menghiasi kehidupan manusia. Dalam Ziarah 1969:116 Iwan Simatupang mengungkapkan misteri yang melekat pada manusia melalui tokoh bekas pelukis, sebagai berikut;
“Isteri saya telah mati, kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak ada, tiada. Yang sendiri berarti ada. Yaitu, adanya tiada itu. Dan buat apa saya harus meributkan persoalan ada dan tiada
ini, sejak ada seorang Tionghoa berkata dulu kala, bahwa kita tidak tahu apakah tidur dan mimpi kita, bukan merupakan keadaan bangun kita yang sebenarnya, dan apakah yang hingga kini kita
anggap sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”
Dalam Ziarah tokoh bekas pelukis mennghadapi misteri itu sebagai bagian dalam diri manusia, khususnya bagi dirinya. Tokoh bekas pelukis menghadapi misteri itu sebagai kenyataan
yang harus diterima tanpa perlu mengadukannya kepada Tuhan. Ia begitu pasrah menghadapi misteri itu, sehingga seolah-olah dalam ketidakberdayaan itu ia menikmatinya.
2.2 Tema filsafat eksistensialisme dalam novel Kepundan karya Syafiril Erman
2.2.1. Kebebasan
Tentang kebebasan, Berdyaev dalam Hassan 1973 : 68 mengutarakan tentang pengingkaran kebebasan pribadi di atas kepentingan yang umum. Menurut Berdyaev Hassan,
1973 : 68; “Sudah menjadi kodrat revolusi untuk membawa kita kepada teror dan teror adalah hilangnya
kebebasan setiap orang, hilangnya kebebasan semua.” merupakan keadaan bangun kita yang sesungguhnya, adan apakah hingga kini kita anggap
sebagai keadaan bangun itu bukan keadaan kita yang sedang tidur dan bermimpi sesungguhnya”
Keberanian untuk menanggung segala kepahitan dalam hidup sebagai konsekuensi logis atas pilihan hidup yang ditetapkan juga eksis dalam novel Kepundan. Penegasan dan
pengingkaran akan kebebasan dalam berpikir dan bertindak juga disuguhkan oleh pengarang melalui para tokoh yang ada dalam novel tersebut. Tokoh perempuan dokter yang berwajah
cantik dengan segala potensi yang dimilikinya, memilih bertugas di desa transmigran yang
Universitas Sumatera Utara
terpencil, karena keyakinan yang kuat dalam dirinya akan menemukan jawaban dari pertanda yang muncul dalam mimpinya, sekaligus pula kesadaran bahwa Ia lebih dibutuhkan oleh
penduduk desa transmigran dari pada penduduk kota kecamatan. Melalui surat yang ditulis untuk sang ayah. Ia menetapkan pilihan dan menolak tawaran
sang ayah secara halus. Ia dalam Kepundan 2006 : 134 memutuskan ; “Keputusan yang saat ini nanda ambil adalah karena nanda yakin bahwa garis-garis kehidupan nanda menuntut nanda
harus pergi dari sini …” Pilihan yang ditetapkan tokoh perempuan dokter merupakan suatu keputusan dalam memilih
dengan segala konsekuensi di baliknya. Keputusan ini dilandasi oleh ada-nya kebebasan berpikir dan bertindak dalam diri tokoh perempuan dokter. Kebebasan dalam arti bebas dari bujuk rayu
sang ayah dan gemerlap dunia yang bersifat materi. Pengingkaran kebebasan yang menimpa para tokoh yang ada dalam novel Kepundan
dilakukan oleh pihak atau tokoh lain. Pengingkaran kebebasan dalam novel Kepundan disuguhkan pengarang melalui tokoh kepala sekolah, yang mengingkari adanya kebebasan dari
tokoh si lelaki muda. Tokoh Kepala Sekolah pada saat rapat sidang guru-guru mengekang kebebasan tokoh lelaki muda. Ia Kepundan 2006 : 31 menyatakan ;
“Sebaiknya jangan berharap bahwa Saudara akan dapat berpetualang lagi dengan kemerdekaan berpikir Saudara untuk hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas di sini ….”
Pengekangan dan pengingkaran akan kebebasan manusia dalam berpikir dan bertindak telah lama menyelimuti kehidupan manusia jauh sebelum lahirnya Renaisans di Eropa.
Pengekangan atau pengingkaran tersebut dilakukan oleh pihak lain yang merasa terusik akan eksistensi kebebasan sesorang, khususnya kebebasan dalam berpikir. Para filosof pra-Sokrates
atau setelah Sokrates telah pula dihadang pengekangan akan kebebasan berpikir dan bertindak.
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran mereka yang teramat radikal dapat pula dianggap sebagai suatu virus yang dapat menjangkiti dan merusak konsep tentang sesuatu yang umum dan tatanan sosial yang telah
mapan. Oleh karena itu para penguasa yang memimpin suatu polis pada era pra-Sokrates atau sesudah Sokrates lebih memilih menjauhkan para filosof tersebut dengan segala pemikirannya
daripada harus mengorbankan kemapanan sosial. Di masa sekarang ini pun pengekangan akan kebebasan berpikir juga masih menimpa beberapa manusia yang dianggap berpikir radikal.
Beberapa negara di dunia juga masih menerapkan hukum buang bagi pengarang atau pemikir yang tidak segaris dengan para penguasa dari negara tersebut. Beberapa dari mereka harus
meminta perlindungan atau suaka dari negara lain atau bermain kucing-kucingan dengan Interpol atau pemerintah.
2.2.2. Kemualan