Penghambatan proliferasi sel kanker kolon HCT-116 oleh produk fermentasi pati resistentipe 3 sagu dan beras

(1)

PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER KOLON

HCT-116 OLEH PRODUK FERMENTASI PATI RESISTEN

TIPE 3 SAGU DAN BERAS

ENDANG YULI PURWANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 oleh Produk Fermentasi Pati Resisten Tipe 3 Sagu dan Beras adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Karya tersebut belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2011

Endang Yuli Purwani


(3)

ii

ENDANG YULI PURWANI. Proliferation Inhibition ofHCT-116 Colon Cancer Cell byFermentation Product of Resistant Starch Type 3 Derived from Sago and Rice. Supervised by MAGGY T.SUHARTONO, TRESNAWATI PURWADA-RIA and DIAH ISKANDPURWADA-RIATI.

Resistant starch type 3 (RS3) is retrograded starch which is not digested by human starch degrading enzymes, and will thusundergo bacterial fermentation in the colon. The main fermentation products are the Short Chain Fatty Acid (SCFA), mostly acetate, propionate and butyrate. SCFA, especially butyrate, has been implicated in providing protection against cancer. The control of the cell proliferation and apoptosis present obvious target for preventive in cancer. The objectives of the research were: (1) to prepare RS3 derived from sago or rice starch through enzyme hydrolysis, (2) to study the SCFA profile produced in the in vitro fermentation of the RS3 by colonic butyrate producing bacteria, (3) to investigate the effect of the RS3 fermentation product on proliferation inhibition and apoptosis in HCT-116 colon cancer cell line, and explored its mechanism.

Sago or rice starch was retrograded and hydrolyzed with amylase(106

Enzyme hydrolysis of retrograded sago or rice starch was beneficial for concentrating RS. RS3 derived from sago contained higher RS (31-38%) than those derived from rice starch (21-26%). The in vitro fermentation revealed that C. butyricum BCC B2571 produced acetate, propionate and butyrate at concentration of 83.70 mM, 47.57 mM, 46.70 mM when the medium was supplemented with RS3 derived from sago treated with amylase (RSSA) at con-centration 1%. High levels of acetate (95mM), propionate (52 mM) and butyrate (59 mM) was also produced by E.rectale DSM17629 in medium supplemented withRS3 derived from sago treated with pullulanse (RSSP) at concentration 1%. The cell free supernatant, either from C.butyricum BCC B2571 grown in medium supplemented with RSSA or E.rectale 17629 grown in medium supplemented with RSSP was applied to treat HCT-116 cells. It was found that the supernatant inhibited proliferation and induced apoptosis ofHCT-116. This treatmentincreas-ed the expression ratio of Bax/Bcl-2, indicating possibility that apoptosis occurrtreatmentincreas-ed through mitochondrial pathway which simultaneously increased the caspase-3 concentration.

U/g starch), pullulanase (4500 U/g starch) and the combination of amylase and pullulanase. The residue of the enzyme hydrolysis was separated and spray dried to obtained RS3. RS3 was further supplemented as carbon source for the in vitro fermentation study. It was performed by Clostridium butyricum BCC B2571andEubacterium rectaleDSM 17629, which have been regarded as beneficial colonicbacteria. The SCFA was analyzed by gas chromatography. Cell free supernatant was collected and applied to treat human colorectal cancer cell HCT-116. HCT-116 cells was cultured in complete medium and after 50% confluent, the incuba-tion was continued for another 48 hours in the absence or presence ofRS3 fermentation product. Cell number, apoptosis, expression of Bcl-2 and Bax gene, as well as caspase-3 enzymes were measured.


(4)

iii

116 oleh Produk Fermentasi Pati ResistenTipe 3 Sagu dan Beras. Dibim-bing oleh MAGGY T.SUHARTONO, TRESNAWATI PURWADARIA dan DIAH ISKANDRIATI.

Kanker kolon dan rektum (colorectal cancer, CRC), adalah pertumbuhan sel yang tak terkendali (neoplasia) pada daerah usus besar sehingga mengganggu sistem pencernaan secara lokal dan mekanisme fisiologis tubuh secara umum.Ada sekitar 1,2 juta kasus CRC pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 9,8% di seluruh dunia.Sekitar 80% dari kasus CRC berkaitan dengan diet, 15% disebabkan oleh faktor keturunan sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk lingkungan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa CRC dapat dihin-dari dengan mengonsumsi bahan pangan yang sesuai. Pati resisten tipe 3 (Resis-tant starch type 3, RS3) merupakan salah satu komponen bahan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Pati tak tercerna (Resistant Starch, RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak terserap oleh sistem pencernaan pada individu yang sehat. Ada empat kelompok RS, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. RS3 adalah pati retrogradasi dan RS4 adalah pati modifikasi secara kimiawi. RS langsung memasuki usus besar (kolon) kemudian difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnyamenghasilkan produk utama asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid, SCFA,), yaitu asam asetat, propionat, dan butirat. SCFA terutama butirat merupakan sumber energi utama bagi sel-sel kolon normal dan mampu mencegah/menghambat kanker. Penghambatan proliferasi dan induksi apoptosis merupakan salah satu sasaran dalam pencegahan penyakit kanker.

Pada penelitian ini, RS3 dibuat dari pati beras dan sagu. Kedua komoditas dipilih karena tersedia dalam jumlah besar dan beragam. Dilain pihak,jenis substrat (RS3)dan jenis bakteri penghasil butirat menentukan profil SCFA yang dihasilkannya. Sejalan dengan hal di atas, penelitian dilaksanakan dengan tujuan: (a) mendapatkan RS3 dari pati beras dan pati sagu melalui kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim, (b) mempelajari profil SCFA yang dihasilkan oleh kultur murniClostridium butyricum BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 pada medium fermentasi yang disuplementasi dengan RS3, (c) mempelajari hambatan proliferasi dan apoptosis pada sel lestari HCT-116 yang diberi paparan SCFA hasil fermentasi RS3.

Penelitian dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama diarahkan untuk mendapatkan RS3. Pati sagu atau beras digelatinisasi pada suhu 100oC selama 10 menit dan disimpan pada suhu 4oC, untuk menginduksi proses retrogradasi. Pati kemudian dihidrolisis dengan enzim amilase (106 unit/g substrat), pululanase (4500 unit/g substrat) atau kombinasi keduanya. Sisa pati yang tidak terhidrolisis dipisahkan untuk mendapatkan RS3 dan kadar pati resisten produk RS3 dianalisis. RS3 disuplementasikan ke dalam medium fermentasi yang diinokulasi dengan kultur murni C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 dan diinkubasi


(5)

iv

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim efektif untuk mengonsentrasikan kadar RS. RS3 hasil penelitian ini dinamakan RSSA (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Amilase), RSSP (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Pululanase), RSSAP (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Amilase & Pululanase), RSRA (RS3 beras [Rice] yang dihidrolisis dengan Amilase, RSRP (RS3 beras [Rice] yang dihidrolisis dengan Pululanase) dan RSRAP (RS3 beras yang dihidrolisis dengan Amilase & Pululanase).Kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim mengubah kadar RS pati sagu dan beras. Kadar RS pati sagu berubah dari sekitar 11% menjadi 31-38% dan kadar RS pati beras berubah dari sekitar 13% menjadi 21-26%. Secara umum RS3 difermentasi dengan baik secara in vitro oleh bakteri penghasil butirat. C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 menunjukkan respon yang berbeda fermentasi RS3. C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat masing-masing 83,70 mM; 47,57 mM; 46,70 mM atau pada rasio molar 1.8 : 1 : 1,dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA 1%. Dengan suplementasi RS3 yang sama, E.rectale DSM17629 menghasilkan asetat, propionat dan butirat sebesar 66,74 mM; 38,70 mM,dan 46,05 mM atau pada rasio molar 1.7 : 1 : 1.2. Asetat, propionat, dan butirat dengan konsentrasi relatif tinggi yaitu 95 mM, 52 mM, 59 mM atau rasio molar 1.8 : 1 : 1.1juga dihasilkan oleh E.rectale DSM17629 di dalam medium yang disuplementasi RSSP 1%.

bakteri pada media agar padat serta menganalisis SCFA yang dihasilkan selama proses fermentasi. Tahap selanjutnya diarahkan untuk mempelajari pengaruh supernatan hasil fermentasi terhadap proliferasi, apoptosis, ekspresi gen Bax, Bcl-2 dan konsentrasi enzim caspase-3 pada sel HCT-116. Sel HCT-116 dikulturkan dalam medium DMEM (Dulbescco’s Modified Eagle’s Medium) yang dilengkapi dengan 10% FBS (Fetal Bovine Serum) dan antibiotik (penisilin 100 U/mL dan streptomicin 100 µg/mL). Setelah sel mencapai sekitar 50% konfluen, medium diganti dengan supernatan hasil fermentasi yang diencerkan dengan medium DMEM sehingga konsentrasi SCFA kurang dari 10 mM dan inkubasi dilanjutkan hingga 48 jam.

Aplikasi supernatan pada sel HCT-116 menunjukkan bahwa supernatan dengan konsentrasi butirat <10 mM mampu menghambat proliferasinya. Supernatan dari C.butyricum BCC B2571 menghasilkan hambatan lebih rendah (<70%) dibanding hambatan yang ditimbulkan oleh supernatan E.rectale DSM 17629 (>80%). Penambahan supernatan juga menginduksi sel HCT-116 untuk berapoptosis. Dengan bantuan pewarna fluoresen HOECHST 33258, sel HCT-116 yang diberi tambahan supernatan tampak berpendar kuat dengan bentuk inti tidak teratur, dan sel mengerut. Sebaliknya, tanpa supernatan, sel HCT-116 tidak berpendar kuat dan intinya tampak teratur. Penambahan supernatan juga meningkatkan rasio ekspresi gen Bax/Bcl-2 dari 1 menjadi lebih dari 3,5 dan hal ini mengindikasikan bahwa apoptosis terjadi melalui jalur mitokondria. Secara simultan, produksi enzim caspase-3 meningkat pada sel HCT-116 yang diberi penambahan supernatan hasil fermentasi RS3 oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629.


(6)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(7)

vi

3SAGU DAN BERAS

ENDANG YULI PURWANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

vii

Penguji pada Ujian Tertutup:Prof. Dr. Deddy Muchtadi

Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Prof. Dr. Ir. Ridwan Thahir, APU


(9)

viii

JUDUL : PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER KOLON HCT-116 OLEHPRODUK FERMENTASI PATI RESISTEN TIPE 3 SAGU DAN BERAS

NAMA MAHASISWA : ENDANG YULI PURWANI NRP : F 261070091

PROGRAM STUDI : Ilmu Pangan (IPN)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Maggy T. Suhartono

Dr. Tresnawati Purwadaria

Anggota Anggota

Dr.Drh. Diah Iskandriati

Diketahui

Ketua Mayor Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


(10)

ix

penulis dapat menyelesaikan desertasi berjudulPenghambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 oleh Produk Fermentasi Pati Resisten Tipe 3 Sagu dan Beras. Di dalamnya dilaporkan mengenai pemanfaatan sumber karbohidrat lokal (sagu dan beras) untuk dijadikan pati resisten tipe 3 dan kemampuannya untuk difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid=SCFA) oleh bakteri C.butyricumBCC B2571 atau E.rectale DSM 17629. Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil fermentasi tersebut mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon HCT-116 melalui jalur mitokondria.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian atas usulan beasiswa petugas belajar.

2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas beasiswa petugas belajar dari tahun 2007 hingga 2011

3. Prof Maggy T. Suhartono sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr Tresnawati Purwadaria (Anggota) dan Dr Diah Iskandriati (Anggota) atas motivasi dan bimbingan mulai menyiapkan proposal hingga melaporkannya dalam bentuk disertasi dan deseminasi ilmiah lainnya.

4. Yayasan Institut Danone Indonesia yang telah membiayai penelitian melalui Doctorate Research Grant 2008/2009 dan seluruh reviewer yang telah mem-berikan saran perbaikan penelitian.

5. Kepala Pusat Penelitian Studi Satwa Primata atas ijin penggunaan fasilitas penelitian di Laboratorium Mikrobiologi dan Imnunologi.

6. Sdr. Ahmad R. Utomo, PhD dari Stem Cell and Cancer Institute Jakarta, atas donasi sel HCT-116.

7. Prof. Dr. Deddy Muchtadi dan Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS yang telah menguji pada Ujian Tertutup.

8. Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD dan Prof. Dr Ridwan Thahir yang menguji pada Ujian Terbuka.

9. Ayah, ibu dan ibu mertua serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

10. Suami (I Putu Wardana) dan anak-anak (Gde Krishna Wardana & Made Shanty Wardana) atas pengertian, kesabaran dan kasih sayangnya.

11. Teman-teman peneliti, teknisi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian maupun di Laboratorium Mikrobiologi & Imunologi atas bantuan teknis penelitian yang diberikan.

12. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas bantuan langsung maupun tidak langsung yang diberikan selama penulis menjalankan tugas belajar

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2011


(11)

x

Penulis lahir di Nganjuk tanggal 18 Juli 1964daripasangan Dwidjo Santosa dan Warsini. Gelar sarjana diperoleh dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPBtahun 1987. Tahun 1999, penulis menempuh program master di program studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB dan lulustahun 2002. Tahun 2007, penulis melanjutkan program doktor di Program Studi Ilmu Pangan IPB dengan beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesiamelalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Penulis mengawali karir peneliti di balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi pada tahun 1989. Tahun 2002 hingga sekarang, penulis menjadi penelitidi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Penulis mengikuti pelatihan di dalam maupun di luar negeri untuk meningkatkan kemampuannya meneliti. Penulis mendapatkan hibah penelitian dari Indonesia Toray Science Foundation pada tahun 1996 dan penghargaan Ketahanan Pangan 2006 dari Menteri Pertanian RI, atas penelitian yang berkualitas.

Penulis mendapatkan bantuan dana penelitian dari Yayasan Institut Danone Indonesia melalui Doctorate Research Grant pada tahun 2008/2009. Karya ilmiah Fermentation RS3 derived from sago and rice starch withClostridium butyricum BCCB2571 orEubacterium rectale DSM 17629diterbitkanJurnal Internasional ANAEROBE 2011(doi:10.1016/j.anaero-be.2011.09.007). Publikasiini mendapatkan penghargaan dari Yayasan Institute Danone melalui Publication Grant 2011. Artikel berjudu l Fermentation Pro-duct of RS3 Inhibited Proliferation and Induced Apoptosis in Colon Cancer Cell HCT-116sedang disiapkan untuk dipublikasi. Karyatersebut adalah bagian desertasi. Desiminasi karya ilmiah juga dilakukan pada International Symposium on Nutrition and 6th Asia Pacific Clinical Nutrition Society at Makassar, October 10-13, 2009, ISNFF (International Society for Neutraceutical and Functional Food) International Conference, Bali 11-15 October 2010 dan 10th INTERNATIONAL SAGO SYMPOSIUM 2011, Bogor 29-30 October 2011.


(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 4

1.3.Keluaran yang diharapkan ... 4

1.4.Manfaat hasil penelitian ... 4

1.5.Hipotesa ... 5

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Potensi Sagu dan Beras ... 6

2.2.Struktur dan Degradasi Pati ... 7

2.3.Pati Resisten (Resistant Starch/RS) ... 10

2.3.1. Klasifikasi ... 10

2.3.2. Pembuatan RS3 ... 11

2.4.Mikrofora dan Short Chain Fatty Acid(SCFA) ... 13

2.5.Kanker Kolon ... 17

2.5.1 Statistik dan Epidemiologi ... 17

2.5.2 Karsinogenesis ... 18

2.5.3. Apoptosis ... 20

2.5.4. Kultur Sel ... 23

2.5.5. Metoda Analisis Penanda Kanker Kolon ... 24

2.5.5.1. Mikroskopi ... 24

2.5.5.2. Spektrofotometri ... 25

2.5.5.3. ELISA (Enzyme Linked immunosorbant Assay)... 25


(13)

xii

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu ... 27

3.2. Bahan ... 27

3.3. Metode Penelitian ... 27

3.3.1. Tahap I: Pembuatan RS3 dan Pemanfaatannya sebagai Substrat Fermentasi ... 29

3.3.1.1.Produksi RS3 ... 29

3.3.1.2. Analisis Proksimat dan Kadar Amilosa ... 30

3.3.1.3. Analisis Kadar RS... 30

3.3.1.4. Fermentasi (in vitro)... 30

3.3.1.5. Pengukuran Amilolitik pada Cawan Agar ... 31

3.3.1.6. Pengukuran Gas dan pH ... ... 31

3.3.1.7.Analisis Asetat, Proionat dan Butirat ... 31

3.3.2.Tahap II: Aplikasi Supernatan pada Sel Kanker ... 32

3.3.2.1. Kultur Sel ... 32

3.3.2.2. Penghitungan Jumlah Sel ... 32

3.3.2.3. Deteksi Apoptosis ... 33

3.3.2.4. Real Time Polymerase Chain Reaction(RT-PCR) untuk Analisis Ekspresi Gen Bax dan Bcl-2 ... 33

3.3.2.4.1. Ekstraksi total mRNA ... 33

3.3.2.4.2. Analisis RT-PCR ... 33

3.3.2.5. Analisis Caspase-3 ... 35

3.4.Analisis Data ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar RS pada Produk Asal Pati Sagu Lebih Tinggi dibanding Kadar RS pada Produk Asal Pati Beras ... 36

4.2. Degradasi RS3 oleh Bakteri ... 40

4.3. Produksi SCFA selama Fermentasi in vitro ... 41

4.4. Aplikasi Supernatan Hasil Fermentasi RS3 untuk Menghambat Proliferasi dan Menginduksi Apoptosis Sel HCT-116. ... 45

4.4.1. Uji Toksisitas ... 45 4.4.2. SCFA di dalam Supernatan Menghambat Proliferasi


(14)

xiii

Sel HCT-116. ... 47

4.4.3. Apoptosis, Ekspresi mRNA Bcl-2 dan Bax ... 50

4.4.4. Konsentrasi Caspase-3 ... 55

4.4.5. Perkiraan Model Apoptosis ... 57

5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 60

5.2. Saran ... 60

6. DAFTAR PUSTAKA ... 62


(15)

xiv

Halaman

1 Kadar amilosa pati sagu dan biji beras ... 8

2 Karakteristik amilosa dan amilopektin... 8

3 Distribusi rantai cabang amilopektin pada pati sagu dan beras ketan... 9

4 Bakteri yang sering ditemukan di dalam kolon ... 14

5 Sepuluh besar jenis kanker berdasarkan letaknya di Instalasi RadioterapiRSK” “Dharmais” Jakarta, tahun 1995-2000 ... 18

6 Karakteristik molekuler sel lestari asal organ kolon ... 24

7 Primer untuk amplifikasi gen pada analisis RT-PCR ... 34

8 Komposisi kimia dan kadar amilosa pati sagu dan pati beras ... 36

9 Zona bening, gas dan pH medium yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 yang diinkubasi padamedium berisi RS3 (1%) ... 41

10 SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629 di dalam medium berisi RS3(1%) ... 42

11Hasil fermentasi in vitro pada subtrat RS3 ... 44

12 Pengaruh supernatan C.butyricum BCC B2571 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 ... 46

13 Pengaruh supernatan E.rectale DSM 17629 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 ... 47

14 Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116 ... 51

15 Ringkasan hasil: hambatan proliferasi dan respon sel HCT-116 yang diberi paparansupernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM17629... 58


(16)

xv

1 Ilustrasi tempat pemotongan enzim pendegradasi pati

(Mathewson 1998). ... 10

2 Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. ... 16

3 Karsinogenesis pada kanker kolon (Lodish et al. 2003). ... 20

4 Perubahan morfologi sel pada proses apoptosis (O’Day 2006). ... 21

5 Jalur Apoptosis (Anonim 2010). ... 22

6 Diagram alir penelitian ... 28

7 Kadar RS di dalam produk asal pati sagu dan pati beras... 38

8 Pengaruh supernatan terhadap jumlah sel HCT-116. ... 48

9 Pengaruh supernatan terhadap inhibisi proliferasi sel HCT-116. ...49

10 Pengaruh supernatan terhadap sel HCT-116 dengan pewarna HOECHST 3258. ...51

11 Pengaruh supernatan terhadap ekspresi mRNA Bax dan Bcl-2. ...54

12 Pengaruh supernatan terhadap rasio ekspresi mRNA Bax/Bcl-2 ... . 55

13 Pengaruh supernatan terhadap sintesis caspase-3 pada sel HCT-116. .... 56

14 Perkiraan model apoptosis pada sel HCT-116 yang mendapatkan paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629... 59


(17)

xvi

Halaman

1 Spesifikasi enzim ... 71

2 Komposisi Medium ... 71

Komposisi DMEM ... 72

4 Prosedur ekstraksi mRNA (RNeasy Kitt, Qiagen) ... 73

5 Prosedur analisa caspase-3 (Instant ELISA, Bender MedSystems) ... 74

6 Analisis sidik ragam data Fermentasi in vitro ... 75

7 SCFA di dalam medium yang berisi glukosa (1,5%) sebagai sumber karbon tunggal ... 77

8 Komposisi SCFA di dalam supernatan yang dipaparkanke sel HCT- 116 77 9 Uji Toksisitas ... 78

10 Perubahan morfologi sel HCT-116 ... 80

11 Analisis sidik ragam data jumlah sel & inhibisi proliferasi ... 81

12 Hasil pengukuran mRNA di dalam sampel ... 81

13 Contoh plot amplifikasi ... 82

14 Nilai Ct 15 Analisis sidik ragam data ekspresi gen ... 84

dan perhitungan ekspresi gen ... 83

16 Analisis sidik ragam data Caspase-3 ... 85


(18)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pencernaan yang sehat sangat diperlukan oleh setiap orang. Pentingnya kesehatan sistem pencernaan makin disadari seiring dengan adanya perubahan pola konsumsi pangan dan gaya hidup yang penuh dengan tekanan (stres). Hal ini wajar karena saluran pencernaan merupakan organ dengan luas permukaan dan kapasitas metabolisme tertinggi bagi tubuh manusia. Organ ini terlibat langsung dalam penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun menjaga kesehatan, dan pembuangan zat-zat racun maupun bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh. Sistem pencernaan yang kurang bagus dapat mengakibatkan kelainanseperti konstipasi bahkan kanker.

Kanker adalah

pertumbuhan tidak terkendali (pembelahan sel melebihi batas normal) dari sel/suatu jaringan yang menyerang jaringan di dekatnya serta dapat bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalu Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan oleh kerusakan DNA sehingga menyebabkan Kanker kolon dan rektum (colorectal cancer, CRC), adalah pertumbuhan sel yang tak terkendali (neoplasia) pada daerah usus besar sehingga mengganggu sistem pencernaan secara lokal dan mekanisme fisiologis tubuh secara umum.

Ada sekitar 1,2 juta kasus kanker kolon dan rektum baru pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 9,8% di seluruh dunia(Globocan 2008). Secara global, kanker kolon menempati urutan ketiga setelah kanker paru-paru dan, payudara. CRC menempati urutan ketiga untuk laki-laki dan urutan kedua bagi perempua n. Data statistik kanker di Indonesia belum tersedia sampai saat ini. Hanya ada sekitar 600 malignan kolon di RS Dharmais Jakarta pada kurun waktu 1994-2006 (Kastomo 2007). Kemungkinan besar banyak kasus serupa terjadi di tempat lain namun belum dilaporkan secara rinci. Sekitar 80% dari kasus CRC berkaitan dengan diet (Le-Leu

et al. 2007), 15% disebabkan oleh faktor keturunan sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk lingkungan.Tingginya persentase CRC yang diakibatkan oleh faktor makanan menunjukkan bahwa CRC sebenarnya dapat dihindari.Komponen


(19)

bahan pangan yang mampu mencegah kanker kolon diantaranya adalah resveratrol (terdapat di dalam anggur merah), proantocyadinin (di dalam buah, sayur dan biji-bijian), kurkumin (dalam kunyit) dan pati resisten (biji-bijian, ubi-ubian, palma) (Wolter dan Stein 2002, Kim et al. 2005, Le-Leu et al. 2007,Patel et al. 2008).

Keadaan di atas mendorong dilakukannya riset tentang kontribusi ingredien pangan dalam bentuk pati resisten tipe 3 (Resistant Starch Type 3; selanjutnya disebut RS3) dalam mencegah CRC. Pati resisten (Resistant Starch = RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak terserap oleh sistem pencernaan pada individu yang sehat (Euresta 1993). Ada empat kelompok RS, yaitu RS1, RS2, RS3 dan RS4 (Englyst et al. 1992). RS1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. RS3 adalah pati retrogradasi dan RS4 adalah pati modifikasi secara kimiawi.

RS lolos dari sistem pencernaan yang sehat dan langsung memasuki usus besar (kolon) selanjutnya difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnya. Fermentasi dilakukan oleh sejumlah bakteri antara lain dari genusEubacterium,Peptostreptococci,Clostridia,Roseburia spp dan

Butyrofibriofibrisolvens.Bakteri tersebut mampu mendegradasi pati karena memiliki enzim pengurai pati, yaitu amilase (Wang et al. 1999).

Hasil fermentasi RS di kolon berupa asam lemak rantai pendek (SCFA: short chain fatty acid), yaitu asam asetat, propionat dan butirat(Bird et al. 2000, Ramsay et al. 2006).SCFA tersebut langsung diserap dan SCFA yang tidak diserap akan diangkut melalui sistem vena portal menuju organ tertentu untuk dimetabolisme. SCFA terutama butirat dilaporkan memberikan dampak yang menguntungkan bagi kesehatan inang.SCFA selain menjadi sumber energi utama bagi sel-sel kolon normal juga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker(Augenlicht et al. 2002). Penghambatan proliferasi sel kanker dapat terjadi melalui inaktifasi enzim histon deasetilase (HDAC: histone deacetylase) sehingga mengubah ekspresi gen tertentu(Hinnebusch et al. 2002) atau menginduksi apoptosis (Kim et al. 2005, Le-Leu et al. 2005). Induksi apoptosis pada sel-sel yang memiliki DNA rusak maupun


(20)

kanker pada dasarnya merupakan target dari pencegahan maupun terapi pada penyakit kanker.

RS3 dapat dikembangkan dari beberapa sumber karbohidrat diantaranya kentang, jagung, beras, pisang dan sebagainya. Pada penelitian ini, RS3 dibuat dari pati beras dan sagu. Kedua komoditas dipilih karena tersedia dalam jumlah besar danberagam. Saat ini banyak varietas unggul beras dihasilkan oleh para pemulia padi, namun hanya sebagian saja yang populer untuk dikonsumsi langsung. Beberapa varietas memiliki keunggulan agronomi namun kurang diterima oleh konsumen karena kualitas tanaknya kurang bagus. Varietas padi yang termasuk di dalamnya antara lain adalah Cisokan dan Batang Piaman. Oleh karenanya, padi-padi tersebut sangat cocok bila dijadikan bahan ingredien pangan fungsionaldiantaranya untuk mencegah CRC.Sagu (Metroxylon sp) adalah sumber pati lain yang cukup penting di Indonesia. Luas area sagu di dunia diperkirakan mencapai 2,25 juta ha dalam bentuk hutan sagu dan 0,2 juta ha dalam bentuk semi budidaya. Indonesia memiliki luas area produksi sagu terbesar di dunia dan diikuti oleh Papua Nugini, Malaysia dan Filipina (Flach 1997). Pohon sagu mampu menghasilkan pati sekitar 2-3 ton/ha/tahun, lebih tinggi dibanding singkong maupun jagung, masing-masing 2 ton/ha/tahun dan 1 ton/ha/tahun (Stantan 1992). Selain itu, pati sagu juga dapat diperoleh dari batang pohon aren (Arenga pinata).

Pati beras dan sagu memiliki sifat berbeda. Pati beras mengandung amilosa kurang dari 30%, sedangkan pati sagu lebih dari 30%. Pati sagu memiliki pola difraksi sinar X tipe C (Ahmad et al. 1999), sedangkan pati beras memiliki pola difraksi sinar X tipe A (Patindol & Wang 2003). Fraksi amilopektin pada pati beras memiliki rantai cabang dengan derajat polimerisasi (DP) lebih dari 13 dengan porsi lebih sedikit dibanding yang terdapat di dalam pati sagu (Srichuwong et al. 2005a). Sifat-sifat tersebut memberikan kontribusi yang berbeda dalam pembentukan pati resisten. RS3 dibuat melalui kombinasi proses retrogradasi (interaksi antar fraksi amilosa) dan hidrolisis enzimatis. Hidrolisis non enzimatis misalnya dengan asam sebenarnya juga dapat digunakan untuk menghasilkan RS3. Hidrolisis secara


(21)

enzimatis dipilih dengan pertimbangan enzim bekerja sangat spesifik.Hidrolisis dilakukan oleh amilase, pululanase dan kombinasinya.

Pada penelitian ini, RS3 difermentasi oleh kultur murni Clostridium butyricum

BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 sebagai strain bakteri model. Keduanya merupakan bakteri pendegradasi pati dan penghasil butirat yang secara normal berada di kolon serta termasuk kelompok non patogen. Bakteri yang sering ditemukan di kolon antara lain berasal dari famili bakterioid, bifidobakteria, lactobacilli. Selanjutnya pengaruh supernatan hasil fermentasi terhadap sel kanker dipelajari secara in vitro dengan kultur sel HCT-116.

1.2.Tujuan

a. Mendapatkan RS3 daripati beras dan pati sagumelalui proses kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim

b. Mempelajari profil SCFA yang dihasilkan oleh kultur tunggal C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 pada media fermentasi yang disuplementasi dengan RS3 tersebut di atas.

c. Mempelajari penghambatan proliferasi dan apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon (manusia), yaitu HCT-116yang diberi paparan SCFA hasil fermentasi RS3.

1.3. Keluaran yang diharapkan

a.RS3 dari pati beras dan pati sagu yang bersifat butirogenik, yakni RS3 yangdapatmenghasilkan asam butirat ketika difermentasi.

b.Sel kanker yang proliferasinya terhambat dan mengalami apoptosis ketika sel yang bersangkutan diberi paparan supernatan hasil fermentasi RS3.

1.4.Manfaat hasil penelitian

Teknik pembuatan RS3 bermanfaat bagi industri dalam menyediakan ingredien pangan fungsional pencegah kanker kolon. Haltersebuttentunya mendorong permintaan terhadap bahan baku (beras dan sagu) sehingga pendapatan produsen (petani) diperbaiki.


(22)

Hasil penelitian juga memberikan pemahaman terhadap peran bakteri kolon secara individu dalam fermentasi RS3. Pemahaman ini penting untuk menyusun strategi pengembangan dan pemanfaatan RS3 sebagai komponen bahan pangan yang memiliki fungsi unik yang mampu mencegah penyakit kanker kolon/CRC.

1.5.Hipotesis

a. RS3 asal pati sagu maupun pati beras dapat dimanfaatkanoleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 dengan menghasilkan SCFA.

b. SCFA mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon.


(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Potensi Sagu dan Beras

Sagu dan beras merupakan sumber karbohidrat penting di kawasan Asia dan khususnya di Indonesia. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Tanaman ini masih tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun(Limbongan 2007). Tanaman sagu berkembang di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu sebagian Sumatera, Sulawesi dan Papua (BPS 2009). Di propinsi Papua ditemukan lebih dari 60 jenis aksesi sagu dan Papua dianggap sebagai sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia (Limbongan 2007).

Di Indonesia, terutama di Jawa Barat, istilah pati sagu juga dipakai untuk menyatakan pati yang diekstrak dari tanaman aren (Arenga pinnata). Oleh karena itu, di wilayah ini dikenal dua jenis pati (disebut juga aci) sagu, yakni aci kirai dan aci kawung, masing-masing diperoleh dari batang pohon sagu dan batang pohon aren.

Sagu dikonsumsi secara langsung sebagi makanan pokok diantaranya di Sulawesi dalam bentuk kapurung, sagu lempeng, di Papua dalam bentuk papeda dan sebagainya. Sagu juga diolah menjadi aneka kue kering. Sagu juga telah menjadi mi atau bihun (Purwani et al. 2006, Herawati et al. 2010).

Berbeda dengan sagu, beras merupakan tanaman yang secara intensif dibudidayakan oleh petani. Produksi beras meningkat dari sekitar 60 juta ton pada tahun 2008 menjadi lebih dari 64 juta ton pada tahun 2009 (BPS 2010). Di samping itu, lebih dari seratus varietas padi telah berhasil dirakit oleh para pemulianya dalam satu dekade terakhir ini. Varietas-varietas tersebut memiliki sifat agronomis maupun kualitas rasa nasi yang sangat beragam sesuai dengan kondisi alam dan preferensi masyarakat Indonesia (Suprihatnoet al. 2010). Sifat nasi sangat ditentukan oleh kadar amilosa beras. Berdasarkan kadar amilosa, beras dikelompokka n menjadi: (a) beras ketan dengan kadar amilosa <10%, (b) beras beramilosa rendah dengan kadar 10-20%, (c) beras beramilosa sedang dengan kadar 20-25% dan (d) beras beramilosa tinggi dengan kadar >25%(Indrasari et al. 2008). Makin tinggi kadar amilosa makin pera tekstur nasinya.


(24)

Seperti halnya sagu, beras juga dikonsumsi langsung dalam bentuk nasi. Beras beramilosa sedang umumya disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian etnis Melayu di Sumatera menyukai beras beramilosa tinggi. Beras juga diolah menjadi berbagai produk seperti bihun dan berondong. Beras yang kurang disukai untuk konsumsi langsung memiliki peluang untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti RS3.

2.2. Struktur dan Degradasi Pati

Granula pati memiliki bentuk dan ukuran spesifik tergantung pada sumbernya. Granula pati sagu berbentuk oval dan berukuran besar yakni lebih dari 30 µ m, sedangkan granula pati beras berbentuk poligonal berukuran kecil yakni kurang dari 10 µ m (Ahmad et al.1999, Srichuwong et al. 2005, Yang et al. 2006). Ukuran granula pati ikut mempengaruhi tingkat kemudahannya diakses oleh enzim-enzim pendegradasinya. Makin besar ukuran granula pati makin kecil rasio luas permukaannya terhadap volume sehingga mengurangi ikatan dengan enzim atau dengan kata lain menurunkan potensi hidrolisisnya (Tester et al. 2004).

Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun atas unit monomer glukosa melalui ikatan glikosidik α-(1,4). Fraksi ini mudah larut dalam air dan mampu membentuk struktur helik ganda. Kadar amilosa pati sagu dan pati beras bervariasi antar varietas seperti tampak dalam Tabel 1. Berat molekul amilosa sagu berkisar antara 1,41x 106- 2,23x 106 Da (Ahmad et al. 1999).

Amilopektin adalah polimer mirip amilosa namun bercabang melalui ikatan glikosidik α-(1,6) pada titik percabangannya. Amilopektin membentuk struktur klaster. Rantai amilopektin di dalam klaster dibedakan menjadi rantai A dan B. Rantai A merupakan rantai yang tidak membawa rantai yang lain dan umumnya memiliki derajat polimerisasi (DP) <15 unit glukosa. Rantai B membawa rantai lain melalui ikatan glikosidik α-(1,6) dan memiliki DP 13-24, 25-36 unit glukosa atau bahkan lebih panjang lagi.


(25)

Tabel 1 Kadar amilosa pati sagu dan biji beras

Komoditas Kadar amilosa (%, basis basah) Pustaka Sagu Hapholo Hongleu Yepha Hongleu Panne Tuni Molat Ihur 28,63 27,55 31,14 33,82 34,96 30,90 (Limbongan 2007) (Limbongan 2007) (Limbongan 2007) (Limbongan 2007) (Limbongan 2007) (Limbongan 2007) Beras IR-36 Mekongga Batang Piaman 27,30 23,13 27,34

(Purwani et al. 2007) (Purwani et al. 2007) (Purwani et al. 2007)

Tabel 2 menampilkan perbedaan karakteristik dasar amilosa dan amilopektin, sedangkan Tabel 3 menampilkan distribusi panjang rantai cabang amilopektin pati beras dan pati sagu.

Tabel 2Karakteristik amilosa dan amilopektin

Karakteristik Amilosa Amilopektin

Struktur Linear (α-1,4) Bercabang (α-1,4; α-1,6)

Berat molekul ~106 Dalton ~ 108

Derajat Polimerisasi

Dalton

1500 - 6000 3 x 105 – 3 x 10

Kekuatan helix

6

Kuat Lemah

Warna reaksi dengan Iod Biru Merah keunguan

Stabilitas larutan (encer) Tidak stabil Stabil

Retrogradasi Cepat Lambat

Sifat gel Keras dan irreversible Lunak dan reversible

Sifat film Kuat Rapuh


(26)

Tabel 3 Distribusi rantai cabang amilopektin pada pati sagu dan beras ketan

Komoditas Distribusi panjang rantai cabang (%)

DP 6-8 DP 9-12 DP 13-24 DP 25-30

Sagu 9,0 28,1 56,2 6,7

Beras 8,0 34,5 52,1 5,4

Sumber: (Srichuwong et al. 2005a).

Variasi sifat molekuler fraksi amilosa dan amilopekin memberikan konsekuensi terhadap perbedaan sifat fisiko kimia pati seperti kekuatan gel, sifat pasta, tingkat kemudahannya untuk dihidrolisis oleh enzim dan sebagainya (Ahmad et al. 1999, Patindol & Wang 2003, Srichuwong et al. 2005a, Srichuwong et al. 2005b).

Pati dapat dihidrolisis oleh enzim α-amilase, ß-amilase, glukoamilase, dan isoamilase atau pululanase (Mathewson 1998). Enzim α-amilase (E.C. 3.2.1.1) merupakan enzim hidrolisis yang memotong ikatan glikosidik α-(1,4) secara acak dari bagian dalam molekul pati. Enzim ini dikenal dengan endoamilase. Hidrolisis rantai amilosa oleh enzim tersebut berlangsung secara terus-menerus hingga tersisa rantai glukosa 10-20 unit. Pada rantai amilopektin, enzim amilase bekerja dengan cara sama dan menyisakan fragmen percabangan yang mengandung ikatan glikosidik α-(1,4). Enzim β-amilase (E.C.3.2.1.2) menghidrolisis ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi dan menghasilkan maltosa. Sistem pencernaan manusia tidak memiliki β-amilase.Glukoamilase (EC 3.2.1.3) mengkonversi maltosa dan fragmen besar pati (hasil hidrolisis α dan β amilase) menjadi glukosa. Isoamilase memotong ikatan α-(1,6). Isoamilase atau pululanase (EC 3.2.1.41) memotong ikatan α-(1,6) (Gambar 1).

Keperluan enzim dalam industri biasanya dihasilkan oleh mikroorganisme. Tingkat kemudahan pati diakses oleh enzim lebih tergantung pada struktur/organisasi molekul pati. Pati yang memiliki difraksi sinar x tipe A lebih mudah dihidrolisis oleh amilase dibanding tipe B(Srichuwong et al. 2005a). Enzim pendegradasi pati juga dihasilkan oleh beberapa bakteri penghuni usus besar seperti Bifidobacteria, Bacteroides, Clostridium dan Eubacterium(Wang et al. 1999).


(27)

Gambar 1Ilustrasi tempat pemotongan enzim pendegradasi pati(Mathewson 1998).

2.3. Pati Resisten (Resistant Starch/RS) 2.3. 1. Klasifikasi

Pati resisten (resistant starch, RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak tercerna oleh sistem enzim pada pencernaan individu yang sehat. RS terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan segar maupun produk olahannya. Ada 4 tipe RS, yaitu RS1, RS2, RS3 dan RS4 (Sajilata et al. 2006). RS1 adalah pati yang berada dalam jaringan tanaman sehingga tidak dapat diakses oleh enzim-enzim pencernaan. Contohnya adalah pati yang terdapat dalam buah apel dan pisang. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. Contohnya adalah pati hasil ekstraksi batang sagu, ubi jalar, jagung dan sebagainya. RS3 adalah pati retrogradasi yang terbentuk selama proses pengolahan pangan atau yang direkayasa. RS4 adalah pati modifikasi yang diperoleh melalui proses eterisasi, esterifikasi maupun ikatan silang. Oleh karena itu, jenis pati ini memiliki ikatan

selain ikatan glikosidik α-(1,4) atau α-(1,6), diantaranya ikatan ester. ujung non pereduksi

ujung pereduksi

α-amilase

α-amilase

ß-amilase ß-amilase

amiloglukosidase pululanase


(28)

2.3. 2. Pembuatan RS3

RS3 menjadi perhatian di kalangan industri pangan karena jenis RS ini selain terbentuk selama proses pengolahan pangan juga dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga diperoleh produk yang sifatnya sesuai dengan kebutuhan. Beberapa proses dikembangkan untuk menciptakan RS3 dari sumber pati yang berbeda-beda. Garis besar pembuatan RS3 meliputi aplikasi proses pemanasan, pendinginan, hidrolisis enzim maupun non-enzimatis dan kombinasinya. Pemanasan ditujukan agar pati tergelatinisasi sehingga pati dapat diakses oleh enzim. Pendinginan digunakan untuk memicu proses retrogradasi,sedangkan hidrolisis berguna untuk menghilangkan bagian amorphus pati. Hasil hidrolisis (hidrolisat) dihilangkan dan sisanya dikeringkan untuk mendapatkan material atau produk yang dikenal sebagai RS3.

Suspensi pati yang dipanaskan mengalami gelatinisasi sehingga granula membengkak yang mengakibatkan amilosa di dalamnya keluar (leaching) dan ditandai oleh perubahan viskositas. Proses pendinginan menghasilkan gel. Pada kondisi dingin, amilosa berinteraksi sesamanya dan proses ini dikenal dengan retrogradasi. Retrogradasi dipercepat pada suhu rendah. Interaksi antar rantai amilosa membentuk struktur yang relatif lebih tahan terhadap proses hidrolisis enzim.

Pembuatan RS3 dengan cara memodifikasi pati garut (Marantha

arundinacea) dengan perlakuan kombinasi siklus pemanasan-pendinginan dilaporkan oleh Sugiyono et al. (2009). Dengan cara tersebut, kadar pati resisten meningkat dari sekitar 2% pada pati alami menjadi 10-12% tergantung pada perlakuan yang diterapkan. Putra (2010) melaporkan bahwa pemanasan suhu tinggi (autoclaving)meningkatkan kadar RS menjadi dua kali lipat pada tepung atau pati pisang.

RS3 dari pati beras dilaporkan oleh (Guraya et al. 2001). Prosesnya melibatkan hidrolisis pati beras oleh enzim pululanase dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 121oC, 30 menit kemudian pendinginan pada 1oC dan diakhiri dengan pengeringan beku. Proses tersebut menghasilkan material (RS3) dengan kadar RS sekitar 13%. Pembuatan RS3 dari pati beras juga dilaporkan oleh (Kim et al. 2003) dengan hidrolisis enzim α-amilase yang dilanjutkan


(29)

dengan kombinasi perlakuan panas pada 121oC, 15 menit kemudian didinginkan pada 4oC selama 24 jam. Kadar RS di dalam material sekitar 16%.

Penggunaan pati sagu dan enzim pululanase yang dikombinasikan dengan pemanasan pada 121oC, 30 menit dan penyimpanan pada suhu bervariasi dari 4oC sampai 80oC selama 0 sampai 7 (tujuh) hari untuk mendapatkan produk RS3 juga dilaporkan oleh peneliti lain (Leong et al. 2007). Kadar RS tertinggi mencapai 11,6% diperoleh pada proses hidrolisis pati sagu dengan 40 PUN (Pullulanase Unit Novozyme)/g substrat selama 8 jam yang diikuti oleh pemanasan pada 121oC, 30 menit dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu 80oC selama 7 (tujuh) hari. Kadar RS di dalam bahan asalnya pati sagu alami justru lebih tinggi (sekitar 41%).

Pati singkong juga diproses menjadi RS3 (Vatanasuchart et al. 2010). Pati digelatinisasi pada 120oC, 30 menit kemudian dihidrolisis oleh enzim pululanase dan dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu 4o

Perbedaan proses pembuatan RS3 mengakibatkan perbedaan sifat fungsionalnya dan ini sangat menentukan aplikasinya lebih lanjut. RS3 masih memiliki kemampuan membentuk gel dan menahan air (Guraya et al. 2010), namun ada pula yang tidak lagi memiliki kemampuan serupa (Tan 2003). RS3 mampu memperbaiki sifat produk pangan dengan bertindak sebagai texture modifier, crisping agent(Sajilata et al. 2006). RS secara umum dianggap sebagai bagian dari serat makanan. RS3 ditambahkan dalam suatu formula produk pangan sebagai upaya untuk meningkatkan kadar serat makanan(Nugent 2005). RS juga ditambahkan sebagai ingredien pangan untuk meningkatkan konsentrasi butirat di dalam usus besar. RS ditambahkan ke dalam produk pangan olahan berbasis serealia, susu, rerotian maupun sayuran diantaranyabreakfast cereal, yoghurt, sup

C selama 24 jam atau 48 jam. Cara ini mampu meningkatkan kadar RS dari sekitar 9% (di dalam pati mentah) menjadi lebih dari 40%. Dari uraian di atas, tampak bahwa kadar RS di dalam produk sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan beberapa faktor diantaranya sumber pati (bahan baku), proses pemanasan dan pendinginan, penggunaan enzim penghidrolisis (jumlah dan jenis) dan sebagainya. Saat ini, RS3 sudah dapat diperoleh secara komersial diantaranya adalah CrystaLean® dan Novelose 330, keduanya berasal dari pati jagung.


(30)

krim dan sebagainya. Jumlah RS yang ditambahkan bervariasi dari 2% hingga 20% (Brouns et al. 2002).

2.4. Mikrofora dan Short Chain Fatty Acid (SCFA)

Usus besar (kolon) merupakan habitat berbagai macam mikroorganisme. Lebih dari 50 genus dan 400 spesies bakteri telah diidentifikasi pada feses manusia.Bakteri fakultatif aerob seperti Escherichia coli ada di dalamnya. Bakteri anaerob obligat seperti Clostridium dan Bacterioid berada dalam jumlah sangat besar (Bird et al. 2000). Bakteri yang sering ditemukan didalam kolon dicantumkan dalam Tabel 4. Populasi setiap bakteri bervariasi dari 105 hingga 1014 sel/g feses. Kemampuan memanfaatkan substrat dan produk yang dihasilkannya juga beragam.

Pati resisten tidak dicerna di dalam sistem saluran pencernaan sehingga material ini langsung menuju usus besar. Kelompok bakteri sakarolitik memanfaatkan RS sebagai substrat fermentasi untuk menghasilkan produk berupa SCFA (asetat, propionat dan butirat) dan gas (CO2, CH4 dan H2

Kadar SCFA dan distribusinya tergantung pada strain bakteri serta jumlah dan jenis substrat yang tersedia. RS khususnya RS3 merupakan substrat potensial bagi bakteri penghasil butirat di dalam kolon dan disebut sebagai substrat butirogenik. Kemampuan RS3 sebagai substrat butirogenik dilaporkan oleh beberapa peneliti. Zhao dan Lin (2009) melakukan simulasi fermentasi RS3 asal pati jagung yang dihrolisis dengan asam sitrat. RS3 ditambahkan di dalam cairan feses bayi atau orang dewasa sehat kemudian diinkubasi secara anaerobik pada suhu 37

). SCFA yang tidak diabsorpsi oleh kolon akan memasuki darah melalui sistem portal hepatik. Di hati, asam asetat ditransfer menjadi acetil-CoA yang merupakan prekursor untuk lipogenesis. Propionat menghambat glukoneogenesis. Butirat merupakan sumber energi utama bagi sel-sel kolon dan dilaporkan memiliki kemampuan menghambat sel kanker (Singhet al. 1997, Hinnebusch et al. 2002).

o

C selama 0, 12 dan 24 jam. Hasil studi menunjukkan bahwa SCFA meningkat sejalan dengan lama fermentasi. Kadar asam butirat lebih besar dihasilkan oleh kultur yang berasal dari cairan feses bayi. Sharp dan Macfarlane (2000) melaporkan bahwa RS dapat menstimulasi pertumbuhan (in vitro) bakteri


(31)

penghasil butirat dari genus Clostridia. Reid et al. (1998) melaporkan kemampuan kultur murni C.butyricum untuk menghasilkan SCFA dari substrat pati jagung. Rasio amilosa/amilopektin, retrogradasi dan penambahan amilase pankreas dilaporkan mempengaruhi SCFA dan rasio asetat terhadap butirat.

Tabel 4 Bakteri yang sering ditemukan di dalam kolon

Famili Gram Jumlah Sifat konsumsi

substrat

Produk

Log 10/g Berat Kering feses

Rerata Kisaran

Bakteroides G – rods 11,3 9,2 -13,5 Sakarolitik A, P, S Eubacteria G + rods 10,7 5,0 – 13,3 Sakarolitik, beberapa

spesies menggunakan asam amino sebagai substat

A, B, L

Bifidobacteria G + rods 10,2 4,9-13,4 Sakarolitik A, L, F, E Clostridia G + rods 9,8 3,3 – 13,1 Sakarolitik, beberapa

spesies menggunakan asam amino sebagai substat

A, P, B L, E

Lactobacilli G + rods 9,6 3,6 – 12,5 Sakarolitik L Ruminococci G + cocci 10,2 4,6 – 12,8 Sakarolitik A Peptostreptococci G + cocci 10,1 3,8 – 12,6 Sebagian Klostridia A, L Peptococci G + cocci 10,0 5,1 - 12,9 menggunakan asam

amino sebagai substat

A, B, L Methanobrevibacter G +

coccobacilli

8,8 7,0 – 10,5 Kemolitotropik CH4

Desolphovibries G – rods 8,4 5,2 – 10,9 Berbagai macam substrat

A Propionibacteria G + rods 9,4 4,3 – 12,0 Sakarolitik

Laktat

A, P Actinomyses G + rods 9,2 5,7 – 11,1 Sakarolitik A, L, S Streptococci G + cocci 8,9 3,9 – 12,9 Karbohidrat dan

Asam amino

L, A Fusobacteria G – rods 8,4 5,1 – 11,0 Asam amino dan

Karbohidrat

B, A, L Escherichia G – rods 8,6 3,9 – 12,3 Sebagai streptococci

Campur-an asam

Keterangan : A = asetat, B = butirat, P = propionat, E = ethanol, F = format, L = laktat, S = suksinat

Sumber: (Macfarlane et al. 1995).

Diperkirakan 80% dari bakteri penghasil butirat di kolon berada dalam klaster XIVa kelompok bakteri gram positip (Barcenilla et al. 2000). Spesies bakteri penghasil butirat yang berada dalam kolon manusia antara lain adalah E.


(32)

rectale, Roseburia intestinalis, Roseburia hominis dan sebagainya (Louis & Flint 2009) maupun C. butyricum(Mitsuoka 1990).

Bakteri dalam kolon bersifat sakarolitik sehingga mampu menguraikan pati dengan bantuan enzim amilase. Sistem enzim pendegradasi pati pada bakteri gram positip penghasil butirat dilaporkanoleh (Ramsay et al. 2006).Enzim tersebut tertancap pada dinding sel bakteri sedemikian rupa sehingga situs hidrolisisnya berdekatan dengan sistem transpor produk hidrolisis menuju ke dalam sel bakteri. Produk hidrolisis kemudian dimetabolisme untuk menghasilkan SCFA. Ada beberapa jalur pada proses pembentukan SCFA dari glukosa yang sudah dikonfirmasi pada bakteri kolon (Miller & Wolin 1996). Katabolisme glukosa berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas dengan menghasilkan CO2 dan piruvat. Asetat berasal dari CO2 dan dibentuk melalui jalur Wood Ljungdahl. Propionat dibentuk dengan cara fiksasi CO2

SCFA mencapai sel melalui sistem transpor pasif dan aktif dengan bantuan senyawa pengangkut/carrier specific, yaitu MCT (Monocarboxylate Transporter) (Hadjiagapiou et al. 2000, Lecona et al. 2008). Transpor pasif berlangsung dengan cara difusi non ionik SCFA yang tidak terdisosiasi. SCFA juga dimungkinkan berada dalam bentuk non ionik karena daerah apikal suasananya asam akibat pelepasan H

. Butirat dihasilkan melalui jalur klasik yaitu kondensasi molekul asetil-CoA. Pada tahap akhir pembentukan butirat tersedia dua jalur yaitu pertama jalur butirat kinase dan kedua jalur butiril-CoA:asetil-CoA transferase. Pada jalur pertama, enzim fosfo transbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoA menjadi butirat dengan produk antara butiril-fosfat. Pada jalur kedua, enzim butiril-CoA:asetat CoA-transferase mentransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga dihasilkan asetil-CoA dan butirat. Jalur ini umumnya dimiliki oleh bakteri penghasil butirat pada kolon. Jalur butirat kinase ditemukan pada bakteri solventogenik C. tyrobutyricum(Zhu 2003). Ilustrasi jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat dicantumkan dalam Gambar 2.

+

yakni Na+/H+ exchanger. Pada kondisi pH fisiologis, SCFA berada dalam bentuk terionisasi dan transpor SCFA berlangsung secara aktif. Transpor anion butirat terjadi dalam bentuk (i) antiporter non-electrogenik


(33)

SCFA-/HCO3-, (ii) electroneutral H+-coupled MCT (monocarboxylate

transporter) dan (iii) electrogenic Na+

Gambar 2Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. 1a: jalur butirat kinase, 1b:butiril-CoA:asetil CoA transferase, 2: jalurakrilat, 3:jalur suksinat, 4: jalur propandiol. (Louis et al. 2007). Tanda panah terputus menunjukkan adanya produk antara. DHAP: dihidroksiaseton pospat, P: Pospat, PEP: Pospoenolpiruvat.

-coupled transporter untuk MCT.

SCFA menimbulkan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi kese-hatan pencernaan inang. Asam-asam organik termasuk SCFA memberikan kon-tribusi terhadap kesehatan kolon secara signikan. SCFA merupakan regulator pro-ses fisiologi untuk menjaga agar kolon berfungsi normal (Bird et al. 2000). Fung-si SCFAsecara umum didasarkan pada kenyataan SCFA termasuk kelompok asam organik dengan nilai pKa sekitar 5 sehingga produksi SCFA akan meng-asamkan lingkungan intrakolon. Pada kondisi tersebut terjadi: (i) pertumbuhan mikroorganisme patogen yang sensitif terhadap perubahan pH dihambat, (ii)

Heksosa (glukosa, fruktosa), pentosa (xilosa, arabinosa) L-fukosa

DHAP + L-laktaldehid

Propan-1,2-diol Propionaldehid Propionil-CoA Propanol Propionat Propionil-CoA Metilmalonil-CoA Suksinil-CoA Suksinat Oksaloasetat Piruvat L-laktat Laktil-CoA Akrilil-CoA Propionil-CoA Asetil-CoA Asetoasetil-CoA ß-hidroksibutiril-CoA Krotinil-CoA Butiril-CoA Butiril-P Butirat Asetat Asetat Asetil-CoA Asetil-CoA


(34)

senyawa alkalin yang berpotensi toksik/karsinogenik akan terdisosiasi sehingga tidak dapat terserap lagi dan (iii) peredaran darah di kolon lebih lancar dan otot kolon berkontraksi sehingga menstimulasi penyerapan cairan dan elektrolit (Na+, K+ dan Ca+2). SCFA khususnya butirat merupakan sumber energi utama bagi sel epithel kolon.Beberapa peneliti melaporkan bahwa SCFA khususnya butirat memiliki aktifitas anti-proliferasi dan mampu mengubah ekspresi sejumlah gen (Archer et al. 1998, Hinnebusch et al. 2002, Davie 2003). Hal ini diperkuat oleh studi yang melibatkan hewan model. Produksi SCFA meningkat dan perkembangan sel kanker di dalam kolon tikus/mencit berkurang setelah tikus/mencit mengonsumsi diet kaya RS (Le-Leu et al. 2002, Le-Leu et al. 2007).

SCFA terutama butirat merupakan penghambat enzim histone deasetilase (HDAC: Histone Deacetylase). Penghambatan enzim tersebut mengakibatkan terjadinya hiperasetilasi pada protein histone sehingga interaksi ionik antar DNA rusak dan hal ini mengubah ekspresi sejumlah gen. Gen-gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh hiperasetilasi histon antara adalah gen yang mengatur siklus sel (Cyclin A, Cyclin E, Cyclin B1 dan sebagainya), faktor transkripsi (c-Myc, RARα dan ß) maupun apoptosis yaitu famili gen Bcl-2(De Ruijteret al. 2003).

2.5. Kanker Kolon

2.5.1 Statistik dan Epidemiologi

Data kanker global menunjukkan bahwa ada empat jenis kanker yang sering ditemukan yaitu kanker paru-paru (1.352.132 kasus), payudara (1.151.298 kasus), kolon (1.023.152 kasus) dan prostat (679.023 kasus) (Parkin et al. 2005). Berdasarkan data di Instalasi Radioterapi RSK ”Dharmais” Jakarta tahun 1995-2002, kanker rektum menempati urutan ke-6 dari sepuluh besar jenis kanker (Tabel 5). Jumlah sebenarnya mestinya lebih banyak lagi.

Hasil survei penelitian mengenai kasus kanker kolon menyimpulkan bahwa sekitar 5-10%kanker kolon dan rektum disebabkan oleh faktor genetik yang diwariskan. Selebihnyadisebabkan oleh hal lain yang berkaitan dengan makanan, gizi dan aktifitas fisik (World Cancer Research Fund 2011).


(35)

Tabel 5Sepuluh besar jenis kanker berdasarkan letaknya di Instalasi radioterapi RSK ”Dharmais” Jakarta, tahun 1995-2000

Rangking Jenis kanker Jumlah pasien (orang)

1. Servix uterus 998

2. Payudara 897

3. Nasopharying 578

4. Paru-paru 403

5. Tiroid 123

6. Rektum 86

7. Lidah 65

8. Prostat 44

9. Buli-buli 40

10. Kelenjar getah bening 37

Sumber: (Defrizal 2007).

2.5.2. Karsinogenesis

Kanker berawal dari kerusakan/perubahan DNA atau mutasi ketika sel ber-replikasi.Pada saat replikasi, gen yang mengontrol pembelahan sel dalam keada-an aktif. Pada kondisi tertentu sel berdiferensiasi dkeada-an tidak lagi membelah se-hingga gen yang mengontrolnya dalam keadaan tidak aktif. Secara normal, jika terjadi kesalahan replikasi maka sel mampu memperbaiki karena sel memiliki fasilitas enzim-enzim reparasi DNA (DNA repairing enzyme).

Pada kanker kolon mutasi terjadi pada gen penekan tumor (tumor supresor gene : TSG) seperti gen APC (Adenomatous Polypopsi Coli), p53 dan lainnya maupun pada oncogen seperti K-ras. Mutasi gen APC bersifat heriditer (diwariskan) sehingga individu yang membawa gen APC termutasi tersebut beresiko lebih besar untuk terkena kanker usus dibanding individu yang tidak membawanya (Lodish et al. 2003). Namun demikian, kesalahan genetika yang terkait dengan faktor keturunan tidak secara otomatis berubah menjadi sel kanker. Ada faktor eksternal lainnya yang diperlukan untuk mengubahnya menjadi sel kanker.


(36)

Faktor luar (eksternal)diantaranya virus, infeksi berkelanjutan, radiasi, polusi udara dan bahan-bahan kimia yang tidak diperlukan oleh tubuh (xenobiotik) juga dapat menyebabkan mutasi.Mutasi gen karena faktor eksternal terjadi padasel somatik,khususnya pada organ yang sering mengalami pergantian sel atau atau melakukan fungsisekresi, seperti payudara dan rahim (Zakaria 2001). Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker berlangsung secara bertahap, meliputi tahap inisiasi, promosi dan progresi (Barret 1993). Inisiasi merupakan tahap terjadinya perubahan DNA/mutasi gen yang disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Mutasi ini terjadi pada kelompok protoonco-gene dan TSG. Protooncoprotoonco-gene menyandi growth factor, growth factor receptor, enzim maupun faktor transkripsi yang mempromosi pertumbuhan dan atau pem-belahan sel. Protooncogene yang termutasi dinamakan oncogene. Pada tahap ini-siasi, oncogen teraktivasi sedangkan TSG mengalami inaktivasi. Tahap selanjut-nya adalah promosi yakni perkembangan klon sel menjadi sel tumor/pre-maglignant. Sel kemudian memasuki tahap progresi yakni sel kanker berkembang tanpa kendali. Sel kanker memiliki ciri yang berbeda dengan sel normal.

Mutasi di beberapa gen ditemukan pada kanker kolon (Gambar 3). Mutasi pada gen penekan tumor APC mengakibatkan sel tumbuh membentuk polip. Mutasi selanjutnya terjadi pada oncogen ras dan TSG DCC (deleted colorectal cancer) serta p53. Kondisi tersebut mengakibatkan pembelahan sel tidak terkendali. Meskipun demikian, tidak semua mutasi diperlukan agar sel normal berubah menjadi sel kanker.

Sel kolon normal

Gen APC hilang (khromosom 5)


(37)

Gambar 3 Karsinogenesis pada kanker kolon (Lodish et al. 2003).

2.5.3. Apoptosis

Apoptosis ialah suatu bentuk kematian sel terprogram yang mempunyai ciri-ciri morfologi dan biokimia spesifik. Apoptosis merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel-sel yang DNA-nya rusak dan hal ini menjadi salah satu alat kontrol check point dalam siklus sel. Kegagalan sel melakukan apoptosis dapat meningkatkan kemungkinan sel untuk berproliferasi tak


(38)

terkendali.

Pencegahan atau terapi kanker diarahkan untuk mencegah sel kanker berproliferasi atau menginduksi agar sel kanker melakukan apoptosis. Sel mati lewat apoptosis memiliki morfologi khusus (Gambar 4) yang berbeda dengan sel mati secara nekrosis. Mula-mula sel mengerut, mitokondria pecah dan sitokrom c dibebaskan. Kromatin (DNA dan protein) di dalam inti sel terurai. Sel pecah menjadi fragmen-fragmen yang dikelilingi oleh membranfragmen tersebut diber-sihkan oleh sel-sel fagisitosis (in vivo)(Gambar 4).

Gambar 4 Perubahan morfologi sel pada proses apoptosis (O’Day 2006).

Apoptosis diinduksi oleh beberapa senyawa. Topping dan Clifton (2001) melaporkan bahwa sel SW620 yang diberi paparan butiratterhenti pertum-buhannya pada fase G0-G1 dan G2-S dalam 12 jam dan 4 jam kemudian meng-alami apoptosis. Apoptosis juga diinduksi oleh komponen bioaktif seperti proto-antocyanidin maupun 3,3’-Diindolymethane (Kim et al. 2005, Kim et al. 2007). Ada 2 jalur utama apoptosis yang dapat dilalui oleh sel. Pertama adalah jalur kematian reseptor. Pada jalur ini FaSL terikat pada reseptor ekstra sel sehingga terbentuk DISC (Death Inducing Signal Complex) yang mampu mengaktifkan caspase 8. Pada umumnya, jalur ini dilewati oleh sel normal. Kedua adalah jalur mitokondriayang umumnya diaktifkan oleh stres dilevel seluler. Sinyal/per-ubahan intraseluler mengakibatkan sitokrom C lepas kedalam sitosol. Sitokrom C berikatan dengan Apaf-1 dan procaspase-9 membentuk apoptosin dan meng-aktifasi reaksi lain yang dikatalisis oleh sejumlah enzim caspase(Elmore 2007). Gambar 5 menunjukkan jalur apoptosis.

Mitokondria


(39)

Gambar 5Jalur Apoptosis. Garis putus hijau adalah jalur kematian reseptor, garis putus merah adalah jalur mitokondria (Anonim 2010).

Regulasi apoptosis melibatkan ekspresi gen yang tergabung dalam famili gen Bcl-2(Elmore, 2007). Famili Bcl-2 diklasifikasikan menjadi dua sub tipe masing-masing bersifat anti-apoptosis dan famili Bcl-2 yang bersifat pro-apoptosis. Famili Bcl-2 yang menyandi protein anti apoptosis antara lain terdiri dari Bcl-2, Bcl-XL

Senyawa oligomer proantosianidin dilaporkan menginduksi apoptosis pada sel lestari SNU-C4 melalui jalur mitokondria dengan meningkatkan ekspresi gen , Bcl-W, sedangkan famili Bcl-2 yang menyandi protein proapoptosis beranggotakan antara lain Bax, Bad, Bak dan Bid.Keseimbangan antara protein pro dan anti apoptosis menentukan sensitivitas sel untuk berapoptosis.Protein anti-apoptosis berada di membran mitokondria dan berfungsi menstabilkan integritasnya. Protein pro-apoptosis berada di sitosol dan bertindak sebagai sensor ketika terjadi kerusakan sel. Bila ada sel rusak, protein berpindah ke permukaan mitokondria tempat protein anti-apoptosis berada dan membentuk pori. Interaksi tersebut mengakibatkan protein anti apoptosis kehi-langan fungsinya sehingga sitokhrom c dapat lepas.

Fase Eksekusi

Kondensasi Kromatin Fragmentasi DNA


(40)

proapoptosis (Bax) dan menurunkan ekspresi gen antiapoptosis (Bcl-2) (Kim et al. 2005).Kemampuan serupa pada senyawa lain diantaranya SCFA hasil fermentasi RS3 masih perlu dieksplorasi.

Proses apoptosis memerlukan koordinasi beberapa jenis aktivitas protein spesifik. Caspase (Cystein Aspartic Acid Protease) adalah salah satu protein yang berperan penting pada proses tersebut. Caspase termasuk salah satu anggota kelompok protease sistein dan disintesis dalam bentuk inaktif (zimogen). Enzim ini memiliki residu sistein pada sisi aktifnya, memotong substrat pada residu aspartat. Aktifasi caspase menyebabkan beberapa protein seluler sebagai substratterpotong sehingga sel tidak berfungsi normal. Protein yang dimaksud antara lain adalahprotein struktural sitoskeleton dan DNA repair enzyme. Caspase juga mengaktivasi enzim degradatif DNAase sehingga DNA inti terfragmentasi(Elmore 2007). Substrat sintetik yang digunakan untuk uji aktifitas enzim caspase-3di laboratorium adalah tetra peptida aspartat-glutamat-valin-aspartat (DVED).

2.5.4. Kultur Sel

Kultur sel ialah sel yang diperoleh dari suatu jaringan hewan dan ditumbuhkan pada medium/lingkungan artifisial yang terkontrol agar sel tetap hidup dan tumbuh.Ada dua jenis kultur sel yaitu sel primer dan sel lestari. Sel yang diambil dari jaringan organisme dan dikultur untuk pertama kali dinamakan kultur sel primer. Sel lestari adalah sel primer yang telah mengalami beberapa kali sub kultur. Sel lestari sudah tersedia secara komersial.

Berdasarkan sifat tumbuhnya dikenal sel monolayer dan sel suspensi. Sel monolayer tumbuh melekat pada substrat padat, sedangkan sel supensi tumbuh mengapung di dalam medium (Ryan 2008). Sel kanker kolon termasuk sel yang tumbuh secara monolayer. Sel lestari kanker kolon yang sering dikulturkan antara lain adalah HCT-116, HT-29, Caco-2, RSB, LIM1215, LS174T (Whitehead et al. 1986, Avivi-Green et al. 2002,Hatayama et al. 2007,Kim et al 2007). Karakteristik molekuler sel lestari asal kolon bervariasi (Tabel 6).


(41)

Sel lestari Sifat Pustaka

CCD-12 CoN (asal kolon normal)

tidak ditransformasi Ahn dan Schroeder

(2002)

HCT-116 (sel kanker) wild type, COX2 dapat diinduksi,

mutasi pada ß-catenin dan ras tetapi p53 normal dan APC normal

Campbell et al. (2006)

HT-29 (sel kanker) APC normal, type II truncation, COX2 konstitutif

Campbell et al. (2006)

SW 480 (sel kanker) APC normal, type I truncation,

defisiensi COX2

Campbell et al. (2006)

Kultur sel (in vitro) sering digunakan dalam riset kanker dengan pertimbanganfaktor fisiko-kimia dapat dikontrol dan kondisi fisiologis sel dapat dipertahankan konstan. Sel dapat terpapar dan langsung mengakses reagen (zat) yang diuji, sehingga kebutuhan sampel yang diuji relatif sedikit. Kultur jaringan sel lestari juga memiliki keterbatasan diantaranya kadang-kadang kurang stabil, dan tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan kondisi in vivo.

2.5.5. Metoda Analisis Penanda Kanker Kolon 2.5.5.1. Mikroskopi

Mikroskop telah digunakan untuk mengamati morfologisel kolon, menghitung jumlah sel hidup atau sel mati serta untuk mendeteksi sel apoptosis. Sel hidup dan sel mati dibedakan dengan bantuan pewarna spesifik seperti try-phan blue kemudian mengamatinya dibawah mikroskop. Tryphan blue hanya menembus membran sel yang sudah mati. Jika sel dilarutkan dalam tryphan blue maka sel mati tampak mengembang dan berwarna biru. Sebaliknya sel hidup tampak berpendar (Doyle & Griffiths 2000).

Sel apoptosis dideteksi secara mikroskopi dengan bantuan pewarna flouresen HOECHEST 33258(Kim et al. 2007). Sel dikulturkan pada slide chamber. Setelah sel melekat pada slide, chamber dibuang dan sel diwarnai. Sel apoptosis memancarkan cahaya fluoresen. Pewarna HOECHEST 33258 (benza-midin) berikatan dengan pasangan basa A-T dan menghasilkan cahaya fluoresen.Pewarna etidium bromida-akradin oranye juga digunakan untuk mendeteksi sel apoptosis. Etidium bromida berikatan dengan DNA terfragmentasi pada sel apoptosis dan memancarkan cahaya flouresen berwarna oranye,


(42)

sedangkan dengan sel tidak apoptosis memancarkan cahaya fluoresen hijau (Sukardiman et al. 2005).

2.5.5.2. Spektrofotometri

Viabilitas sel dianalisis dengan metoda MTT (3-(4,5-dimetyltiazol, 2il)-2-5-difeniltetrazolium bromida)yang didasarkan pada kemampuan enzim dehi-drogenase mitokondria mengkonversi substrat MTT (berwarna kuning) menjadi formazan (berwarna biru, tidak larut air). Intensitas warna formazan diukur de-ngan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm (Doyle & Griffths 2000).

Keberadaan enzim caspase-3 dapat dideteksi dengan teknik kolorimetri maupun fluorometri. Pada metoda kolorimetri, Caspase-3memotong substrat sintetisAc-DVED-pNA(Acetyl-Asp-Glu-Val-Asp-pNA). Kromofor-p-nitro anilida (p-NA) yang lepas diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelom-bang 405nm. Aktifitas caspase proporsional dengan intensitas warna yang diha-silkan oleh p-NA.Teknik kolorimetri ini dilaporkan oleh Kim et al. (2005).

Pada metoda fluorometri, enzim caspase-3 memotong substrat sintetis DEVD yang dikonjugasi dengan molekul fluoresen 7-amino-4-trifluoromethyl coumarin (AFC). Fluorokhrom yang lepas dideteksi pada panjang gelombang 400 nm (eksitasi) dan 505 nm (emisi).

2.5.5.3. ELISA (Enzyme Linked immunosorbant Assay).

ELISA merupakan salah satu teknik immuno assayyang dipergunakan untuk menganalisis protein/ekpresi gen (Beck et al. 2002) dan(Kim et al. 2007). Metoda ELISA pada prinsipnya merupakan aplikasi reaksi spesifik antigen-antibodi. ELISA dibedakan menjadi tiga jenis yaitu langsung, tidak langsung dan kompetisi.

Untuk mendeteksi caspase-3, Bender MedSystems mengembangkan kit komersial ELISA yang termasuk dalam jenis ELISA langsung. Antibodi spesifik (antibodi I) yaitu, anti humancaspase-3 diikat pada sorben. Anti bodi tersebut digunakan untuk menangkap antigen caspase-3 yang ada di dalam sampel/standar. Komplek antigen-antibodi I diikat oleh antibodi pendeteksi (Antibodi II) yang dikonjugasi enzim (umumnya HRP: Horse Redish Peroxidase).Bila enzim


(43)

tersebut direaksikan dengan substrat maka dihasilkan senyawa berwarna yang intensitasnya diukur dengan bantuan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu. Teknik ELISA memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih tinggi dibanding teknik kolorimetri atau fluorometri.

2.5.5.4. Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

RT-PCR pada dasarnya adalah reaksi amplifikasi DNA dengan enzim polimerase (PCR: Polymerase Chain Reaction) yang dimonitor dari waktu ke waktu (real time) dengan bantuan kamera atau detektor. Pewarna fluoresen (contoh SYBR Green) yang mampu berikatan dengan DNA digunakan untuk menandai produk amplifikasi. Produk amplifikasi ini diwujudkan dalam suatu grafik amplifikasi yang menyatakan hubungan antara siklus PCR dengan intensitas fluoresen. Model matematika dikembangkan untuk menghitung ekpresi gen (Pfaffl 2001). House keeping gen seperti GAPDH (Glyceraldehyde 3 -Phosphate Dehydrogenase) digunakan untuk menormalisasi gen-gen yang menjadi target analisis. Aplikasi teknik RT-PCR untuk analisis ekspresi gen-gen yang berkaitan dengan apoptosis dilaporkan oleh (Nohara et al. 2007; Mbazima et al. 2008).


(44)

3. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakandiLaboratorium Balai BesarPenelitian dan Pengembangan Pascapanen di Cimanggu Bogor, Laboratorium Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi Subang Jawa Barat dan Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Satwa Primata IPB Lodaya Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2009hingga Desember 2010.

3.2. Bahan

Beras varietas Cisokan diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Suka mandi. Pati sagu (dari batang sagu: aci kirai) dibeli dari unit pengolah sagu rakyat di Sukabumi Jawa Barat. Enzim amilase dan pululanase diperoleh dari distributor NOVO (PT Halim Sakti Pratama, Jakarta). Spesifikasi keduanya dicantumkan dalam Lampiran 1.

Strain bakteri C. butyricum BCC B2571 diperoleh dari Balai Besar Veteriner di Bogor sedangkan strain bakteri E. rectaleDSM 17629 dibeli dari Koleksi Kultur DSM (Deutsche Sammlung von Mikroorganismen und Zellkulturen GmbH) di Jerman. Sel epitel non kanker VERO diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP IPB. Sel ini digunakan pada uji toksisitas sebagai kontrol mewakili sel non kanker. Sel VERO ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker. Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel lestari asal kanker kolon manusia HCT-116 ATCC CCL-247TMmerupakan donasi dari Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Jakarta.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian diawali dengan mendapatkan pati beramilosa tinggi dari sagu dan beras. Pati diproses melalui kombinasi retrogradasi dan hidrolisis enzimatis untuk mendapatkan RS3. RS3selanjutnya disuplementasikan di dalam medium pertum-buhan untuk fermentasi (in vitro). Keluaran (output) dari kegiatan tersebut berupa profil SCFA dan berdasarkan profil tersebut dipilih RS3 yang potensial sebagai


(45)

subtrat fermentasi lebih lanjut. Indikatornya adalah konsentrasi butirat >40 mM dengan rasio molar asetat : propionat : butirat sekitar 2 : 1 : 1. Fermentasi (in vitro) dengan substrat potensial dilaksanakan untuk mendapatkan produk fermentasi (supernatan) yang kemudian dipaparkan pada sel HCT-116. Keluaran dari kegiatan berupa sel HCT-116 yang dihambat proliferasinya. Garis besar tahap penelitian dicantumkan dalam Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir penelitian Beras (Cisokan) & Sagu: amilosa tinggi

Retrogradasi;

Hidrolisis : amilase, pululanase, kombinasinya

RS3

Fermentasi in vitro: C.butyricum BCC B2571,

E.rectale DSM 17629

Output I: Profil SCFA

Aplikasi supernatan mengandung SCFA pada HCT-116

Output II:

Proliferasi HCT-116 terhambat dan apoptosis Ekstraksi

Pati beramilosa tinggi

Analisis:

Hambatan proliferasi, apoptosis ekspresi gen Bax dan Bcl-2 Caspase-3

Tahap I


(46)

3. 3.1.Tahap I: Pembuatan RS3 dan Pemanfaatannya sebagai Substrat Fermentasi

3.3.1.1.Produksi RS3

Pati beras diekstrak dengan larutan alkali (Wang &Wang 2004). Tata cara ekstraksi adalah sebagai berikut: tepung beras ditambah dengan larutan NaOH 0,1%, 1 L, diaduk terus-menerus selama 1 jam kemudian disaring dengan 2 lapis kain saring. Filtrat dikumpulkan, disentrifugasi 1500 g,4oC selama 7 menit. Supernatan dibuang, endapan bagian atas (protein) dipisahkan dari endapan bagian bawah (pati). Fraksi pati ditambah NaOH 0,1% 1 L kemudian diperlakukan dengan cara yang sama. Fraksi pati disuspensikan dengan akuades (250 mL) kemudian dinetralkan dengan HCl 1 M dan disentrifugasi. Endapan dibilas satu kali lagi dengan cara yang sama kemudian endapan pati dikeringkan di dalam oven 40o

Pati beras atau sagu diproses menjadi RS3 mengikuti cara yang diuraikan oleh Kim et al. (2003)dengan sedikit modifikasi. Secara ringkas prosedurnya adalah sebagai berikut: pati (50 g) disuspensikan dalam 200 mL akuades, dipanaskan (100

C selama kurang lebih 18 jam. Pati digiling halus kemudian disimpan hingga digunakan. Sedangkan pati sagu hanya dicuci ulang (tiga kali) dan dikeringkan kemudian disimpan hingga digunakan.

o

C, 10 menit), diautoklaf (121oC, 15 Psi, 1jam) dan disimpan pada suhu 4oC selama 12-14 jam untuk menginduksi retrogradasi. Pati retrogradasi disuspensikan dalam 1 L akuades dan dihidrolisis dengan enzim. Perlakuan berikut diterapkan pada pati sagu maupun pati beras: (a) 106unitamilase/g substrat, 1 jam, 85oC, (b) 4500 unit pululanase/g substrat , 3 jam, 55oC, (c) 106amilase/g substrat, 1 jam, 85oC dilan-jutkan dengan 4500 unit pululanase/g substrat, 3 jam, 55oC. Hidrolisat dipisahkan dengan bantuan sentrifugasi (1500 g), endapan dikumpulkan dan disimpan pada suhu 10oC selama 16-18 jam. Endapan disuspensikan dalam akuades dan dihomogenkan kemudian dikeringkan dengan pengering semprot yang memiliki suhu inlet 160oC.


(47)

Kadar air, abu, protein dan mineral di dalam pati sagu dan beras dianalisis dengan metode standar (AOAC 2006), sedangkan kadar amilosa pati dianalisis menggunakan metoda kolorimeteri (Juliano 1971).

3.3.1.3. Analisis Kadar RS

Kadar RS3 dianalisis menurut metoda Goni et al. (1996). Contoh (50 mg) didispersikan di dalam 5 ml larutan KCl-HCl pH 1,5 dan diinkubasi dengan 4400 unit larutan pepsin pada suhu 40o

Bufer tris maleat 0,1 MpH 6.9 (4.5 mL) ditambahkan ke dalam campuran con-toh dan diinkubasi dengan amilase (100 unit) selama 16 jam pada suhu 37

C selama 1 jam untuk menghilangkan protein.

o

C untuk menghidrolisis pati tercerna. Contoh kemudian disentrifugasi (1000 g, 15 menit) sebanyak dua kali. Supernatan dibuang sedangkan endapan dibasahi dengan 1,5 mLakuades dan dilarutkan dengan 1,5 mL KOH 4M. Larutan RS dicampur dengan 2 M HCl dan bufer sodium asetat (0,4M) pH 4,75, kemudian diinkubasi dengan 100 unitlarutan amiloglukosidase pada 55oC selama 45 menit. Contoh disentrifugasi (1000 g selama 15 menit) dan supernatannya dikumpulkan. Glukosa dalam supernatan diukur dengan metoda phenol-asam sulfat (Dubois et al. 1956). RS dihitung sebagai glukosa x 0,9 dan dinyatakan dalam persen terhadap berat contoh awal.

3.3.1.4. Fermentasi (in vitro)

Bakteri (keadaan liofilisasi) diaktifkan. SelanjutnyaC. butyricumBCC B2571 dipelihara dalam mediaReinforced Clostridia Media (RCM), dan E. rectaleDSM 17629 dalam mediaPeptone Yeast-extract Glucose (PYG) (Lampiran 2). Kultur disegarkan secara berkala.

Botol serum diisi 20 ml media RCM atau PYG dengan sumber karbon berupa 1% RS3 dan 0,5% glukosa. Botol ditutup dengan septum karet kemudian disterilkan (121oC, 15 menit). Media diinokulasi dengan kultur stok (109 koloni/mL dan berada pada fase log) dibawah aliran gas CO2, diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.


(48)

akhir fermentasi, sel bakteri dipisahkan dengan sentrifugasi dan supernatan dikumpulkan.

3.3.1.5. Pengukuran Aktivitas Amilolitik pada Media Berpati

Degradasi pati oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 diketahui dengan mengukur luas zona bening pada cawan agar yang disuplementasi dengan RS3 (0,2%). C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 (30 µ L) ditransfer ke dalam “sumur” yang ada pada cawan agar. Cawan kemudian diinkubasi di dalam anaerobic jar pada 37 oC selama 48 jam. Zona bening visualisasi dengan meneteskan larutan I2-KI kemudian luasnya diukur.

3.3.1.6. Pengukuran Gas dan pH

Gas yang dihasilkan di dalam botol fermentasi diukur volumenya dengan cara mengalirkan gas ke dalam syringe. Alat pH meter digunakan untuk mengukur pH media pada akhir fermentasi.

3.3.1.7. Analisis Asetat, Propionat dan Butirat

Media fermentasi disentrifugasi (3000 g selama 10 menit). Supernatan disaring dengan membran 0,22 m. Contoh (1 l)diinjeksikan ke instrumen khromatografi gas (Agilent Technologist, 7890A GC System) yang dilengkapi dengan flame ionization detector(FID) dan kolom HP Innowax 19091-136 coloum (60 m x 0.250 mm). Gas pembawa berupa helium berkecepatan 1,8 ml/menit, dan rasio split 40:1. Oven diatur pada suhu 90oC selama 0,5 menit, kemudian dinaikkan secara bertahap menjadi 110oC dengan kecepatan 10oC/menit, meningkat ke 170oC dengan kecepatan 5oC/menit dan akhirnya menjadi 210oC dengan kecepatan 20oC/menit. Suhu injektor dan detektor adalah 275oC. Campuran SCFA terdiri dari asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi bervariasi dari 10 mM hingga 50 mM digunakan sebagai standar.


(49)

3.3.2.1. Kultur sel

Sel VERO atau sel HCT-116 dipelihara di dalam mediaDulbescco’s Modified Eagle’s Media (DMEM) yang dilengkapi dengan 10% fetal bovine serum(FBS), 100U/mLpenisilin dan 100ug/mLstreptomisin. Sel diinkubasi pada 37oC, 5% CO2

Untuk keperluan uji toksisitas, sel VERO atau sel HCT-116 (sekitar 3 x 10 .Kompoisi DMEM dicantumkan dalam Lampiran 3.

4

Pada penelitian selanjutnya, sel HCT-116 (1-2 x 10

sel) ditumbuhkan di dalam 24 well plate. Setelah sel mencapai sekitar 50% konfluen, medium dibuang dan diganti oleh medium serupa dengan atau tanpa perlakuan supernatan. Untuk perlakuan, supernatan diencerkan dengan DMEM hingga dihasilkan beberapa konsentrasi asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi asetat, propionat, butirat pada supernatan C. butyricum BCC B2571 adalah sebagai berikut: Perlakuan 1 (3,4 mM; 3,0 mM; 2,7 mM), Perlakuan 2 (6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM), Perlakuan 3 (13,6 mM; 12,0 mM; 10,6 mM). Pada supernatan E.recatale DSM 17629 konsentrasinya adalah: Perlakuan 1 (3,7 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (7,3 mM; 8,4 mM; 7,2 mM), Perlakuan 3 (14,7 mM; 16,7 mM; 14,3 mM).

6

)dikulturkan di dalam tabung berukuran 75 mL. Setelah kepadatan sel mencapai sekitar 50%, kultur diinkubasi lebih lanjut selama 48 jam dengan atau tanpa perlakuan supernatan. Per-lakuan yang diterapkan berupa PerPer-lakuan 1 dan PerPer-lakuan 2 supernatan C.buty-ricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 seperti disebutkan sebelumnya. Pada akhir masa inkubasi, sel dipanen dengan bantuan tripsin.

3.3.2.2. Penghitungan Jumlah sel

Sel diwarnai dengan tryphan blue 0,1%. Jumlah sel (hidup dan mati) dihitung dengan hemositometer dibawah mikroskop inversi. Penghambatan proliferasi sel dihitung sebagai berikut:

Penghambatan Proliferasi = ((A-B)/B) x 100%

Keterangan: A = jumlah sel hidup kontrol (tanpa perlakuan supernatan) B = jumlah sel hidup akibat perlakuan supernatan


(50)

Sel HCT-116 (104) dikulturkan di dalam 8-well slide chamberselama 24 jam. Media dibuang kemudian diganti dengan media serupa yang sudah dicampur dengan supernatan yang mengandung SCFA hasil fermentasi RS3. Kontrol berupa sel HCT-116 yang dikulturkan dengan media yang tidak berisi supernatan hasil fermentasi. Inkubasi dilanjutkan lagi selama 48 jam. Sel kemudian difiksasi dengan 2% larutan glutaraldehidaselama 1 jam kemudian diwarnai dengan 10 mg/L Hoechst 33258 selama 30 menit. Sel segera dicuci dengan phosphate buffer saline (PBS). Sel diamati dibawah mikroskop fluoresen pada eksitasi 365 nm dan emisi 460 nm.Sel mati apoptosis ditandai oleh degradasi kromatin dan pendaran cahaya sangat jelas. Sel apoptosis diamati secara semi kuantitatif dengan cara menetapkan skor berikut: 0 (0–1 pendaran/lapang pandang), +1 (2–4 pendaran/lapang pandang), +2 (5–6 pendaran/lapang pandang) dan +3 (0 > 6 pendaran /lapang pandang).

3.3.2.4.Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)Untuk Analisis Ekspresi Gen Bax dan Bcl-2

3.3.2.4.1. Ekstraksi total mRNA

mRNA diisolasi dari sel HCT-116 dengan bantuan kit komersial (RNeasy Kitt, Qiagen) mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh produsen. Konsentrasi mRNA kemudian diukur dengan spektrofotometer (SmartSpec-Plus, Biorad) pada260 nm. Prosedur lengkap ekstraksi mRNA dicantumkan dalam Lampiran 4.

3.3.2.4.2. Analisis RT-PCR

Ekspresi relatif mRNA Bax dan Bcl-2 terhadap house keeping geneGAPDH diukur pada mesin RT-PCR (IQ5 Multicolor Real Time PCR Detection System, Biorad). Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen dicantumkan dalam Tabel 7.


(51)

Gen Sekuen

Bax Reverse primer : 5’-GCCTTGAGCACCAGTTTG-3’

Forward primer : 5’-CCCGAGAGGTCTTTTTCC-3’ Bcl-2 Reverse primer : 5’-CCTCTCCATCATCAACTT-3’

Forward primer : 5’-GCTCTAAAATCCATCCAG-3’ GAPDH Reverse primer : 5’-TCAAAGGTGGAGGAGTGG-3’

Forward primer : 5’-CGGATTTGGTCGTATTGG-3’ Sumber: Nohara et al. 2007

Analisis RT-PCR dilaksanakan pada volume reaksi 25 Ldengan komposisi: 5 l RNA template (sekitar 400 ng RNA), 1 Lprimer masing-masing gen, 12,5 Lcampuran reaksi 2 x SYBR Green RT-PCR, 0,5 Lreverse transcriptasedan 5 Lair bebas nuclease. Reaksi berlangsung pada kondisi: 50oC, 10 menit untuk akti-vasi reverse transcriptase, 95oC, 5 menit untuk inaktivasi reverse transcriptase, ke-mudian reaksi diulang sebanyak 40 siklus pada 95oC selama 10 detik (denaturasi), 52oC selama 10 detik (annealing) dan 72oC selama 10 detik (elongasi).Baselinedanthresholdditetapkan secara otomatis oleh piranti lunak yang terdapat di dalam mesin. Perpotongan kurva amplifikasi dengan nilai merupakan

cycle threshold (Ct). Semuacontoh dinormalisasi terhadap ekpresi gen

GAPDH(Glutaraldehyde-3 Phosphate Dehydrogenase) dan dinyatakan sebagai fold change. Ekspresi gen relatif dihitung dengan metoda ∆∆Ct

ΔC

(Pfaffl et al. 2002), sebagai berikut:

t kontrol = Ct target- C

ΔC

t referensi

t perlakuan = Ct target- C

ΔΔC

t referensi

t=ΔCt kontrol-ΔC

Ekspresi gen (fold change) = 2

t perlakuan

Keterangan:

ΔΔCt

ΔCt kontrol= nilai Ct

ΔCt perlakuan =nilai Cdari sel kontrol (tanpa perlakuan supernatan) t

C

dari sel dengan perlakuan supernatan


(52)

3.3.2.5.Analisis Caspase-3

Caspase diukur dengan metoda ELISA dengan bantuan kit komersialHuman Caspase-3 Instant ELISA (Bender MedSystem) mengikuti instruksi yang ditetapkan oleh produsen. Sel dipanen kemudian dilisis dengan buferlisis. Caspase-3 yang terdapat di dalam lisat diukur jumlahnya.Caspase-3 di dalam lisat diikat oleh anti caspase-3 (antibodi I) yang menempel di dalam microwell. Antibodi poliklonal (rabbit) anti human-caspase-3 berikatan dengan human caspase-3 yang diikat oleh antibodi (I), kemudian diikat oleh anti bodi pendeteksi (Anti-rabbit-IgG-HRP). Anti bodi pendeteksi yang tidak terikat dihilangkan dengan cara dicuci. Substrat (tetramethyl benzidine) ditambahkan ke dalam “sumur” bereaksi dengan HRP membentuk warna yang diukur dengan cara spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm. Intensitas warna sebanding dengan jumlah caspase-3 dan diukur jumlahnya dengan standar human caspase-3 yang disediakan. Prosedur rinci dicantumkan dalam Lampiran 5.

3.4. Analisis Data

Analisis deskripsi diterapkan pada data komposi kimia, kadar RS, dan ekspresi gen. Analisis kualitatif dan semikuantitatif diterapkan pada data apoptosis. Analisis sidik ragam dengan dua faktor diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian tahap I (fermentasi in vitro). Faktor pertama adalah strain bakteri dan faktor kedua jenis RS3. Analisis sidik ragam dengan faktor tunggal diterapkan pada data yang diperoleh pada penelitian tahap II (aplikasi supernatan pada sel HCT-116). Perlakuan berupa konsentrasi SCFA. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Bila perlakuan yang diuji menunjukkan pengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD) pada selang kepercayaan 5% (p<0,5). Analisis dikerjakan dengan bantuan piranti lunak SPSS 10.0.


(53)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar RS pada Produk Asal Pati Sagu Lebih Tinggi Dibanding Kadar RSpada Produk Asal Pati Beras

Komposisi bahan baku pati sagu dan pati beras dicantumkan dalam Tabel 8. Kadar amilosa di dalam pati sagu lebih tinggi dibanding pati beras. Tingkat kemurniannya sangat tinggi dan layak untuk diproses lebih lanjut menjadi produk RS3.Sifat fisiko kimia pati sagu berbeda dengan pati beras. Berdasarkan sifat pasta yang ditentukan dengan amilografi, sifat pasta pati sagu tergolong dalam tipe A (Purwani et al 2006) yaitu memiliki viskositas puncak sangat tinggi namun cepat encer saat pemanasan. Beras amilosa tinggi memiliki sifat pasta tipe B (viskositas puncak relatif rendah namun stabil saat pemanasan) atau C (tidak memiliki viskositas maksimum). Hal ini tergantung pada varietas beras. (Purwani et al. 2007).

Tabel 8 Komposisi kimia dan kadar amilosa pati sagu dan pati beras

Komponen kimia Pati beras Pati sagu

Amilosa (%) 29,68 +0,13 32,87 +0,19

Air (%) 12,72 +0,10 12,52 +0,14

Abu (%) 0,29 +0,01 0,07 +0,00

Protein (%) 2,23 +0,01 0,30 +0,00

Lemak (%) 0,24 +0,00 0,28+0,01

Pati harus digelatinisasi sempurna dan disimpan di suhu dingin terlebih dahulu sebelum dihidrolisis oleh enzim. Gelatinisasi merusak struktur granulanya sehingga pati lebih mudah diakses oleh enzim. Penyimpanan pada suhu dingin dimaksudkan untuk menginduksi re-asosiasi dan re-kristalisasi fraksi-fraksi pati (amilosa dan amilopektin).

RS3 diperoleh dari bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh enzim, bagian ini dikeringkan dengan pengering semprot. RS3 berbentuk serbuk warna putih. Berdasarkan bahan baku dan enzim yang menghidrolisisnya, produk RS3 dinamakan sebagai berikut: RSSA (RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase),


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Karakteristik bekatul padi (Oryza Sativa) awet serta aktifitas antioksidan dan penghambatan proliferasi sel kanker secara in vitro dari minyak dan fraksinya

0 18 476

Penghambatan proliferasi sel kanker kolon HCT 116 oleh produk fermentasi pati resistentipe 3 sagu dan beras

0 11 109

Aktivitas kitooligomer hasil reaksi enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit dan sel kanker

1 32 256

Manfaat Buah Merah untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan: Studi Sifat Fungsional terhadap Peningkatan Sistem Imun dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker

0 6 1

Toksisitas Short Chain Fatty Acid (SCFA), Produk Turunan Pati Resisten Tipe 3 Hasil Fermentasi Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Oleh Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 Terhadap Sel HCT-116

1 10 90

Potensi Sitotoksik Ekstrak Batang Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) terhadap Sel Kanker Kolon HCT 116

0 2 34

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS DAN PERBEDAANNYA DENGAN 5-FLUOROURACIL TERHADAP EKSPRESI CASPASE 3, PROLIFERASI DAN APOPTOSIS PADA KULTUR SEL KANKER KOLON (CELL LINE WiDr).

0 0 7

PENGARUH EKSTRAK PROPOLIS TERHADAP EKSPRESI CASPASE 3, PROLIFERASI DAN INDUKSI APOPTOSIS PADA SEL KANKER KOLON (CELL LINE WiDr)

0 0 8

EFEK SITOTOKSIK DAN PENGHAMBATAN KINETIKA PROLIFERASI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL DAUN KETAPANG (Terminalia catappa) DAN DOXORUBICIN TERHADAP SEL KANKER SERVIKS HeLa

0 1 17

AKTIVITAS PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER SERVIKS OLEH FRAKSI HEKSANA BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus L.) - repository perpustakaan

0 0 18