Keanekaragaman dan Distribusi Plankton di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

SKRIPSI

NURHAYATI 080805014

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

NURHAYATI 080805014

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI

PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

Kategori : SKRIPSI

Nama : NURHAYATI

Nomor Induk Mahasiswa : 080805014

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, Agustus 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si Dr. Miswar Budi Mulya,M.Si

NIP. 19721126 199802 2 002 NIP. 19691010 199702 1 002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2015

NURHAYATI 080805014


(5)

PENGHARGAAN

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat, anugrah, dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN” dapat diselesaikan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Miswar Budi Mulya, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas segala arahan, bimbingan, motivasi yang telah diberikan, dan atas segala waktu yang telah disediakan bagi penulis untuk berdiskusi. Terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc dan kepada Bapak Drs. Arlen H. J, M.Si selaku Dosen Penguji atas segala bimbingan, masukkan dan arahan yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku sekertaris Departemen Biologi FMIPA USU, Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA USU, Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi ini, Ibu Dra. Mizarwati, M.Si selaku ketua panitia seminar Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk selaku Laboran di Laboratorium Struktur dan Fisiologi Hewan, Kak Siti selaku Laboran di Laboratorium Struktur dan Fisiologi Tumbuhan, Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku staf pegawai Departemen Biologi, dan kepada seluruh Dosen di Departemen Biologi atas segala ilmu pengetahuan dan perkuliahan yang diberikan semoga sangat bermanfaat sebagai bekal di masa depan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Alm nenek saya tersayang: Alm Hj. Dasimah Tanjung atas segala doa dan arahannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada orangtua saya tercinta: Alm Hamzah dan Hasnah atas dukungan, doa, dana dan kasih sayang yang tiada henti kepada penulis. Terima kasih juga kepada abang dan kakak tersayang: M. Syarif, Zulham, Fauziah Nur, Hamidah dan Fahmi yang turut mendoakan dan memberikan semangat dukungan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga kepada semua keluarga di Belawan yang turut memberikan motivasi kepada penulis.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan seperjuangan dalam penelitian Surya Darmawansyah, S.Si yang telah banyak membantu selama penelitian. Terkhusus kepada Adi Gunawan, S.Si, Riana, S.Si, Miduk Uliartha S.Si, Mela Putri S.Si, Sandi, Zais, Nurhayati dan Evan serta stambuk 2008 yang


(6)

tidak dapat penulis sebutkan semuanya terima kasih untuk motivasinya, suka duka yang dilewati bersama selama perkuliahan dan praktikum. Terima kasih juga yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada kakak senior 2007 terkhusus kepada kakak Ayunita Purnama Sari, S.Si, Umi Kalsum Lubis S.Si, Risma S.Si dan adik junior stambuk 2009, stambuk 2010, stambuk 2011, stambuk 2012, stambuk 2013, stambuk 2014 dan IPKB yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan doa.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, penulis pada khususnya dan para pembaca serta bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2015


(7)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian Keanekaragaman dan Distribusi Plankton Di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Sampel di ambil dari tiga stasiun penelitian dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi plankton di perairan Muara Desa Belawan I dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia perairan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 9 kelas plankton yang terdiri dari 21 famili dan 22 genus. Nilai kelimpahan tertinggi pada setiap stasiun maka hanya 5 genus yang dapat hidup dengan baik yaitu Peridinium, Gonatozygon, Diacyclops, Closteriopsis dan Ulothrix. Indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun 3 sebesar 2,34 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 2,16. Indeks keseragaman tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,81 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,76. Indeks distribusi tertinggi pada stasiun 2 sebesar 1,69 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,38. Parameter fisika-kimia seperti intensitas cahaya, salinitas, DO, BOD5 dan kejenuhan oksigen sangat berhubungan kuat dengan keanekaragaman plankton.


(8)

DIVERSITY AND DISTRIBUTION OF PLANKTON IN THE ESTUARY OF THE VILLAGE OF BELAWAN I, SUB-DISTRICT OF MEDAN

BELAWAN

ABSTRACT

The diversity and distribution of plankton and its correlation to the physical and chemical parameter of water in the estuary of the village of Belawan I, sub-district of Medan Belawan was studied from September to October 2013. Sample was collectied from three stations which were settled by using purposive random sampling method. There were nine classes of plankton consisted of 21 families and 22 genera. Of all genera found from this study, 5 genera namely, Peridinium, Gonatozygon, Diacyclops, Closteriopsis and Ulothrix performed the highest distribution in every stations. The highest diversity index recorded in the third station with the number was 2,34 and the lowest in the first station with the number was 2,16. The highest equitability index recorded in the third station with the number was 0,81 and the lowest in the first station with the number was 0,76. The highest distribution index recorded in the second station with the number was 1,69 and the lowest in the third station with the number was 1,38. Physical and chemical parameter of water such as light intensity, salinity, dissolved oxygen, biochemical oxygen demand and oxygen saturation were strongly correlated with the diversity of plankton.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN iii

PERNYATAAN iv

PENGHARGAAN v

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Laut Belawan 4

2.2 Plankton 5

2.3 Faktor Fisik-Kimia Perairan 6

2.3.1 Suhu 7

2.3.2 Ph 7

2.3.3 Penetrasi Cahaya 8

2.3.4 Intensitas Cahaya 9

2.3.5 Salinitas 10

2.3.6 Oksigen Terlarut 10

2.3.7 Kandungan Nitrat dan Fosfat 11

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 12

3.2 Penentuan Stasiun Penelitian 12

3.3 Metode Penelitian 14

3.4 Pengambilan Sampel Plankton 14

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 15

3.6 Analisis Data 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Biotik Perairan 21

4.1.1 Kelimpahan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Plankton Pada Setiap Stasiun Penelitian


(10)

4.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indek Keseragaman (E) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

25

4.3 Indeks Similaritas (IS) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitin

26

4.4 Indeks Distribusi (Id) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

27

4.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan 28

4.6 Analisis Korelasi Pearson Untuk Nilai Faktor Fisik- Kimia dan Nilai Keanekaragaman dengan Metoda Komputerisasi SPSS Ver 20

31

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 33

5.1 Saran 33


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 Alat dan Satuan Yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan

17

4.1 Jenis Plankton Yang Diperoleh Di Perairan Muara Desa Belawan I

21

4.2 Nilai Kelimpahan Plankton (ind/l), Kelimpahan Relatif (%) Dan Frekuensi Kehadiran (%) Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

22

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

25

4.4 Indeks Similaritas (IS) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

26

4.5 Indeks Distribusi (Id) Plankton Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

27

4.6 Faktor Fisik dan Kimia Perairan 28

4.7 Nilai Korelasi Keanekaragaman Plankton dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A Peta Lokasi Penelitian 37

B Bagan Kerja DO 38

C Bagan Kerja BOD5 39

D Bagan Kerja Analisis Nitrat (NO3) 40

E Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43+) 41

F Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air

42

G Data Mentah Plankton 43

H Beberapa Foto Plankton Yang Diperoleh Pada Penelitian

46

I Contoh Perhitungan 50


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Stasiun 1 (Daerah Pemukiman Penduduk) 12

2 Stasiun 2 (Daerah Keramba Ikan) 13


(14)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian Keanekaragaman dan Distribusi Plankton Di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Sampel di ambil dari tiga stasiun penelitian dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi plankton di perairan Muara Desa Belawan I dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia perairan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 9 kelas plankton yang terdiri dari 21 famili dan 22 genus. Nilai kelimpahan tertinggi pada setiap stasiun maka hanya 5 genus yang dapat hidup dengan baik yaitu Peridinium, Gonatozygon, Diacyclops, Closteriopsis dan Ulothrix. Indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun 3 sebesar 2,34 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 2,16. Indeks keseragaman tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,81 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,76. Indeks distribusi tertinggi pada stasiun 2 sebesar 1,69 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,38. Parameter fisika-kimia seperti intensitas cahaya, salinitas, DO, BOD5 dan kejenuhan oksigen sangat berhubungan kuat dengan keanekaragaman plankton.


(15)

DIVERSITY AND DISTRIBUTION OF PLANKTON IN THE ESTUARY OF THE VILLAGE OF BELAWAN I, SUB-DISTRICT OF MEDAN

BELAWAN

ABSTRACT

The diversity and distribution of plankton and its correlation to the physical and chemical parameter of water in the estuary of the village of Belawan I, sub-district of Medan Belawan was studied from September to October 2013. Sample was collectied from three stations which were settled by using purposive random sampling method. There were nine classes of plankton consisted of 21 families and 22 genera. Of all genera found from this study, 5 genera namely, Peridinium, Gonatozygon, Diacyclops, Closteriopsis and Ulothrix performed the highest distribution in every stations. The highest diversity index recorded in the third station with the number was 2,34 and the lowest in the first station with the number was 2,16. The highest equitability index recorded in the third station with the number was 0,81 and the lowest in the first station with the number was 0,76. The highest distribution index recorded in the second station with the number was 1,69 and the lowest in the third station with the number was 1,38. Physical and chemical parameter of water such as light intensity, salinity, dissolved oxygen, biochemical oxygen demand and oxygen saturation were strongly correlated with the diversity of plankton.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perairan Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya dan merupakan salah satu pelabuhan utama di Indonesia yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal dengan berbagai ukuran. Selain itu laut Belawan juga digunakan sebagai alur transportasi pengangkutan hasil penangkapan ikan oleh nelayan baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hal ini mengakibatkan laut Belawan sangat rawan terhadap pencemaran laut yang diakibatkan oleh limbah minyak bumi dari aktivitas kapal tersebut (Paramitha, 2014).

Kelurahan Belawan I termasuk kawasan pesisir yang terletak di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis kelurahan ini terletak pada 03˚ 47’ 19,00” LU dan 098˚ 42’ 18,17” BT. Kawasan pesisir ini diduga telah mengalami penurunan keseimbangan ekosistem maupun kualitas air akibat adanya pemanfaatan oleh manusia, seperti daerah pemukiman, daerah dermaga dan daerah keramba ikan. Aktivitas manusia di sekitar pesisir erat kaitannya terhadap perubahan lingkungan baik perubahan fisik maupun kimia air. Kelayakan lingkungan untuk usaha budidaya dapat diestimasi melalui pengukuran kuantitatif dan kualitatif terhadap biota air yang menghuni perairan tersebut. Salah satu diantara biota air yang sering digunakan adalah plankton.

Plankton adalah suatu golongan jasad hidup akuatik berukuran mikroskopik, biasanya berenang atau tersuspensi dalam air, tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit untuk melawan/ mengikuti arus. Dibedakan menjadi dua golongan yakni tumbuhan/ fitoplankton (plankton nabati) yang umumnya mempunyai klorofil dan golongan hewan/ zooplankton (plankton hewani) (Wibisono, 2005). Fitoplankton dapat memproduksi bahan organik melalui proses fotosintesis, kehidupan diperairan dimulai dan terus berlanjut ketingkat kehidupan


(17)

2

yang lebih tinggi dari tingkatan zooplankton sampai ikan-ikan besar dan tingkatan terakhir sampailah pada manusia yang memanfaatkan ikan sebagai makanannya (Wiadnyana, 2006).

Data mengenai keberadaan plankton di Desa Belawan I sampai saat ini belum didapatkan, baik yang mencakup keragaman maupun distribusinya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai “Keanekaragaman dan Distribusi Plankton di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan”.

1.2 Permasalahan

Di perairan Muara Desa Belawan I banyak dijumpai berbagai aktivitas manusia, yang meliputi aktivitas pemukiman, daerah dermaga, dan keramba ikan. Keberadaan aktivitas ini dapat mempengaruhi kondisi lingkungan fisik-kimia perairan yang nantinya dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman biota air terutama, plankton. Sampai saat ini belum didapatkan data tentang keanekaragaman dan distribusi plankton di perairan muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan, sehingga perlu dilakukan penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi plankton di peraiaran Muara Desa Belawan I dan hubungannya dengan faktor fisik-kimia perairan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi awal mengenai keanekaragaman dan distribusi plankton yang selanjutnya dapat digunakan sebagai data dasar dalam pemantauan kondisi perairan Muara Desa Belawan I oleh berbagai pihak yang membutuhkan


(18)

3

2. Memberikan informasi mengenai pengaruh faktor fisik-kimia perairan terhadap keanekaragaman plankton di perairan Muara Desa Belawan I.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Laut Belawan

Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas. Aktivitas masyarakat disekitar Laut Belawan antara lain pertanian, perikanan, pemukiman dan tempat rekreasi. Aktivitas lain yang mempengaruhi faktor fisik-kimia perairan yaitu kegiatan keramba yang menghasilkan limbah organik (pencemaran unsur nitrogen dan fosfor) akibat pemberian pakan yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan sisa pakan dan kotoran ikan menumpuk di dasar perairan, sehingga berdampak terjadinya eutrofikasi yang menyebabkan blooming fitoplankton, adanya gulma air, terbentuknya gas-gas yang dapat menyebabkan kematian organisme perairan dan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan laut (Paramitha, 2014).

Laut dapat dipandang dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizontal, laut dapat dibagi menjadi dua yaitu laut pesisir (zona neritik) yang meliputi daerah paparan benua, dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Pemintakatan atau zonasi (zonation) perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Seluruh perairan laut terbuka disebut sebagai daerah pelagis. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup dilaut terbuka dan lepas dari dasar laut. Dalam hal itu, zona dasar laut beserta organismenya disebut daerah dan organisme bentik (Dahuri, 2004).

Aktivitas budidaya ikan dalam jaring apung menerapkan pola intensif yang mengandalkan pemberian pakan dari luar sumber pakan utama bagi ikan yang dibudidayakan. Sisa-sisa pemberian pakan ini merupakan bahan organic yang potensial untuk meningkatkan unsur hara dalam perairan yang dapat memberikan dampak terhadap perairan itu sendiri. Selain itu adanya aktivitas budidaya dan lalu lintas kapal yang melewati perairan serta faktor ala miah seperti


(20)

5

iklim dan cuaca yang berubah dalam waktu tertentu akan mempengaruhi parameter fisik kimia perairan di Laut Belawan (Kamali, 2004).

Jadi, seluruh ekosistem mengalami suksesi. Laut merupakan sebuah contoh yang nyata. Kalau kita berbicara tentang suksesi dalam sebuah ekosistem, kita tidak hanya mengartikannya, bahwa tiap spesies tumbuhan dan hewan dalam ekosistem itu terus-menerus mengalami perubahan genetika, untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Tetapi juga berarti bahwa karena perubahan yang berlalu dalam ekosistem itu, maka spesies yang tak sesuai dengan keadaan baru telah diganti oleh spesies yang lebih menyesuaikan diri. Komposisi spesies tumbuhan dan hewan dalam danau juga berubah-ubah, dan proses suksesi ini menyangkut berbagai gelombang perubahan komposisi spesies (Soeriaatmadja, 1989).

2.2 Plankton

Biota yang mengapung ini mencakup sejumlah besar biota di laut, baik ditinjau dari jumlah jenisnya maupun kepadatannya. Produsen primer (fitoplankton), herbivor, konsumen tingkat pertama, larva dan juwana planktonik dari hewan lain, digabung menjadi satu membentuk volume biota laut yang luar biasa besarnya. Mereka hidup terbatas di lapisan perairan laut beberapa ratus meter dari permukaan laut (Romimohtarto & Sri, 2001).

Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif. Berdasarkan ukurannya plankton dibagi atas: 1) ultra nanoplankton yang ukurannya <2 µ m, 2) nanoplankton yang ukurannya berkisar antara 2-20 µ m, 3) mikroplankton berukuran 20-200 µ m, 4) mesoplankton berukuran 200-2000 µm, dan 5) megaplankton yang ukurannya di atas 2000 µm. Untuk mengetahui kepadatan populasi plankton di suatu perairan perlu terlebih dahulu diketahui teknik mengoleksi plankton tersebut. Teknik mengoleksi zooplankton dan fitoplankton relatif sama. Pada dasarnya cara untuk mengoleksi plankton adalah mengambil semua plankton dari sebanyak volume air tertentu, jadi mengambil sejumlah volume air dari perairan yang akan ditaksir kepadatan planktonnya. Karena kepadatan plankton di perairan tidak begitu padat,


(21)

6

maka langkah berikutnya adalah memekatkan plankton yang ada dalam contoh air (Suin, 2002).

Kecilnya ukuran plankton tidaklah mengandung arti bahwa mereka itu adalah organisme yang kurang penting. Anggapan yang demikian ini adalah kurang benar, karena mereka merupakan sumber makanan bagi jenis ikan komersial penting yang hidup di lautan. Dengan kata lain kelangsungan hidup ikan tergantung pada banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Sejak ikan merupakan salah satu sumber makanan yang penting bagi manusia, maka dengan tidak membesarkan arti sebenarnya, secara tidak langsung makanan kita pun tergantung kepada mereka (Hutabarat, 1986).

2.3 Faktor Fisika-Kimia Perairan

Pada suatu perairan hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisik-kimia air. Faktor fisik-fisik-kimia air yang sangat berpengaruh terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor kimia tanah. Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002).

Sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Bermacam-macam faktor fisik-kimia dapat mempengaruhi pertumbuhan kelangsungan hidup, dan produktivitas tumbuhan tersertarial maupun perairan. Faktor-faktor yang sangat penting bagi tumbuhan tersebut ialah cahaya, suhu dan kadar zat-zat hara. Kisaran suhu di biosfer teresterial dapat mencapai suatu tingkat yang dapat mempengaruhi produktivitas. Hubungan yang mempengaruhi nilai produktivitas dengan faktor fisik-kimia yaitu seperti suhu, penetrasi cahaya dan inetensitas cahaya matahari, pH air (derajat keasaman), DO, BOD, COD kandungan nitrat dan fosfat (Nybakken dalam Sitorus, 2009).


(22)

7

2.3.1 Suhu

Suhu sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan aktivitas organisme, sebab pada umumnya organisme memiliki kisaran suhu tertentu supaya dapat melakukan aktivitas optimalnya. Suhu tidak dapat diawetkan sehingga harus diukur di lapangan, sampel yang dibawa ke laboratorium untuk dianalisis juga sering kali harus diukur lagi supaya suhunya di laboratorium sebab boleh jadi ada pengaruhnya terhadap hasil analisis. Alat pengukur suhu namanya termometer. Berbagai macam alat telah tersedia di pasaran untuk pengukuran suhu mulai dari yang paling sederhana, yaitu termometer alkohol sampai dengan yang menggunakan elektroda. Ketika mengukur suhu, ketelitian yang diminta pada umumnya sampai dengan 0,1oC. Satuan suhu yang sering digunakan adalah Celcius lambangnya oC (Hariyanto, 2008).

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15oC menjadi 16oC misalnya, dibutuhkan energi sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya membutuhkan energi sebesar seperempatnya. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2 -3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).

2.3.2 pH

Keberadaan dan keadaan organisme di alam sangat dipengaruhi oleh faktor nonbiotik selain faktor biotik. Faktor nonbiotik yang biasa diukur dalam studi ekologi adalah faktor fisik dan faktor kimia. Ada kalanya kedua faktor itu disatukan menjadi faktor fisikokimia, tetapi ini hanya sekedar penamaan saja. Faktor fisik yang biasanya diukur adalah temperatur, kelembapan, intensitas


(23)

8

cahaya, komposisi substrat berdasar teksturnya, dan arus. Faktor kimia yang sering diukur adalah salinitas, pH, DO, BOD, CO, kadar nutrien, fosfat, N, nitrat dan nitrit amonia, dan kandungan logam berat. Unsur kimia lain yang diukur adalah P, N, amonia, natrium, Si dan nitrat. Faktor lain yang biasa diukur adalah pH. Harap diperhatikan bahwa sekalipun pH sifatnya diukur, tetapi skalanya tidak linear dan terbatas, oleh karena itu data pH tidak dapat diuji dengan statistik biasa (parametrik) (Hariyanto, 2008).

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

2.3.3 Penetrasi cahaya

Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan hewan yang terlarut dalam air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, karena tumbuh-tumbuhan tersebut juga mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini terutama akan terlihat pada daerah-daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit (Barus, 2004).


(24)

9

Dengan terbatasnya fotosintesis akan menyebabkan kandungan ok sigen terlarut rendah. Tetapi jika kekeruhan disebabkan oleh organisme hidup (plankton atau jenis alga tertentu) dapat dipakai sebagai indikasi produktivitas perairan tersebut cukup tinggi. Kekeruhan dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut cakram secchi. Alat ini berupa lempeng cakram putih dengan garis tengah 20 cm dengan dua bagian berwarna putih dan dua bagian berwarna hitam. pada

bagian tengah cakram diikatkan tali, dan dengan tali tersebut cakram secchi dimasukkan ke dalam perairan yang akan diukur kekeruhannya. Dengan mengetahui berapa jarak pandang mata sampai cakram secchi tidak terlihat dengan mengetahui batas panjang tali. Karena setiap pengukur berbeda ketajaman penglihatannya maka hasilnya sangat relatif. Untuk itu disarankan pengukurannya di lapangan saat cuaca mendukung sehingga bias bisa diminimalkan (Hariyanto, 2008).

Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus, 2004).

2.3.4 Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air, intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif dan kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).


(25)

10

Faktor fisik ini berpengaruh terutama pada aktivitas hormon hewan, tingkat fotosintesis dan distribusi vertikal harian plankton. Satuan cahaya adalah lux dan alatnya dinamakan luxmeter. Tentunya intensitas cahaya berhubungan/dipengaruhi oleh posisi matahari, cuaca, dan posisinya terhadap benda atau organisme lain, yaitu dalam bayangan atau tidak (Hariyanto, 2008).

Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Organisme air yang mempunyai aktivitas maksimum pada siang hari disebut sebagai diurnal yang merupakan sifat dari sebagian besar organisme air. Kelompok organisme yang aktif pada malam hari disebut hewan nokturnal (Barus, 2004).

2.3.5 Salinitas

Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo. Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi, sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah. Di daerah pantai dan laut yang tertutup sebagian, salinitas lebih bervariasi dan mungkin mendekati 0 di mana sungai-sungai besar mengalirkan air (Nybakken, 1998).

2.3.6 Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Semua tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air. Oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya sampai ke badan air tersebut (Suin, 2002).

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian


(26)

11

besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja (Barus, 2004).

2.3.7 Kandungan Nitrat dan Fosfat

Amonium dan amoniak yang merupakan produk penguraian protein yang sudah dibahas sebelumnya masuk kedalam badan sungai terutama melalui limbah domestik. Mikroorganisme akan mengoksidasi amonium menjadi nitrat. Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi proses kebalikan dari nitrifikasi yaitu proses denitrifikasi dimana nitrat melalui nitrit akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan lepas ke udara atau dapat juga kembali membentuk amonium/amoniak melalui proses ammonifikasi nitrat (Barus, 2004).

Mikroorganisme yang masuk ke dalam perairan dapat berasal dari limbah manusia, makanan dan dari proses hasil ternak daging atau dari limbah kedokteran. Secara normal badan air dapat menetralisasi limbah-limbah tersebut karena adanya bakteri heterotrofik yang dapat mendegradasi limbah organik menjadi fosfat atau nitrat yang dapat digunakan sebagai pupuk. Melalui proses fotosintesis karbondioksida dan air akan menjadi oksigen, dengan adanya aliran air oksigen tetap konstan dan limbah akan bisa dieliminasi (Muslimin, 1996).

Fosfor berasal terutama dari sedimen yang selanjutnya akan terinfiltrasi ke dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka (sungai dan danau). Selain itu dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan masuk ke dalam sistem perairan. Fosfor, bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya (Barus, 2004).


(27)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September–Oktober 2013 di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan dan Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Penentuan Stasiun Penelitian

Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan ada tidaknya pemanfaatan kawasan pada lokasi penelitian. Ditentukan 3 stasiun penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Stasiun 1

Stasiun ini berada di daerah Uni Kampung Seberang, yang secara geografis terletak pada koordinat 03˚ 78’ 75,70” LU dan 098˚ 68’ 27,56” BT. Lokasi ini merupakan daerah dermaga, dekat dengan pemukiman penduduk (Gambar 3.1).


(28)

13

3.2.2 Stasiun 2

Stasiun ini berada di daerah Uni Kampung Seberang, yang secara geografis terletak pada koordinat 03˚ 78’ 81,48” LU dan 098˚ 68’ 26,06” BT. Lokasi ini merupakan daerah keramba ikan Kerapu (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Stasiun 2

3.2.3 Stasiun 3

Stasiun ini berada di daerah Uni Kampung Seberang, yang secara geografis terletak pada koordinat 03˚ 78’ 88,25” LU dan 098˚ 68’ 29,17” BT. Lokasi ini merupakan daerah kontrol (kawasan mangrove), dimana pada daerah ini tidak ditemukan adanya aktifitas masyarakat (Gambar 3.3).


(29)

14

3.3 Metode Penelitian

Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode “Purposive Random Sampling”, yaitu pada 3 (tiga) stasiun penelitian. Pada masing-masing stasiun dilakukan 12 (dua belas) kali ulangan yang terdiri dari 4 (empat) kali ulangan pada kedalaman 0 m (permukaan air laut), 4 (empat) kali ulangan pada kedalaman 3 m dan 4 (empat) kali ulangan pada kedalaman 6 m (batas penetrasi cahaya).

3.4 Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan sampel pada permukaan (0 meter) dengan menggunakan ember bervolume 5 liter sebanyak 5 kali, kemudian dituangkan ke dalam plankton net (volume air yang tertuang sebanyak 25 liter). Sampel air yang tersaring di dalam bucket pada plankton net dituang ke dalam botol film, selanjutnya ditetesi lugol 10% sebanyak 3 tetes untuk pengawetan, dan diberi label.

Pengambilan sampel pada kedalaman 3 meter dan 6 meter dengan memasukkan lamnot ke dalam badan perairan pada masing-masing kedalaman, kemudian lamnot ditarik kembali dan sampel air yang tertampung di dalam lamnot dituang ke dalam ember. Pengambilan air pada masing-masing kedalaman dilakukan sampai ember 5 liter penuh. Kemudian sampel air yang terdapat didalam ember disaring kedalam plankton net. Hal ini dilakukan sebanyak 5 kali sehingga volume air yang disaring ke plankton net sebanyak 25 liter. Sampel yang tertampung dalam bucket pada plankton net dituang ke dalam botol film, dan diberi lugol 10% sebanyak 3 tetes untuk pengawetan dan diberi label. Sampel plankton yang didapatkan di bawa ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara Medan untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan menurut Edmondson (1963), Bold & Wyne (1985), Pennak (1978).


(30)

15

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisik-kimia lingkungan ada yang dilakukan langsung di lapangan (in situ), seperti : suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, pH, DO, dan kejenuhan oksigen, dan ada yang dilakukan di laboratorium (ex situ), seperti :BOD5, NO3 dan PO4, sebagai berikut :

3.5.1 Suhu

Pengukuran suhu dilakukan menggunakan termometer air raksa. Diambil satu ember sampel air, lalu dimasukkan termometer kedalamnya, dan dibaca skala pada termometer tersebut.

3.5.2 pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran pH menggunakan pH meter dengan cara mencelupkan pH meter ke permukaan kolom air, lalu dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut.

3.5.3 Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan menggunakan keping Secchi yang dimasukkan ke kolom perairan hingga batas kompensasi cahaya, kemudian diukur panjang tali sebagai tolak ukur kedalaman penetrasi cahaya.

3.5.4 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur menggunakan lux meter. Diarahkan lux meter kearah sumber cahaya di sekitar kolom perairan. Dicatat angka yang muncul pada lux meter tersebut.


(31)

16

3.5.5 Salinitas

Pengukuran salinitas menggunakan refraktometer. Diambil setetes air sampel lalu ditetesi refraktometer dan dibaca skala salinitasnya.

3.5.6 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan Metode Winkler dengan menggunakan reagent-reagent kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Sampel air diambil dengan menggunakan botol winkler, kemudian ditambah 1 ml MnSO4, dan 1 ml KOHKI lalu dikocok dan didiamkan sampai terbentuk endapan coklat atau endapan putih. Setelah itu, ditambahkan 1 ml H2SO4, dikocok dan didiamkan sampai terbentuk larutan coklat. Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N sampai terbentuk larutan kuning pucat. Lalu ditambahkan amilum 3-5 tetes sampai terbentuk larutan biru. Setelah itu, dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N sampai terbentuk larutan bening. Dihitung volume Na2S2O3 0,00125 N yang digunakan (Lampiran B).

3.5.7 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan Metoda Winkler. Sampel air yang diambil dari perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Kemudian, diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 °C. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD5 dengan cara yang sama seperti penghitungan kadar oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan cara mengurangkan DO awal dengan DO akhir, bagan kerja terlampir. Pengukuran BOD5 dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran C).

3.5.8 Pengukuran Kadar Nitrat (NO3) dan Fosfat (PO43-)

Pengukuran kadar nitrat (NO3-) dan Fosfat (PO43-) dilakukan dengan metode Spektrofotometer, bagan kerja terlampir (Lampiran D dan E).


(32)

17

3.5.9 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) (Lampiran F) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kejenuhan (%) = 2 2

( ) 100 ( ) O u

O t  %

Keterangan:

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)

O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan besarnya suhu.

Secara keseluruhan pegukuran faktor fisik-kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam pengukuran faktor Fisik-kimia perairan

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1. Suhu 0C Termometer In-situ

2. pH - pH meter In-situ

3. Penetrasi Cahaya M Keping Sechii In-situ

4. Intensitas Cahaya Candela Lux meter In-situ

5. Salinitas o/oo Refraktometer In-situ

6. Oksigen Terlarut (DO) mg/l Metoda Winkler In-situ

7. BOD5 mg/l Metoda Winkler dan

Inkubasi

Ex-situ

8. Kadar Nitrat dan Fosfat mg/l Spektrofotometer Ex-situ

9. Kejenuhan Oksigen % Metoda Winkler In-situ

3.6 Analisis Data

Data plankton yang diperoleh dihitung nilai Kelimpahan Populasi, Kelimpahan Relatif, Frekuensi Kehadiran, Indeks Diversitas Shannon-Weinner, Indeks Equitabilitas (Krebs, 1985, hlm: 522), (Suin, 2002, hlm: 175) dan analisis korelasi pearson dengan persamaan sebagai berikut:


(33)

18

a. Kelimpahan Plankton (K)

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Barus (2004), yaitu:

K(Plankton) = T P V L

L  p v W

=

0.0196 PV

W Keterangan:

T : Luas penampang permukaan Haemocytometer (mm2) L : Luas satu lapang pandang (mm2)

P : Jumlah plankton yang dicacah (Individu) p : Jumlah lapang yang diamati

V : Volume konsentrasi plankton pada bucket (ml)

v : Volume konsentrat di bawah gelas penutup (0,0196) (ml) W : Volume air media yang disaring dengan plankton net (l)

b. Kelimpahan Relatif (KR)

X100% jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR

c. Frekuensi Kehadiran (FK) plot otal Jumlah t

jenis suatu ditempati yang plot Jumlah FK

Dimana, 0-25% : sangat jarang 25%-50% : jarang

50%-75% : banyak


(34)

19

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)

 piln pi

H'

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon-Wiener Pi = proporsi spesies ke-i

Ln = logaritmo Nature

Pi =  ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E) Hmax

H' E

dimana : H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

f. Indeks Similaritas (IS)

100% x b a 2c IS  

dimana: IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B Bila IS = 75-100% sangat mirip

50-75% mirip 25-50% tidak mirip ≤ 50 sangat tidak mirip g. Indeks Distribusi (Indeks Morista)

1

2     N N N X n Id dengan:

n = jumlah ulangan

N = jumlah total individu dalam total plot


(35)

20

Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut: Jika: Id = 1 (distribusi acak)

Id < 1 (distribusi beraturan) Id > 1 (distribusi berkelompok)

h. Analisis Korelasi Pearson

Uji ini merupakan uji statistik untuk mengetahui korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman (Indeks Diversitas). Uji korelasi tersebut dilakukan dengan metode komputerisasi menggunakan SPSS Ver. 20

Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan Nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00-0,199 Sangat rendah

0,20-0,399 Rendah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Biotik Perairan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara didapatkan 9 kelas plankton yang terdiri dari 21 famili dan 22 genus, seperti pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Jenis Plankton yang diperoleh di Perairan Muara Desa Belawan I

KELAS ORDO FAMILI GENUS

A. FITOPLANKTON

1. Bacillariophyceae 1. Bacillariales 1. Achnanthaceae 1. Achnanthes

2. Coscinodiscaceae 2. Coscinodiscus

3. Cymbellaceae 3. Cymbella

4. Fragilariaceae 4. Diatoma

5. Naviculaceae 5. Navicula

6. Nitzchiaceae 6. Nitzchia

7. Rhizosoleniaceae 7. Rhizosolenia

8. Surirellaceae 8. Surirella

2. Chlorophyceae 2. Chlorococchales 9. Oocystaceae 9. Closteriopsis

3. Tetrasporales 10. Tetrasporaceae 10. Tetraspora

4. Ulotrichales 11. Microsporaceae 11. Microspora

12. Ulotrichaceae 12. Ulothrix 13. Uronema

5. Zygnematales 13. Desmidiaceae 14. Closterium

14. Mesotoniaceae 15. Gonatozygon

3. Chrysophyceae 6. Chrysomonadales 15. Chrysophaceae 16. Phaeoplaca

4. Cyanophyceae 7. Chlorococchales 16. Ceratiaceae 17. Cerataulina

5. Dinophyceae 8. Desmomonadales 17. Peridianiceae 18. Peridinium

6. Euglenophyceae 9. Eugnales 18. Euglenaceae 19. Euglena

7. Rhodophyceae 10. Nemalionales 19. Lemaneaceae 20. Lemanea

B. ZOOPLANKTON

8. Ciliata 11. Frontonniina 20. Frontoniidae 21. Glaucoma

9. Maxiliopoda 12. Cyclopoida 21. Cycloppoidae 22. Diacyclops

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa plankton yang didapatkan di perairan Muara Desa Belawan I terdiri dari 22 genus dan 9 kelas yaitu Bacillariophyceae (8 jenis), Chlorophyceae (7 jenis), Chrysophyceae (1 jenis), Cyanophyceae (1 jenis), Dinophyceae (1 jenis), Euglenophyceae (1 jenis), Rhodophyceae (1 jenis), Ciliata (1 jenis) dan Maxiliopoda (1 jenis). Genus dari kelas Bacillariophyceae dan kelas Chlorophyceae adalah genus terbanyak yang ditemukan pada keseluruhan sampel yang diteliti. Banyaknya ditemukan genus dari kelas Bacillariophyceae diduga karena pengambilan sampel dilakukan saat air laut baru masuk/pasang. Kelas Bacillariophyceae ini merupakan jenis Diatom, dimana menurut Sachlan (1980), Diatom ini merupakan jenis yang banyak terdapat di laut


(37)

22

dan diliputi oleh tanah diatom yang tebal, namun jika ada blooming dari Diatom maka akan sering terdapat 60-100 juta plankton per liter yang akan meracuni perairan tersebut.

Banyaknya ditemukan genus dari kelas Chlorophyceae diduga karena adanya pengaruh dari salinitas dan kandungan unsur hara. Menurut Sachlan (1980), fitoplankton di perairan sepanjang tahun berubah-ubah. Biasanya fitoplankton yang terdapat pada salinitas 20 o/oo ke atas sebagian besar mirip dengan fitoplankton laut, sedangkan fitoplankton yang hidup dalam salinitas 0 o/oo sampai 10 o/oo mirip seperti fitoplankton tawar, fitoplankton yang hidup dalam salinitas 10 o/oo sampai 20 o/oo terdiri dari campuran fitoplankton air laut dan fitoplankton air tawar.

4.1.1 Kelimpahan Plankton, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran pada setiap stasiun penelitian

Dari hasil perhitungan terhadap plankton, maka diperoleh nilai Kelimpahan plankton (Ind/L), Kelimpahan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2 Nilai Kelimpahan Plankton (Ind/L), Kelimpahan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

GENUS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

K KR FK K KR FK K KR FK

1. Achnanthes - - - 20,40 1,65 16,66 - - -

2. Coscinodiscus 20,40 1,09 16,66 20,40 1,65 16,66 20,40 1,16 16,66

3. Cymbella 20,40 1,09 16,66 20,40 1,65 16,66 163,26 9,35 91,66

4. Diatoma 163,26 8,79 100 61,22 4,95 41,66 142,85 8,18 91,66

5. Navicula 40,81 2,19 25 20,40 1,65 16,66 20,40 1,16 16,66

6. Nitzchia 20,40 1,09 16,66 20,40 1,65 16,66 81,63 4,67 41,66

7. Rhizosolenia - - - 51,02 4,13 33,33 20,40 1,16 16,66

8. Surirella 20,40 1,09 16,66 30,61 2,47 25 - - -

9. Closteriopsis 224,48 12,08 100 20,40 1,65 16,66 - - -

10. Tetraspora 40,81 2,19 25 20,40 1,65 16,66 20,40 1,16 16,66

11. Microspora - - - 30,61 2,47 25 20,40 1,16 16,66

12. Ulothrix 40,81 2,19 25 40,81 3,30 33,33 204,08 11,69 100

13. Uronema 40,81 2,19 25 20,40 1,65 16,66 51,02 2,92 41,66

14. Closterium 20,40 1,09 16,66 - - - 20,40 1,16 16,66

15. Gonatozygon 346,93 18,68 100 244,89 19,83 100 306,12 17,54 100

16. Phaeoplaca - - - 20,40 1,65 16,66 20,40 1,16 16,66

17. Cerataulina - - - 20,40 1,65 16,66 61,22 3,50 25

18. Peridinium 428,57 23,07 100 265,30 21,48 100 367,34 21,05 100

19. Euglena 40,81 2,19 33,33 20,40 1,65 16,66 - - -

20. Lemanea 20,40 1,09 16,66 - - - 20,40 1,16 16,66

21. Glaucoma 61,22 3,29 25 - - - 20,40 1,16 16,66

22. Diacyclops 306,12 16,48 100 285,71 23,14 100 183,67 10,52 100


(38)

23

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada stasiun 1, nilai kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran plankton tertinggi terdapat pada genus Peridinium sebesar 428,57 ind/l, 23,07% dan 100%, genus Gonatozygon sebesar 346,93 ind/l, 18,68% dan 100%, genus Diacyclops sebesar 306,12 ind/l, 16,48% dan 100%, genus Closteriopsis sebesar 224,48 ind/l, 12,08% dan 100%, dan genus Diatoma sebesar 163,26 ind/l, 8,79%, dan 100%. Sedangkan yang terendah terdapat pada genus Coscinodiscus, Cymbella, Nitzchia, Surirella, Closterium, Lemanea, sebesar 20,40 ind/l, 1,09% dan 16,66%. Kebanyakan plankton tidak dapat berkembang pada air dengan aliran deras. Menurut Ewusie (1990) dalam Surbakti (2009), plankton tidak dapar berkembang subur dalam air mengalir.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada stasiun 2, nilai kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran plankton tertinggi terdapat pada genus Diacyclops sebesar 285,71 ind/l, 23,14% dan 100%, genus Peridinium sebesar 265,30 ind/l, 21,48% dan 100%, dan genus Gonatozygon sebesar 244,89 ind/l, 19,83%, dan 100%. Sedangkan yang terendah terdapat pada genus Achnanthes, Coscinodiscus, Cymbella, Navicula, Nitzchia, Closteriopsis, Tetraspora, Uronema, Phaeoplaca, Cerataulina dan Euglena sebesar 20,40 ind/l, 1,65% dan 16,66%.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada stasiun 3, nilai kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran plankton tertinggi terdapat pada genus Peridinium sebesar 367,34 ind/l, 21,05% dan 100%, genus Gonatozygon sebesar 306,12 ind/l, 17,54% dan 100%, genus Ulothrix sebesar 204,08 ind/l, 11,69% dan 100%, dan genus Diacyclops sebesar 183,67 ind/l, 10,52%, dan 100% . Sedangkan yang terendah terdapat pada genus Coscinodiscus, Navicula, Rhizosolenia, Tetraspora, Microspora, Closterium, Phaeoplaca, Lemanea dan Glaucoma sebesar 20,40 ind/l, 1,16% dan 16,66%.

Berdasarkan nilai KR dan FK plankton pada setiap stasiun maka hanya 5 genus yang dapat hidup dengan baik pada setiap stasiun penelitian yaitu: Peridinium, Gonatozygon, Diacyclops, Closteriopsis dan Ulothrix. Hal ini sesuai dengan Suin (2002), apabila didapatkan nilai KR> 10% dan FK> 25% menunjukkan bahwa organisme tersebut dapat hidup dan berkembang dengan


(39)

24

baik pada habitat tersebut. Genus Peridinium merupakan genus plankton yang hadir pada setiap stasiun penelitian. Hal ini terjadi karena setiap stasiun memiliki nilai pH dan suhu yang tidak berbeda yaitu 7,0-7,3 dan 29-300C dan sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan genus tersebut (Tabel 4.6). Menurut Isnanetyo & Kurniastuty (1995), suhu yang optimum bagi kelangsungan hidup fitoplankton adalah >25%

Menurut Handayani & Mufti (2008), pH berpengaruh pada setiap kehidupan organisme, namun setiap organisme mempunyai batas toleransi yang bervariasi terhadap pH perairan. Toleransi masing-masing jenis terhadap pH juga sangat dipengaruhi faktor lain seperti suhu dan oksigen terlarut. Apabila suhu di perairan tinggi maka oksigen terlarut menjadi rendah. Hal ini akan mengganggu dalam pernafasan dan pengaturan kecepatan metabolisme zooplankton. Kenaikan pH pada perairan akan menurunkan konsentrasi CO2 terutama pada siang hari ketika proses fotosintesi sedang berlangsung. Dengan adanya aktivitas fotosintesis, maka kadar oksigen terlarut (DO) meningkat di perairan.

Menurut Hutabarat (1986), suhu merupakan faktor pembatas bagi proses produksi fitoplankton. Jika suhu terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton sehingga fotosintesis terganggu. Tingginya suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesis sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu dalam merubah struktur hidrologi kolam perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton. Secara umum laju fotosintesis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.

Genus Gonatozygon merupakan genus plankton yang hadir pada setiap stasiun penelitian. Hal ini terjadi karena pada setiap stasiun memiliki intensitas cahaya berkisar 120-175cd (candela) (Tabel 4.6). Dimana intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan plankton terutama dalam proses fotosintesis. Semakin tinggi intensitas cahaya yang masuk, maka proses fotosintesis akan semakin tinggi sehingga menyebabkan kelimpahan fitoplankton akan semakin tinggi.


(40)

25

Menurut Subarijanti (1990), cahaya merupakan faktor utama dan terpenting dalam pertumbuhan fitoplankton, terutama dalam kelancaran proses fotosintesis. Kesempurnaan ini tergantung besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan.

Genus Diacyclops merupakan genus plankton yang hadir pada setiap stasiun penelitian. Hal ini terjadi karena adanya kadar nitrat dan kadar fosfat yang hampir sama yaitu 11,7-14,8 mg/l dan 0,21-0,23 mg/l (Tabel 4.6). Dimana kadar nitrat dan kadar fosfat merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan plankton terutama fitoplankton. Nitrat dan fosfat merupakan nutrisi dalam pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton, dan fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Menurut MNLH (2004), apabila nitrat > 0,008 mg/l perairan tersebut dikatakan kategori baik dan jika nitrat < 0,008 mg/l maka perairan tersebut dikatakan kategori buruk.

Menurut Bayurini (2006), zat-zat hara anorganik yang utama diperlukan untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrat dan fosfat. Nitrat merupakan sumber nitrogen yang penting untuk pertumbuhan fitoplankton. Fosfat dalam perairan berasal dari sisa-sisa organisme dan pupuk yang masuk ke dalam perairan. Fitoplankton dapat menggunakan unsur fosfor dalam bentuk fosfat bagi pertumbuhannya.

4.2 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) plankton, seperti terlihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

Stasiun H’ E

1 2,16 0,76

2 2,28 0,77

3 2,34 0,81

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,34. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 3 merupakan daerah yang sesuai untuk pertumbuhan plankton karena memiliki


(41)

26

kandungan fosfat yang tinggi yaitu 14,4 mg/l (Tabel 4.6). Sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,16 karena merupakan daerah pemukiman sehingga masuknya nutrisi sangat sedikit dan didapatkan spesies-spesies yang mendominasi.

Menurut Handayani & Mufti (2008), keanekaragaman tergantung pada jumlah jenis yang ada dalam suatu komunitas dan pola penyebaran individu antar jenis. Indeks keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran, jumlah individu pada masing-masing jenis. Suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila ternyata banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata.

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa indeks keseragaman (E) tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,81 karena penyebaran plankton merata dan tidak ada spesies yang mendominasi. Sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,76 karena adanya spesies yang mendominasi. Hal ini diperkuat Pirzan & Petrus (2005), apabila keseragaman mendekati nol berarti keseragaman antar spesies di dalam komunitas tergolong rendah dan sebaliknya keseragaman yang mendekati satu dapat dikatakan keseragaman antar spesies tergolong merata atau sama.

Menurut Suin (2002), penyebaran plankton di dalam air tidak sama pada kedalaman yang berbeda. Tidak samanya penyebaran plankton dalam badan air disebabkan adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor -faktor abiotik lainnya di kedalaman air yang berbeda.

4.3 Indeks Similaritas (IS) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai indeks similaritas (IS), seperti pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Indeks Similaritas (IS) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1 - 77,77% 80%

Stasiun 2 - - 91,89%


(42)

27

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa indeks similaritas (IS) yang didapatkan pada lokasi penelitian bervariasi dan berkisar antara 77,77%-91,89%. Indeks similaritas (IS) antara Stasiun 1 dengan 2 sebesar 77,77%, Stasiun 1 dengan 3 sebesar 80% dan Stasiun 2 dengan 3 sebesar 91,89%. Ini menunjukkan bahwa dua komunitas yang dibandingkan dikatakan relatif sama. Hal ini sesuai dengan Brower & Jerold (1990), dua komunitas yang dibandingkan dikatakan relatif sama apabila indeks kesamaan komunitas lebih besar atau sama dengan 50%, sebaliknya jika indeks kesamaan komunitas lebih kecil dari 50%, maka kedua komunitas yang dibandingkan itu dapat dianggap sebagai dua komunitas yang berbeda.

Kesamaan komunitas yang tinggi antara dua kawasan yang dibandingkan sangat ditentukan oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada kedua kawasan tersebut (Krebs, 1985).

4.4 Indeks Distribusi (Id) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan indeks distribusi (id) plankton, seperti terlihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Indeks Distribusi (Id) Plankton yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian

Stasiun Id Keterangan

I 1,63 Distribusi berkelompok

II 1,69 Distribusi berkelompok

III 1,38 Distribusi berkelompok

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa indeks distribusi yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian berkisar 1,38-1,69 dan merupakan distribusi berkelompok. Hal ini sesuai dengan Michael (1984), distribusi spesies adalah random bila Indeks Distribusi = 1, distribusi berkelompok bila Indeks Distribusi > 1 dan distribusi beraturan bila Indeks distribusi < 1. Hidup berkelompok bagi hewan sangat dimungkinkan terjadi karena hewan memilih hidup pada perairan yang paling sesuai di ekosistem, baik dalam hal faktor fisik-kimia maupun dalam hal tersedianya makanan. Menurut Brower & Jerold (1990) dalam Siregar (2009), kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan


(43)

28

mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan.

Menurut Novonty dan Olem (1994) dalam Hutabarat (2010), oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton.

4.5 Faktor Fisik-Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun penelitian, seperti pada Tabel 4.6

Tabel 4.6 Nilai Faktor Fisik-Kimia Pada Setiap Stasiun Penelitian

No Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1. Suhu (0C) 29 30 29

2. pH 7,3 7,2 7,0

3. Penetrasi Cahaya (M) 6 6 6

4. Intensitas Cahaya (Candela) 126 175 120

5. Salinitas (o/oo) 29 30 28

6. Oksigen Terlarut (mg/l) 7,4 7,3 7,5

7. BOD 5 (mg/l) 4,4 4,1 4,3

8. Kadar Nitrat (mg/l) 11,7 14,8 14,4

9. Kadar Fosfat (mg/l) 0,23 0,22 0,21

10 Kejenuhan Oksigen (%) 98,273 95,549 98,167

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Pemukiman di Uni Kampung Seberang

Stasiun 2 : Daerah Pertambakan Ikan Kerapu di Uni Kampung Seberang

Stasiun 3 : Daerah Kontrol di Uni Kampung Seberang

Dari Tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun penelitian, secara umum masih dapat mendukung kehidupan plankton. Suhu perairan hampir sama di setiap stasiun yaitu pada kisaran 29 -300C. Suhu yang tertinggi terdapat pada stasiun 2 (daerah keramba ikan) serta yang terendah terdapat pada stasiun 1 (daerah pemukiman) dan stasiun 3 (daerah mangrove). Menurut Handayani (2005), distribusi suhu antara muara dengan laut lepas diperoleh bahwa suhu di muara lebih rendah dan ke arah laut semakin tinggi. Hal


(44)

29

ini disebabkan karena kawasan sekitar muara yang mempunyai jumlah aktivitas manusia lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi naiknya suhu dilokasi tersebut.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai pH berkisar antara 7,0-7,3.Menurut Pescod (1973) dalam Sachoemar (1996), nilai pH bervariasi dan dipengaruhi suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, jenis, dan stadium organisme. Menurut Kusumaningtyas (2014), pH semakin meningkat ke arah laut lepas, tinggi rendahnya pH dapat dipengaruhi oleh sedikit banyaknya bahan organik dari darat yang dibawa melalui aliran sungai. Rendahnya pH di sepanjang pesisir Timur Pulau Sedanau hingga muara Binjai terjadi karena pengaruh masuknya muatan organik dari sungai dan aktivitas penduduk Sedanau yang terbawa arus.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 120-175 candela, dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu dengan nilai 175 candela. Hal ini terjadi karena pada daerah stasiun 2 merupakan daerah pertambakan ikan yang terbuka sehingga matahari langsung masuk ke badan perairan tanpa adanya penghalang. Dan nilai penetrasi cahaya yang diperoleh adalah 6 m.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai salinitas berkisar antara 28sampai 30 dengan tingkat salinitas tertinggi pada stasiun 2 (lokasi pertambakan) yaitu 30 dan terendah pada stasiun 3 (lokasi mangrove) yaitu 28. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas di Perairan Muara Desa Belawan I termasuk ke dalam air payau (mixohalin). Menurut Schlieper (1958) dalam Barus (2004), mengklasifikasikan air berdasarkan salinitasnya sebagai berikut: < 0,5‰ = air tawar (limnis), 0,5‰ - 30‰ = air payau (mixohalin), 30‰ - 40‰ = air laut (euhalin) dan >40‰ = hyperhalin.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai DO berkisar antara 7,3-7,5 mg/l, dan nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai yaitu 7,5 mg/l. Sedangkan nilai DO terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai yaitu 7,3 mg/l. Menurut Poppo (2007), penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam suatu badan air adalah adanya buangan bahan-bahan yang mudah membusuk. Semakin rendah oksigen terlarut maka semakin tinggi pencemaran


(45)

30

karena semakin banyak O2 yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai BOD5 berkisar antara 4,1-4,4 mg/l dan nilai BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu dengan nilai 4,4 mg/l. Hal ini terjadi karena pada stasiun 1 merupakan daerah pemukiman. Sedangkan nilai BOD5 terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu dengan nilai 4,1 mg/l. Menurut Brower & Jerold (1990), nilai konsentrasi BOD menunjukkan kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi oksigen selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10 mg/l O2-20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih besar dari 100 mg/l.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai kadar nitrat berkisar antara 11,7-14,8 mg/l, dan nilai kadar nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 2, yaitu dengan nilai 14,8 mg/l. Menurut Makmur (2012), distribusi nitrat antara muara dengan laut lepas diperoleh bahwa nitrat dan fosfat bervariasi dimana dekat pantai lebih tinggi dibanding lokasi jauh dari pantai. Hal ini disebabkan kawasan sekitar muara yang mempunyai jumlah aktivitas manusia lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi naiknya kandungan nitrat di lokasi tersebut. Menurut Haerlina (1987) bahwa nitrat merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas primer di daerah eufotik. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga dan pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai kadar fosfat berkisar antara 0,21-0,23 mg/l, dan nilai kadar fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 1, yaitu dengan nilai 0,23 mg/l. Menurut Andriani (2004), fosfat merupakan unsur hara kunci dalam produktivitas primer perairan. Senyawa ini dapat menggambarkan subur tidaknya suatu perairan. Fosfat yang terkandung dalam air laut, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut berada dalam bentuk organik dan anorganik. Klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat apabila kandungan fosfat 0,2 maka kondisinya sangat baik sekali. Kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah dari lapisan dibawahnya,


(46)

31

sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya silikat.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai kejenuhan oksigen berkisar antara 95,549%-98,273%, dan nilai kejenuhan oksigen tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu dengan nilai 98,273%. Nilai kejenuhan air menggambarkan keadaan oksigen yang terdapat di dalam badan air. Semakin tinggi nilai kelarutan oksigen maka semakin besar pula nilai kejenuhannya. Semakin tinggi nilai kejenuhan oksigennya maka semakin kecil defisit oksigen yang terdapat di dalam badan air tersebut dan sebaliknya. Menurut Barus (2004), kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob artinya membutuhkan oksigen.

4.6 Analisis Korelasi Pearson Untuk Nilai Faktor Fisik-Kimia dan Nilai Keanekaragaman dengan Metoda Komputerisasi SPSS Ver 20

Nilai uji korelasi keanekaragaman plankton dengan faktor fisik-kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Nilai Korelasi Keanekaragaman Plankton dengan Faktor Fisik -Kimia Perairan

Suhu pH Intensitas Salinitas DO BOD5 K.Nitrat K.Fosfat K.Oksigen

H +0.171 -0.516 -0.968 -0.985 +0.985 +0.774 -0.286 -0.345 +0.926

Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik-kimia perairan dengan indeks keanekaragaman (H’) berbeda tingkat dan juga arah korelasinya. Intensitas cahaya, salinitas, DO, dan kejenuhan oksigen merupakan faktor fisik-kimia yang berhubungan sangat kuat dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton.

Menurut Tarumingkeng (2001), antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan


(47)

32

perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman.

Menurut Barus (2004), fluktuasi kadar garam dalam air sesuai dengan fluktuasi populasi fitoplankton dalam perairan di mana garam-garam dalam air akan meningkat kadarnya jika fitoplankton yang mengkonsumsinya mengalami penurunan jumlah populasi atau sebaliknya, kadar garam akan meningkat jika populasi fitoplankton yang mengkonsumsinya menurun.

Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa faktor fisik-kimia yang berkorelasi positif (searah) adalah temperatur, DO, BOD5 dan kejenuhan oksigen. Sedangkan faktor fisik-kimia yang berkorelasi negatif (berlawanan arah) adalah pH, intensitas cahaya, salinitas, kadar nitrat dan kadar fosfat.

Menurut Effendi (2003), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah.

Menurut Wardhana (1995), kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan bagi mikroorganisme dan hewan air lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang tercemar kandungan oksigennya rendah. Hal ini terjadi karena oksigen yang terlarut dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecahkan/mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap


(48)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Plankton yang didapatkan sebanyak 9 kelas, 12 ordo plankton yang terdiri

dari 21 famili dan 22 genus. Total kelimpahan plankton tertinggi pada stasiun 1 sebesar 1857,03 ind/l dan terendah pada stasiun 2 sebesar 1234,57 ind/L.

b. Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 2,34 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 2,16 sedangkan indeks keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,81 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,76.

c. Indeks similaritas (IS) yang didapatkan, stasiun yang mempunyai kriteria sangat mirip adalah antara stasiun 1 dengan 2, stasiun 1 dengan 3 dan stasiun 2 dengan 3.

d. Indeks distribusi (Id) tertinggi pada stasiun 2 sebesar 1,69 (distribusi berkelompok) dan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,38 (distribusi berkelompok).

e. Intensitas cahaya, salinitas, DO, dan kejenuhan oksigen merupakan faktor fisik-kimia yang berhubungan sangat kuat dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian selanjutnya berdasarkan perbedaan waktu (seperti siang dan malam) agar dapat melihat perbedaan persebaran kelimpahan plankton pada waktu siang dan malam di Perairan Pesisir Belawan Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani. 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu. [Skripsi]. IPB: Bogor.

Arifin, R. 2009. Distribusi Spasial dan Temporal Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) dan Keterkaitannya Dengan Kesuburan Perairan Estuari Sungai Brantas, Jawa Timur. [Skripsi]. IPB: Bogor.

Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Universitas Sumatera Utara Press: Medan.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Biologi. Universitas Sumatera Utara Press: Medan

Bold, H.C. & M.J. Wayne. 1985. Introduction To The Algae. Second Edition. New Jersey 07632. Engglewood Clitts, Inc: USA.

Brower, J., Jerold, Z., Von Ende, C. 1990. Field and Laboratory Methode For General Ecology. Third Edition. W. M. C. Brown Publisher: USA.

Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita: Jakarta.

Edmondson, W.T. 1963. Freshwater Biology. Second Edition. Jhon Willey and Sons, Inc: New York.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Haerlina, E. 1987. Komposisi dan Distribusi Vertikal Harian Fitoplankton Pada Siang dan Malam Hari di Perairan Pantai Bojonegoro, Teluk Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Handayani, S. & Mufti, P. 2008. Komunitas Zooplankton Di Perairan Waduk Krenceng, Cilegon, Banten. Jurnal Makara sains 9(2): 75-80.

Hariyanto, S. 2008. Teori dan Praktik Ekologi. Universitas Airlangga Press: Surabaya.

Hutabarat, S. 1986. Kunci Identifikasi Zooplankton. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Hutabarat, H. 2010. Keanekaragaman Plankton dan Hubungannya dengan Faktor Fisik-Kimia Air di Sungai Batang Serangan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. [Tesis]. USU: Medan.


(50)

35

Isnansetyo, A. & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Kanisius: Yogyakarta.

Kamali, D. 2004. Kelimpahan Fitoplankton Pada Keramba Jaring Apung di Teluk Hurun Lampung. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Muku Air Laut Untuk Biota Hidup.

Krebs, C.J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abudance. Third Edition. Harper and Row Publisher: New York.

Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., dan Pranowo, S.W. 2014. Kualitas Perairan Natuna pada Musim Transisi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Badan Penelitian Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jurnal Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan

3(1).

Makmur, M., Kusnoputranto, H., Moersidik, S.S., dan Wisnubroto, S.D. 2012. Pengaruh Limbah Organik & Rasio N/P Terhadap Kelimpahan Fitoplankton di Kawasan Budidaya Kerang Hijau Cilincing. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah 15(2).

Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Muslimin, L.W. 1996. Mikrobiologi Lingkungan. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut. Cetakan Kedua. Gramedia: Jakarta.

Odum, E.P. 1988. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders Company: Phidelphia

Paramitha, A. 2014. Studi Klorofil-a di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara. [Skripsi]. USU Press: Medan.

Pennak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrate of The United States. Jhon Willey and Sons, Inc: New York.

Pirzan, A. M & Petrus, R. P. M. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jurnal Biodiversitas 9(3): 217-221.

Poppo, A., Mahendra, M.S., dan Sundra, K.I. 2007. Studi Kualitas Perairan Pantai di Kawasan Industri Perikanan. Dinas Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jurnal Ilmu Lingkungan 3(2): 98-103.


(51)

36

Romimohtarto, K. & Sri, J. 2001. Biologi Laut. Djambatan: Jakarta.

Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Diktat Perkuliahan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Jurnal penelitian. Berkala penelitian terubuk. Pekan Baru.

Sachoemar, S.I. 1996. Evaluasi Kualitas Lingkungan Perairan Wilayah Pesisir Utara Kerawang Berdasarkan Tinjauan beberapa Parameter Fisika-Kimia. Oceanical Jurnal IPTEK Kelautan No. 02 Thn II 1996.

Siregar, M. H. 2009. Studi Keanekaragaman Plankton di Hulu Sungai Asahan Porsea. [Skripsi]. USU: Medan.

Sitorus, M. 2009. Hubungan Nilai Produktivitas Primer dengan Konsentrasi Klorofil a, dan Faktor Fisik Kimia di Perairan Danau Toba, Balige Sumatera Utara. [Tesis]. USU Press: Medan.

Soeriaatmadja, R.E. 1989. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB: Bandung.

Subarijanti, H.U. 1990. Diktat Kuliah Limnologi. NUFFIC/UNIBRAW/LUW/ FISH. Universitas Brawijaya: Malang.

Sugiyono. 2005. Analisis Statistik-Korelasi Linier Sederhana. Diakses Tanggal 18 Maret 2013.

Suin, N.M. 2002. Metode Ekologi. Andalas Press: Padang.

Surbakti, Y. B. 2009. Studi Keanekaragaman Plankton di Sungai Lau Sitelu Desa Namorambe Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. USU: Medan.

Tarumingkeng, R.C. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peredupan Intensitas Cahaya Matahari pada Kolam Air di Daerah Pasir Kole, Waduk IR. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Makalah Palsafah Sains (PPs 702). Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Wiadnyana, N.N. 2006. Peranan Plankton Dalam Ekosistem Perairan Indonesia Lautan Red Tide. Jurnal Ilmu Indonesia LIPI Berita Biologi.


(52)

37

LAMPIRAN

Lampiran A. Peta Lokasi

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah dermaga di daerah Uni Kampung Seberang

Stasiun 2 : Daerah pertambakan ikan kerapu di daerah Uni Kampung Seberang

Stasiun 3 : Daerah kontrol di daerah Uni kampung Seberang

Stasiun 1 Stasiun 2


(53)

38

Lampiran B. Bagan Kerja DO

Sampel Air

1 ml MnSO4

1 ml KOHKI Dikocok Didiamkan Sampel Endapan

Puith/Cokelat

1 ml H2SO4

Dikocok Didiamkan Larutan Sampel

Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum Sampel

Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang

terpakai Hasil


(54)

39

LampiranC. Bagan Kerja BOD5

Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO

Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir dihitung nilai DO akhir

diinkubasi selama 5 hari pada

temperatur 20°C dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air


(55)

40

Lampiran D. Bagan Kerja Analisis Nitrat (NO3)

5 ml sampel air

1 ml NaCl (dengan pipet volum) 5 ml H2SO4 75%

4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Larutan

Dipanaskan selama 25 menit suhu 95 oC

Larutan

Didinginkan

Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm Hasil


(56)

41

Lampiran E. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-)

5 ml sampel air

2 ml Amstrong Reagen

1 ml Ascorbic Acid

Larutan

Dibiarkan selama 20 menit

Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 880 nm

Hasil


(1)

Lampiran H. Beberapa Foto Plankton Yang Diperoleh Pada Penelitian

a.

Fitoplankton

Surirella

Coscinodiscus

Euglena Nitzchia


(2)

Peridinium Ulothrix

Diatoma Tetraspora


(3)

Navicula Cerataulina

Achnanthe Gonatozygon

Microspora Phaeoplaca


(4)

b.

Zooplankton

Diacyclops Glaucoma


(5)

Lampiran I. Contoh Perhitungan

1. Kelimpahan Plankton Cymbella pada stasiun 1

P.V

K =

ind/L

0,0196.W

2

x 60

12

= ind /L

0,0196 x 25

= 20,40 ind /L

2. Kelimpahan Relatif Cymbella Pada Stasiun 1

20,40

K = x 100 %

1857,03

= 1,09 %

3. Frekuensi kehadiran Cymbella pada stasiun 1

FK = 2 x 100 %

12

= 16,66 %

4. Indeks Diversitas Shannon wienner ( H

) Plankton pada stasiun 1

H = -

∑ pilnpi

= -

2 ln 2 + 2 ln 2 + 16 ln 16 + 24 ln 24 + . . . dst

182 182 182 182 182 182 182 182


(6)

5. Indeks Equitabilitas / Keseragaman ( E ) Plankton pada stasiun 1

E =

H’

H Max

= 2,16

In 17

= 0,76

6. Indeks Similaritas ( IS ) Plankton antara stasiun 1 dengan stasiun 2

IS = 2C x 100 %

a + b

= 2 x 14 x 100 %

17 + 19

= 77,77 %

7. Indeks Distribusi ( Id ) Plankton pada stasiun 1

Id = n

x

2

N

N ( N

1)

= 4

( 2

2

+ 2

2

+ 16

2

+ 4

2

+

2

2

+ 2

2

+ 22

2

+ 4

2

+ 4

2

+ 4

2

+ 2

2

+ 34

2

+ 42

2

+ 4

2

+ 2

2

+

6

2

+ 30

2

) - 182

182 ( 182

1 )

= 1,632