Informan Kunci Hasil Temuan

77 seorang perempuan remaja, ibu rumah tangga, dan seorang perempuan lansia, dan informan tambahannya adalah suami dari ibu rumah tangga dan perempuan lansia.Informan kunci berperan sebagai penghubung antara peneliti dengan informan utama dan tambahan.Informan kunci dalam penelitian ini sekaligus sebagai sumber informasi mengenai pelaksanaan program pemberdayaan perempuan.Untuk memperoleh data mengenai pelaksanaan program pemberdayaan perempuan pengungsi Sinabung oleh KWK-GBKP, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan utama dan informan tambahan. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ketua BPP Moria sekaligus koordinator KWK-GBKP Berastagi yaitu Pdt. Jenni Eliyani Keliat.Informan utama adalah 3 pengungsi perempuan di KWK-GBKP, yakni Efriyani remaja, Bu Sarianna dewasa, dan Karo Aminah lansia.Selanjutnya yang menjadi informan tambahan adalah Pak Kasim Sembiring selaku suami dari Bu Sarianna, dan Bulang Benteng Pandia selaku suami dari Karo Aminah.

5.2 Hasil Temuan

5.2.1 Informan Kunci

Nama : Pdt. Jenni Eliyani Keliat Usia : 53 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Jabatan : Ketua BPP Moria dan koordinator KWK-GBKP Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Karo 78 Jenni Eliyani Keliat yang menjabat sebagai Ketua BPP Moria GBKP Periode adalah seorang Pendeta.Beliau lahir di Deliserdang pada tanggal 19 November 1968.Selain Ketua di BPP GBKP Moria, Beliau juga merupakan koordinator yang mengawasi Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan KWK-GBKP selama 11 tahun belakangan ini. Peneliti melakukan wawancara dengan Pdt. Jenni, menanyakan bagaimana sejarah KWK-GBKP.“Awal munculnya KWK-GBKP ini karena keadaan perempuan pada tahun 5060an, dimana masih cenderung terkesan budaya tradisional-patriarkhi, sehingga para perempuan tidak diperhitungkan padahal banyak perannya. Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilah-milah peran sosial seperti apa yang dianggap pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang dianggap sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara laki-laki dengan pekerjaanpekerjaan publik dan ‘maskulin’. Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan gender adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan.Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda” ucap Pdt. Jenni. ‘‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur.” “Pernah mendengar ungkapan seperti itu?”, Tanya Pdt. Jenni kepada saya. Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah anak 79 perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat ada dua hal yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu yang pertama, perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya .dan lingkungannya, dan yang kedua laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk dapur’. Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. “Bisa kita bayangkan seberapa besar sumberdaya manusia perempuan yang potensial untuk membangun negara ini telah disia-siakan dengan sistem budaya tradisional– patriarkhi.Sumberdaya manusia yang berpendidikan rendah cenderung mempunyai peluang lebih sempit untuk dapat memanfaatkan kemampuannya secara maksimal di bidang pekerjaan yang diminatinya. Jika saja semua orang, baik laki-laki maupun perempuan diberikan peluang yang sama untuk maju, untuk lebih produktif menyumbangkan kemampuannya di berbagai sektor yang berbeda, dengan dukungan sumberdaya alam yang kaya seperti ini bukan tidak mungkin kita seharusnya sudah menjadi salah satu negara adidaya. Sayangnya, masih terlalu banyak belenggu-belenggu yang menghambat proses perubahan ke arah kemajuan tersebut. Budaya, agama, suku, tradisi dan label-label lain seringkali dijadikan tameng alasan untuk menghambat perempuan yang ingin mengembangkan diri menjadi sosok manusia yang lebih bermanfaat. Agama, suku, tradisi dan label-label lain seringkali dijadikan tameng alasan untuk menghambat perempuan yang ingin mengembangkan diri menjadi sosok manusia yang lebih bermanfaat”, ucap Pdt. Jenni kemudian. Dari sanalah muncul KWK-GBKP guna memerangi keadaan yang ada serta suatu wadah dimana di dalamnya berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka transformasi pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, nilai, dan budaya pada kaum perempuan agar 80 dapat mempertahankan kehidupan, memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban, meningkatkan daya saing sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam program pembangunan nasional. Secara umum sasaran dari program pemberdayaan perempuan KWK-GBKP ini adalah, pertama meningkatnya kualitas sumber daya perempuan di berbagai kegiatan yang mengutamakan peningkatan kemampuan dan profesionalisme atau keahlian kaum perempuan.Kedua, yaitu mengoptimalkan koordinasi dan keterpaduan dalam pengelolaan pemberdayaan perempuan yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan pelaporan.“Yang dapat mengikuti program pemberdayaan perempuan ini adalah setiap perempuan yang berusia 18 tahun ke atas, bukan hanya orang Kristen, bukan hanya perempuan yang bersuku Karo”, ucap Pdt.Jenni. Seiring berjalannya waktu, angkatan demi angkatan berlalu, keinginan serta partisipasi perempuan untuk mengikuti kegiatan di KWK-GBKP ini mulai berkurang.Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi guna kembali merekrut anggota yang mengikuti program pemberdayaan perempuan ini. Banyak cara yang dilakukan para pengurus seperti memberikan surat ke masing-masing runggun, memberikan informasi melalui radio-radio Sikamoni dan Grai, membuat selebaran dan dibagikan ke Gereja-Gereja setiap hari Minggunya. Pelaksanaan program pemberdayaan perempuan sejak munculnya KWK-GBKP, dilakukan pengutipan iuran setiap bulannya sebanyak Rp 5.000,- kepada setiap anggota yang mengikuti kursus sebagai sumber dana. Program pemberdayaan perempuan ini juga masih tetap dilaksanakan kepada para pengungsi yang kurang lebih selama setahun in mengungsi di KWK-GBKP.Selama kurang lebih setahun lamanya KWK-GBKP memberikan kontribusi terhadap pengungsi-pengungsi Sinabung terkhusus para perempuan sebagaimana tugas awal dari KWK-GBKP tersebut.Dalam melaksanakan tugasnya seperti memenuhi kebutuhan 81 makan sehari-hari, kegiatan pemberdayaan perempuan, dan lainnya para pengungsi tentu dibutuhkan biaya. BPP Moria GBKP memberikan subsidi wajibnya, dimana telah menjadi anggaran pada rapen-rabel program kerja mereka untuk dapat terlaksananya setiap tugas yang diemban oleh KWK-GBKP, bukan hanya dari BPP Moria GBKP, bukan hanya dari BPP Moria GBKP, KWK-GBKP juga didukung oleh UEM United Evangellical Mission secara materi. UEM United Evangelical Mission adalah persekutuan internasional modern gereja sejak tahun 1996,berbagi sama antara semua gereja-gereja anggotadalam pekerjaan Rhenish Missionsejak 1828, Bethel Mission sejak 1886, dan Zaire Misi. Markas UEM berada di Wuppertal,dan adakantor regional di Afrika Dar es Salaam dan Asia Medan.Sejak awal, kami telahmengejar rasa holistik misi. Menyebarkan Kabar Baik dari Injil meluas meningkatkanpendidikan, sosial, dan kondisi medis masyarakat dan berjuang untuk keadilan, dan perdamaian. Anggota UEM mendukung satu sama lain melalui pertukaran personil dan bantuan keuangan. Fokus khusus disimpan di diakonia, HIV dan AIDS, bekerja untuk hak- hak perempuan dan anak-anak, beasiswa, kerjasama pembangunan, pertemuan antarbudaya, dan dukungan proyek. Setelah disurvei mulai angkatan pertama, sudah sebanyak 253 orang alumni KWK- GBKP mengaku menerima manfaat nyatanya, pertama mereka menjadi perempuan mandiri yang memiliki banyak pengetahuan baru setelah mengikuti kursus di KWK-GBKP ini.Banyak perempuan yang dulunya tidak tahu sistem penanaman bibit namun setelah menjadi bagian dari KWK-GBKP mereka menerima banyak hal baru.Bukan hanya secara pengetahun, mereka juga diberikan pendidikan kepribadian, bagaimana layaknya seorang harus bersikap, berdiri di tengah keramaian, tertawa, berbicara, dan berpakaian.Mungkin hal yang spele, namun tanpa kita sadari banyak hal yang belum dapat dilakukan perempuan- perempuan itu sebelum memasuki wilayah KWK-GBKP.Pada umumnya, perempuan- 82 perempuan yang mengikuti kursus di KWK-GBKP juga menjadi perempuan idola di Tanah Karo, sehingga hampir 70-nya menikah dengan pria-pria sukses seperti dokter, pengusaha, bekerja di perkebunan, BUMN, dan lainnya yang pada akhirnya mengangkat derajat mereka setelah menikah. Pdt.Jenni menjelaskan bahwa manfaat seperti dulu mungkin tidak secara keseluruhan dirasakan oleh para pengungsi karena mereka juga tidak mendapatkan banyak hal seperti yang dirasakan alumni KWK-GBKP dulu.Para pengungsi setidaknya masih bisa berlindung di KWK-GBKP setelah kejadian erupsi Gunung Sinabung.Mungkin banyak posko-posko pengungsian yang dapat menjadi tempat mereka mengungsi, namun pada kenyataannya kenyamanan yang dirasakan tidak mungkin senyaman mereka berada di KWK-GBKP. Pengungsian di tempat lain yang disediakan Pemkab Pemerintah Kabupaten termasuk di KWK-GBKP mungkin tidak dapat memberikan makanan yang selalu seperti pengungsi ingikan, namun setidaknya KWK-GBKP masih memiliki kamar mandi yang layak, dimana pengungsi masih dapat melaksakan aktivitas menyuci pakaian, mandi, minum air bersih dari kamar mandi yang ada di KWK-GBKP. Para pengungsi juga selama di KWK-GBKP tidak hanya dipenuhi kebutuhan jasmaninya, namun juga rohani, psikis, yang diharapkan dapat menjadi kekuatan mereka dalam menghadapi kejadian yang sedang dialami. Pdt.Jenni juga menjelaskan bahwa dalam melaksanakan program pemberdayaan perempuan ini, tidak selalu berjalan lancar, selain banyak manfaatnya, juga ditemukan beberapa hambatan.Dahulu dapat dikatakan bahwa banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk dapat mengikuti kursus di KWK-GBKP, namun seiring berjalannya waktu, peminatnya berkurang. Para orang tua serta perempuan-perempuan tersebut cenderung memilih tempat kursus yang telah memilliki nama seperti Keriahen untuk kursus menjahit dan Wella untuk kursus salon kecantikan. “Banyak pula yang berpikir bahwa yang boleh mengikuti kursus di KWK-GBKP ini hanya orang yang beragama Kristen saja, hanya yang bersuku Karo saja, 83 padahal kenyataannya kursus ini dibuka untuk umum. Bukan hanya itu, banyak orang yang mengurungkan niatnya karena berpikir bahwa segala sesuatu yang adadi KWK-GBKP hanya berbau spiritual dan keagamaan, serta nantinya tidak mampu melahirkan mental perempuan sebagai seorang pengusaha,”ujar Pdt.Jenni

5.2.2. Informan Utama