Ajaran Buddha
Ayo Mengeksplorasi
Mintalah peserta didik untuk membaca atau mengumpulkan data informasi tentang ajaran Buddha yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Mintalah peserta didik benar-benar memahami tentang informasi tersebut. Berilah beberapa pertanyaan untuk mengecek peserta didik yang sudah
dan yang belum memahami ajaran yang diberikan
A. Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka
Jika bicara tentang sejarah penulisan kitab suci Tipitaka kitab suci agama
Buddha, maka tidak terlepas dengan peristiwa Sidang Agung Sangha
Sangha Samaya. Adapun hal yang melatarbelakangi Sidang Agung
Sangha yaitu menyangkut kehidupan Bhikkhu Subhaddha.
Setelah Buddha wafat 543 SM seorang Bhikkhu tua yang bernama Subhaddha berkata: ”Janganlah bersedih
kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Petapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang
tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” Vinaya
Pitaka II,284. Setelah mendengar kata-kata itu Maha Kassapa hera memutuskan untuk mengadakan Sidang Agung Sangha I di Rajagaha dengan bantuan Raja
Ajatasattu dari Magadha. Lima ratus orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Buddha yang telah dibabarkan selama
ini dan menyusunnya secara sistematis. Bhikkhu Ananda, siswa terdekat Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Buddha
Dhamma dan Yang Ariya Upali mengulang peraturan-peraturan kedisiplinan Vinaya. Dalam Pesamuan Agung I inilah dikumpulkan seluruh ajaran Buddha
yang dikenal dengan sebutan Dhamma dan Vinaya.
Hasil Sidang Sangha I yaitu Sangha tidak menetapkan hal-hal yang perlu dihapus dan hal-hal yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah yang
telah ada. Dalam sidang ini juga dibahas kesalahan Yang Ariya Ananda dan pengucilan Bhikkhu Chana.
Pada mulanya ajaran Buddha ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang
berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma dan Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Buddha
Sumber:
Gambar 8.1 Kitab suci Tipitaka
212 Kelas X SMASMK
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
Gotama menyelenggarakan Sidang Agung Sangha II 443 SM dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali. Sidang ini dipimpin oleh Bhikkhu Yasa hera, Revata
hera, dan Subhakami hera dan dihadiri oleh 700 Arahat. Dalam Sidang Agung Sangha II ini, kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma
dan Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut heravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri
Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar
heravãda dan Mahayana.
Hasil Sidang Agung Sangha II yaitu membahas kesalahan Bhikkhu Vajjiputtaka yang melanggar Pacittiya. Sekelompok Bhikkhu Vajjiputtaka akhirnya memisahkan
diri dengan menamakan diri sebagai Mahasangika dan mengadakan sidang sendiri. Kelompok yang masih sejalan dengan Dhamma-Vinaya dikenal dengan
nama Sthaviravada.
Sumber : www.buddhistteachings.org
Gambar 8.2 Seorang Bhikkhu yang sedang menerima kitab suci
Sidang Agung Sangha III 249 SM diadakan di Pattaliputta Patna pada abad ketiga sesudah Buddha wafat di bawah pemerintahan Kaisar Asoka Wardhana.
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran ajaran Buddha ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan
gadungan penyelundup ajaran gelap masuk ke dalam Sangha dangan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk
mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan
pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain. Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini seratus orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka
Pali selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
213 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
Hasil Sidang Agung Sangha III yaitu, Sangha dibersihkan dari bhikkhu-bhikkhu yang ceroboh. Ajaran Abhidhamma Katthavatthu Pakarana diulang oleh Tissa
sehingga lengkaplah Tipitaka Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma; serta Raja Asoka melakukan misionari Buddhis dengan menyebarkan sekte Vibhajjavadin subsekte
Sthaviravada ke Sembilan Negara termasuk Srilanka dengan mengirim putranya yaitu Bhikkhu Mahinda hera, kemudian putrinya yang bernama Sanghamitta.
Sidang Agung Sangha IV 83 SM diadakan di Aluvihara Srilanka di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah
Buddha wafat. Pada kesempatan itu kitab suci Tipitaka Pali dituliskan untuk pertama kalinya di atas daun lontar.
Perlu dicatat pula bahwa pada abad pertama Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok
heravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada
Pesamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci
Tipitaka Pali.
Selanjutnya Sidang Agung Sangha V diadakan di Mandalay Burma pada permulaan abad 25 sesudah Buddha wafat 1871 dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Tipitaka Pali diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer batu pualam dan diletakkan di bukit
Mandalay.
Sidang Agung Sangha VI diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 tahun Masehi 1956. Sejak
saat itu penerjemahan kitab suci Tipitaka Pali dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sumber: wp_tipitaka - aanatmawa.blogspot.com.jpg
Gambar 8.3 Kitab suci
214 Kelas X SMASMK
Diunduh dari
http:bse.kemdikbud.go.id
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab heravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan
penghayatan dan pembabaran Dhamma-Vinaya pada kemurnian Kitab suci Tipitaka Pali sehingga tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara heravãda
di Indonesia dengan heravada di hailand, Srilanka, Burma maupun di negara- negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Buddha wafat, mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka,
heravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Mazhab yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab
heravãda ajaran para sesepuh. Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab heravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka,
Burma, hailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
Ayo Mengasosiasi
Ayo mengasosiasi dengan menganalisis informasi yang terdapat pada sumber tertulis dan atau internet serta sumber lainnya untuk mendapatkan
kesimpulan tentang kitab suci agama Buddha, Tipitaka
B. Ruang Lingkup Tipitaka