Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Hipotik Dan Hak Tanggungan

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI HIPOTIK DAN HAK

TANGGUNGAN

SKRIPSI

Diajuakan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MIKHAIL HARYANTO S

NIM. 050200077

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing I

Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH

Muhammad Husni, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI HIPOTIK DAN HAK

TANGGUNGAN

SKRIPSI

Diajuakan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MIKHAIL HARYANTO S

NIM. 050200077

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapka kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada saat ini masih

diberikan-Nya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan Skripsi yang

berjudul “ Analisis Yuridis Eksistensi Lembaga Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa Perbankan “, sebagai tugas akir untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum ( S1 ) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama Skripsi ini berlansung, banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

2.

Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3.

Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH.DFM, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4.

Bapak Muhammad Husni, SH.MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II.

5.

Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, Selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6.

Bapak Muhammad Hayat, SH, Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis.

7.

Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama masa

perkuliahan.

8.

Teristimewa kepada kedua orang Tuaku tercinta, adik yang saya sayangi, yang telah

memberikan bantuannya baik secara moril maupun materil, mendukung dalam segala

bidang untuk mendorong selesainya kuliah hingga skripsi ini.

9.

Kepada teman, sahabat-sahabatku angkatan 2005 yang selanjutnya penulis harapkan

persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia kita dan kalian dapat menjadi

pembasar negeri ini, saudara yang telah memberikan dukungannya kepada saya, saya

ucapkan salam persaudaraan dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

10.

Kepada kakanda-kakanda di Fakultas Hukum dan semua senioren yang tidak bisa

disebutkan satu per satu saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bimbingan

selama ini.

11.

Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat

disebtukan satu per satu.


(4)

ABSTRAK

Eksekusi merupakan usaha upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam berperkara di Pengadilan.sedangkan hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan hakim. Eksekusi hipotik dan hak tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi eksekusi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang objekhipotik dan hak tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dibayarkan kepada kreditur pemegang hipotik dan hak tanggungan, dan apabila ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Eksekusi hipotik dan hak tanggungan (jaminan),tidak termasuk eksekusi riil,tetapi eksekusi yang berdasarkan alas hak eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa “ maka sertifikat hipotik dan hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial, berlaku peraturan eksekusi yang dikenal dengan parate eksekusi yang diatur dalam pasal 224 HIR/Pasal 258 Rbg.

Permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan yuridis terhadap eksekusi hipotik dan hak tanggungan , bagaimanakah prosedur eksekusi jaminan hipotik , dan bagaimanakah prosedur eksekusi jaminan hak tanggungan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang mengganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisa normatif-kualitatif.

Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah merupakan salah satu cara bagi Kreditur untuk memperoleh perlindungan hukum, sehingga melalui Eksekusi Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah benar-benar dapat memberikan jaminan kepada Kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya jika Debitur cidera janji (wanprestasi). Prosedur untuk mengeksekusi objek hipotik memakai ketentuan pasal 224 HIR/258 RBg yaitu eksekusi dengan pertolongan hakim yang prosedur eksekusinya adalah bilamana Debitur wanprestasi maka Kreditur mohon melaksanakan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan seperti menjalankan eksekusi putusan hakim (tanpa sita jaminan). Prosedur eksekusi Hak Tanggungan harus melalui penjualan dimuka umum atau melalui lelang. Dasar pemikiran yang disampaikan mengenai ini adalah bahwa diperkirakan melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat diharapakan akan diperoleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam suatu lelang tawaran yang paling rendah bisa diharapkan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Ini merupakan salah satu wujud dari perlindungan undang-undang kepada pemberi jaminan.


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK….……….…

KATA PENGANTAR……...……….……

DAFTAR ISI….……….…

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang...………..… 1

B.

Permasalahan……… …..… 5

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan….………..… 5

D.

Keaslian Penulisan………...… 6

E.

Tinjauan Kepustakaan……… 7

F.

Metode Penelitian……….………….. 14

G.

Sitematika Penulisan………... 16

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN

A.

Tinjauan Terhadap Hipotik………. 18

1.

Jaminan Hipotik pada Umumnya……….…… 18

2.

Dasar hukum jaminan hipotik……….………. 19

3.

Proses pembebanan hipotik………..……… 19

4.

Akibat hukum pendaftaran tanah………..……. . 22

B.

Tinjauan Terhadap Hak Tanggungan………..……….….. 24

1.

Pengertian Hak Tanggungan……….…… 24

2.

Sifat Hak Tanggungan……….…. 27

3.

Objek Hak Tanggungan……….…... 31

4.

Ciri-ciri Hak Tanggungan……….…… 34

5.

Proses Pembabanan Hak Tanggungan………. 35

6.

Hapusnya Hak Tanggungan………. 36

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI

A.

Pengertian Eksekusi Secara Umum………... 39

B.

Hakekat Eksekusi……….….. 40

C.

Asas-asas Eksekusi……… 41

D.

Macam-macam Eksekusi………... 42

E.

Tata cara Eksekusi………. 46


(6)

BAB IV ANALISIS YURIDIS EKSEKUSI HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN

A.

Eksekusi Hipotik………... 49

1.

Kekuatan Eksekutorial Grosse Akta Hipotik………... 49

2.

Prosedur Eksekusi Jaminan Hipotik Pada Umumnya………. 51

B.

Eksekusi Hak Tanggungan……….…...… 53

1.

Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pelelangan Umum……….. 53

2.

Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada sertifikat Tanggungan…… 55

3.

Eksekusi hak tanggungan melalui penjualan di bawah tangan……….………... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan……… 70

B.

Saran……….. 71


(7)

ABSTRAK

Eksekusi merupakan usaha upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam berperkara di Pengadilan.sedangkan hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan hakim. Eksekusi hipotik dan hak tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi eksekusi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang objekhipotik dan hak tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dibayarkan kepada kreditur pemegang hipotik dan hak tanggungan, dan apabila ada sisanya dikembalikan kepada debitur. Eksekusi hipotik dan hak tanggungan (jaminan),tidak termasuk eksekusi riil,tetapi eksekusi yang berdasarkan alas hak eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa “ maka sertifikat hipotik dan hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial, berlaku peraturan eksekusi yang dikenal dengan parate eksekusi yang diatur dalam pasal 224 HIR/Pasal 258 Rbg.

Permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan yuridis terhadap eksekusi hipotik dan hak tanggungan , bagaimanakah prosedur eksekusi jaminan hipotik , dan bagaimanakah prosedur eksekusi jaminan hak tanggungan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research ) yaitu suatu penelitian yang mengganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisa normatif-kualitatif.

Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah merupakan salah satu cara bagi Kreditur untuk memperoleh perlindungan hukum, sehingga melalui Eksekusi Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah benar-benar dapat memberikan jaminan kepada Kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya jika Debitur cidera janji (wanprestasi). Prosedur untuk mengeksekusi objek hipotik memakai ketentuan pasal 224 HIR/258 RBg yaitu eksekusi dengan pertolongan hakim yang prosedur eksekusinya adalah bilamana Debitur wanprestasi maka Kreditur mohon melaksanakan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan seperti menjalankan eksekusi putusan hakim (tanpa sita jaminan). Prosedur eksekusi Hak Tanggungan harus melalui penjualan dimuka umum atau melalui lelang. Dasar pemikiran yang disampaikan mengenai ini adalah bahwa diperkirakan melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat diharapakan akan diperoleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam suatu lelang tawaran yang paling rendah bisa diharapkan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Ini merupakan salah satu wujud dari perlindungan undang-undang kepada pemberi jaminan.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktek pinjam meminjam merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak bisa dilepaskan dari dunia usaha, baik yang ditujukan untuk penambahan modal untuk pengembangan usaha maupun dalam rangka penyelamatan usaha. Bank sebagai lembaga Intermediary memiliki posisi yang sangat strategis untuk menunjang sistem pembayaran. Untuk itu bank harus mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Bank senantiasa bertumpu pada kepercayaan masyarakat, artinya apabila masyarakat percaya pada bank, maka likuiditas bank dengan sendirinya akan terjamin. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1

1

Jopie Jusuf, Panduan Dasar untuk Account Officer, Edisi Kedua (Yogyakarta: YKPN UPP AMO, 1997), hal 1. Bank dalam menyalurkan dana bagi masyarakat harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan walaupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak mewajibkan kepada bank untuk meminta jaminan dalam pemberian kredit namun telah menjadi prinsip umum bahwa bank memerlukan jaminan dalam setiap penyaluran kredit kepada masyarakat dengan tujuan untuk lebih memberikan kepastian akan pengembalian dana yang telah diterima oleh debitur.


(9)

Dalam praktek perkreditan, jaminan umum tidak memuaskan bagi kreditur, karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan.2 Dengan jaminan umum tersebut, kreditur tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah harta kekayaan debitur yang ada sekarang dan yang akan ada di kemudian hari, serta kepada siapa debitur itu berutang.3 Untuk itu, kreditur memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk bagi kredit atau pinjaman tersebut. Dengan kata lain kreditur memerlukan adanya jaminan khusus baginya, yang bersifat kebendaan maupun perseorangan.4

2

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 45

3

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1995,), hal. 59

4

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. cit, hal. 45-46

Jaminan ini untuk memberikan perlindungan bagi Kreditur apabila terjadi wanprestasi atau cidera janji. Adapun pengertian dari wanprestasi yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian/kontrak. Wanprestasi dapat berarti tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik.

Perjanjian utang piutang dengan Bank, biasanya menggunakan lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan atas kredit dari Debitur. Hak Tanggungan itu sendiri adalah hak jaminan untuk pelunasan utang, dimana utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996 yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lainnya.


(10)

Hak Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU No. 4 tahun 1996 alenia ke 3 mempunyai ciri-ciri antara lain:

1.

Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya.

2.

Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada.

3.

Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4.

Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Terhadap hipotik, ketentuan hipotik yang diatur dalam Pasal 314 ayat 4 dan Pasal 315 a, b, c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan lex spesialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka apabila Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengaturnya secara khusus, semua ketentuan hipotik yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap berlaku.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.”5 Dari rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul karena perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu. Hipotik sebagai hak kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja.6

Kredit yang dijamin dengan hak atas tanah tersebut, apabila Debitur tidak lagi mampu membayarnya dan terjadi adanya wanprestasi dan kredit menjadi macet, maka pihak Kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan utang Debitur tersebut dengan cara mengeksekusi

5

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2002), Pasal 1162.

6

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 61.


(11)

jaminan kredit tersebut dengan cara menjualnya secara pelelangan umum agar Debitur juga tidak terlalu dirugikan.

Eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam berperkara di Pengadilan. Sedangkan Hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan Hakim. Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi eksekusi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang obyek Hipotik dan Hak Tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dibayarkan kepada Kreditur pemegang Hipotik dan Hak Tanggungan, dan apabila ada sisanya dikembalikan kepada Debitur.

Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan (jaminan), tidak termasuk eksekusi riil, tetapi eksekusi yang mendasarkan pada alas hak eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka Sertifikat Hipotik dan Hak Tanggungan mempunyai titel Eksekutorial, berlaku peraturan eksekusi yang dikenal dengan parate eksekusi yang diatur dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258 Rbg.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan yuridis terhadap eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan? 2. Bagaimanakah prosedur eksekusi Jaminan Hipotik?

3. Bagaimanakah prosedur eksekusi Jaminan Hak tanggungan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan yuridis terhadap eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan b. Untuk mengetahui prosedur eksekusi Jaminan Hipotik


(12)

2. Manfaat a. Teoritis

1) Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.

2) Untuk menambah pengembangan ilmu hukum di bidang hukum jaminan tentang eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit.

b. Praktis

1) Untuk memberikan wawasan, informasi dan pengetahuan secara langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat mengenai eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan.

2) Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul pada pelaksanaan eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Tinjauan

Yuridis Terhadap Eksekusi Hipotik Dan Hak Tanggungan” belum pernah dibahas oleh mahasiswa

lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tanah telah dijadikan barang jaminan, semenjak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Menurut Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) apabila tanah akan dijadikan jaminan maka akan


(13)

diikat dan dibebani dengan hipotik.7

Hipotik adalah suatu lembaga jaminan yang diperuntukkan bagi khusus tanah yang tunduk pada hukum barat. Hipotik hanya dapat diterapkan pada hak-hak atas tanah yang dikenal dalam KUHPerdata.

Jaminan kebendaan yang berkaitan dengan hak hipotik pengaturannya terdapat dalam KUHPerdata Buku II, yaitu dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1170, Pasal 1173 sampai dengan Pasal 1185, Pasal 1189 sampai dengan Pasal 1194 dan Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1232.

8

Sedangkan untuk jaminan yang sama bagi tanah-tanah Indonesia telah dikeluarkan S. 1908-542 juncto S.1909-586, yaitu Regeling betreffede het credietverband yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1910 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan S.1917-497 juncto S.1917-645, S.1925-434, S.1939-287, S.1931-168 juncto S.1931-423, S.1937-190 juncto S.1931-191, 373 juncto S.1938-264, menurut peraturan mana terhadap tanah-tanah hak milik Bumiputera dapat dijaminkan dengan credietverband.9

Lembaga credietverband merupakan lembaga jaminan yang ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada golongan pribumi mendapatkan kredit dari perbankan, dengan jaminan hak-hak atas tanah yang bukan merupakan hak-hak yang dikenal dalam KUHPerdata, terutama hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang mereka punyai.10 Menurut Suparno dalam Herowati Poesoko pengaturan credietverband ini merupakan asimilasi pengertianpengertian barat dalam bentuk yang sesuai dengan struktur masyarakat Indonesia sendiri. Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk menciptakan lembaga hukum jaminan atas hak atas tanah ada dengan jalan mereduksi lembaga dan ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.11

7

Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN), (Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2008), hal. 57.

8

Ibid, hal. 58. 9

Ibid, hal. 59.

10

Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN), (Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2008), hal. 57.

11

Herowati Poesoko, Op. cit, hal. 59.


(14)

kemudian hari diubah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mulai berlaku yaitu pada 24 September 1960, telah mengatur dan menjanjikan bahwa akan diatur tentang Hak Tanggungan sebagai hak yang memberikan jaminan atas tanah dan benda-benda yang berada di atas tanah itu, baik berikut dengan benda-benda atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu akan dibuat peraturannya oleh pemerintah. Dengan demikian pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berkehendak agar lembaga hak jaminan hipotik dan credietverband dihapus dan untuk itu diganti dengan lembaga hak jaminan baru yang bernama "Hak Tanggungan".

Menindak lanjuti hal tersebut, sejak tahun 1996 telah ada unifikasi hukum dalam Hukum Jaminan untuk tanah, yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Kelahiran Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut merupakan amanat dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyebutkan “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, berdasarkan Pasal 29 undang-undang tersebut, maka lembaga jaminan Hipotik dan Credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi, selanjutnya ditetapkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan yang kuat yang dibebankan pada hak atas tanah


(15)

sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undangxxi Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.12

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan adanya unsur-unsur pokok Hak Tanggungan yaitu :

2. Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

Obyek-obyek hak tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan Hak Pakai atas Hak Milik dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat disimpulkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak terbatas hanya pada benda-benda yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan saja melainkan dapat juga meliputi benda-benda yang dimiliki oleh pihak lain. Namun pembebanannya hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

12

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008), hal. 51


(16)

3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan, hak tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan tetapi juga berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (benda-benda yang berkaitan dengan tanah) baik merupakan milik pemegang hak atas tanah tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan). Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada tetapi baru ada di kemudian hari. Pengertian “yang baru akan ada” adalah benda-benda yang pada dibebankan belum ada sebagai bagian dari hak atas tanah.

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk:

a. Utang yang telah ada.

b. Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu. c. Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada

saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan. Pasal ini sangat berarti bagi dunia perbankan dimana “utang yang baru akan ada” sering terjadi dalam perjalanan pemberian suatu kredit kepada debitur.

Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa


(17)

hubungan hukum. Jadi Undang-Undang memungkinkan pemberian hak tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang atau beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.13

Salah satu ciri hak tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Undang-Undang Hak Tanggungan telah memperkenalkan ada 3 (tiga) cara eksekusi hak tanggungan, yaitu:

1. Penjualan obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri oleh pemegang hak tanggungan pertama melalui pelelangan umum (Pasal 6, Pasal 11 ayat (2) huruf e jo Pasal 20 penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan).

2. Berdasarkan Titel Eksekutorial (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan).

3. Penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan (Pasal 20 ayat (2) dan 3 Undang-Undang Hak Tanggungan).

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada dalam Pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang

13

Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 11.


(18)

diperbaharui (Het Herziene Indonesiche Reglement, Staatsblad 1941-44) dan Pasal 258 RBG Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas14

2. Jenis Data dan Sumber Data

.

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.15

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

14

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 1.

15


(19)

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan eksekusi terhadap hipotik dan hak tanggungan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:16

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa Data

16

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.


(20)

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang tinjauan yuridis terhadap hipotik dan hak tanggungan, yang mengulas tentang tinjauan terhadap hipotik dan tinjauan terhadap hak tanggungan

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang tinjauan yuridis terhadap eksekusi, yang akan mengulas tentang pengertian eksekusi secara umum, hakekat eksekusi, asas-asas eksekusi, macam-macam eksekusi, tata cara eksekusi, dan eksekusi yang tidak dapat dijalankan

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang analisis yuridis eksekusi hipotik dan hak tanggungan, yang akan mengulas tentang eksekusi hipotik dan eksekusi hak tanggungan

BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(21)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN

A. Tinjauan Terhadap Hipotik

1. Jaminan Hipotik pada Umumnya

Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan utang dimana barang tanggungan tidak dipindahkan kedalam tangan orang yang mengutangkan tetapi barang itu selalu dapat diminta/ dituntut meskipun barang itu sudah berada di tangan orang lain apabila orang yang berutang tidak memenuhi kewajibannya17

2. Dasar hukum jaminan hipotik

dalam bahasa Belanda terjemahannya adalah onderzetting dalam bahasa Indonesia adalah pembebanan. Tetapi hypotheca seperti yang dimaksud di atas tidak sama persis dengan hipotik yang dikenal sekarang karena hipotik hanya untuk barang yang tidak bergerak saja sedangkan hypotheca meliputi jaminan benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak. Namun kesamaannya baik dalam bahasa hukum di Indonesia maupun di Nederland istilah hypotheek ini telah diambil alih untuk menunjukan salah satu bentuk jaminan hak atas tanah.

Hak jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitur yang memberikan hak utama kepada seorang kreditur tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila debitur cidera janji. Hak tanggungan hanya menggantikan hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku. Disamping hak-hak jaminan berupa hipotik atas kapal laut dan hipotik atas pesawat udara, juga berlaku gadai dan fidusia sebagai hak jaminan.

Terhadap hipotik, ketentuan hipotik yang diatur dalam Pasal 314 ayat 4 dan Pasal 315 a, b, c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan lex spesialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum

17


(22)

Perdata. Maka apabila Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengaturnya secara khusus, semua ketentuan hipotik yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap berlaku.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.”18 Dari rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul karena perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu. Hipotik sebagai hak kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja.19

3. Proses pembebanan hipotik

Keabsahan suatu pembebanan jaminan hak tanah seperti hipotik harus memperhatikan syarat yang diatur dalam Pasal 1171 (1) KUHPerdata, memenuhi syarat spesialitas yang diatur dalam Pasal 1174 KUHPerdata, memenuhi syarat publisitas dan juga kecakapan dan kewenangan dari subyek hipotik itu sendiri, dalam hal ini penulis sependapat dengan Purwahid Patrik dan Kashadi yang menyatakan bahwa perlu juga diperhatikan kewenangan pemberi hak tanggungan dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang kewenangan suami dan istri untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama, masing-masing dapat bertindak berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Serta larangan bagi orangtua memindahtangankan atau menjaminkan barang-barang tetap milik anaknya yang belum cukup umur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 309, 393, 1320 KUHPerdata jo Pasal 48 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Juga apabila berkaitan dengan anak yang belum dewasa atau di bawah umur maka harus diwakili oleh wali sah dari si anak hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata bahwa syarat sahnya perjanjian yaitu cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

18

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2002), Pasal 1162.

19


(23)

Pembebanan hipotik harus dilakukan dengan akta otentik. Hipotik adalah hak jaminan yang bersifat accessoir, sehingga untuk pemberian hak hipotik harus diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang yang dibuat antara kreditur dan debitur. Mengenai perjanjian pokok yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang menurut Sudargo Gautama dapat dilakukan dengan cara akta di bawah tangan ataupun akta otentik.20

Selain memenuhi syarat spesialitas sahnya hipotik juga harus memenuhi syarat publisitas (Pasal 1179 (2) KUHPerdata) yaitu suatu syarat yang menghendaki agar hipotik yang bersagkutan didaftarkan pada Register Umum yaitu dengan cara mendaftarkan akta hipotik tersebut pada register-register umum yang disediakan untuk itu.

Penulis berpendapat bahwa berkaitan dengan keabsahan pembebanan hipotik sebagaimana telah disyaratkan dalam Pasal 1171 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik kecuali dalam hal-hal yang secara tegas ditunjuk oleh undangundang”

Juga dalam Ayat (2)-nya yang berbunyi:

Begitu pula kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tidak sependapat dengan pendapat dari Sudargo Gautama tersebut diatas. Sahnya Hipotik harus memenuhi syarat spesialitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1174 KUHPerdata yang menyatakan :

“Akta dalam mana diletakkan hipotik harus memuat suatu penyebutan khusus tentang benda yang dibebani, begitu pula tentang sifat dan letaknya, penyebutan mana sedapat-dapatnya harus didasarkan pada pengukuran-pengukuran resmi”

20

Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak TanggunganBaru Tahun 1996 No 4”, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 1996), hal 70


(24)

Pemberian hak hipotik dengan segala akibat hukumnya, termasuk kewajiban pemberi hipotik untuk “merelakan” agar benda yang dijaminkan dengan hak hipotik tersebut disita, dijual, dan selanjutnya hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan dengan hak hipotik tersebut dipergunakan untuk melunasi utang debitur yang dijamin, baru lahir dan mengikat pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan hak hipotik manakala telah dilakukannya pendaftaran akta hipotik pada Register Umum di Kantor Pendaftaran Tanah Yang bersangkutan (Seksi Pendaftaran Tanah Sub Direktorat Agraria) untuk didaftarkan dalam Buku Tanah. Dengan selesainya proses pemberian kredit dengan jaminan hipotik dapat disebut adanya empat dokumen yaitu :

a. Dokumen perjanjian utang

b. Dokumen kuasa untuk memasang hipotik c. Dokumen akta pemasangan hipotik d. Sertipikat hipotik

4. Akibat hukum pendaftaran hipotik

Sebagaimana diatur dan ditegaskan dalam Pasal 1162 dan Pasal 1163 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu hipotik merupakan hak kebendaan yang melekat pada benda tidak bergerak yang dijadikan obyek jaminan hipotik di tangan siapa pun benda tersebut berada untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hak kebendaan tersebut tidak dapat dibagi-bagi dan membebani keseluruhan benda obyek jaminan. Dapat disimpulkan bahwa hak kebendaan, yaitu hipotik bersifat absolut, sehingga hak kebendaan berupa jaminan hipotik dapat dipertahankan kepada siapa pun. Hal tesebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 315 e Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi

“kapal yang terdaftar dan akan dilelang sita di luar wilayah Indonesia, tidak dibebaskan dari hipotik.”21

21


(25)

Akibat hukum pembebanan hipotik pada suatu benda tidak bergerak menyebabkan benda tersebut tetap mempunyai nilai sebagai obyek jaminan bagi pelunasan hutang debitur kepada kreditur dengan tidak mempersoalkan siapa yang sedang menguasai benda tersebut (droit de suite). Satu-satunya cara agar hak kebendaan tersebut melekat pada obyek hipotik, maka harus dipenuhinya syarat pendaftaran. Dengan pendaftaran hipotik, maka melekatkan hak kebendaan berupa jaminan hipotik pada obyek hipotik.

Selama hipotik belum didaftarkan, kreditur tidak mempunyai hak kebendaan atas obyek jaminan hipotik, karena sesuai dengan Pasal 1179 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menegaskan bahwa “hipotik yang belum didaftarkan tidak mempunyai kekuatan apapun dan terhadap para kreditur tidak mempunyai ikatan hipotik.”22

Hal tersebut diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang berbunyi “tingkatan hipotik ditentukan pada hari pembukuan, hipotik yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama pula”

Dengan pendaftaran, maka lahirlah kekuatan mengikat perjanjian hipotik dan sejak tanggal pendaftaran melekatlah kekuatan eksekutorial pada grosse akta perjanjian hipotik. Akibat lain dari pendaftaran ialah penentuan urutan “ranking” pemegang hipotik atas suatu benda objek hipotik. Pemegang hipotik yang lebih dulu mendaftarkan mempunyai kedudukan yang didahulukan dalam pemenuhan penagihan piutangnya dari pada pemegang hipotik yang mendaftar berikutnya (droit de preference).

23

Tingkatan dari pihak-pihak pemegang jaminan hipotik ditentukan menurut tanggal pembukuannya. Mereka yang membukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai

dan Pasal 1181 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga menegaskan bahwa:

22

Ibid, Pasal 1179 ayat (2) 23


(26)

suatu hipotik yang bertanggal sama, tanpa mempedulikan pada jam berapa pembukuan telah dilakukan, walaupun jam itu dicatat oleh pegawai penyimpan hipotik.24

B. Tinjauan terhadap hak tanggungan

Akibat penting dari pendaftaran hipotik ialah terpenuhinya asas publisitas, yaitu agar hipotik dapat diketahui oleh umum dan asas spesialitas, yaitu asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat dibebankan atas benda yang ditunjuk secara khusus, yaitu benda-benda tidak bergerak, yang diikat sebagai jaminan.

1. Pengertian hak tanggungan

Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum tersebut.

Sebelum berlakunya UUPA, dalam hukum kita dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu : jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 No. 542 jo Stb 1937 No. 190 yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas-asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.25

Dengan berlakunya UUPA (UU No.5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna

24

Ibid, Pasal 1181. 25


(27)

Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA. Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada tanggal 9 April 1996 yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Dalam penjelasan umum UU No. 4 tahun 1996 butir 6 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang ini pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak atas tanah. Namun pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Dari uraian di atas Hak Tanggungan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Hak Tanggungan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pengaturan tentang Hak Tanggungan atas benda-benda tetap lain selain dari pada tanah. Apabila membahas pengertian Hak Tanggungan, maka banyak pendapat yang dikemukakan, diantaranya pengertian Hak Tanggungan menurut St. Remy Syahdeni menyatakan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan.26

Sedangkan menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu,

26

St. Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, (Alumni: Bandung, 1999), hal. 10


(28)

untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur yang lain.27

2. Sifat hak tanggungan

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur yang lain.

Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari hak tanggungan.Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:

a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian hak tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996,

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:

“Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang haktanggungan berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.

27

E. Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, (Jakarta: Harwarindo, 2003), hal. 2.


(29)

b. Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan : “Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi ,kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:

“Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan,yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.

c. Hak tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,…. Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.28

d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa, “Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”

28


(30)

Lebih lanjut hak tanggungan mempunyai sifat Accessoir dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa :

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan: “hak tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan.” Perjanjian pembebanan hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan hak tanggungan adalah pejanjian accessoir. e. Hak tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang Hak tanggungan dapat

menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 , menentukan:

“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”

f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan: “Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Dengan demikian hak tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek hak tanggungan itu berada pada pihak lain.

g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan Hak tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:


(31)

“Jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie, subrogasi ,pewarisan ,atau sebab-sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”

Hak tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa hak tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut atau hak tanggungan beralih karena beralihnya perikatan pokok.29

h. Hak tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:

“Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang hak tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek hak tanggungan yang bersangkutan.

3. Objek hak tanggungan

Objek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan yang dapat menjadi objek hak tanggungan adalah Hak Pakai Atas Tanah Negara. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah :

29


(32)

a. “Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum,dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).

b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga apabila diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang dijamin pelunasannya”.

Salim HS mengemukakan bahwa, hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:30

a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang.

b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijaminkan hutang akan dijual dimuka umum; dan

d. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Objek Hak tanggungan menurut Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah Hak Milik. Menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Hak Milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Mengenai pengertian terkuat dan terpenuh sebagaimana dikemukakan oleh Budi Harsono, bahwa maksud pernyataan itu adalah untuk menunjukan bahwa diantara hak-hak atas tanah Hak Milik Yang “ter” (dalam arti “paling”) kuat dan “terpenuh”, yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan

30

Salim HS dalam Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.104.


(33)

tanahnya dan luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan atau digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.31

Lebih lanjut kata-kata terkuat dan terpenuh dinyatakan oleh AP. Parlindungan, bahwa maksudnya untuk membedakan Hak Milik dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak-hak lainnya, untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dimiliki orang, Hak Milik yang paling kuat dan penuh.

32

AP.Perlindungaan mengemukakan bahwa pengertian Hak Pakai sebagai objek hak tanggungan adalah:

Hak Guna Usaha merupakan objek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, menentukan Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya Hak Guna Usaha sebagimana Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian,perikanan atau peternakan.

Hak Pakai Atas Negara sebagai objek hak tanggungan menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:”Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebeni hak tanggungan”.

33

”Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau tanah memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi kewenangan atau kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak Pakai menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berkedudukan sebagi objek hak tanggungan adalah mengingat bahwa hak pakai diatas tanah Negara merupakan hak atas tanah yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankanseperti hak milik, hak guna usaha, hak guna

31

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2003), Hal.390 32

AP.Parlindungan, Komentar Atas UUPA, (Bandung: Mandar Maju, 1993), Hal.124. 33


(34)

bangunan dan dengan demikian memenuhi asas publisitas sehingga tanah yang berstatus hak pakai itupun dapat menjadi objek hak tanggungan”

4. Ciri-ciri hak tanggungan

Ciri Hak Tanggungan adalah:34

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.

b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;

c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan

d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:35

a. hak jaminan;

ciri-ciri Hak Tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang- Undang Hak Tanggungan, suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:

b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;

c. untuk pelunasan suatu hutang;

34

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 98.

35


(35)

d. memberikan kedudukan yang diutamakan.

Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.

5. Proses pembebanan hak tanggungan

Proses pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 10 mengatur tata cara pemberian Hak Tanggungan secara langsung, sedangkan Pasal 15 mengatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tangungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:36

a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;

b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Perjanjian utang piutang sebagai tahap yang mendasari tahap pemberian Hak Tanggungan dapat dibuat secara notariil atau dibawah tangan.

6. Hapusnya hak tanggungan

Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan yang menentukan bahwa:37

a. Hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.

2) Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.

36

Kashadi, Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000) hal. 31-32.

37


(36)

3) Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak tanggungan dapat melepaskan hak tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus, yang mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dijadikan obyek hak tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. Hak tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.

b. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.

c. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

d. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.


(37)

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI

A. Pengertian eksekusi secara umum

Pengertian eksekusi dalam bidang Hukum Perdata menurut Wirjono Prodjodikoro istilah executie disamakan dengan pelaksanaan putusan hakim.38

Eksekusi atau pelaksanaan putusan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan “Kekuatan Umum” dengan kekuatan umum ini dimaksudkan polisi kalau perlu militer.

Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata53 dan sesuai dengan Subekti yang mengatakan bahwa istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia adalah pelaksanaan putusan hakim.

39

Yahya Harahap berpendapat bahwa eksekusi yaitu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara.40

B. Hakekat eksekusi

Dari uraian tersebut diatas dapat ditemukan pemahaman bahwa eksekusi sebagai pelaksanaan dari putusan hakim dengan demikian yang diartikan eksekusi adalah pelaksanaan putusan secara paksa untuk merealisasi hak pihak yang menang dengan bantuan alat negara apabila pihak yang kalah dalam perkara tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela setelah ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti.

38

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung; Bandar Maju, 1989), hal. 122

39

Soebekti, Op. cit, hal. 128.

40

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: PT.Gramedia, 1989), hal. 1


(38)

Suatu putusan hakim sewaktu-waktu akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila sudah diperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum tersebut telah ditetapkan untuk selama-lamanya dan karenanya sudah tidak dapat diubah lagi, maksudnya ditaati secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa.41

Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.

Dengan demikian, maka selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dari pengadilan dalam melaksanakan putusan tersebut. Namun, bukan tidak mungkin, pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa. Pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa.

42

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, pada prinsipnya, eksekusi merupakan tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apabila pihak yang kalah (Tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.43

C. Asas-asas eksekusi

Dalam hal ini, peneliti lebih condong pada pendapat yang diberikan oleh M. Yahya Harahap, karena maksud dijatuhkannya putusan adalah untuk menyelesaikan sengketa dan menetapkan hukumnya. Selain itu juga untuk menjamin hak/melindungi kepentingan pihak yang memenangkan sengketa. Jadi, sebagai realisasinya/ eksekusinya harus dilaksanakan secara paksa.

41

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: BPHN-Binacipta, 1989), hal. 130.

42

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 239 43


(39)

Menurut M. Yahya Harahap, asas-asas eksekusi meliputi:44

1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Hal tersebut mempunyai arti bahwa tidak terhadap semua putusan dengan sendirinya melekat kekuatan pelaksanaan. Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat “dijalankan”. Hal tersebut dikarenakan hanya dalam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini, hubungan hukum tersebut harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak Tergugat) dengan cara menjalankan putusan tersebut secara “sukarela” dan apabila enggan menjalankan secara “sukarela”, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan “dengan paksa” dengan bantuan “kekuatan hukum”.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.

Dalam hal ini, eksekusi merupakan konsekuensi hukum atas adanya keengganan Tergugat untuk menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela. Artinya, apabila pihak Tergugat bersedia menaati dan menjalankan putusan secara sukarela, tindakan eksekusi tidak diperlukan.

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator.

Hanya putusan yang bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Penghukuman tersebut dapat dirumuskan dalam kalimat :

a. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.

b. Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah. c. Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu. d. Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau keadaan. e. Menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.

44


(40)

Apabila salah satu ciri tersebut terdapat dalam amar putusan, maka putusan tersebut bersifat kondemnator.

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.

D. Macam-macam eksekusi

Menurut Soedikno Mertokusumo, eksekusi dibagi menjadi 3, yaitu:45

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR (Pasal 208 Rbg).

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan, maka ia dihukum untuk membayar sejumlah uang. Jika sebelum putusan dijatuhkan sudah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan tersebut sesudah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekusi, selanjutnya eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang pihak yang dikalahkan, sampai mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah semua biaya yang ada kaitannya dengan pelaksanaan putusan tersebut.

Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak (tidak tetap) dan jika tidak cukup juga, maka turut disita pula barang-barang tidak bergerak (tetap) kepunyaan pihak yang kalah sampai mencukupi untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya pelaksanaan putusan tersebut.

2. Eksekusi untuk menghukum agar melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/Pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada Hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dihitung dengan uang.

45


(41)

Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR ini, mengatur mengenai beberapa hal mengadili perkara yang istimewa, yaitu sebagai berikut:

a. Apabila seseorang yang dihukum akan melakukan suatu perbuatan tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan oleh Hakim, maka bolehlah pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim itu meminta kepada Pengadilan Negeri dengan pertolongan keluarganya, baik dengan surat maupun dengan lisan agar kepentingan yang akan didapatnya, bila keputusan itu dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukan dengan ketentuan, bila permintaan itu dilakukan dengan lisan, maka hal itu harus dicatat. b. Ketua mengumumkan perkara itu dalam persidangan Pengadilan Negeri sesudah diperiksa

atau dipanggil orang yang berutang itu dengan patut, maka sesuai dengan pendapat Pengadilan Negeri, permintaan itu ditolak atau dinilai hanya perbuatan yang diperintahkan, tetapi yang tiada dilakukan itu, sejumlah yang dikehendaki si peminta atau sejumlah yang kurang daripada itu, dalam hal jumlah itu ditetapkan, maka orang yang berutang itu dihukum akan membayar jumlah itu.

3. Eksekusi riil.

Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi kepada kreditur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima prestasi.

Eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR tetapi diatur dalam Pasal 1033 Rv, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, maka Majelis Hakim akan memerintahkan dengan surat kepada Jurusita supaya dengan bantuan Panitera Pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. HIR hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang ( Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) Rbg).


(42)

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, eksekusi dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut:46

a. Eksekusi pembayaran uang. b. Eksekusi riil.

Dalam hal ini, Yahya Harahap tidak memasukkan eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan, karena eksekusi riil termasuk didalamnya adalah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, menyerahkan suatu barang, dan pengosongan sebidang tanah.

E. Tata cara eksekusi

Mengenai tata cara eksekusi, HIR/Rbg memberi peraturan-peraturan sebagai berikut :

1. Pemohon eksekusi (yang menang perkara) mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan itu dijalankan/dilaksanakan dan pengajuan permohonan terjadi karena yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela.

2. Atas dasar permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah untuk dilakukan “teguran” ( aanmaning) agar ia memenuhi putusan dalam waktu 8 hari. (Pasal 196 HIR/207 RBg).

3. Jika tetap tidak mau, Ketua Pengadilan Negeri karena jabatan dengan “penetapan” memberi perintah agar disita barang bergerak dan kalau tidak cukup disita barang tetap sejumlah nilai dalam putusan Pasal 197 HIR/208 RBg. Kondisi ini yang disebut sita eksekutorial/sita eksekusi.

46


(43)

4. Eksekusi selesai jika dapat dilaksanakan sesuai putusan/jumlah nilai sita sudah sama dengan bunyi amar dan dapat dilaksanakan berupa benda (barang) yang disita. Jika masih belum cukup dan juga bila tidak mungkin dilaksanakan berupa benda tetap bersama-sama, maka kemudian benda (barang) yang disita tersebut dijual lelang bersama serempak (barang tetap dan tidak tetap) melalui Kantor Lelang Negeri setelah lebih dulu diumumkan 2 kali surat kabar setempat yang berselang 15 hari. Hasil penjualan lelang setelah dikurangi biaya-biaya dan sebagainya, diberikan pada yang menang (kreditur) dan kalau masih lebih, kelebihan hasil lelang itu dikembalikan pada debitur (termohon eksekusi).

Jika hal melaksanakan putusan itu harus dilakukan seluruh atau sebagian obyek perkara berada di luar daerah hukum Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut minta bantuan dengan penetapan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang di situ. Sedangkan untuk lelang tidak akan dilakukan, bila putusan itu dapat dieksekusi riil.

F. Eksekusi yang tidak dapat dijalankan

1. Harta kekayaan Tereksekusi tidak ada.

Dalam hal ini, yang termasuk dalam jangkauan harta kekayaan Tereksekusi tidak ada adalah sebagai berikut :

a. Secara mutlak harta kekayaan Tereksekusi tidak ada dalam arti harta kekayaannya sudah habis. Habisnya harta kekayaan Tereksekusi dapat disebabkan harta kekayaan tersebut telah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan atau dapat juga dikarenakan bencana alam.

b. Pada saat eksekusi dijalankan, pemohon eksekusi tidak mampu menunjuk harta kekayaan tereksekusi.

c. Barang yang ditunjukkan tidak ditemukan. 2. Putusan bersifat deklarator.


(44)

Dalam hal ini, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat kondemnator. 3. Barang obyek eksekusi di tangan pihak ketiga.

Pada prinsipnya, eksekusi harus dinyatakan tidak dapat dijalankan apabila obyek eksekusi sudah berpindah kepada pihak ketiga, sedangkan pihak ketiga tidak ikut digugat.

4. Eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel.

Eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang obyek eksekusi berdasarkan alas hak dan sekaligus berhadapan dengan asas “jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa”.

5. Barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga. 6. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya.

7. Perubahan status tanah menjadi milik negara. 8. Dua putusan yang saling berbeda.

9. Eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.47

47


(45)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS EKSEKUSI HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN

A. Eksekusi hipotik

1. Kekuatan eksekutorial Grosse akta hipotik

Perlu dipahami perbedaan antara grosse akta hipotik dengan grosse akta utang piutang berkaitan dengan hipotik merupakan jaminan tambahan yang bersifat accesoir yaitu mengikuti perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang). Awal mulanya timbul grosse akta yaitu untuk adanya kebutuhan keamanan terhadap jaminan kredit yang diberikan dalam fasilitas pemberian kredit dengan demikian penggunaan grosse akta pada jaminan akan menimbulkan ikatan yang kuat antara debitur dengan kreditur, sebab dalam hubungan ini kreditur dapat langsung mengeksekusi jaminan tersebut sebagai pelunasan utang si debitur tanpa harus melalui proses peradilan yang memakan waktu dan biaya yang cukup besar bila debitur lalai atau melakukan wanprestasi.

Jadi grosse akta merupakan perjanjian asesor dari ikatan pokok perjanjian utang atau kredit. Tanpa perjanjian pokok utang atau kredit tidak mungkin terjadi ikatan grosse akta pengakuan utang atau grosse akta hipotik. Ikatan grosse akta pengakuan utang atau grosse akta hipotik merupakan dampingan yang melekat kepada perjanjian pokok.48

a. Grosse akta hipotik (grosse akta van hypotheek)

Berdasarkan Pasal 224 HIR/Rbg ada dua macam bentuk grosse akta yaitu:

b. Grosse akta pengakuan utang (notarieele schuldbrieven)

48

Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta; PT.Gramedia, 1989), hal 203


(1)

pembayaran kepada bank, dan untuk seterusnya pihak pegadaian akan melakukan kompensasi terhadap hutang debitur, ditambah dengan biaya-biaya yang timbul.

b. Debitur memberikan surat kuasa khusus untuk menjual kepada bank untuk mencari pembeli Dalam hal ini pihak debitur memberikan surat kuasa khusus untuk menjual obyek jaminan hak tanggungan kepada bank, dengan dasr surat kuasa khusus ini, maka pihak bank dapat melakukan penjualan terhadap obyek jaminan hak tanggungan.

Setelah pihak pegadaian melakukan jual beli dengan pihak pembeli maka tahapan selanjutnya adalah pihak bank akan melakukan kompensasi terhadap hutang debitur, ditambah dengan biaya-biaya yang timbul, antara lain; biaya profesi, denda biaya administrasi, dll, dan sisianya akan dikembalikan kepada debitur.

3. Tahapan Peralihan Objek Jaminan Hak Tanggungan

Tahapan peralihan hak ini prosesnya terjadi di Notaris, yaitu berdasarkan pada perbutan hukum jual beli yang telah dilakukan sebelumnya oleh para pihak.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan atas tanah dan benda- benda yang berkaitan dengan tanah adalah merupakan salah satu cara bagi Kreditur untuk memperoleh perlindungan hukum, sehingga melalui Eksekusi Hak Tanggungan atas tanah dan benda- benda yang berkaitan dengan tanah benarbenar dapat memberikan jaminan kepada Kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya jika Debitur cidera janji (wanprestasi).

2. Prosedur untuk mengeksekusi obyek hipotik memakai ketentuan Pasal 224 HIR/ 258 RBg yaitu eksekusi dengan pertolongan hakim yang prosedur eksekusinya adalah bilamana debitur wanprestasi maka kreditur mohon pelaksanaan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan seperti menjalankan eksekusi putusan hakim (tanpa sita jaminan).

3. Prosedur eksekusi hak tanggungan harus melalui penjualan di muka umum atau melalui lelang. Dasar pemikiran yang disampaikan mengenai hal ini adalah bahwa diperkirakan melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat diharapkan akan diperoleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam suatu lelang tawaran yang rendah bias diharapkan akan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Ini merupakan salah satu wujud dari perlindungan Undang-Undang kepada pemberi jaminan.


(3)

1. Perlunya memilih salah satu cara Eksekusi Hipotik dan Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri agar setiap pemberian utang atau pengikatan Kredit yang selalu dijamin dengan pemasangan Grosse Akta Pengakuan Utang atau Sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan Putusan Pengadilan.

2. Perlu adanya Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai hipotik sebagaimana adanya Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga jaminan hipotik tidak hanya terikat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan KUHD yang sangat memiliki keterbatasan dalam mengatur mengenai Jaminan Hipotik.

3. Pemerintah dalam hal ini pembuat UU perlu membuat UU sebagai perubahan Undang-Undang Hak Tanggungan atau peraturan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Dalam perubahan Undang-Undang Hak Tanggungan atau peraturan pelaksana eksekusi Hak Tanggungan nanti perlu ditegaskan bahwa wanprestasi sebagai syarat eksekusi Hak Tanggungan harus mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri setelah dipanggil untuk di aanmaning.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2006.

Dja’is, Mochammad dan RMJ Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR, Semarang: Oetama, 2007.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No 4”, Bandung; Citra Aditya Bakti, 1996.

Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Harahap, M.Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT.Gramedia, 1989.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003.

HS, Salim dalam Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003.

HS, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Jusuf, Jopie, Panduan Dasar untuk Account Officer, Edisi Kedua Yogyakarta: YKPN UPP AMO, 1997.

Kashadi, Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2002.

Masjehoen, Sri Soedewi, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty: Yogyakarta, 1975.


(5)

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta:Prenada Media, 2005.

Muljono, E. Liliawati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Jakarta: Harwarindo, 2003.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008.

Parlindungan, AP, Komentar Atas UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1993.

Perangin, Effendi, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

Poesoko, Herowati, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan), Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2008.

Satrio, J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Setijoprodjo, Bambang, Pengaman Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Bandung; PT.Citra Aditya Bhakti, 1996.

Sjahdeni, St. Remy, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni: Bandung, 1999.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980.

Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1989.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta; Intermasa, 1984.


(6)

Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1995.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung; Bandar Maju, 1989.

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung:Alfabeta, 2003.

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Internet

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi dengan Cara Penjualan Di Bawah Tangan Atas Obyek Jaminan Hak Tanggungan di PT. Bank Niaga, tbk Semarang, tesis oleh Edy Poerwanto, http://eprints.undip.ac.id/17467/1/EDY_PURWANTO2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.


Dokumen yang terkait

“Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon”

2 84 95

Kekuatan Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Pengembalian Utang Pembiayaan Bermasalah Dalam Praktik PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan

1 107 141

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

2 73 96

Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank Danamon

1 72 94

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MELALUI PENGADILAN NEGERI Tinjauan Yuridis Penyelesaian Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri (Studi Di Pengadilan Negeri Boyolali).

0 2 17

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN EKSEKUSI HAK Tinjauan Yuridis Penyelesaian Eksekusi Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri (Studi Di Pengadilan Negeri Boyolali).

0 2 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DIKAITKAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 19

0 0 13

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Tinjauan Yuridis Tentang Hak Kreditor Dalam Melaksanakan Eksekusi Selaku Pemegang Hak Tanggungan Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 4 Tah

0 0 22

Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Harta Pailit Melalui Lelang Oleh Kurator Yang Berasal Dari Objek Jaminan Hak Tanggungan Akibat Tidak Selesainya Eksekusi Oleh Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Berdas.

0 1 2

1.Jaminan Hipotik pada Umumnya - HAK HIPOTIK DAN TANGGUNGAN

0 0 14