D. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang
terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan
sikap untuk membuat peraturan hukum. Beberapa ketentuan yang menjadi dasar dari perjanjian yang disebut
sebagai asas hukum perjanjian antara lain : 1.
Asas kebebasan berkontrak partij otonomie Asas ini terdapat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 satu berbunyi :
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
32
Maksud yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa hukum perjanjian itu bersifat terbuka, dimana dalam hal ini terhadap para pihak dalam perjanjian
diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi mengenai apa saja, dengan pembatasan bahwa isi dari perjanjian itu
tidak melanggar ketertiban umum, dan kesusilaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dan juga undang-undang. Sepakat mereka yang
mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian.
33
2. Asas konsensual persesuaian kehendak
32
R. Subekti R. Tjitrosudibio, Loc Cit.
33
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet II, Bandung, Alumni, 2005, hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
Menurut R. Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian, mengatakan sebagai berikut “Konsensual berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti
kesepakatan.”
34
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya : apa yang
dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh orang lain. Kedua kehendak ini bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat
ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan- perkataan, misalnya : “setuju”, “oke” dan lain-lain sebagainya ataupun dengan
bersama-sama menaruh tanda-tanda dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa
yang tertera di atas tulisan itu. Dalam pasal tersebut tidak mengisyaratkan suatu formalitas tertentu di
samping sepakat yang telah terjadi, seolah-olah disimpulkan bahwa setiap perjanjian telah sah mengikat apabila telah tercipta kesepakatan dari
perjanjian tersebut. Padahal terhadap asas konsensualisme juga terdapat pengecualian, yaitu terhadap perjanjian yang oleh Undang-undang ditetapkan
suatu formalitas-formalitas tertentu, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dengan akte notaris, perjanjian
perdamaian yang harus diadakan secara tertulis. 3.
Asas kepercayaan Dalam mengadakan suatu perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lain
harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak artinya bahwa
34
R. Subekti, Loc Cit.
Universitas Sumatera Utara
satu sama lain saling percaya akan memenuhi prestasinya dikemudian hari sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Rasa saling percaya
terjalin sebelum para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian dan terwujud dalam bentuk perikatan yang dihendaki bersama. Tanpa adanya rasa
saling percaya ini maka tidak akan mungkin diadakan dan suatu perjanjian dengan baik, karena dengan kepercayaan inilah kedua belah pihak
mengikatkan dirinya dengan isi perjanjian yang pada dasarnya mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
4. Asas kekuatan mengikat
Tujuan utama diadakannya suatu ikatan persetujuan dengan dilandasi kesepakatan antara kedua belah pihak adalah untuk menjamin adanya
kepastian hukum bagi tindakan mereka selanjutnya di dalam hubungan perikatan. Para pihak menghendaki adanya kekuatan yang mengikat bagi
pelaksanaan prestasi masing-masing. Dengan terikatnya para pihak di dalam persetujuan tersebut, maka masing-masing pihak harus mematuhi apa yang
telah disepakati, namun haruslah dilihat beberapa unsur lain yang mendukung dan melandasi hubungan tersebut seperti moral, kebiasaan dan kepatutan maka
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat satu sama lain. 5.
Asas persamaan hukum Hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang selaras, serasi dan
seimbang dengan kepentingan masyarakat. Manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan haruslah saling menghormati sesamanya. Tidak terkecuali
dalam tindakan dan lakunya di dalam masyarakat. Demikian pula dalam tindakan hukum yang dilakukan oleh setiap orang atau badan hukum tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun perbedaan warna kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
agama, suku, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat bahwa perbedaan ini harus dilhat sebagai suatu persamaan yang harus dihormati satu
sama lain. 6.
Asas keseimbangan Dalam asas ini mengandung makna bahwa antara kedua belah pihak haruslah
saling memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baiknya sehingga
kedudukan kreditur dan debitur dapat seimbang. 7.
Asas kepastian hukum Asas ini juga terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal yang menekankan
kepastian hukum dalam pasal ini dapat dijumpai pada kalimat yaitu: “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu”.
35
8. Asas moral
Agar tercipta suatu keselarasan dan saling menghormati antara para pihak, maka hukum mewajibkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah berdasarkan tatanan kesusilaan moral yang pelaksanaannya tidak melanggar tatanan peri kehidupan yang berlangsung di dalam masyarakat.
9. Asas kepatutan
35
R. Subekti R. Tjitrosudibio. Op Cit. hal. 342.
Universitas Sumatera Utara
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.”
36
Asas kepatutan disini berkaitan dengan isi perjanjian dan kesepakatan yang
dituangkan dalam isi perjanjian tersebut agar dapat melahirkan rasa keadilan baik kepada pihak yang mengadakan perjanjian maupun terhadap rasa
keadilan yang ada dalam masyarakat. Menurut Mariam Darus Badrulzaman :
“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan hukum ditentukan juga oleh rasa
keadilan dalam masyarakat”.
37
E . Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa, dimana para pihak saling berjanji untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu hal. Hal yang akan
dilaksanakan itu disebut prestasi. Inti dari suatu perjanjian adalah bahwa para pihak harus melaksanakan apa
yang telah disetujui atau dijanjikan dengan tepat dan sempurna. Tindakan yang bertentangan yang dibuat oleh salah satu pihak mengakibatkan pihak yang lain
berhak meminta ganti rugi. Pelaksanaan yang dimaksud disini adalah realisasi atau pemenuhan hak
dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuan. Tujuan tidak akan tercapai tanpa adanya pelaksanaan perjanjian,
36
Ibid, hal. 342.
37
Mariam Darus II, Op Cit, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
dimana para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat seperti yang telah disepakati bersama.
Abdulkadir Muhammad menyatakan : “jika salah satu pihak telah melanggar kewajibannya, biasanya
tidak akan ada pembelaan baginya bahwa pelanggaran itu bukanlah kesalahannya. Ia telah berjanji untuk melaksanakan
perjanjiannya, dan ia akan bertanggung jawab jika tidak melaksanakannya. Hanya jika ada sebab dari luar yang membuat
pelaksanaan itu secara fisik, hukum dan perdagangan tidak mungkin dilakukan, sehingga kepadanya dapat dimaafkan karena
tidak melaksanakan perjanjian itu. Kenyataan bahwa ia telah melakukan pemeliharan secara layak, tidak dapat dijadikan
alasan baginya untuk membela diri”.
38
Apa yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad, menunjukkan bahwa perjanjian antara pihak-pihak merupakan suatu hal yang tidak main-main atau
dengan perkataan lain bahwa hak masing-masing pihak tetap dijamin oleh undang-undang. Melihat macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan,
maka perjanjian dibagi 3 tiga, yaitu : a.
Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang Contoh : jual beli, hibah, sewa-menyewa.
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Contoh : perjanjian perburuhan. c.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Contoh : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok.
Sebenarnya suatu perjanjian akan menjadi persoalan manakala salah satu pihak melanggar atau tidak mematuhi isi dari perjanjian yang telah mereka
perbuat. Tentu dilihat alasan tidak dilaksanakannya isi perjanjian, apakah karena
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
keadaan memaksa overmacht atau tidak. Bila ini terjadi karena keadaan memaksa harus juga dilihat apakah keadaan itu memang betul-betul tidak dapat
dielakkan atau bisa dilaksanakan namun dengan pengorbanan yang besar. Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara
tegas dan cermat apa isinya, dengan perkataan lain apa hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh
keputusan, kebiasaan atau undang-undang”. Dengan demikian, maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang
terdapat di dalam undang-undang, adat kebiasaan, sedangkan kewajiban- kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan. Jadi adat
istiadat kebiasaan juga sebagai sumber norma disamping undang-undang untuk ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam
suatu perjanjian, tetapi kebiasaan ini tidak boleh menyimpang dari undang- undang.
Menurut Pasal 1338 ayat 3 tiga KUHPerdata, maka suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Norma ini merupakan satu sendi yang
terpenting dari hukum perjanjian. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi. Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu,
janganlah orang-orang meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan. Jadi persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan itikad baik
atau tidak adalah suatu persoalan yuridis.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bukan hanya itikad baik saja yang menjadi penting dalam perjanjian tetapi kejujuran dan kepatuhan adalah dua hal yang amat
penting dalam soal pelaksanaan persetujuan. Dan kejujuran terletak pada tindakan yang dilakukan pada kedua belah pihak dalam melaksanakan perjanjian yang
berasal dari keadaan jiwanya, sedang kepatuhan terletak pada keadaan sekitar persetujuan. Jadi hal kejujuran adalah hal yang selalu bersifat objektif adalah hal
kepatutan.
39
Jadi sikap kejujuran dan kepatutan serta itikad baik adalah penunjang terlaksananya perjanjian. Di dalam pelaksanaan perjanjian tidak terlepas dari apa
yang disebut dengan risiko. Risiko dalam perjanjian adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak, dalam arti keadaan memaksa.
40
Contoh : kebakaran, pencurian. Sedangkan risiko menurut pengertian sehari-hari adalah tanggung jawab seseorang sebagai
akibat perbuatannya.
39
R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 84.
40
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet I, Pembimbing Masa, Jakarta, 1963, hal.69.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN