1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terhitung sejak tahun 2010 sampai pada tahun 2015 ada satu bencana yang tidak berhenti mengganggu salah satu wilayah Indonesia, yakni daerah Kabupaten Karo. Gunung
Sinabung yang berada di daerah Tanah Karo berulangkali bererupsi dalam beberapa tahun belakangan ini. Serangkaian erupsi Gunung Sinabung yang diawali pada tahun 2010, letusan
Gunung Sinabung pada 27 Agustus 2010 dikategorikan tipe letusan freatik letusan terjadi karena tekanan gas yang diikuti jatuhan abu vulkanik Gunung Sinabung hingga menutupi
Desa Sukameriah, Gungpintu, Sigarang-garang, Sukadebi, Bekerah dan Simacem. Tanggal 27-28 Agustus letusan abu atau freatik dari kawah puncak.Tanggal 29-30 Agustus 2010
letusan abu dari puncak disertai suara dentuman dan kolom abu berkisar 1500-2000 meter. Tanggal 3 dan 7 September letusan abu dengan tinggi kolom abu berkisar 2000-5000 meter
httpwww.Ini riwayat erupsi dan letusan Gunung Sinabung_merdeka.com.html, diakses tanggal 10 Februari 2015 Pukul 17.00 WIB.
Selanjutnya serangkaian aktivitas Gunung Sinabung menunjukkan aktivitas signifikannya pertengahan September 2013, hal tersebut ditandai dengan getaran-getaran
yang cukup intensive atau sering.Disusul dengan setiap 20 menit terjadi gempa dimana puncaknya yaitu pertengahan Desember 2013.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas
BNPB Sutpo Purwo Nugroho membenarkan adanya peningkatan aktivitas Gunung Sinabung. Tertanggal 12 Desember 2013 perkembangan aktivitas Gunung Sinabung terjadi 2 kali
gempa vulkanik 1 kali gempa vulkanik dangkal, 41 kali gempa frekuensi rendah, 187 kali gempa hybrid berkekuatan tinggi, 8 kali gempa hembusan dan terus menerus dengan
amplitude maksimum 2 mm, longsoran material yang mengarah ke tiga desa seperti Desa
2 Bekerah, Mardinding, dan Simacem, tercatat pengungsi mencapai 17.844 jiwa yang terdiri
dari 5.513 kepala keluarga yang tersebar di 31 titik posko pengungsian. Diramalkan Gunung Sinabung bisa saja meletus dengan frekuensi yang besar sekali engan pola kegempaan
vulkanik seperti itu. Bisa dibuktikan berapa hari tanda-tanda seperti meluncurnya awan panas dan abu vulkanik yang mengganggu jarak pandang serta pernafasan warga di desa sekitar
Gunung Sinabung mengakibatkan pengungsi kian bertambah menjadi 18.186 jiwa httpwww.koran-sindo.comnode351882, diakses tanggal 17 Februari 2015 pukul 20.45
WIB. Tanggal 19-21 Desember 2014 tanda-tanda Gunung Sinabung meletus semakin kuat
gunung setinggi 2.460 meter dari permukaan laut mengeluarkan guguran material sejauh 5 km kearah tenggara. Dari seluruh gunung api yang berada di atas kondisi normal di Indonesia
dimana Gunung Sinabung satu-satunya yang memiliki status awan level IV, sehingga ditetapkanlah tidak diperbolehkan aktivitas warga di radius 5 kilometer rona merah dari
kaki gunung tersebut. Perubahan yang signifikan pada kondisi struktur Gunung Sinabung menyebabkan terjadinya longsoran di sekitar badan gunung di wilayah puncak gunung
teramati bentuk kubah magma yang kapan saja dapat menyemburkan lava pijar. Selanjutnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi merekomendasikan masyarakat di 17 desa
dan 2 dusun seperti Desa Gurukinayan, Sukameriah, Berastepu, Bekerah, Gamber, Simacem, Perbaji, Mardinding, Kuta Gugung, Kuta Rakyat, Sigarang-Garang, Sukanalu, Temberun,
Kuta Mbaru, Kuta Tonggal, Tiganderket, Selandi, dan Dusun Sibintuin serta Dusun Lau Kawar harus diungsikan httpwww.chripstory.comli187097, diakses tanggal 17 Februari
2015 pukul 21.15 WIB. Pusat Data Informasi dan Humas BNPB tangal 08 Januari 2014 mengumumkan
bahwa pengungsi terus bertambah yaitu 22.708 jiwa 7.079 KK. Tertanggal 15 Januari 2014, jumlah pengungsi makin bertambah dimana tercatat 26.714 pengungsi 8.161 KK tersebar di
3 39 titik pengungsian. Terdapat titik pengungsi baru yaitu di Maka Jl.Samura sebanyak 122
jiwa 42 KK yang berasal dari Desa Gung Pinto. 9 Februari 2014 tercatat jumlah pengungsi erupsi Gunung Sinabung mencapai 33.126 jiwa 10.297 KK yang terletak di 41 titik
pengungsian yang statusnya masih skala bencana kabupaten, dimana artinya Pemerintah Daerah Karo masih mampu mengatasi bencana tersebut yang dibantu Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara yang didampingi oleh Pemerintah Pusat. Adanya usulan agardijadikan skala nasional tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 51 ayat 2, dimana disebutkan penetapan skala nasional ditetapkan oleh presiden, skala provinsi oleh gubernur, dan skala kabupatenkota
oleh bupatiwalikota. Pemerintah Daerah Karo masih berjalan normal.Selain itu juga tidak ada korban jiwa banyak dan terjadi eskalasi bencana yang luas. Berbeda dengan erupsu
Gunung Merapi tahun 2010, dimana presiden memerintahkan kendali operasi tangap darurat dalam satu komando berada di tangan kepala BNPB dibantu Gubernur DIY, Gubernur Jawa
Tengah, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jawa Tengah dan DIY pada tanggal 05 September 2010. Keputusan presiden saat itu didasarkan bertambahnya korban dan
pengungsi. Pada 4 September 2010 korban jiwa 44 tewas, 119 luka-luka, 82.701 mengungsi, kemudian ketika erupsi besar 05 September 2010 korban meningkat 114 tewas, 218 luka-luka
dan 300.000 mengungsi Pusat data Informasi dan Humas BNPB. Adanya informasi peningkatan aktivitas Gunung Sinabung kerugian yang ditimbulkan
makin besar. Dinas Pertanian dan Perkebunan Karo menyatakan kerugian di sektor pertanian dan perkebunan sejak Gunung Sinabung erupsi 6 Januari 2014 diperkirakan Rp 712,2 milyar
dari 10.406 ha lahan pertanian dan perkebunan. Luas lahan pertanian dan perkebunan ini meliputi tanaman pangan 1.837 Ha, holtikultura 5.716 Ha, tanaman buah 1.630 Ha,
biofarmaka 1,7 Ha, dan perkebunan 2.856 Ha. Dampak kerugian terbesar terdapat di 4 kecamatan seperti Namanteran, Simpang Empat, Payung, dan Tiganderket httpwww.Mari
4 Meringankan Beban Pengungsi Sinabung_Kompasiana.com.htm diakses tanggal 19 Februari
2015 pukul 12.00 WIB.
Tabel 1.1 DATA PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG KAB. KARO
TANGGAL 02 MARET 2015
No. POS PENAMPUNGAN
ALAMAT KK
JIWA 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. GBKP KOTA BERASTAGI
KLASIS GBKP BERASTAGI KWK BERASTAGI
GBKP JL.KOTACANE KABANJAHE PAROKI G.KATOLIK KABANJAHE
UKA KABANJAHE 2 UKA KABANJAHE 3
SERBA GUNA KNPI Jl. Gundaling
Jl. Udara Jl. Udara
Jl. Kotacane Jl. Irian
Desa Ketaren Desa Ketaren
Jl. Pahlawan 43
99 70
195 65
94 35
186 160
264 178
697 248
287 82
582
Jumlah 787
2498
Sumber: karokab.go.id Penanganan korban bencana gunung meletus yang baik selama ini dilakukan oleh
berbagai instansi, namun tidak didukung dengan kebutuhan minimum bagi para korban bencana. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 26
ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi korban bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar artinya kebutuhan untuk menyambung hidup dan
kehidupannya selama berada di daerah pengungsian. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
pasal 28 ayat 1 bahwa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar harus diberikan kepada korban
5 bencana alam dalam bentuk penampungan sementara, bantuan pangan dan sandang,
mendapatkan air bersih dan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan Sudibyakto, 2011:121.
Konteks bencana erupsi Gunung Sinabung bantuan darurat bencana untuk pemenuhan kebutuhan dasar tentunya harus menganut prinsip nasional kebutuhan dasar. Oleh karena itu
sangat diperlukan pendampingan pengungsi korban bencana Gunung Sinabung khususnya bagi kelompok yang rentan seperti bayi, balita, anak-anak, perempuan, pengungsi
penyandang cacat disabilitas, orang sakit dan manula yang menjadi korban erupsi Sinabung agar kriteria kebutuhan minimal dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya. Namun pada
kenyataannya, stok bantuan pangan, minuman maupun lainnya sering menipis.Untuk mendapatkan air untuk mandi pun terbatas.Jika pergi menuju sungai harus jauh berjalan
jauh.Dari lokasi pngungsian sampai menuju sungai berjalan lebih dari 100 meter.Padahal, berjalan kaki mengambil air dari tangki air untuk diangkat dan dibawa menuju MCK
lumayan melelahkan.Wanita yang sudah tua tidak kuat lagi untuk mengangkatnya, bahkan ibu yang baru melahirkan pun bisa berakibat buruk jika harus mengangkat air tersebut.
Selama bencana erupsi Sinabung ini juga ada 2 orang wanita yang benar-benar merasakan kesusahan yang luar biasa, ketika mengandung tidak mendapatkan gizi yang baik
karena keterbatasan pangan di lokasi pengungsian, begitu pula ketika melahirkan, mereka harus merasakan sakit sepanjang mencari rumah sakit untuk tempat mereka melahirkan.
Pemerintah Daerah belum menyediakan jasa seperti dokter ataupun bidan yang dapat membantu para wanita hamil untuk melahirkan pada masing-masing posko
pengungsian.Begitu pula sepulangnya dari rumah sakit setelah melahirkan, banyak biaya yang harus dilunasi padahal kondisi keuangan mereka sudah sangat parah dikarenakan ladang
di tempat tinggal mereka sudah tidak dapat dikelola lagi.Lalu mereka juga harus kembali
6 merasakan sedihnya posko pengungsian, dimana anak yang baru dilahirkan juga harus ikut
menikmati bagaimana kurang memadainya posko pengungsian Koran Tribun, 11 Juni 2014. Para lansia perempuan di daerah Karo memiliki kebiasaan memakan sirih sebagai
penghabis waktu serta membantu menenangkan pikiran ketika menghadapi masalah.Namun, di posko pengungsian para lansia perempuan tidak lagi dapat melakukan hal yang serupa
karena kalaupun ada, jumlah sirih yang disediakan tidak dapat dikonsumsi setiap harinya secara rutin, padahal kita tahu ketika berada di posko pengungsian beban pikiran mereka jauh
lebih besar dibanding waktu-waktu sebelumnya.Anak-anak perempuan juga mengalami masa keci yang dapat dikatakan buruk karena tidak mendapatkan fasilitas bermain yang
baik.Sekalipun sering relawan datang untuk member penghiburan melalui games-games, namun pada dasarnya permainan yang disediakan tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin
dan waktunya juga tidak dapat ditentukan.Berdasarkan keadaan tersebut azas pemberian bantuan harus berdasarkan pada prioritas untuk kelompok rentan ini dan harus adil.Hal yang
sangat penting adalah adanya Team Rapid Need Assesment dalam rangka membantu Pemerintah Daerah dalam memantau dan memberikan saran dan jalan keluar tentang jenis
kebutuhan yang diperlukan korban bencana secara proporsional Sudibyakto, 2011:122. Wilayah Negara Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis,
klimatologis, dan demografis yang berpotensi terjadinya bencana.Bencana sering diidentikkan dengan sesuatu yang buruk, paralel dengan istilah disaster dalam bahasa
Inggris
.
Bencana yang terjadi disebabkan oleh dua faktor, faktor tersebut adalah faktor alam dan non alam.Kedua faktor tersebut dapat menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Kondisi seperti ini dapat dialami oleh
seluruh wilayah Indonesia.Intensitas bencana yang dialami Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat dan kompleks, sebab itu sistem penanggulangan bencana harus ditangani lebih
7 komprehensif, tepat sasaran dengan melibatkan multi sektor secara bersama-sama, terpadu,
terkoordinasi, sistematik dan sinergis. Berdasarkan laporan yang diterima sekretariat Bakornas PB Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana kurun waktu 2002-
2005 tercatat sebanyak 2.184 kejadian bencana Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2008:1
Permasalahan yang mengemukaka saat bencana adalah berkaitan dengan isu gender, khususnya berkaitan dengan perempuan yang selama ini luput diberi perhatian. Pemilihan
jumlah korban menurut jenis kelamin sangat perlu diperhatikan untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran, meskipun dalam bencana ini tidak memilih-milih korban berdasarkan atas
jenis kelamin, usia, umur, sosial-ekonomi, suku bangsa, agama, dan seterusnya. Pola pikir umum berasumsi bahwa bencana menimpa orang tanpa memilih jenis kelamin sebab itu
kebijakan penanganan bersifat netral, tidak memilah-milah untuk jenis kelamin tertentu, bahkan ada kecenderungan penanganannya bias terhadap perempuan, karena tiga hal:
1. Kurang peka tehadap isu gender.
Kebijakan penanggulangan bencana yang tidak sensitif terhadap isu gender mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan termasuk anak-anak, lanjut usia dan
kelompok terpinggirkan lainnya. Manfaat serta partisipasi dan control dari kebijakan, program maupun kehiatan bantuang bencana yang diberikan dalam kesempatan
memperoleh akses. Para pengambil kebijakan dan pelaksanaan penganggulangan bencana sering memahami penanganan bencana “tidak berpihak” atau disebut netral gender.
Pelaksana penanggulangan bencana umumnya melihat masyarakat terkena bencana sebagai kelompok homogeny, padahal perempuan dan laki-laki berbdea, bukan saja
secara biologis tetapi juga berbeda dalam peran dan status gendernya sebagai akibat dari hubungan gendernya, yang berdampak berbeda pula diantara keduanya dalam
memperoleh tanggung jawab, hak kewajiban, kesempatan, pengalaman, termasuk dalam
8 memperoleh akses dan manfaat dari program pembangunan; keikutsertaan dalam
memutuskan dan didengar pendapa serta keinginannya serta penguasaan terhadap sumberdaya seperti informasi, pengetahuan, keterampilan, dana, dan lain-lain. Masalah
yang disebabkan karena perbedaan itulah yang disebut sebagai isu gender. Peran dan status gender itu dinamis sifatnya, bisa berubah atau bertukar karena
perbedaan status sosial, rural-urban, suku bangsa, agama, atau dikala kejadian tertentu seperti bencana Gunung Sinabung misalnya. Komisi Status Wanita PBB menunjukkan
bahwa saat ada bencana, dari semua korban, maka perempuanlah yang lebih terpuruk keadaannya. Sementara itu Komisi Status Wanita PBB juga menunjukkan bahwa
perempuan memainkan peran vital dikala bencana, karena selain tetap menjalankan tugas dan fungsinya care giver dalam keluarga dan yang bertanggung-jawab dalam urusan
domestik rumahtangga, mereka juga seringkali berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, tulang punggung keluarga terutama ketika ia harus menjadi orang
tua tunggal karena suami, ayah dan anggota lainnya hilang tewas ataupun kehilangan pekerjaan dan harta benda. Tidak jarang peremuan-perempuan ini juga terlibat dengan
kegiatan sosial, seperti membantu di dapur umum, pos kesehatan.Perempuan bukan saja menjadi objek yang harus dilindungi, tetapi juga menjadi subjek, berperan aktif sebagai
“Change of Agent”, sehingga dalam keadaan bencana peran serta beban perempuan justru bertambah. Dianggap lumrah dan masyarakat menerima perempuan “keluar” dari norma
gendernya ketika dalam keadaan bencana; meskipun dalam keadaan ‘normal kembali’, perempuan-perempuan itupun kembali ke peran gendernya.
2. Masih mengacu pada stereotipi gender.
Kebijakan penanggulangan bencana seringkali luput memahami dinamika itu, sebaliknya masih mengacu pada stereotipi gender, yang menempatkan laki-laki pada
peran gendernya misalnya sebagai kepala keluarga, sebagai pengambil keputusan, sebagai
9 tulang punggung ekonomi rumahtangga; serta menempatkan perempuan pada peran
gendenrya sebagai ibu rumahtangga, mengurus kegiatan domestik meskipun secara de facto peran-peran gender stereotipi itu juga sudah banyak berubah, misalnya dikala
bencana Gunung Sinabung. 3.
Langkanya data terpilah menurut jenis kelamin. Sehingga isu gender tidak terkuak. Kebijakan penanggulangan bencana tetap merancang kebijakan program tanpa data
terpilah menurut jenis kelamin, karena ketidaksediaan data terpilah dan tetapi juga karena tidak dianggap penting. Hal ini memaknai bahwa penanggulangan bencana belum
menerapkan strategi pengarusutamaan gender sesuai amat Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional serta Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan gender sebagai salah satu dasar, prinsip serta tujuan Penanggulangan Nasional Bencana Alam
PNBA Perencanaan penanggulangan bencana, seperti halnya dengan perencanaan pembangunan
yang bersifat umum, seringkali luput mempertimbangkan isi gender ini; luput mempertimbangkan pengalaman, kesulitan sebagai perempuan dalam memperoleh akses
maupun manfaat dari kebijakan program aktivitas yang disediakan. Isu gender yang mengemuka yang timbul akibat bencana termasuk konflik yang spesifik terhadap
perempuan dan anak khususnya meliputi masalah yang berkaitan dengan: 1. Aspek Hukum, seperti menyangkut soal perlindungan hukum sehubungan dengan
keluarga terpisah, hak ahli waris, kepemilikan, dokumen-dokumen penting yang hilang atau musnah.
2. Aspek Kesehatan, berkaitan dengan masalah ketersediaan air bersih dan sanitasi bagi keluarga yang menurut pembagian gender dibanyak masyarakat masih menjadi tanggung
jawab perempuan; masalah pemenuhan hak kesehatan reprodukasi misalnya seperti
10 kebutuhan perempuan yang sedang hamil, menyusui dan perempuan yang sedang
mengalami menstruasi. 3. Aspek Sosial-Ekonomi, masalah yang berkaitan dengan pergeseran pembagian kerja
menurut gender, seperti keala keluarga perempuan kehilangan suami, ayah, yang harus bertanggung-jawab sendiri dalam menghidupi keluarga; kelompok lansia serta penduduk
rentan lainnya yang secara ekonomi kehilangan tempat bersandar, termasuk dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Selain itu, terganggunya dan menurunnya partisipasi
sosial-ekonomi perempuan sebagai akibat dari tidak berfungsinya pranata sosial-ekonomi di masyarakat seperti pasar, posyandu, kegiatan PKK, dst. Juga terganggunya kegiatan-
kegiatan belajar-mengajar yang berdampak langsung terhadap anak didik seperti terjadinya penurunan angka partisipasi sekolah, dan secara tak langsung menjadi
tanggung jawab ibu juga. 4. Aspek Psikologis yang berkaitan dengan masalah trauma pasc bencana dan pengalaman
lama tinggal di pengungsian yang dialami perempuan dan dalam keadaan keluarga yang tercerai berai, rentan terhadap kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumahtangga KDRT
kasus-kasus pelecehan kekerasan seksual, rawan trafficking bagi perempuan dan anak- anak.
5. Aspek Sosial dan Budaya yang berkaitan dengan masalah carut-marut kehidupan sosial pasca konflik dan bencana, yang dapat mengancam pergeseran perilaku, tata nilai budaya;
maka diperlukan upaya untuk mengembalikan dan fungsi-fungsi sosial kemayarakatan termasuk tata nilai dan perilaku.
6. Aspek Keamanan yang menyangkut rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya terbebas dari rasa intimidasi untuk daerah konflik.
11 Mengingat masalah-masalah yang menimpa perempuan pada saat bencana itulah,
maka ada keharusan yang disepakati secara global dan kemudian diikuti ditingkat nasional untuk member perhatian khusus bagi perempuan dikala bencana UN Resolution
No.631999 dan yang terakhir ini Statement Pertemuan APEC di Peru November 2008.Sebelumnya sudah pula menjadi kesepakatan dunia Beijing Platform 1995 dan di
Indonesia Inpres No.9 tahun 2000 untuk melaksanakan integrasi isu gender PUG kepada seluruh program pembangunan, termasuk program pembangunan sistem Pengelolaaan
Bencana. Khusus yang berkaitan dengan Pengelolaan Bencana, Indonesia telah mengeluarkan UU No.24 tahun 2007 yang secara eksplisit mencantumkan gender sebagai salah satu prinsip
serta tujuannya. Undang-undang itu telah pula diikuti dengan 3 Peraturan Pemerintah PP 21; 22 dan 23 di dalam PP No.21 mengenai dibentuknya BNPB Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, 2009:7. Berangkat dari kondisi yang telah diuraikan, Peneliti tertarik untuk melihat “Program
Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan KWK-GBKP pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo”.
1.2. Perumusan Masalah