Maut Perbandingan Nilai Filsafat Eksistensialisme Antara Ziarah Karya Iwan Simatupang Dengan Kepundan Karya Syafiril Erman

Namun perasaan takut yang menimpanya itu datangnya secara tiba-tiba dan bersifat sementara. Rasa takut itu akan hilang kembali secara tiba-tiba pula. Dalam Ziarah 1969:10 hilangnya perasaan takut dilukiskan iwan simatupang sebagai berikut; “Kemelut dalam dirinya memuncak. Nuraninya berbenturan dengan kesediaan dan kebukaan hati kawan barunya yang sejak tadi masih duduk disampingnya, menggenggam…” Tokoh bekas pelukis yang pada awalnya takut terhadap tokoh opseter pekuburan menjadi sadar kembali. Rasa takut itu hilang secara tiba-tiba dan tanpa disadarinya. Hilangnya rasa takut itu telah membukakan diri tokoh bekas pelukis untuk menerima kehadiran tokoh opseter pekuburan. Selanjutnya tokoh bekas pelukis menerima tawaran tokoh opseter pekuburan untuk mengapur tembok pekuburan kota Praja.

3.1.4 Maut

` Maut atau kematian adalah sesuatu yang tidak dapat kita ketahui kapan kedatangannya, tetapi jelas maut pasti akan datang dalam setiap kehidupan manusia, sesuatu yang dilahirkan pasti mengalami kematian. Maut bagi Kierkegaard adalah batas waktu atau akhir bagi manusia untuk menjalankan eksistensinya Hassan, 1973:40. Sedangkan Nietzche Hassan, 1973:49 mengatakan; “Keberanian dalam menjalani hidup, haruslah keberanian pula dalam menghadapi kematian”. Selanjutnya Jasper Hassan, 1973:87 menyatakan “…Pun eksistensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, berapa pun …” dan bagi Sartre Hassan, 1973:108-109 menyatakan; “Maut adalah absurd karena tibanya di luar dugaan dan pilihan kita sendiri’ Maut merupakan tema yang sentral dan dominan dalam filsafat eksistensialisme. Setiap manusia di dunia mempunyai definisi tersendiri akan maut itu. Ada manusia yang menganggap maut sebagai kemenangan, tetapi sebaliknya ada pula yang menganggap maut sebagai kekalahan. Setiap definisi yang diberikan terhadap maut bersifat subjektif dan disesuaikan Universitas Sumatera Utara dengan penghayatan akan kehidupan. Chairil Anwar menganggap maut sebagai kekalahan, sebagaimana tersirat dalam baris puisinya yang menyatakan ‘hidup hanya menunda kekalahan’. Sedangkan Nietzche menganggap maut sebagai kemenangan dalam ungkapannya’ matilah pada waktunya’. Dimana Ia menyatakan bahwa hanya orang-orang yang dapat memberi arti akan kehidupanlah yang mati pada waktunya. Pada novel Ziarah penghayatan akan maut dianggap sebagai suatu kekalahan, sehingga tokoh bekas pelukis merasa perlu untuk menghindari datangnya maut itu. Ini diungkapakan Iwan Simatupang dalam Ziarah 1969:6 sebagai berikut; “Tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tidak menyukai siapa saja yang lapangan kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati” Ungkapan kekalahan yang terbias ke dalam maut selalu menyelimuti setiap tokoh yang ada dalam novel Ziarah. Setiap kali para tokoh merasakan kekosongan jiwa, pada saat itu pula mereka merindukan maut, yaitu dengan bunuh diri atau mati secara wajar. Percobaan bunuh diri juga dilakukan tokoh bekas pelukis karena desakan kekosongan jiwanya Ziarah, 1969:72 sebagai berikut; “Kehadiran aspal dalam renungannya yang kini, membuat dia memandang sayu kepada jalan aspal yang terlihat dari jendela hotelnya. Tiba-tiba …”

2.1.5 Keterasingan