Hubungan Berat Badan Lahir Anak Balita dengan Status Gizi Anak Balita.

Hal ini sejalan dengan penelitian Hermansyah 2002 di Kota Sawahlunto dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermaknan antara anak laki-laki dibandingkan anak perempuan terhadap kejadian KEP pada anak dengan nilai p=0,477. 23 Hal ini juga sejalan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 bahwa status gizi buruk dan gizi kurang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan. 10

6.2.2 Hubungan Berat Badan Lahir Anak Balita dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.15 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan Lahir di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak yang BBLR yaitu 88,8 dibanding dengan status gizi kurang pada anak dengan berat badan lahir normal yaitu 30,4. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan berat badan lahir normal yaitu 69,6 Universitas Sumatera Utara dibanding status gizi baik pada anak yang BBLR yaitu 11,5. Ratio Prevalens = 2,912 95 CI : 2,028-4,180. Berat Badan Lahir Rendah merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Dapat diasumsikan bahwa status gizi kurang cenderung dialami oleh anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah dibanding dengan anak yang lahir dengan berat badan normal, demikian sebaliknya. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya ada hubungan asosiasi yang signifikan antara berat badan lahir dengan status gizi anak balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian Azrimaidaliza 2003 di Daerah Kumuh Perkotaan Jakarta yang mendapatkan hasil bahwa proporsi gizi kurang pada anak dengan berat badan lahir 2,5 kg lebih banyak dibanding anak dengan berat badan lahir ≥ 2,5 kg dan secara statistik terbukti adanya perbedaan tersebut dengan nilai p=0,00. 43 Universitas Sumatera Utara 6.2.3 Hubungan Status Imunisasi Anak Balita dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.16 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Status Imunisasi di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak yang status imunisasinya tidak lengkap yaitu 61,1 dibanding dengan status gizi kurang pada anak yang status imunisasi lengkap yaitu 41,3. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak yang imunisasi lengkap yaitu 58,6 dibanding dengan status gizi baik pada anak yang status imunisasi tidak lengkap yaitu 38,9. Ratio Prevalens = 1,477 95 CI : 0,946- 2,305. Status imunisasi bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian status gizi kurang pada anak balita. Dapat diasumsikan bahwa status gizi baik cenderung dialami oleh anak balita dengan status imunisasi lengkap dibanding dengan yang tidak lengkap, demikian sebaliknya. Universitas Sumatera Utara Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,125, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara status imunisasi dengan status gizi anak balita. Hal ini berbeda dengan penelitian Simbolon, M 2008 di Kelurahan Sicanang Kecamatan Medan Belawan dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan status gizi anak balita dengan nilai p=0,007. 41 6.2.4 Hubungan Status ASI Eksklusif dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.17 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Status ASI Eksklusif di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang relatif sama pada anak yang tidak ASI eksklusif dengan anak yang ASI eksklusif yaitu 44,6 dan 45,0. Demikian juga prevalens rate status gizi baik relatif sama pada anak yang tidak ASI ekslusif dengan anak yang ASI eksklusif yaitu 55,4 dan Universitas Sumatera Utara 55,0. Ratio Prevalens = 0,991 95 CI : 0,641-1,534. Status ASI eksklusif bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian status gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,969, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara status ASI eksklusif dengan status gizi anak balita. ASI merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup anak. Di Indonesia, pemberian ASI secara eksklusif sangat dianjurkan bagi bayi berusia dibawah enam bulan. Sedangkan pemberian makanan pendamping dapat diberikan setelah berusia di atas 6 bulan. 17 Hal ini sejalan dengan penelitian Simbolon, M 2002 di Kelurahan Sicanang Kecamatan Medan Belawan dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status ASI eksklusif dengan status gizi anak balita. 41 Universitas Sumatera Utara 6.2.5 Hubungan Pemberian Kolostrum dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.18 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pemberian Kolostrum di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang pada anak yang tidak diberi kolostrum lebih tinggi yaiyu 69,1 dibanding status gizi kurang pada anak yang diberi kolostrum yaitu 18,0. Sedangkan prevalens rate status gizi baik pada anak yang diberi kolstrum lebih tinggi yaitu 82,0 dibanding status gizi baik pada anak yang tidak diberi kolostrum yaitu 30,9. Ratio Prevalens = 3,838 95 CI : 2,070-7,117. Anak yang tidak diberikan kolostrum merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan status gizi anak balita. Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada hari pertama dan berwarna kekuning-kuningan, mengandung tinggi karotin, banyak mengandung protein serta Universitas Sumatera Utara sedikit mengandung karbohidrat dan lemak. Kolostrum ini juga mengandung zat-zat kekebalan yang sangat tinggi serta dapat merangsang pertumbuhan bakteri yang berguna dalam usus bayi sehingga bayi tidak mudah mendapat infeksi. 17 Dalam penelitian ini sebagian besar ibu tidak mengerti kolostrum. Namun mereka mengenali ciri-ciri kolostrum setelah diberi penjelasan tentang kolostrum. Selain itu ada yang menganggap bahwa kolostrum adalah susu yang sudah rusak dan tidak baik diberikan kepada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan dan menganggap bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Hal ini sejalan dengan penelitian Hermansyah 2002 di Kota Sawahlunto dengan desain cross sectional yang mendapatkan bahwa ada perbedaan proporsi KEP antara anak yang tidak diberi kolostrum dibanding anak yang diberi kolostrum. p=0,000. Anak yang tidak diberi kolostrum lebih banyak mengalami KEP dibandingkan anak yang diberi kolostrum. 23 Hasil penelitian Edmond et al dalam Afifah 2007 menunjukkan bahwa 16 kematian bayi baru lahir seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan menigkat 22 jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan. 44 Universitas Sumatera Utara 6.2.6 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita Gambar 6.19 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pendidikan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan pendidikan ibu rendah yaitu 48,8 dibanding status gizi kurang pada anak dengan pendidikan ibu tinggi yaitu 32,0. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan pendidikan ibu tinggi yaitu 68,0 dibanding status gizi baik pada anak dengan pendidikan ibu rendah yaitu 51,2. Ratio Prevalens = 1,523 95 CI : 0,824-2,815. Pendidikan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,142, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi anak balita. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor tidak langsung yang berhubungan dengan status gizi anak balita. 13 Universitas Sumatera Utara Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Taruna, J 2002 di Kabupaten Kampar Riau dengan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan terjadinya gizi buruk pada balita dengan nilai p=0,0005. Semakin tinggi pendidikan ibu maka proporsi balitanya untuk mendapat gizi buruk semakin kecil. 45 6.2.7 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.20 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pengetahuan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan pengetahuan ibu kurang yaitu 46,5 dibanding dengan status gizi kurang pada anak dengan pengetahuan ibu baik yaitu 41,2. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan pengetahuan ibu baik yaitu 58,8 dibanding status gizi baik pada anak dengan pengetahuan ibu kurang Universitas Sumatera Utara yaitu 53,5. Ratio Prevalens = 1,129 95 CI : 0,703-1,811. Pengetahuan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,609, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita. Hasil ini berbeda dengan penelitain Taruna, J 2002 di Kabupaten Kampar Riau dengan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi ibu dengan terjadinya gizi buruk pada anak balita dengan nilai p=0,001. 45 6.2.8 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.21 Diagram Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan ibu yang bekerja yaitu 50,0 dibanding status gizi kurang pada anak dengan ibu yang tidak bekerja yaitu 44,3. Sedangkan prevalens rate Universitas Sumatera Utara status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan ibu yang tidak bekerja yaitu 55,7 dibanding status gizi baik pada anak dengan ibu yang bekerja yaitu 50,0. Ratio Prevalens = 1,128 95 CI : 0,545-2,336. Pekerjaan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=7,57, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan dan praktek gizi ibu masih rendah 67,6 sehingga mempengaruhi cara penyediaan makanan. Ini secara tidak disadari dapat membuat anak balita beresiko terkena diare, sehingga walaupun ibu tidak bekerja 92,4, anaknya belum tentu berstatus gizi baik. Pada penelitian ini dapat dilihat dari pemberian makanan yang tidak baik pada balita seperti tidak menyusui anak hingga umur 6 bulan 61,9, membuang kolostrum 52,4. Hasil ini sejalan dengan penelitian Azrimaidaliza 2003 di Daerah Kumuh Perkotaan Jakarta dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak dengan nilai p=0,404. Ada kecenderungan ibu yang tidak bekerja berpeluang untuk mempunyai anak gizi kurang lebih banyak dibanding ibu yang bekerja karena ibu yang bekerja mempunyai peluang lebih besar untuk memnuhi kebutuhan anaknyamembeli MP-ASI dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik dibanding ibu yang tidak bekerja. 43 Universitas Sumatera Utara 6.2.9 Hubungan Jumlah Anak dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.22 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Jumlah Anak di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada jumlah anak dalam keluarga 1-2 orang yaitu 45,2 dibanding status gizi kurang pada jumlah anak dalam keluarga ≥3 orang yaitu 43,8. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada jumlah anak ≥3 orang yaitu 56,2 dibanding status gizi baik pada jumlah anak 1-2 orang yaitu 54,8. Ratio Prevalens = 0,968 95 CI : 0,607-1,544. Jumlah anak bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=890, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak balita. Universitas Sumatera Utara Hal ini menunjukkan bahwa di Desa Kolam jumlah anak bukan merupakan faktor yang berperan dalam menentukan status gizi anak balita. Dapat dilihat dari status gizi kurang pada anak balita lebih tinggi pada keluarga yang mempunyai jumlah anak 1-2 orang. Hasil ini berbeda dengan penelitian Rosmana, D 2003 di Kabupaten Serang Banten dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara jumlah anak dengan status gizi anak dengan nilai p=0,011. 33 6.2.10 Hubungan Riwayat Penyakit ISPA dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.23 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Riwayat Penyakit ISPA di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak yang pernah menderita ISPA yaitu 52,2 dibanding status gizi kurang pada anak yang tidak menderita ISPA yaitu 30,6. Sedangkan prevalens rate Universitas Sumatera Utara status gizi baik lebih tinggi pada anak yang tidak menderita ISPA yaitu 69,4 dibanding status gizi baik pada anak yang menderita ISPA yaitu 47,8. Ratio Prevalens = 1,708 95 CI : 0,993-2,935. Riwayat ISPA bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,034, artinya ada hubungan asosiasi yang signifikan antara riwayat penyakit ISPA dengan status gizi anak balita. Dapat dilihat bahwa nilai ratio prevalens tidak sejalan dengan nilai p, hal ini karena jumlah faktor resiko yang mengalami efek jauh lebih banyak 36 orang dibanding dengan tanpa faktor resiko yang mengalami efek kurang gizi 11 orang Penyakit infeksi sangat mempengaruhi status gizi anak balita. Anak yang mendapat makanan cukup, tetapi sering diserang penyakit infeksi akhirnya dapat menderita Kekurangan Energi Protein KEP. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup, daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga dalam keadaan demikian mudah diserang penyakit, kurang nafsu makan dan akhirnya menyebabkan terjadinya KEP. 13 Hasil ini sejalan dengan penelitian Hermansyah 2002 di Kota Sawahlunto dengan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan proporsi kejadian KEP antara anak yang sakit ISPA dibanding anak yang tidak sakit ISPA p=0,000. 23 Universitas Sumatera Utara 6.2.11 Hubungan Riwayat Diare dengan Status Gizi Anak Balita. Gambar 6.24 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Riwayat Diare di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak yang menderita diare yaitu 57,4 dibanding status gizi kurang pada anak yang tidak menderita diare yaitu 34,5. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak yang tidak menderita diare yaitu 65,5 dibanding status gizi pada anak yang menderita diare yaitu 42,6. Ratio Prevalens = 1,666 95 CI : 1,082-2,565. Riwayat diare merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,019, artinya ada hubungan asosiasi yang signifikan antara riwayat diare dengan status gizi anak balita. Terdapat hubungan yang erat antara diare dan gizi kurang pada anak balita. Diare dapat menyebabkan gizi kurang dan sebaliknya gizi kurang merupakan faktor Universitas Sumatera Utara pemicu terjadinya diare. Oleh karena itu penaggulangan diare merupakan salah satu program yang efektif dalam pencegahan masalah gizi kurang. Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian infeksi dengan KEP. 4 Hasil ini sejalan dengan penelitian Mustafa 2005 di Kota Banda Aceh dengan desain cross sectional mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang kuat antara penyakit infeksi diare dengan status gizi balita, dengan Rasio Prevalens sebesar 2,21 p=0,032. 34 6.2.12 Hubungan Kesehatan Lingkungan dengan Status Gizi Anak Balita Gambar 6.25 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Kesehatan Lingkungan di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan kesehatan lingkungan tidak baik yaitu 64,7 dibanding status gizi kurang pada anak dengan kesehatan lingkungan baik yaitu 40,9. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan kesehatan Universitas Sumatera Utara lingkungan baik yaitu 59,1 dibanding dengan status gizi baik pada anak dengan kesehatan lingkungan tidak baik yaitu 35,3. Ratio Prevalens = 1,582 95 CI : 1,027-2,435. Kesehatan lingkungan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang. Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,071, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara kesehatan lingkungan dengan status gizi anak balita. Dapat dilihat bahwa nilai rasio prevalens tidak sejalan dengan nilai p, hal ini karena jumlah faktor resiko yang mengalami efek jauh lebih sedikit 11 orang dibanding dengan jumlah yang bukan faktor resiko yang mengalami efek 36 orang. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kekebalan anak menurun yang dapat berlanjut pada gangguan malabsorbsi dan gangguan status gizi anak balita. 18 Hal ini sejalan dengan penelitian Mustafa 2005 di Kota Banda Aceh dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kesehatan lingkungan dengan status gizi anak balita dengan nilai p=0,499. 34

6.3 Analisis Multivariat