata 10 persen per tahun. Pada tahun 2004 lebih dari 1.18 juta orang bekerja di industri TPT atau 1.26 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia. Secara total, sebanyak 3.50 juta orang bekerja baik langsung maupun tidak langsung dalam sektor ini (Wu, 2005).
(19)
Posisi perdagangan TPT Indonesia di dunia cukup diperhitungkan. Indonesia merupakan salah satu produsen TPT terbesar di dunia. Pada tahun 2000, ekspor TPT Indonesia mencapai rekor sebesar 8.20 miliar USD dengan menduduki peringkat ke 10 di antara negara produsen utama TPT dunia. Tahun 2003, ekspor TPT Indonesia hanya mencapai 7.05 miliar USD, sehingga posisi
peringkatnya menurun menjadi ke 17. Namun pada tahun 2004, sektor ini
mampu meningkatkan perolehan devisa sebesar 7.60 miliar USD. Secara keseluruhan pangsa ekspor Indonesia sebesar 2.30 persen dari total pasar dunia atau 452.83 milar USD.
Pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang adalah pasar utama tujuan ekspor bagi negara pengekspor TPT. Pada tahun 2005, negara-negara seperti Afrika, Mexico, dan Uni Eropa memiliki nilai ekspor kurang dari 10 miliar USD di pasar Amerika Serikat. Sedangkan pangsa pasar Indonesia di pasar Amerika Serikat sebesar 3.31 persen atau 3.4 miliar USD (Gambar 2).
Gambar 2. Impor TPT di Pasar Amerika Serikat Tahun 2005
27.70 9.60
9.40 8.10 5.80 5.40 3.50 3.40 3.20 3.00
0 5 10. 15. 2 2
P
.00 .00 00 00 0.00 5.00 30.00
China CAFTA a Asia Timur b Mexico Uni Eropa India Kanada Indonesia Pakistan Viet Nam
M
ili
a
r U
S
D
ersentase
Keterangan : a : Costa Rica, Republik Dominika, El savador, Guatemala, Honduras, dan Nicaragua.
b : Hong Kong, China, Republik Korea, Macao, dan Taiwan. Sumber : International Trade Statistics 2005 dalam WTO, 2006.
(20)
3
India, Rumania, Bangladesh, dan negara-negara di Asia Timur memperoleh bagian nilai ekspor untuk pasar Uni Eropa tidak lebih dari 6 miliar USD. Sedangkan Turki yang secara geografis wilayahnya berdekatan dengan Uni Eropa, mampu meningkatkan ekspor TPT-nya hingga 11.5 miliar USD. Sementara itu, ekspor TPT Indonesia di pasar Uni Eropa hanya sebesar 1.7 miliar USD (Gambar 3).
24.20 11.50
5.90 4.20 3.80 3.50 2.80 2.50 2.30 1.70
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00
China Turki India Rumania Bangladesh Asia Timur (4) a Tunisia roko Pakistan Indonesia
M
ilia
r U
S
D
Persentase Ma
Gambar 3. Impor TPT di Pasar Uni Eropa Tahun 2005
Keterangan : a : Hong Kong, China, Republik Korea, Macao, dan Taiwan. Sumber : Eurostat, 2005 dalam WTO, 2006.
Di kawasan Asia Tenggara, pada tahun 2003 nilai ekspor TPT Indonesia mencapai 7 051 juta USD (Tabel 1). Lebih dari 29 persen TPT Indonesia diekspor ke pasar Amerika Serikat, sebanyak 22.5 persen ke pasar Uni Eropa, dan sisanya ke negara-negara lain. Thailand, di samping Singapura, Pilipina, Malaysia, dan Kamboja, menjadi salah satu negara kompetitor TPT Indonesia di pasar Amerika dan juga Uni Eropa.
(21)
Tabel 1. Negara-Negara Pengekspor TPT di Kawasan ASEAN Tahun 2003
Tujuan Ekspor No. Negara 2000 (Juta Jiwa) Populasi Tahun Nilai Ekspor (Juta USD) Uni Eropa
(Juta USD)
USA (Juta USD)
1. Indonesia 222.3 7 051 1 592 2 047
2. Thailand 62.9 5 538 1 027 1 889
3. Singapura 3.6 2 506 617 943
4. Pilipina 40.5 2 500 298 1 764
5. Malaysia 22 2 178 357 688
Sumber: ASEAN Secretary dalam API, 2005.
Permintaan hasil produksi TPT akan cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, sehingga potensi pasar TPT domestik cukup besar. Hal ini didasarkan pada tingkat populasi yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa dan membaiknya tingkat pendapatan masyarakat. Besarnya pasar TPT Indonesia, yang ditunjukkan oleh oleh tingkat konsumsi serat tekstil Indonesia, dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1995 dengan jumlah penduduk 198.50 juta jiwa, total konsumsi serat mencapai 1.60 juta ton, dan 831 ribu ton di antaranya merupakan konsumsi lokal, atau setiap penduduk membutuhkan 4.20 kg. Angka tersebut terus naik dan pada tahun 2000 dengan total 211.50 juta jiwa, total konsumsi serat Indonesia sebanyak 2.03 juta ton atau 1 044 ribu ton merupakan konsumsi domestik atau rata-rata per penduduk 4.90 kg. Dalam jangka panjang, tingkat konsumsi serat tekstil Indonesia akan terus meningkat. Menurut perkiraan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), tingkat pertumbuhan konsumsi serat tekstil Indonesia berkisar 3.50 persen per tahun.
Konsumsi tekstil atau kain masyarakat perkotaan tidak hanya berupa pakaian, namun juga untuk non pakaian. Diperkirakan 40 persen penduduk perkotaan Indonesia rata-rata membutuhkan tujuh meter kain untuk kebutuhan non pakaian. Hal ini berarti ada 84.40 juta orang mengkonsumsi kain untuk kebutuhan non pakaian. Apabila harga kain Rp. 7 000 per meter, maka potensi pasar dalam negeri diperkirakan mencapai Rp. 4.14 triliun untuk konsumsi kain non pakaian saja. Dengan perkiraan konsumsi kain untuk pakaian dalam negeri
(22)
5
mencapai Rp. 4.48 triliun, sehingga total nilai konsumsi kain secara keseluruhan mencapai Rp. 8.50 triliun (Kompas, 2003 dalam Yastuti, 2004).
Selain dari pertumbuhan penduduk dalam negeri, permintaan tekstil dan garmen berpeluang meningkat dengan dibukanya sistem kuota di negara-negara pengimpor. Kesepakatan Putaran Uruguay tanggal 15 April 1994 di Marakesh
yang menghasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) dan menetapkan
sistem kuota impor, pada tanggal 1 Januari 2005 telah dicabut untuk disesuaikan
dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Perubahan
ini akan berdampak positif bagi perkembangan industri TPT dengan perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT dunia.
Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT
semakin besar yang berarti peluang untuk pengembangan industri TPT Indonesia juga semakin besar.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam lima tahun terakhir, perkembangan industri TPT Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun. Laju pertumbuhan industri TPT Indonesia terhadap PDB turun dari 3.25 persen pada tahun 2001 menjadi 2.98 persen pada tahun 2006. Bahkan pangsa ekspor TPT terhadap total ekspor hasil industri juga menurun sebesar 20.38 persen pada tahun 2001 menjadi 14.64 persen pada tahun 2006.
Rendahnya pertumbuhan ini ditunjukkan pula oleh kapasitas produksi TPT yang hanya mencapai 70 persen dari kapasitas terpasang. Pada tahun 2002-2003, Kabupaten Bandung (Jawa Barat) sebagai salah satu daerah penyangga utama produk tekstil dan alas kaki untuk memenuhi pasar domestik dan ekspor, ternyata lebih dari 100 pabrik menutup usahanya. Industri garmen sebagai salah satu sub sektor TPT yang paling banyak menyerap tenaga kerja
(23)
(29.4 persen), juga mengalami penurunan produksi hingga 29.2 persen atau setara dengan 116.9 ton. Penurunan produksi industri TPT juga antara lain terkait dengan kenaikan biaya-biaya produksi (bahan bakar minyak (BBM), tarif
daftar listrik, tingkat upah, import duty).
Sementara itu, perubahan perdagangan TPT dunia akan menimbulkan peluang dan sekaligus ancaman bagi industri TPT Indonesia. Peluang yang muncul adalah pangsa pasar negara-negara yang selama ini telindungi oleh sistem kuota akan menjadi terbuka. Sedangkan ancaman yang patut diperhitungkan industri TPT Indonesia adalah kompetisi yang ketat dari negara-negara eksportir TPT di dunia, seperti China, India, Bangladesh, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Di samping persaingan terbuka, penghapusan sistem kuota TPT juga mengubah peta pasar. Peritel atau pembeli besar di negara maju meskipun meningkatkan volume pembelian dari tahun ke tahun, tetapi juga mengurangi jumlah pemasoknya demi efisiensi dan risiko waktu pengantaran. Diperkirakan
sampai dengan tahun 2010 jumlah pemasok TPT dunia tinggal 25 negara dari
150 negara (Inggi, 2004). Isu-isu non tarrif barrier, seperti transshipment dan
dumping juga ikut mempengaruhi arus penetrasi perdagangan TPT dari
negara-negara berkembang ke negara-negara-negara-negara maju. Begitu pula dengan pemberlakuan
safeguard maupun embargo oleh suatu negara dapat mengubah orientasi penetrasi pasar negara tersebut.
Dengan kondisi demikian, menarik untuk dikaji bagaimana posisi dan daya saing TPT Indonesia di pasar dunia, bagaimana perkembangan industri TPT dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta bagaimana prospek perkembangan industri TPT Indonesia.
(24)
7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis perkembangan dan prospek industri TPT Indonesia di pasar dunia. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian ini adalah,
1. Mengidentifikasi posisi dan daya saing ekspor TPT Indonesia di antara negara-negara pesaingnya.
2. Menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia dan keterkaitannya dengan pasar TPT dunia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan-kebijakan dalam mendukung perkembangan industri TPT Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini perkembangan kapas di dalam negeri, sebagai bahan baku utama industri TPT, tidak diperhitungkan di dalam model. Selain itu, struktur biaya yang digunakan dalam model CMS dan model ekonomi adalah biaya di tingkat industri yang terwakili oleh harga, permintaan, dan penawaran terhadap seluruh produk, baik sebagai input produksi maupun sebagai output pada pasar. Output industri tekstil berupa serat, benang dan kain, dianggap homogen dan pada tahap selanjutnya digunakan sebagai input industri garmen.
Data yang digunakan dalam model CMS dan data dalam model ekonomi diambil dari sumber dan satuan yang berbeda, walaupun sumber utama data (data main source) adalah United Nations (UN). Data harga tekstil dan garmen Indonesia, serta dunia yang digunakan bersifat umum, tidak didisagregasikan
(25)
berdasarkan jenis produk. Harga tekstil dan garmen dunia merupakan harga rata-rata dari beberapa negara produsen TPT dunia.
Selain itu semua data TPT yang digunakan adalah TPT legal dan tercatat di dalam sumber data resmi, sehingga TPT selundupan tidak termasuk dalam penelitian ini. Sedangkan TPT bekas, khususnya impor garmen bekas, dimasukkan dalam model ekonomi sebagai peubah eksogen.
(26)
II. INDUSTRI TPT GLOBAL DAN INDONESIA
2.1. Sejarah dan Pengertian Industri TPT
Industri tekstil merupakan salah satu industri tertua di dunia. Tekstil tertua ditemukan pertama kali berupa potongan pakaian dari linen di gua orang Mesir pada 5000 sebelum Masehi. Pada awal tahun 1500an sistem pabrik dibangun untuk pertama kalinya, meskipun masih berskala rumah tangga dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pada abad 18 terjadi revolusi industri di Inggris, dimana mesin pemintalan dan penenunan ditemukan. Tahun 1769 mesin pemintalan Richard Arkwright yang menggunakan gulungan dengan kecepatan yang tidak tetap dipatenkan dan tenaga air telah menggantikan tenaga manual. Pada abad 19 serat buatan telah berkembang (rayon pertama kali diproduksi
pada tahun 1910), namun demikian serat alami (wool, kapas, sutera, dan linen)
masih digunakan pula secara luas hingga sekarang. Oleh karena harga serat alami lebih mahal, penggunaannya dicampur dalam pembuatan polyester
sebagai serat sintetik (Environmental Protection Agency, 1997).
Industri TPT mengalami beberapa migrasi produksi sejak tahun 1950an dan semuanya melibatkan Asia. Hal ini menunjukkan peran yang sangat penting negara-negara Asia dalam perkembangan industri TPT di dunia. Pertama kali migrasi produksi terjadi dari negara di Amerika Utara dan Eropa Barat ke Jepang. Impor TPT Jepang di negara-negara barat mendominasi pada era 1950an dan 1960an. Perubahan yang kedua terjadi dari Jepang ke Hong Kong, Taiwan, dan Korea, dimana negara-negara tersebut mendominasi ekspor tekstil dan garmen dunia pada tahun 1970an dan awal 1980an. Pada akhir tahun 1980an dan
1990an terjadi migrasi ketiga, yaitu dari Asianbig three (Taiwan, Hong Kong, dan
Korea) ke negara berkembang lainnya, termasuk ke daratan China dan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Philippina, dan Sri
(27)
Lanka. Pada tahun 1990an supplier baru terus bermunculan di Asia Selatan dan Amerika Latin.
Secara umum industri tekstil dan garmen memiliki karakteristik yang melibatkan beragam tahapan dan keterkaitan antara tahapan tersebut. Oleh
sebab itu rantai supply TPT dapat dibagi menjadi lima bagian utama yang
terintegrasi, yaitu: (1) jaringan material bahan baku yang meliputi serat alam dan sintetis, (2) jaringan komponen, seperti benang dan kain oleh perusahaan tekstil, (3) jaringan produksi atau perusahaan garmen, (4) jaringan perdagangan, dan (5)
jaringan pemasaran di tingkat pedagang eceran atau retail (Gambar 4).
Serat Alam (Kapas, Wool, Sutera)
Serat Sintetis (Minyak, Gas Alam)
Benang (Pemintalan) Petrochemicals Kain (Penenunan, Perajutan, Penyelesaian Akhir)
Perusahaan Garmen USA (Pembuatan Desain, Pemotongan, Penjahitan,
Pemasangan Kancing, Penyetrikaan) Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Mexico/Karibia
Kontraktor Garmen Asia
Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Luar Negeri
Perusahaan Pakaian dengan Nama Merk
Tertentu Jasa-Jasa Pembelian Luar negeri Perusahaan Perdagangan Departement Store Specialty Store Rantai Barang-Barang Masal Discount Chains
Off Price, Factory Outlet, Pemesanan via Surat, dan
Lain-Lainnya Serat Sintetik
Jaringan Bahan Baku Jaringan Komponen Jaringan Produksi Jaringan Ekspor Jaringan Pemasaran Industri Tekstil Industri Garmen
Semua Retail Outlet
Retail Outlets
Amerika Utara
Asia
Semua Retail Outlet
Sektor Hulu Sektor Menengah Sektor Hilir
Gambar 4. Global Value Chain Industri TPT
Sumber: Organization for Economic Co-operation and Develpoment, 2004.
Secara umum tekstil adalah bahan pakaian atau kain. Tekstil tidak hanya dapat digunakan untuk pakaian, tapi juga untuk kebutuhan non pakaian, seperti kain korden, taplak meja, tas, parasut, kain layar, jok mobil atau kap mobil, ban pipa atau selang untuk minyak dan pemadam kebakaran, dan lain-lainnya.
(28)
11
Tekstil berasal dari bahasa Latin, yaitu textiles yang berarti menenun atau
kain tenun. Tekstil berarti pula: (1) Suatu benda yang dibuat dari benang, kemudian dijadikan kain sebagai bahan pakaian, (2) Suatu benda yang berasal dari serat atau benang yang dianyam (ditenun) atau dirajut, direnda, dilapis, dikempa untuk dijadikan bahan pakaian atau untuk keperluan yang lainnya (Gunadi dalam Djafrie, 2003).
Dengan proses dan petahapan seperti itu, pengklasifikasian TPT dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan TPT itu sendiri, sehingga menimbulkan cara pengklasifikasian. Pada saat ini terdapat dua jenis klasifikasi TPT, yaitu
klasifikasi berdasarkan proses produk atau industri (Harmonized System)
(Lampiran 1) dan berdasarkan jenis komoditas perdagangan (Standart
International Trade Classification) (Lampiran 2).
2.2. Industri TPT Indonesia
Pada awal pemerintahan Orde Baru, kegiatan industri TPT terbatas pada penenunan dan pemintalan dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Tujuan produksinya masih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan produk tekstil yang dihasilkan masih sangat sederhana, karena sebagian besar berbentuk kain. Perkembangan industri TPT ini berkaitan dengan strategi pengembangan industrialisasi nasional yang berorientasi pada substitusi impor, yang distimulasi pula dengan penjatahan kain mori dan benang. Proses pendalaman struktur industri tekstil terjadi pada pertengahan tahun 1970an, saat para pengusaha tekstil terjun dalam pembuatan serat sintetik dan mulai melakukan ekspor.Klasifikasi industri TPT yang digunakan Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Sektor hulu (upstream) adalah industri pembuat serat, yaitu serat tekstil,
(29)
merupakan sektor yang sarat dengan teknologi tinggi dengan peralatan yang serba otomatis.
a. Serat alam (nature fiber)
Tanpa memperdebatkan pengaruh iklim dan skala ekonomi dalam mengembangkan industri serat alami kapas, Indonesia belum mampu menghasilkan serat alam kapas sebagai bahan industri TPT yang mampu bersaing dengan negara lain, seperti Australia, China, Pakistan, dan India (di luar Amerika Serikat). Berbeda dengan serat buatan, serat nabati sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia. Sedangkan serat hewani, kecuali sutera, sulit dikembangkan karena iklim yang tidak
mendukung. Serat haramay adalah jenis serat yang berpeluang besar.
Masalah degumming (pembersihan getah dari serat), belum adanya
sorting dan grading pada hasil tanaman haramay, membuat industri pemintalan jarang menggunakannya (Istojo, 2002).
b. Serat buatan (man made fiber), contohnya serat sintetik
Indonesia termasuk pemasok terbesar serat polyester dan pemegang
kuota untuk serat polyester di Eropa. Selain itu serat selulosa juga
berkembang pesat di Indonesia. Bahan jadi serat ini tidak dikembangkan untuk tujuan ekspor karena sifatnya lebih mendekati kapas atau lebih sesuai untuk daerah tropis.
2. Sektor menengah (midstream) terdiri dari industri pemintalan (spinning),
pertenunan (weaving), dan pencelupan atau penyempurnaan
(dyeing/finishing). Sektor ini bersifat padat modal dan teknologi yang digunakan telah berkembang pesat serta sangat tergantung pada perubahan teknologi di luar teknologi tekstil. Meskipun demikian sektor menengah menyerap tenaga kerja yang lebih besar dari sektor hulu, terutama pada sub
(30)
13
dalam mengikuti fashion trend. Di Indonesia industri pertenunan atau
perajutan merupakan industri besar, sedangkan di negara maju justru
menjadi industri kecil yang menerima job order dari industri besar. Industri
pemintalan Indonesia rata-rata menempati posisi lemah untuk produk benang kapas kasar (Ne 30 ke bawah) dan halus (Ne 60 ke atas). Produk benang kapas ukuran menengah (Ne 30-60) dan serat campuran sangat disegani, sehingga industri pertenunan bersikap selektif dalam pembelian bahan baku. Misalkan untuk pembelian benang kapas kelas tinggi diimpor dari China, untuk kelas menengah dibeli dari dalam negeri dan untuk kelas kasar diimpor dari India dan Pakistan. Dengan cara ini maka diperoleh komposisi bahan setengah jadi dengan harga yang paling rendah.
Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kain weaving grey dengan
kapasitas produksi yang cukup besar. Dalam peta konsumsi serat dunia,
industri weaving mengkonsumsi sekitar 51 persen dari total serat yang
dikonsumsi dunia. Industri finishing dan printing merupakan titik terlemah
industri TPT Indonesia, baik dalam total kapasitas maupun variasi kapasitas
mesin (Istojo, 2002). Finishing yang ada umumnya ditujukan untuk pemutihan
(bleaching) secara masal dan hanya untuk produk buatan sendiri, meskipun kemampuan ini seharusnya dapat digunakan untuk menyempurnakan produk
pesanan. Proses finishing tidak berkembang karena tingginya royalty dan
licensed fee. Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menguntungkan
mengekspor lembaran grey (yang belum diputihkan) dan mengimpor lagi
setelah di-printing. Berbeda dengan industri pemintalan, industri finishing dan
printing berkembang lebih lambat karena kurang berkembangnya teknologi yang digunakan.
3. Sektor hilir (downstream) meliputi industri pakaian jadi (garment) atau
(31)
modal kerja yang besar. Industri garmen membutuhkan keputusan yang kompleks dalam memperkirakan input dan outputnya. Adapun yang membuat berbeda dengan industri lainnya adalah industri garmen adalah padat karya, selama ini sistem komputerisasi tidak dapat menggantikan keahlian tenaga kerja. Menjahit adalah contoh utama dimana proses ini tidak dapat
diotomatiskan. Diperlukan kekompakan dan kecepatan team, karena
fleksibilitas yang tinggi dalam melayani konsumen akhir yang sangat variatif. Segmen pasar dunia saat ini dikuasai oleh negara maju, misalnya Perancis
dan Italia untuk tekstil halus, sedangkan untuk tekstil kasar oleh China. Oleh
sebab itu Indonesia berusaha untuk memasuki kelas antara keduanya. Tujuan pasar utamanya adalah negara berkembang yang tinggi tingkat perekonomiannya.
Struktur industri TPT Indonesia terdiri dari banyak pemain dan terdapat persaingan yang sangat ketat antar perusahaan dalam industri. Hal ini terlihat dari volatilitas peringkat pencapaian laba bersih perusahaan yang sangat tinggi (Wibowo, 2000). Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, jumlah perusahaan dalam industri TPT sekitar 88 pada tahun 1987 menjadi 2 000 perusahaan pada tahun 1992 serta mencapai 2 654 perusahaan pada tahun 2003. Dari jumlah tersebut 28 perusahaan di antaranya adalah produsen serat, 204 produsen benang, 1 043 produsen kain, 855 produsen garmen, dan 524 lainnya adalah produsen produk-produk tekstil. Pada tahun 2005, terdapat 1 799 perusahaan dalam industri TPT. Banyaknya pemain menunjukkan bahwa industri TPT masih memberikan insentif ekonomi yang menarik. Namun demikian faktor perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US$ sangat mempengaruhi profitabilitas, sehingga ketergantungan industri TPT terhadap pemasok menjadi tinggi. Perlu diketahui bahwa bahan baku berupa kapas sebagian besar masih diimpor dan
(32)
15
Kebutuhan kapas tidak dapat dipenuhi di dalam negeri karena dua faktor, yaitu rendahnya nilai ekonomi tanaman kapas dan iklim yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman kapas. Adapun skala usaha yang mendominasi pada industri TPT adalah industri besar (89.71 persen) dengan jumlah tenaga kerja mencapai 100 hingga 13 000 orang, sedangkan yang kedua adalah industri menengah (8.43 persen), dan yang terakhir industri kecil (1.86 persen). Berdasarkan distribusi geografis (Gambar 5), 90 persen industri TPT Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat.
Gambar 5. Lokasi Industri TPT di Indonesia
Sumber: Departemen Perindustrian dalam Bank Indonesia, 2006.
Industri TPT mempunyai karakteristik fundamental yang melibatkan aktivitas besar, sehingga banyak menggunakan kombinasi antara tenaga kerja dan modal. Produksi tekstil memerlukan kebutuhan modal yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan akan tenaga kerja. Sistem produksi tekstil banyak dilakukan secara mekanik dan terintegrasi. Oleh sebab itu pemasangan mesin sebagai kapasitas terpasang di sektor industri tekstil sangat sarat dengan modal dan cenderung kurang fleksibel dalam menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pada tahun 2005, penggunaan kapasitas terpasang industri tekstil rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan industri garmen rata-rata mencapai 80 persen.
(33)
Menurut PT. Sucofindo, 57 persen mesin-mesin perusahaan TPT di Indonesia telah berumur 15 tahun, 18 persen di antaranya berumur 10-15 tahun, 18 persen berumur 5-10 tahun, dan 7 persen berumur di bawah 5 tahun (Tabel 2). Terdapat lebih dari 4 100 perusahaan tekstil, sebanyak 774 perusahaan di antaranya membutuhkan pergantian mesin-mesin yang telah usang. Keadaan mesin pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan memproduksi TPT. Tabel 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia Tahun 2004
No. Sub Sektor Umur (tahun) Jumlah (unit)
< 5 629 < 10 4 490 < 20 4 014 < 30 1 568 1. Pemintalan (Spinning)
30 + 1 587 < 5 1 152 < 10 8 134 < 20 8 437 < 30 3 350 2. Penenunan (Weaving)
30 + 1 267 < 5 827 < 10 3 246 < 20 690 < 30 888
3. Printing, Dying, Finishing
30 + 828
< 5 204 209 < 10 160 320 < 20 31 140 4. Pakaian Jadi(Garment)
< 30 857
Sumber: Sucofindo diolah dalam Indocommercial, 2004.
Sejak enam tahun silam Thailand, Pakistan, Turki, China, dan Korea telah melakukan modernisasi di sektor industri pemintalan dan penenunan. Dibandingkan dengan negara-negara tersebut, produktivitas industri pemintala dan penenunan Indonesia sangat rendah (Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2005). Oleh sebab itu peremajaan dan modernisasi permesinan akan menjadi kunci penting TPT Indonesia dalam persaingan dengan TPT dunia.
Perkembangan industri TPT tahun 1980-2005 berdasarkan sub sektor, ekspor TPT Indonesia didominasi oleh sub sektor garmen (52.58 persen), kain (27.17 persen), benang (13.16 persen), tekstil lainnya (4.51 persen), dan serat
(34)
17
(2.58 persen). Komposisi nilai ekspor sub sektor serat yang relatif kecil disebabkan sebagian besar output industri ini digunakan sebagai input industri berikutnya di dalam negeri. Sedangkan garmen merupakan produk yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir dan mempunyai pangsa ekpor yang besar ke negara Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada tahun 1950an dan 1960an, industri TPT lebih banyak berstatus Badan Umum Milik Negara (BUMN), karena komitmen intervensi ekonomi di masa pemerintahan Soekarno menjadikan negara lebih banyak terlibat dalam produksi benang dan kain serta pengaturan impor. Akan tetapi pada tahun 2005, industri TPT banyak yang bersatus Pemilik Modal Dalam Negeri (PMDN) yaitu sebesar 54.28 persen, sedangkan perusahaan yang berstatus BUMN sebanyak 31.97 persen. Sisanya adalah perusahaan-perusahaan berstatus Pemilik Modal Asing (PMA). Kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah dan sangat mempengaruhi investasi adalah UU No. 01 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 06 tahun 1968 tentang PMDN. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peran perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola dan mengembangkan industri TPT semakin besar dibandingkan peran perusahaan pemerintah.
2.3. Kebijakan Perdagangan TPT
2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia
Proteksi TPT menjadi sejarah yang panjang di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an, Jepang, Hong Kong, China, India, dan Pakistan menyetujui secara suka rela untuk membatasi ekspor TPT dari kapas
ke pasar Amerika Serikat. Pada tahun 1960an Long Term Agreement (LTA)
dalam perdagangan internasional tekstil kapas ditandatangani dengan bantuan GATT. LTA melakukan beberapa negosiasi hingga akhirnya digantikan dengan Multi Fiber Arrangement (MFA) pada tahun 1974.
(35)
A. Multi Fiber Arrangement Tahun 1974-1994
Dari tahun 1974 sampai akhir Putaran Uruguay, perdagangan TPT diatur dalam kerangka MFA, yaitu suatu kerangka perjanjian yang bersifat sepihak (bilateral atau unilateral) untuk menetapkan kuota dalam membatasi impor (jumlah) ke negara-negara tertentu yang industri domestiknya sedang menghadapi masalah serius atau gangguan pasar dari impor yang meningkat
dengan cepat. Menurut Hady (2004), kuota MFAmemiliki beberapa karakteristik,
yaitu pertama kebijakan tersebut berimplikasi diskriminasi pada beberapa negara eksportir dan tidak kepada negara yang lain. Kedua, kuota dinegosiasikan secara bilateral dan tidak berlaku global, antara negara satu dengan negara lain berbeda dalam cakupan produk serta tingkat pembatasannya. Yang ketiga kuota
tersebut terlibat secara terbatas dalam ekspor, transferring rent dari negara
importir ke negara eksportir. MFA, seperti namanya, adalah mencakup
pembatasan perdagangan TPT yang meliputi wool dan serat buatan yang masih
mengandung kapas. Pada tahun 1970an, ilmu pengetahuan tentang analisis kebijakan perdagangan kuantitatif tidak berkembang dengan baik, oleh sebab itu penetapan kuota suatu negara menjadi lemah.
Ada enam negara maju yang menerapkan sistem kuota di bawah MFA, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Austria, Canada, Finlandia, dan Norwegia.
Pada 1 Januari 1995 MFA digantikan Agreement on Textiles and Clothing atau
ATC untuk menjembatani proses transisi penghapusan kuota sampai akhir.
Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan untuk
(1) melindungi hasil pertanian, (2) menjaga keseimbangan Balance of Payment,
(36)
19
B. Agreement on Textiles and Clothing Tahun 1995-2004
Agreement on Textiles and Clothing (ATC) bukan perkembangan dari MFA, namun merupakan sarana transisi ke dalam proses integrasi penuh dan dibangun berdasarkan unsur-unsur kunci sebagai berikut, yaitu
1.
Pemenuhan produk berdasarkan volume perdagangan TPT tahun 1990 danproduk yang diintegrasikan harus mencakup benang, kain, pakaian jadi, dan produk tekstil yang diolah,
2.
Suatu program pengintegrasi yang progresif untuk produk tekstil dan pakaianjadi ke dalam aturan GATTtahun 1994,
3.
Suatu proses liberalisasi untuk memperbesar kuota yang ada secaraprogresif melalui peningkatan laju pertumbuhan tahunan pada setiap tahapannya,
4.
Terdapat mekanisme safeguard khusus untuk menangani kasus-kasus baruyang berhubungan dengan ancaman serius terhadap produsen domestik sepanjang periode transisi,
5.
Menetapkan Badan Pengawas Tekstil (Textile Monitoring Body atau TMB)untuk mengawasi pelaksanaan dari persetujuan dan memastikan bahwa aturan-aturan itu dijalankan sesuai ketentuan dan
6.
Ketentuan-ketentuan lain mencakup aturan atas tindakan circumventionterhadap kuota, administrasi, perlakuan pembatasan non MFA, dan komitmen sesuai prosedur dan persetujuan WTO yang berkaitan sektor ini.
Cakupan produk yang didaftarkan dalam lampiran ATC meliputi semua
produk yang tunduk kepada MFA atau MFA-type quota sedikitnya di satu negara
pengimpor. Proses pengintegrasian (artikel 2 ATC) menetapkan anggota mengintegrasikan produk-produk yang terdaftar dalam lampiran ke dalam ketentuan-ketentuan GATT tahun 1994 sepanjang periode 10 tahun. Proses ini
(37)
diharapkan dapat dilaksanakan dalam empat tahapan dan pada akhirnya semua produk dapat terintegrasi di penghujung tahun ke 10. Tahap pertama dimulai tanggal 1 Januari 1995 dengan mengintegrasikan jenis produk tidak kurang dari 16 persen (dari total impor tahun 1990 sebagai tahun dasar) dari semua produk di dalam lampiran tersebut. Pada tahap kedua, dimulai 1 Januari 1998, tidak kurang dari 17 persen atau lebih telah terintegrasi. Tahap ketiga dimulai 1 Januari 2002, tidak kurang dari 18 persen terintegrasi. Akhirnya pada tahap keempat, 1 Januari 2005 semua produk sisanya (49 persen) dari total impor tahun 1990 terintegrasi secara penuh sesuai persetujuan (Tabel 3).
Tabel 3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan GATT Selama 10 Tahun
Tahapan
Persentase Produk yang Dikembalikan ke Dalam
Aturan GATT
Persentase Produk Per
Tahun Tahap 1,
1 Januari 1995-31 Desember 1997
16 (minimum, dasar perhitungan impor dari tahun 1994)
6.96
Tahap 2,
1 Januari 1998-31 Desember 2000 17 8.70
Tahap 3,
1 Januari 2001-31 Desember 2004 18 11.05
Tahap 4, 1 Januari 2005
Integrasi penuh ke dalam aturan GATT dan penghapusan final dari kuota yang tersisa serta sekaligus ATC berakhir
49 (maksimum) Tidak ada lagi kuota
Sumber: World Trade Organization, 2004.
Masing-masing anggota negara pengimpor memutuskan sendiri produk yang akan diintegrasikan pada masing-masing tahapan. Daftar produk yang diintegrasikan harus mengandung empat kategori produk, yaitu benang, kain, produk tekstil yang diolah dan pakaian jadi. Kecepatan pengintegrasian produk dirumuskan dalam suatu formula berdasarkan pada tingkat pertumbuhan yang ada di bawah kerangka MFA. Artikel 3 dalam ATC berkaitan dengan pembatasan
(38)
21
kuantitatif berbeda dengan yang ada di dalam MFA. Bagaimanapun pembatasan tersebut tidak dibenarkan dalam ketentuan GATT dan harus disesuaikan dengan aturan GATT atau menghapuskannya dalam jangka waktu sepuluh tahun periode transisi di bawah pengawasan TMB.
Lima puluh lima anggota memilih untuk mempertahankan hak ini dan kebanyakan dari mereka menyajikan daftar produk untuk pengintegrasian. Sembilan anggota tersebut adalah Australia, Brunei Darussalam, Chili, Kuba, Hongkong, Islandia, Macau, Selandia Baru dan Singapura memutuskan untuk
tidak mempertahankan hak dalam menggunakan mekanisme safeguard ATC.
Mereka dianggap telah terintegrasi 100 persen dari awal.
Aspek kunci ATC terdapat di dalam Artikel 6. Dimana dalam perjanjian
tersebut berhubungan dengan mekanisme transitional safeguard khusus guna
melindungi anggota dari impor produk yang belum terintegrasi ke dalam GATT dan tidak diatur di bawah kuota serta merusak pasar dalam negeri sepanjang
periode transisi. Ketentuan ini didasarkan pada pendekatan two-tiered. Pertama
negara pengimpor harus menentukan bahwa total impor suatu produk spesifik telah menyebabkan kerugian serius atau menjadi ancaman nyata terhadap industri domestiknya. Kedua, memutuskan perusahaan-perusahaan yang mengalami kerugian tersebut. Terdapat prosedur dan kriteria spesifik yang diperkenalkan untuk masing-masing langkah, termasuk negara pengimpor harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan negara pengekspor tersebut. Safeguard
dapat diterapkan secara selektif berdasarkan kesepakatan bersama atau jika persetujuan tidak dicapai melalui proses konsultasi dalam waktu 60 hari, tindakan sepihak dapat dilakukan. Jumlah kuota boleh tidak lebih rendah dari realisasi impor untuk negara pengekspor selama 12 bulan dan hal ini dapat berlaku hingga tiga tahun. Jika ukuran tetap selama lebih dari satu tahun, perkecualian, kegiatan tersebut masih diperbolehkan dengan syarat pertumbuhannya tidak
(39)
kurang dari 6 persen. Safeguard khusus telah digunakan 24 kesempatan di tahun 1995 oleh Amerika Serikat, 8 kali pada tahun 1996 (Brazil 7 kali dan USA 1 kali), 2 kali di tahun 1997 oleh Amerika Serikat, dan 10 kali pada tahun 1998 (Columbia 9 kali dan USA 1 kali).
Sedangkan Artikel 5 ATC berisi aturan dan prosedur yang memantau
secara ketat dan konsisten mengenai tindakan circumvention kuota, yaitu upaya
pengelakan yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap kesepakatan
persetujuan, baik melalui transportasi, rerouting, dokumen palsu asal produk,
ataupun pemalsuan dokumen pejabat. Hal ini memerlukan konsultasi interalia
dan kerja sama dengan instansi yang terkait, hukum dan prosedur administrasi. Ketika sudah tersedia bukti yang cukup, kesulitan yang ada mungkin berkaitan dengan pengingkaran masuknya barang-barang tersebut.
Kegiatan administrasi, aturan dan prosedur dikonsultasikan dengan maksud untuk mencapai solusi bersama yang dapat diterima (artikel 4). Ketentuan yang berkaitan dengan tekstil dan pakaian jadi dalam Putaran Uruguay memerlukan komitmen semua anggotanya untuk mentaati aturan sehingga dapat dicapai peningkatan akses pasar, memastikan perdagangan yang adil dan menghindari diskriminasi terhadap impor tekstil dan pakaian jadi (Artikel 7). Jika suatu negara pengekspor tidak mentaati kewajibannya, maka
Badan Pengawas Perselisihan atau Council for Trade in Goods akan bertindak.
C. Textile Monitoring Body
Textile Monitoring Body (TMB) dibentuk untuk mengawasi implementasi ATC, menguji semua ukuran atau tindakan yang diambil sesuai dengan persetujuan dan memastikan sesuai dengan aturan. TMB adalah suatu badan
yang terdiri dari ketua dan sepuluh anggota TMB dan pengambilan keputusan
(40)
23
WTO menurut pengelompokan dalam suatu daerah pemilihan yang disetujui juga oleh anggota WTO lainnya.
Dapat terjadi rotasi di dalam daerah pemilihan itu. Karakteristik ini membuat TMB menjadi suatu institusi yang unik di dalam kerangka TMB. Pada
bulan Januari 1995, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk TMB tahap
pertama. Pada bulan Desember 1997, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk tahap kedua (tahun 1998-2001) dengan anggota TMB yang ditunjuk oleh anggota WTO berasal dari daerah pemilihan, (1) negara-negara anggota
ASEAN, (2) Kanada dan Norwegia, (3) Pakistan dan China (setelah accession),
(4) Masyarakat Ekonomi Eropa, (5) Korea dan Hong Kong; China, (6) India dan Mesir/Maroko/ Tunisia, (7) Jepang, Amarika Latin dan negara-negara Karibia, (8)
Amerika Serikat, (9) Turki, Swiss, dan Bulgaria/Chekoslowakia/Hongaria/Polandia/Rumania/Slovakia/Slovenia. Selain itu terdapat dua peninjau tanpa partisipasi dari anggota yang tidak diwakili struktur ini, satu dari Afrika dan satu dari Asia.
TMB memonitor tindakan yang diambil sesuai dengan kerangka
persetujuan dan memastikan tetap konsisten serta melaporkan kepada Council
for Trade in Goods untuk meninjau ulang operasi persetujuan sebelum masing-masing tahapan proses pengintegrasian selanjutnya dilaksanakan. TMB juga menangani penyelesaian perselisihan untuk dibawa ke Badan Penyelesaian Perselisihan Reguler WTO.
2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Indonesia
Pemerintah Indonesia melaksanakan ekspor TPT ke negara-negara pengimpor yang memberlakukan pembatasan kuota. Kebijakan tersebut berlandaskan aturan perdagangan TPT dunia yang ditentukan oleh GATT di Jenewa pada tahun 1974 berdasarkan MFA. Persetujuan bilateral maupun
(41)
multilateral dalam perdagangan TPT pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelancaran transaksi perdagangan TPT antar negara pesertanya. Hal ini dilakukan melalui penetapan pembatasan perdagangan secara kuantitatif dalam bentuk kuota, agar tidak mengganggu pasar di negara importir. Di dalam pembatasan perdagangan dalam bentuk kuota, pemerintah negara pengekspor bersedia mengatur pembatasan ekspornya atau negara pengimpor melakukan pembatasan impor. Ekspor TPT ke negara tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Turki, dan Norwegia) mulai dikenakan kuota oleh negara pengimpor sejak sekitar tahun 1980 di bawah kerangka kesepakatan MFA (Indonesian Textile Magazine. 2002a).
Di Indonesia pengaturan ekspor TPT dilakukan dengan menggunakan jumlah kuota nasional hasil kesepatan bilateral dan memantau realisasi ekspornya. Berdasarkan jumlah kuota nasional tersebut, selanjutnya pemerintah Indonesia mengalokasikan kuota tersebut kepada pengusaha-pengusaha TPT, baik eksportir produsen maupun ekpsortir non produsen TPT. Ekspor TPT diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 06/MPP/BKI/I/1996 dan nomor 12/MP/SK/I/1996 dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Internasional nomor 02/DJPI/KP/I/1996 dan nomor 03/DJPI/KP/I/1996 yang meliputi tujuan, pelaksanaan ekspor, tata cara dan persyaratan ETTPT, negara kuota, jenis kuota, pembagian kuota, pemindahan kuota dan pemantauan realisasi kuota ekspor TPT. Instansi yang diberi kewenangan untuk mengatur pengkalkulasian kuota ekspor TPT tahun 1977 sampai tahun 1996 adalah Departemen Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Direktorat Ekspor. Tetapi dengan adanya penggabungan Departemen Perdagangan dengan Departemen Perindustrian, berdasarkan Keputusan Presiden atau Kepres Republik Indonesia nomor 2 tahun 1996, maka kewenangan untuk
(42)
25
mengatur pengalokasian kuota TPT ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional dan Direktorat Ekspor. Kemudian dengan dikeluarkannya Kepres Republik Indonesia nomor 136 tahun 1999 yang diubah dengan Kepres Republik Indonesia nomor 147 tahun 1999, kewenangan dimaksud menjadi kewenangan Dirjen Perdagangan Luar Negeri atau PLN, Direktorat Ekspor Produksi Industri dan Pertambangan atau EPIP. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki instansi-instansi tersebut, maka dalam mengatur pengalokasian kuota TPT diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan, sesuai masa keberadaannya, yang ditindaklanjuti dengan keputusan tingkat Direktur Jenderal masing-masing.
Pada mulanya peraturan-peraturan yang terbit dalam rangka pengelolaan sistem manajemen kuota adalah Kepmen nomor 53 dan Kepmen 67 tahun 2000 (telah diperbaharui lagi menjadi Kepmen nomor 311/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT), dan yang terakhir adalah Kepmen no 374 tahun 1998, dimana seluruh kuota ekspor TPT dialokasikan oleh pejabat tingkat Dirjen dan pengambilalihan hak kuota tersebut (khusus KT) hanya dapat dilakukan oleh Eksportir Terdaftar TPT atau ETTPT melalui Bursa Komoditi Indonesia atau BKI yang dikelola oleh Badan Pengelola Bursa Komoditi atau BAPEBTI di Jakarta Pusat. Sedangkan Kanwil Depperindag daerah tekstil bertugas untuk mencatat dan menyampaikan alokasi kuota ekspor TPT tersebut kepada masing-masing ETTPT maupun melaksanakan pencatatan dan pelaporan setiap mutasi kuota tersebut termasuk realisasi ekspornya.
Setelah berlakunya Kepmen nomor 311 tahun 2001 dimaksud dengan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri nomor 11/DJPLN/KP/XI/2001 dan 03/DJPLN/KP/II/2002 sebagai petunjuk pelaksanaannya, maka kewenangan untuk melakukan alokasi kuota ekspor TPT
(43)
kepada ETTPT yang termasuk Perusahaan Kecil dan Koperasi atau ETTPT-PKK dan pelaksanaan pengambilalihan hak kuota ekspor TPT dilakukan oleh Kanwil Depperindag daerah tekstil, sedangkan untuk ETTPT Perusahaan Menengah Besar atau ETTPT-PMB dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Kuota nasional yang diperoleh dari kesepakatan bilateral dibagikan kepada ETTPT dan pelaksanaan realisasinya dipantau oleh PT. Sucofindo (Persero) yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai
pelaksana sistem Monitoring Kuota Tekstil atau MKT.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang lampirannya telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 575/MPP/Kep/VIII/2002, kebijakan ekspor Indonesia dalam pelaksanaannya hampir seluruh barang sudah tidak memiliki pembatasan (barang bebas) kecuali beberapa komoditas yang pengaturannya dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu (1) barang yang dilarang ekspor, (2) barang yang diawasi ekspornya, dan (3) barang yang diatur ekspornya. TPT termasuk barang yang diatur ekspornya dengan alasan untuk peningkatan mutu, optimalisasi kuota dan berkaitan dengan perjanjian luar negeri. Ekspor TPT ke negara USA, Kanada, Uni Eropa dan Turki wajib sertai dengan Surat Keterangan Asal atau SKA.
Keputusan Menteri Perdagangan No. 04/M/Kep/12/2004 tentang Ketentuan Ekspor TPT mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 53/MPP/Kep/2/2000 tentang Pengambilalihan Kuota TPT dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 311/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT. Kebijakan ini diambil untuk menyesuaikan dengan ATC-WTO, dimana sistem kuota ekspor berakhir 31 Desember 2004 dan sejak 1 Januari 2005 perdagangan TPT dunia mengikuti ketentuan umum GATT.
(44)
27
Di samping itu juga untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menjamin kepastian berusaha di bidang TPT. Sedangkan di bidang kebijakan impor TPT, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tataniaga Impor Tekstil dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor TPT. Peraturan ini dilatarbelakangi untuk mempertahankan iklim usaha di bidang TPT agar tetap kondusif di pasar domestik dan dalam rangka untuk mencegah praktek perdagangan tidak adil yang mengakibatkan kerugian terhadap industri dan konsumen TPT. Importasi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Impotir Produsen Tekstil (IP Tekstil). Tekstil yang diimpor oleh IP Tekstil hanya dapat dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan dilarang untuk diperjualbelikan maupun dipindahtangankan.
Berdasarkan penjelasan tentang perkembangan industri TPT global dan Indonesia, maka Indonesia memiliki tingkat produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan negara Pakistan, Turki, Thailand, China, dan Korea, khususnya pada industri pemintalan dan penenunan. Selain itu kapasitas terpasang yang mampu dipakai oleh industri tekstil hanya sebesar 75 persen dan garmen sebesar 80 persen. Meskipun TPT Indonesia memiliki struktur industri yang lengkap dari hulu sampai hilir, namun peremajaan dan modernisasi permesinan TPT Indonesia akan menjadi kunci penting dalam persaingan TPT di dunia yang semakin ketat. Restrukturisasi permesinan TPT Indonesia harus ditunjang oleh kebijakan-kebijakan yang kondusif untuk menstimulasi meningkatkan produksi dan ekspor TPT Indonesia.
(45)
3.1. Tinjauan Penelitian TPT Indonesia
Penelitian Soeratno (1988), menganalisis keunggulan komparatif suatu produk ekspor, seperti pakaian jadi, bersumber pada banyaknya tenaga kerja dalam negeri dengan upah yang murah, skala produksi yang ekonomis, efisiensi upah, rendahnya harga bahan baku dan penolong, serta berbagai bentuk subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk kasus industri pakaian jadi dijelaskan bahwa meskipun upah tenaga kerja pada kelompok industri pakaian jadi di Indonesia lebih murah daripada upah tenaga kerja pada industri yang sama di luar negeri, namun upah yang murah ini diikuti juga oleh produktivitas tenaga kerja yang rendah. Untuk itu efisiensi upah harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia pada industri pakaian jadi.
Penelitian Susanto (1997) menggunakan CMS untuk mengetahui daya saing produk tekstil Indonesia pada tahun 1987-1991 dan 1991-1994. Produk tekstil yang diteliti berdasarkan SITC 651-SITC 659 (benang dan tekstil) dan SITC 841-SITC 848 (pakaian jadi). Negara-negara yang diamati adalah negara-negara anggota APEC, antara lain yaitu Australia, Thailand, Jepang, Indonesia, dan Hongkong. Ada dua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk-produk tekstil Indonesia dalam model CMS tersebut yaitu, efek pertumbuhan dunia dan efek daya saing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk-produk tekstil Indonesia yang mempunyai daya saing selama periode penelitian adalah produk SITC 651, SITC 652, dan SITC 653 di Cina. Sedangkan di Hongkong produk-produk tekstil yang berdaya saing adalah SITC 652, SITC 653, SITC 655, SITC 658, SITC 845, SITC 846, dan SITC 848.
(46)
29
Purnamaningrum (1998) menganalisis perkembangan ekspor dan daya saing industri tekstil Indonesia tahun 1986-1997 dengan menggunakan CMS, RCA, dan Indeks Penetrasi Pasar. Temuannya menunjukkan bahwa pada periode tahun 1986-1992 ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia meningkat bervariasi. Tahun 1993 dan 1994 mengalami penurunan, sedangkan tahun 1995 dan 1996 mengalami peningkatan dengan lambat. Pada tahun 1997 ekspor justru turun kembali. Daya saing produk dengan SITC 651, 655, 657, 658 dan 843 pada tahun 1992-1997 cenderung melemah, kecuali di pasar USA dan Hongkong. Sedangkan daya saing produk SITC 846 memiliki kecenderungan kuat. Peningkatan dan penurunan ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia di pasar tujuan, terutama pasar non kuota lebih bamyak disebabkan oleh efek daya saing dan efek pertumbuhan dunia. Secara umum industri tekstil Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini didasarkan pada rata-rata nilai RCA lebih dari 1. Disebutkan pula bahwa kemampuan Indonesia untuk menembus pasar tekstil di negara-negara tujuan berkisar 0.01-23 persen. Penetrasi yang cukup tinggi terdapat di pasar Hong Kong dan Singapura (23 persen).
Penelitian Pracoyo (1995) berkaitan dengan ekspor industri tekstil yang
menggunakan data time series tahun 1983-1992 dan menggunakan metode
analisis 2SLS. Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor, khususnya untuk negara industri yang baru berkembang (seperti Hong Kong) yang telah dilakukan oleh Muscatelli, Srinivasan, dan Vines (1992). Hasil adaptasinya disebutkan bahwa penawaran ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil per satuan, biaya bahan baku, besarnya tingkat upah, tarif, dan perubahan teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil domestik, harga tekstil dunia, harga barang substitusi (yaitu
harga wool di pasar dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen.
(47)
menjadi lebih kompetitif. Besarnya variabel tarif dalam fungsi permintaan dan penawaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kuantitas yang ditawarkan dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, variabel tarif mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kuantitas yang ditawarkan. Disepakatinya persetujuan GATT untuk menurunkan tarif sebesar 30 persen akan mampu mendorong perdagangan dunia menjadi lebih kompetitif. Apabila Indonesia menurunkan rata-rata tarif sebesar 30 persen, maka kuantitas ekspor tekstil akan meningkat sebesar 5.4 persen dan rata-rata harga tekstil domestik sebesar Rp. 23 643.6 per kg. Selanjutnya, variabel tingkat upah dalam jangka pendek mempunyai tingkat elastisitas 4.5, artinya pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan sebesar 4.5 persen.
Perubahan teknologi, yang ditunjukkan oleh variabel trend, mendorong produksi
tekstil menjadi lebih efisien yang ditunjukkan oleh elastisitas perubahan teknologi sebesar 0.014. Artinya apabila terjadi perubahan teknologi sebesar 100 persen, maka akan menambah kuantitas tekstil yang ditawarkan sebesar 1.4 persen (ceteris paribus).
Penelitian dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary Least
Squares (OLS) dilakukan oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang diperoleh adalah ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun
1978-1997 menunjukkan trend yang positif dan signifikan secara statistik.
Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa, peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor tekstil Indonesia.
Istojo (2002) melakukan penelitian dengan menganalisis struktur industri TPT Indonesia dengan adanya terhadap WTO pada tahun 2005. Adapun
metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri, five forces model,
(48)
31
ketergantungan industri TPT menunjukkan tingkat yang tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta adanya persaingan yang ketat antar perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005 disimpulkan (1) akan menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri, (2) akan
merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada
non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock, (3) perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat
melakukan banyak inovasi manufacture, agar diferensiasi produk meningkat, dan
(4) perubahan tataniaga industri TPT dapat menghapus segmen yang selama ini sangat kuat di pasar, yaitu produk dengan harga murah.
Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput
industri tekstil di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun
1980-2001. Ternyata faktor produksi modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada pada
kondisi increasing return to scale. Nilai tambah bruto perusahaan tekstil di Jawa
Barat tahun 1980-2001 terus meningkat, kecuali tahun 2001. Tingkat efisiensi produksi industri tekstil di Jawa Barat paling tinggi pada tahun 2000.
3.2. Tinjauan Penelitian TPT Dunia
Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis
Project (GTAP) untuk menganalisis berakhirnya kuota tekstil dengan mengambil studi kasus di Bangladesh. Terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam kinerja ekspor tekstil dan pakaian jadi Bangladesh pada tahun 1990an, yaitu upah yang
rendah, aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI) dan kuota yang
(49)
dengan daya saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun setelah penghapusan
kuota dan hal ini berpengaruh terhadap balance of payment.
Sama halnya yang dilakukan oleh WTO (2004), dengan menggunakan General Trade Analysis Project berusaha menjelaskan kondisi industri TPT
global setelah berakhirnya Agreement on Textiles and Clothing(ATC). China dan
India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan China diprediksikan akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain
itu, spesialisasi vertikal dalam supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi
negara-negara yang mempunyai kedekatan secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih rendah. Temuan penting bagi TPT Indonesia adalah: (1) di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir pangsa pasar garmen Indonesia akan meningkat dari 4 persen menjadi 5 persen, sedangkan pangsa pasar tekstil Indonesia akan tetap pada tingkat 3 persen, (2) di pasar Amerika Serikat, pangsa pasar tekstil Indonesia akan stagnan pada 3 persen, penurunan akan terjadi untuk komoditas garmen, yaitu dari 4 persen menjadi 2 persen.
Dari berbagai telaah penelitian tentang industri TPT yang telah dilakukan tersebut telah memberikan gambaran tentang perkembangan industri dan perdagangan TPT dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak penelitian yang melakukan prediksi terhadap perkembangan industri TPT pasca kuota tahun 2005. Namun demikian, keterkaitan antara pasar domestik dan pasar dunia yang berperan penting dalam perkembangan industri TPT domestik, belum dieksplorasi lebih mendalam.
(50)
33
Oleh sebab itu, pada penelitian ini dianalisis perkembangan dan prospek industri TPT secara holistik, baik industri tekstil dan maupun industri garmen. Analisis penelitian ini dimulai secara spesifik dengan menganalisis pangsa pasar TPT Indonesia di antara negara-negara pesaing. Kemudian dilanjutkan dengan mengaitkan industri TPT secara simultan melalui variabel-variabel ekonomi, termasuk kebijakan moneter dan fiskal, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia. Selain itu isu-isu terkini dan kebijakan pemerintah yang berubah juga akan mempengaruhi industri TPT sepanjang waktu. Simulasi kebijakan dan non kebijakan dalam penelitian ini untuk menganalisis dampak terhadap perkembangan industri TPT Indonesia merupakan kontribusi baru dari penelitian ini.
(51)
4.1. Kerangka Teoritis 4.1.1. Daya Saing Ekspor
Untuk mengidentifikasi daya saing negara-negara pengekspor tekstil dan garmen berdasarkan perubahan ekspornya, dalam penelitian ini digunakan model Constant Market Share (CMS). Model CMS dianggap lebih sesuai dibanding dengan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Domestic Resource Cost (DRC), karena dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen. Menurut Djaja (1992), suatu studi yang komprehensif tentang keragaan ekspor mungkin akan sangat kompleks, sehingga memerlukan penjelasan ketersediaan faktor produksi, teknologi, struktur pasar, pola permintaan, kebijakan pemerintah, konsumen dan kompetitor. Walalupun demikian, keragaan ekspor dapat dianalisis dengan menggunakan model CMS.
CMS adalah suatu metode untuk mengetahui kinerja ekspor suatu negara terhadap persaingan. Model ini menunjukkan apakah suatu negara berhasil mempertahankan pangsa pasarnya dari para pesaingnya. Asumsi dasar yang dipakai dalam analisis CMS adalah bahwa pangsa pasar pada pasar dunia tidak berubah antar waktu. Ekspor suatu negara dapat meningkat lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan rata-rata ekspor dunia disebabkan oleh empat alasan, yaitu:
1. Efek komposisi komoditas. Ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang permintaannya relatif elastis atau inelastis terhadap pendapatan.
2. Efek distribusi pasar. Ekspor terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih pesat atau lambat dibandingkan rata-rata dunia.
3. Efek daya saing. Ekspor lebih atau kurang dapat bersaing dengan negara-negara pengekspor lain, baik karena pertumbuhan produktivitasnya lebih
(52)
35
tinggi atau rendah atau karena undervaluation atau overvaluation mata uang domestik.
4. Efek pertumbuhan ekspor dunia. Pertumbuhan ekspor suatu komoditas dari suatu negara dapat terjadi karena peningkatan permintaan dunia. Efek ini dapat menjelaskan sejauh mana pengaruh peningkatan permintaan dunia terhadap pertumbuhan komoditas tertentu dari suatu negara.
CMS akan menjelaskan perubahan ekspor suatu negara dari sisi permintaan dan penawaran. Efek pertumbuhan ekspor dunia, efek komposisi komoditas dan efek distribusi pasar merupakan efek-efek dari sisi permintaan. Sedangkan efek daya saing merupakan efek yang menjelaskan dari sisi permintaan dan penawaran. Efek daya saing dapat bersumber dari daya saing yang dipengaruhi oleh harga dan non harga, seperti kualitas, pelayanan dan peningkatan pasar. Pada analisis CMS ini, efek daya saing diperhatikan terutama dari segi harga.
Berdasarkan notasi yang digunakan oleh Leamer dan Stern (1970), permintaan ekspor suatu komoditas pada pasar tertentu dari dua negara eksportir digambarkan dalam hubungan sebagai berikut:
(
p p)
, fq
q1 2 = 1 2 dan
f
′
(.)
<
0
... (4.1) Notasi pi dan qi adalah harga dan kuantitas ekspor dari komoditastersebut dari negara eksportir ke i, dimana i = 1 dan 2 serta f’(.) < 0 yang berarti rasio harga mempunyai hubungan negatif dengan rasio kuantitas. Persamaan 4.1 dikalikan dengan (p1/p2), maka akan didapat:
(
1 2)
2 1 2 2 1
1q p q p p f p p
p = ... (4.2) Sementara itu, pangsa pasar ekspor negara 1 adalah sebagai berikut:
(
) (
)
1 1 1 2 2 22 1 1 1
1
q
p
q
p
q
1
p
q
p
q
p
+
=
+
− ... (4.3) dan p2q2/p1q1 adalah (p1q1f(p1/p2))-1, sehingga menjadi:(53)
(
)
{
[
(
)
]
}
(
1 2 1 1 2 1 2 1 2 2 1 1 11
q
p
q
p
q
1
p
p
f
p
p
g
p
p
p
+
=
+
− −=
)
... (4.4) Hal ini berarti pangsa pasar negara 1 adalah konstan, kecuali ada variasi dalam p1/p2. Persamaan 4.4 memperlihatkan validasi bentuk CMS dankonjungtural perbedaan antara pertumbuhan ekspor yang ditunjukkan dengan pangsa pasar konstan dari pertumbuhan ekspor aktual dalam bentuk perubahan harga.
Pengembangan lebih lanjut permintaan ekspor suatu pasar dari model CMS dilakukan oleh Chen dan Duan (1999), dengan menganggap rasio harga komoditas ekspor antar negara adalah konstan dalam periode tertentu, sehingga pangsa pasar bagi suatu negara adalah berikut ini:
( )
c
C
f
Q
q
S
ij=
ij ij=
ij ,f'
ij( )
c
C
> 0 ... (4.5) dimana,ij
S
= Pangsa pasar ekspor komoditas i dari negara yang diamati ke kawasan tertentu (j).ij
q
= Ekspor komoditas i dari negara yang diamati ke kawasan tertentu (j).ij
Q
= Ekspor komoditas i dari dunia ke kawasan tertentu (j).Selanjutnya pertumbuhan ekspor antar periode adalah 0 untuk tahun dasar dan 1 untuk tahun terminal, maka persamaan 4.5 dapat ditulis menjadi:
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛
=
∑∑
∑∑
∑∑
ni m j ij ij n i m j 0 ij ij n i ij m j 0
ijΔQ ΔS Q ΔS ΔQ
S
Δq ... (4.6)
(1) (2) (3) dimana,
(1) efek struktural. (2) efek kompetitif, dan (3) efek order kedua.
(1)
170
sehingga daya saing produk juga akan semakin kompetitif. Dengan membangun kawasan industri TPT terpadu di Cirebon, paling tidak akan menambah lapangan kerja yang diperkirakan mencapai sekitar 100 ribu orang, dan juga mempermudah proses ekspor. Di samping itu dalam rangka untuk memenuhi permintaan TPT di dalam negeri dan juga luar negeri, pemerintah Jawa Tengah telah mengembangkan sistem klaster industri TPT. Daerah sentra TPT di Jawa Tengah tersebar di Semarang, Salatiga, Batang, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Pemalang, dan Magelang. Upaya ini dilakukan dengan memperkuat industri yang terdapat dalam satu rantai, baik industri inti, industri terkait maupun industri pendukung untuk menghasilkan keunggulan kompetitif TPT.
Sedangkan kebijakan yang justru menurunkan produksi dan ekspor di kedua sektor adalah kenaikan harga riil BBM sebesar 8.5 persen; kenaikan upah riil tenaga kerja di sektor tekstil sebesar 14.5 persen dan sektor garmen sebesar 15 persen; dan kombinasi kebijakan menurunkan suku bunga riil bank sebesar 5 persen, menaikkan upah riil tenaga kerja di sektor tekstil sebesar 14.5 persen dan sektor garmen sebesar 15 persen. Di samping kapas, upah tenaga kerja, energi atau BBM, dan tingkat bunga mempunyai porsi yang besar dalam struktur biaya industri TPT Indonesia (Tabel 44). Oleh sebab itu, peningkatan biaya-biaya tersebut akan menurunkan produksi dan juga ekspor TPT Indonesia.
Tabel 44. Struktur Biaya Industri TPT Indonesia
Sub Sektor
No. Biaya Pemintalan
(%)
Penenunan/Perajutan/ Pencelupan dan Finishing
(%)
Pakaian Jadi
(%)
1. Bahan Baku Utama dan
Penolong 58 56 58
2. Tenaga Kerja 6 13 27
3. Energi 18 14 1
4. Penyusutan 6 2 1
5. Tingkat Bunga 6 6 2
6. Pengeluaran Penjualan dan
Administrasi 5 7 10
(2)
Kebijakan yang hanya mampu meningkatkan produksi dan ekspor di salah satu sektor adalah kebijakan menurunkan suku bunga riil bank sebesar 5 persen; depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sebesar 15 persen; penurunan tarif hingga nol persen; kenaikan GDP riil Indonesia sebesar 8.5 persen dan populasi Indonesia sebesar 1.2 persen; kenaikan GDP riil Amerika Serikat sebesar 3.1 persen dan GDP riil China sebesar 8.5 persen; kombinasi kebijakan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sebesar 15 persen dan peningkatan harga riil BBM sebesar 8.5 persen; serta kombinasi kebijakan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sebesar 15 persen, kenaikan GDP riil Indonesia sebesar 8.5 persen, populasi Indonesia sebesar 1.2 persen, dan penurunan tarif impor hingga nol persen.
Industri TPT merupakan salah satu dari industri yang berisiko tinggi, sehingga bank enggan memberikan kredit. Pada umumnya bank hanya memberikan pinjaman atau kredit jangka pendek (90 persen) dan jangka menengah (10 persen) kepada industri TPT. Sementara restrukturisasi permesinan industri TPT membutuhkan bentuk pinjaman dalam jangka panjang antara 10 sampai 15 tahun. Industri tekstil bersifat padat modal dibandingkan industri garmen, sehingga permasalahan restrukturisasi lebih banyak dirasakan oleh industri tekstil. Permesinan yang sudah usang dan teknologi yang tidak modern dapat mempengaruhi produktivitas industri ini.
Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD pada dasarnya dapat mendorong peningkatan ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Akan tetapi keadaan ini tidak diikuti oleh peningkatan produksi garmen di dalam negeri. Hal ini terjadi karena impor garmen juga mengalami peningkatan.
Liberalisasi perdagangan TPT yang ditandai dengan penghapusan tarif hingga nol persen cenderung meningkatkan volume impor tekstil dan garmen Indonesia, namun tidak dengan ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Hal ini
(3)
172
dikarenakan persaingan yang semakin ketat antar negara produsen TPT, terutama China dan negara-negara di Asia Selatan.
Kebijakan moneter yang dilakukan dengan melakukan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD dan kombinasi kebijakan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sebesar 15 persen, kenaikan GDP riil Indonesia sebesar 8.5 persen, populasi Indonesia sebesar 1.2 persen, dan penurunan tarif impor hingga nol persen, hanya mampu mendorong kegiatan ekspor tekstil dan garmen Indonesia tanpa diikuti peningkatan produksi tekstil dan garmen di dalam negeri.
Berdasarkan simulasi kebijakan yang telah dilakukan, maka harga riil kapas menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi kegiatan produksi dan ekspor TPT Indonesia. Bahkan menurut data International Trade Manufacture
Federation (ITMF), 50 persen dari seluruh biaya bahan baku didominasi oleh
biaya pembelian kapas. Oleh sebab itu penurunan harga riil kapas sebesar 5 persen mampu menstimulasi peningkatan produksi dan juga ekspor TPT Indonesia. Bahkan kombinasi kebijakan yang mengandung penurunan harga riil kapas dunia masih memberikan dampak yang positif bagi perkembangan industri TPT Indonesia.
(4)
8.1. Simpulan
Dari uraian dan pembahasan pada bagian terdahulu dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut:
Secara keseluruhan, walaupun laju ekspor TPT Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun posisi daya saing TPT Indonesia di pasar TPT dunia masih di bawah China, India, dan Italia.
Sedangkan perkembangan industri TPT pada periode 1980-2006 masih baik, yaitu dengan tingkat pertumbuhan industri TPT yang masih positif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Produksi tekstil dan garmen domestik dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia dan upah riil tenaga kerja industri TPT dengan respons elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
2. Ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh produksi tekstil domestik dengan respons yang elastis dalam jangka panjang. Di sisi lain ekspor garmen Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil tekstil dunia dengan harga riil garmen domestik dengan respons elastis dalam jangka panjang.
3. Impor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respons sangat elastis, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan impor garmen Indonesia dipengaruhi oleh tarif impor garmen dan produksi garmen domestik dengan respons elastis dalam jangka panjang. 4. Permintaan tekstil domestik dipengaruhi oleh harga riil garmen domestik dan
upah riil tenaga kerja di sektor tekstil dengan respons elastis dalam jangka panjang. Sedangkan permintaan garmen domestik dipengaruhi oleh rasio
(5)
174
harga riil garmen dunia dengan harga riil tekstil dunia dengan respons elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
5. Harga riil tekstil domestik dipengaruhi oleh perubahan harga riil garmen domestik. Sedangkan harga riil garmen domestik dipengaruhi oleh rasio harga riil garmen dunia dengan harga riil tekstil dunia dengan respons elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Prospek industri TPT Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD, dan tarif impor TPT.
8.2 Implikasi Kebijakan dan Saran
Untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan pangsa pasar TPT dengan kondisi persaingan yang semakin ketat, maka:
1. Produktivitas dan efisiensi produksi TPT harus ditingkatkan melalui peremajaan dan modernisasi mesin-mesin TPT. Permesinan yang sudah usang akan menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai permintaan pasar. Apalagi perkembangan TPT sangat dipengaruhi oleh keinginan konsumen dalam berbusana dan berubah-ubah sepanjang waktu. Oleh sebab itu dukungan permesinan yang mutahir akan menjadi faktor kunci untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas TPT Indonesia.
2. Mengeksplorasi pasar-pasar baru sebagai tujuan ekspor TPT, dimana China dan India tidak masuk di dalam pasar tersebut. Kedua negara tersebut mendominasi di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan berakhirnya sistem kuota, Indonesia tidak harus terpaku dan bersaing di pasar yang sama.
3. Budidaya tanaman kapas di dalam negeri harus menjadi prioritas untuk menyediakan bahan baku TPT berupa kapas. Harga kapas dunia yang berfluktuasi akan menyulitkan industri TPT Indonesia di masa mendatang.
(6)
Oleh sebab itu, dengan upaya penggalakkan kembali budidaya kapas di dalam negeri, terutama di kawasan timur Indonesia, perlu kiranya diprioritaskan.
8.3. Penelitian Lanjutan
Hal-hal di dalam penelitian lanjutan yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
1. Menganalisis struktur pasar domestik, kinerja perusahaan multinasional, dan reekspor oleh negara konsumen guna melengkapi informasi tentang pasar TPT domestik dan dunia.
2. Menganalisis disagregasi TPT ke dalam sub sektornya, yang meliputi serat, benang, kain, dan pakaian.
3. Menganalisis kebijakan perdagangan TPT di negara produsen atau pesaing. 4. Menganalisis struktur biaya produksi dan pemasaran industri TPT untuk
memberikan informasi yang lengkap tentang struktur biaya industri TPT Indonesia.