Budaya Politik Masyarakat Perkebunan (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)

(1)

BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN

(Studi Kasus PTPN IV Bahjambi)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

Heri Aprilando Simanjuntak 040906071

Dosen Pembimbing : Drs. Irfan Simatupang. M.Si Dosen Pembaca : Indra Kesuma Nasution. SIP. M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HERI APRILANDO SIMANJUNTAK (040906071) BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)

Rincian isi Skripsi v, 97 halaman, 28 tabel, 40 buku,2 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1947-2006)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengulas bagaimana gambaran budaya politik yang ada dalam lingkungan masyarakat perkebunan. Lokasi penelitian yang dipilih yakni kelurahan Bah Jambi yang merupakan kompleks perumahan yang khusus diperuntukkan bagi keluarga karyawan yang bekerja pada PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi. Yang menjadi objek penelitian ini dimana ada kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, tinggal dalam suatu wilayah tertentu (kompleks perumahan perkebunan) serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut. Secara eksklusif mereka dapat disebut masyarakat Perkebunan. Mereka hidup bersama dalam kurun waktu yang cukup lama yang didalamnya terjadi proses adaptasi dari tata kelakuan dan kesadaran berkelompok. Disamping itu adanya penyesuaian psikologis menumbuhkan integrasi dalam suatu masyarakat. Pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi serta tindakan yang cenderung sama disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Pola sikap yang dianut sebelumnya cenderung bertahan sampai pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu penelitian ini ingin menggambarkan kebudayaan politik dari masyarakat perkebunan di kelurahan Bah Jambi tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori budaya politik yang dikemukakan Lucian Pye, Gabriel A Amond dan Sidney Verba. Berdasarkan pendekatan teori budaya politik tersebut penelitian ini berupaya menggambarkan sikap, orientasi, keyakinan, nilai, keterampilan, peranan, kecenderungan dan pola-pola khusus dari populasi terhadap sistem politiknya. Berdasarkan ciri-ciri, pola-pola, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada populasinya penelitian ini melihat kategori budaya politiknya; parokial, subyek, atau partisipan.

Pola yang dapat menggambarkan masyarakat perkebunan Bah Jambi bahwa mereka merasakan pengaruh dan menerima otoritas pemerintah. Memiliki perhatian terhadap sistem politik tetapi keterlibatannya dalam cara yang lebih pasif. Masih memiliki keyakinan terhadap pemilu. memiliki harapan yang tinggi akan perubahan kinerja pemerintahan kearah lebih baik. Pilihan partisipasi dengan cara yang lebih pasif. Kompetensi politik yang relatif rendah. Partisipasi yang minim terhadap input sistem politik. Minat yang rendah untuk terlibat dalam sistem politik. Ciri dan karakteristik yang ada pada masyarakat Bah Jambi menunjukkan kecenderungan budaya politik subyek.


(3)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN……… ABSTRAK………... DAFTAR ISI……… DAFTAR TABEL……… BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah……….. 1

2. Perumusan Masalah………. 10

3. Tujuan Penelitian……….… 10

4. Manfaat Penelitian………... 11

5. Dasar-Dasar Teori……… 11

Terminologi Budaya………. 11

Terminologi Politik………... 17

Terminologi Masyarakat……… 24

Budaya Politik………... 29

Terminologi Budaya Politik………... 29

Komponen-Komponen Budaya Politik……….. 33

Tipe-Tipe Budaya Politik………... 34

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan… 34 2. Berdasarkan Orientasi Politiknya…….. 36

6. Metode Penelitian………. 41

Jenis Penelitian……….. 41

Lokasi Penelitian……… 42

Populasi dan Sampel……….. 42

Populasi………... 42

Sampel………. 42

Teknik Pengumpulan Data………. 43

Teknik Analisa Data………... 44

7. Sistematika Penulisan……… 45

BAB II DESKRIPSI LOKASI 1. Deskripsi Singkat Kelurahan……… 46

2. Kondisi Geografis………. 46

3. Demografi Penduduk……… 50

4. Profil PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi……… 53

4.1. Sejarah Singkat……….. 53

4.2. Letak Geografis……… 55

4.3. Visi dan Misi………. 55

4.3.1. Visi……… 55

4.3.2. Misi……….. 55


(4)

BAB III PENYAJIAN DATA

1. Data Responden……… 58

2. Analisis Jawaban Responden……… 60

Pengaruh Pemerintah……… 60

Kesadaran Politik………. 62

Perasaan Terhadap Pemerintah dan Politik……….. 67

Komunikasi Politik……… 69

Perasaan Masyarakat Tentang Aktifitas Politik……… 75

Kewajiban Untuk Berpartisipasi……… 79

Citra Wewenang Politik Warga Negara……… 81

Kompetensi Politik……… 85

Sikap Mental Absolut dan Akomodatif……… 89

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan……… 91

2. Saran……… 93

DAFTAR PUSTAKA……… 95 LAMPIRAN LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahan Di Kecamatan Jawa Maraja Bah

Jambi……… 47

Tabel 2 Luas Wilayah Menurut Nagori /Kelurahan dan Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi………. 48

Tabel 3 Klasifikasi Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan/Pekerjaan di Nagori/Kelurahan Bah Jambi……… 50

Tabel 4 Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Agama di Nagori/Kelurahan Bah Jambi……… 51

Tabel 5 Klasifikasi Penduduk Nagori/Kelurahan Bah Jambi Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 52

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……… 58

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 59

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkatan Umur……….. 60

Tabel 9 Persentase Tentang Pengaruh Pemerintah Dalam Kehidupan Sehari-hari……… 61

Tabel 10 Persentase Masyarakat Yang Merasakan Sebagai Warga Negara Dari Suatu Negara……… 62

Tabel 11 Persentase Responden Mengikuti Kegiatan Pemerintah dan Politik….. 63

Tabel 12 Persentase Responden Mengikuti Informasi Politik dan Pemerintahan… 65 Tabel 13 Persentase Keperdulian Mengenai Peraturan atau Kebijakan Politik dan Pemerintahan………. 66

Tabel 14 Persentase Intensitas Masyarakat Terhadap Perubahan Kinerja Pemerintahan……… 68

Tabel 15 Persentase Frekuensi Pembicaraan Politik Dengan Orang Lain……….. 70

Tabel 16 Perasaan Dibatasi Dalam Mendiskusikan Masalah Politik dan Pemerintahan……… 71

Tabel 17 Kesediaan Responden Melaporkan Pilihannya Dalam Pemilu………… 73

Tabel 18 Sikap Terhadap Perbedaan Ide (pendapat) Terhadap Orang Lain……… 74

Tabel 19 Kepercayaan Masyarakat Dalam Mengikuti Pemilu……… 76

Tabel 20 Perasaan Dalam Mengikuti Pemilihan Umum………. 77

Tabel 21 Perasaan Keikutsertaan Masyarakat dalam Pembuatan/Penentuan Kebijakan... 78

Tabel 22 Peranan Yang Seharusnya Dilakukan Orang Awam Dalam Masyarakat Lokal……… 80

Tabel 23 Persentase Pernah atau Tidak Pernah Mencoba Mempengaruhi Pemerintahan Lokal………. 83

Tabel 24 Persentase Keikutsertaan Dalam Kelompok Protes Bila Ada Praktek-Praktek Pemerintahan yang Menyimpang……… 84

Tabel 25 Persentase Minat Untuk Turut Serta Dalam Politik………. 86

Tabel 26 Persentase Kompetensi Untuk Berpartisipasi Dalam Politik……… 87

Tabel 27 Persentase Keyakinan Untuk Mempengaruhi Pengambilan Kebijakan Publik……… 88


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HERI APRILANDO SIMANJUNTAK (040906071) BUDAYA POLITIK MASYARAKAT PERKEBUNAN (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)

Rincian isi Skripsi v, 97 halaman, 28 tabel, 40 buku,2 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1947-2006)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mengulas bagaimana gambaran budaya politik yang ada dalam lingkungan masyarakat perkebunan. Lokasi penelitian yang dipilih yakni kelurahan Bah Jambi yang merupakan kompleks perumahan yang khusus diperuntukkan bagi keluarga karyawan yang bekerja pada PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi. Yang menjadi objek penelitian ini dimana ada kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, tinggal dalam suatu wilayah tertentu (kompleks perumahan perkebunan) serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut. Secara eksklusif mereka dapat disebut masyarakat Perkebunan. Mereka hidup bersama dalam kurun waktu yang cukup lama yang didalamnya terjadi proses adaptasi dari tata kelakuan dan kesadaran berkelompok. Disamping itu adanya penyesuaian psikologis menumbuhkan integrasi dalam suatu masyarakat. Pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi serta tindakan yang cenderung sama disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Pola sikap yang dianut sebelumnya cenderung bertahan sampai pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu penelitian ini ingin menggambarkan kebudayaan politik dari masyarakat perkebunan di kelurahan Bah Jambi tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori budaya politik yang dikemukakan Lucian Pye, Gabriel A Amond dan Sidney Verba. Berdasarkan pendekatan teori budaya politik tersebut penelitian ini berupaya menggambarkan sikap, orientasi, keyakinan, nilai, keterampilan, peranan, kecenderungan dan pola-pola khusus dari populasi terhadap sistem politiknya. Berdasarkan ciri-ciri, pola-pola, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada populasinya penelitian ini melihat kategori budaya politiknya; parokial, subyek, atau partisipan.

Pola yang dapat menggambarkan masyarakat perkebunan Bah Jambi bahwa mereka merasakan pengaruh dan menerima otoritas pemerintah. Memiliki perhatian terhadap sistem politik tetapi keterlibatannya dalam cara yang lebih pasif. Masih memiliki keyakinan terhadap pemilu. memiliki harapan yang tinggi akan perubahan kinerja pemerintahan kearah lebih baik. Pilihan partisipasi dengan cara yang lebih pasif. Kompetensi politik yang relatif rendah. Partisipasi yang minim terhadap input sistem politik. Minat yang rendah untuk terlibat dalam sistem politik. Ciri dan karakteristik yang ada pada masyarakat Bah Jambi menunjukkan kecenderungan budaya politik subyek.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sejarah perkembangan perkebunan termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Di negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang

diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial1. Sebelum mengenal

sistem perkebunan dari barat, masyarakat agraris di negara-negara berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian pertanian tradisional. Usaha kebun sering merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari pertanian pokok terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja yang berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada pasar, dan lebih berorientasi kepada kebutuhan subsisten2

Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi barat telah menagkibatkan terjadinya proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi tradisional ke arah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern

.

3

1

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 3

2

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal 4 3

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal. 5

. Sistem perkebunan dibentuk dalam usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanahan yang luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja


(8)

upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, dan penanaman tanaman komersial (commercial crops) yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia4

Sejarah perkebunan Indonesia memang sangat ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapakan dari waktu ke waktu telah mewarnai bentuk perkebunan hingga sampai seperti saat ini

.

5

. Berpangkal pada doktrin Kejayaan (glory), kekayaan (gold) dan penyebaran agama (gospel). Gerakan kolonialisme barat pada tahap awal telah melancarkan kegiatan ekspansi kekuasaan teritorial untuk membangun kekuasaan dominasi kolonial. Dampak penting dari gerakan kolonialisme ialah timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial situation) di negara jajahan. Sistem kolonial dan situasi kolonial telah mencipatakan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak jajahan dan negara induknya6

Perwujudan dominasi kolonial berpusat pada golongan minoritas yang memerintah terhadap golongan mayoritas yang diperintah. Dominasi kolonial tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan politik di tangan kekuasaan kolonial, tetapi juga dalam eksploitasi dan akumulasi sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara induk. Dominasi minoritas-mayoritas ini mendasari pola hubungan superioritas-inferioritas antara penguasa dan yang dikuasai dalam segala bidang kehidupan, baik bidang politik, militer, ekonomi, sosial maupun kebudayaan

.

4

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal 4 5

Mubyar to. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 16. 6


(9)

Sistem kolonial menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang hierarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah di puncak teratas dari strukur masyarakat tanah jajahan. Dalam struktur masyarakat kolonial diskriminasi mendasari sistem pergailan dalam berbagai dimensi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Diskriminasi menjadi inti hubungan sosial dan menjadi faktor penguat dalam hubungan kolonial antara yang memerintah dan yang diperintah7

Sistem dominasi, eksploitasi dan diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial telah menciptakan hubungan ketergantungan dan jurang perbedaan antara pusat dan daerah, antara negara jajahan dan negara induk pada pihak lain. Dikotomi hubungan depedensi antara negara induk dan negara jajahan, pada dasarnya masih dapat dijumpai dalam hubungan antara apa yang disebut negara-negara pusat (central) atau negara maju (developed

countries) dan negara-negara berkembang (developing atau under developed countries) dari bangsa-bangsa pinggiran (peripherial)

.

8

. Dikotomi hubungan

depedensi9 semacam ini pada dasarnya juga merupakan hasil perkembangan

sistem kapitalisme, dari sistem merkantilisme pada masa awal sampai ke sistem korporasi multinasional (multinational corporation) yang berlaku pada masa kini10

Hubungan antara daerah jajahan dengan daerah pusat penjajahan boleh dikatakan hampir tidak pernah memberikan keuntungan finansial bagi

negara-.

7

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Ibid. hal. 6 8

Stavenhagen, Rodolvo. 1975. Social Classes in Agrarian Societies. New York: Anchor Books. Hal 3-8

9

Lihat Bakry, Umar S. 1997. Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Jaya Baya. Hal 66-71

10


(10)

negara terjajah. Belanda khususnya di Indonesia sejak merkantilisme hingga kapitalisme dalam pandangan tertentu dianggap sebagai keberhasilan dalam menanamkan model dari sebuah sistem ekonomi yang dapat diandalkan. Penetrasi kapitalisme utamanya bersumber dari keberhasilan Belanda dalam

mengadopsikan sistem ekonomi modern11

Pada permulaan masa penjajahan di Indonesia (awal abad ke 17), Belanda melalui VOC yang merupakan suatu sindikat dagang memusatkan perhatiannya pada masalah perdagangan semata-mata. Pada waktu itu yang dianggap penting adalah bagaimana dengan segala cara dapat terus diperoleh hasil bumi Indonesia yang sangat laku di pasaran Eropa tanpa harus mengusahakan hasil bumi itu secara langsung. Hal ini dilakukan dengan cara membeli hasil bumi dari penduduk atau melalaui perjanjian pembelian dengan para raja-rajanya12

Adapun taktik yang dijalankan oleh Belanda adalah dengan menjalankan monopoli dan pungutan paksa. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan meningkatnya permintaan bahan rempah-rempah di pasar internasional, kemudian kebun-kebun rempah-rempah diperluas untuk memenuhi permintan tersebut. Tidak hanya perkebunan rempah-rempah yang diperluas, tetapi perluasan ini menyangkut tanaman-tanaman lain seperti kopi di Priyangan

.

13

11

lihat Yanuar, Ikbar. 2002. Ekonomi Politik Internasional. Bandung: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi. Hal. 104-108

12

Mubyarto. Op. cit. hal. 16 13

Sistem pengusahaan kopi di Priyangan dikenal dengan Priyangan stelsel

dan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Bupati untuk seterusnya diserahkan kepada Kumpeni.


(11)

Menurut ketentuan uang pembayaran yang diberikan VOC diserahkan kepada penduduk14

Sebagai akibat terjadinya Revolusi Prancis, negara–negara di Eropa termasuk Belanda dilanda oleh paham dan cita-cita liberalisme. Perkembangan politik Belanda diwarnai oleh munculnya dua partai yaitu yang beraliran liberal dan yang beraliran konservatif. Kedua paham tersebut mempunyai pandangan yang berbeda dalam pengelolaan tanah jajahan. Kelompok liberal menghendaki agar pemerintah mengupayakan penghapusan verplichten

.

15

Raffles mengubah sistem pungutan paksa yang dijalankan oleh VOC menjadi sistem pungutan pajak tanah (landrente). Dengan cara ini rakyat “dibebaskan” dari segala unsur paksaan, dan sebaliknya rakyat diberi “kebebasan” baik dalam menentukan tanaman-tanaman yang dikehendaki maupun dalam menentukan penggunaan hasil panennya

serta

memberikan hak tanah secara perorangan bagi pribumi. Sementara golongan konservatif menghendaki tetap dipertahankannya cara lama yang jelas memenguntungkan demi kemakmuran setinggi-tinginya bagi negeri Belanda

Daendles (Belanda) dan Rafles (Inggris) yang berkuasa di Indonesia setelah bubarnya VOC, merupakan tokoh-tokoh penguasa yang menganut paham liberal. Mereka memperjuangkan diterapkannya kebebasan perorangan, baik dalam hak milik tanah, bercocok tanam, berdagang, menggunakan hasil tanaman, maupun dalam pemberian kepastian hukum dan keadilan bagi rakyat tanah jajahan.

16

14

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Op. cit. hal. 33-34 15

Pajak yang berupa hasil bumi 16

Mubyarto. Op. cit. hal. 16-17

. Banyak cara dilakukan untuk meningkatkan ekspor seperti menyewakan kebun-kebun


(12)

kepada kepala-kepala desa, mengadakan kontrak penyerahan hasil tanaman dan pembatasan kegiatan dagang orang-orang cina di pedesaan. Upaya-upaya tersebut tetap tidak berhasil memajukan produksi tanaman ekspor. Bahkan secara keseluruhan, sistem sewa tanah yang telah berjalan hampir 20 tahun (1810-1830) ternyata tidak berhasil mewujudkan tujuannya yaitu tercapainya kemakmuran rakyat dan meningkatnya produksi tanaman ekspor.

Dengan gagalnya pelaksanaan sistem sewa tanah dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, maka Johanes van den Bosch yang pada tahun 1830 menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia,

kemudian mengenalkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)17

Selama pelaksanaan tanam paksa, dapat dikatakan bahwa diantara tanaman ekspor yang dikembangkan, kopi dan tebu menduduki peran yang terpenting karena mendapat keuntungan yang terbesar. Perusahaan-perusahaan gula melakukan perbaikan-perbaiakan jaringan irigasi sehingga sawah tempat penanaman tebu menjadi subur pada gilirannya meningkatkan produksi beras juga. Dengan intensifikasi dalam penggarapan sawah ini terjadi peningkatan hasil, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan bagi perorangan

. Sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat bukan dalam bentuk uang (pajak uang), tetapi berupa hasil pertanian.

18

Penderitaan rakyat Indonesia akibat diberlakukannya sistem tanam paksa telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama para penganut paham liberal. Sejalan dengan hal ini, kaum borjuis Belanda yang

.

17

Mubyarto. Ibid. hal 20 18

Geertz, Cliford. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara K.A. hal. 82


(13)

mempunyai modal lebih, menuntut digantikannya sistem monopoli pemerintah dan sistem kerja paksa dengan sistem persaingan bebas dan kerja bebas menurut konsepsi kapitalisme liberal yang saat itu sedang berkembang di Eropa19

Tuntutan ini terjawab dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Agrarische Wet pada dasarnya berisi dua hal pokok, yaitu memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk berkembang di Indonesia disamping melindungi hak-hak rakyat atas tanahnya. Mulai saat itu kedudukan pemerintah diganti oleh kaum usahawan perkebunan. Sejak diundangkannya Agrarische Wet, maka perusahaan swasta tumbuh subur baik di Jawa maupun di luar Jawa, terutama di daerah Sumatera Timur. Disamping itu, muncul pula perkebunan rakyat pribumi

.

20

Pada mulanya pembongkaran tanah-tanah perkebunan ditujukan terutama pada tanah-tanah perkebunan yang lahannya paling mudah diubah seperti perkebunan-perkebunan tembakau. Namun pembukaan lahan baru ini kemudian meluas juga pada tanaman keras. Keadaan ini diperparah dengan munculnya penduduk setempat untuk menguasai tanah-tanah perkebunan

.

Selama masa pendudukan Jepang, terjadi penurunan produksi perkebunan yang sangat drastis. Dapat dikatakan bahwa ekonomi perkebunan menjadi terhenti. Hal ini disebabkan oleh kebijaksanaan peningkatan produksi pangan yang dijalankan pemerintah Jepang untuk kepentingan ekonomi perang, yang dilakukan dengan cara mengadakan pembatasan-pembatasan penggunaan lahan perkebunan untuk diganti dengan tanaman pangan dan membongkar tanah-tanah perkebunan untuk digantikan tanaman pangan.

19

Harsono, Boedi. 1986. UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian I, Jilid I. Jakarta: Jambatan. Hal. 18

20


(14)

setelah Jepang terusir dari Indonesia. Sebagai dampak Perang Dunia II,

perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat21

Berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar tahun 1949, perkebunan milik asing perlu dikembalikan, sedang perkebunan milik pemerintah kolonial diambilalih oleh pemerintah Republik Indonesia, begitu pula milik orang asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemiliknya

.

22

Peristiwa ini diawali gagalnya Pemerintah Indonesia dalam memperoleh dukungan pada pemungutan suara di PBB mengenai tuntutan kedaulatan Indonesia atas Irian Barat yang selama itu masih dikuasai Belanda. Hal ini terjadi pada tanggal 29 November 1957. Sebagai akibatnya, terjadi gelombang protes yang berupa pemogokan buruh yang bekerja pada perusahaan Belanda, dan kemudian disusul dengan pengambilalihan perusahaan dan perkebunan-perkebunan Belanda oleh para buruh dan kemudian militer

. Pemulihan perkebunan mulai dilaksanakan sekitar tahun 1951 dan beberapa perusahaan perkebunan mulai beroperasi lagi.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958 terjadi peristiwa pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia, termasuk perusahaam-perusahaan perkebunan. Peristiwa ini dikenal dengan Nasionalisasi Perusahaan swasta Belanda.

23

Selanjutnya pada tanggal 9 Desember 1957, Perdana Menteri/Menteri Pertahanan Djuanda Kartawidjaja selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan sebuah peraturan yang menempatkan semua perkebunan Belanda di bawah yuridiksi Republik Indonesia dan memberi wewenang

.

21

Mubyarto. Ibid. hal 24-25 22

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. Op. cit. hal. 166 23


(15)

kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan yang dianggap perlu. Kemudian pada hari berikutnya Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan tentang penempatan perkebunan Belanda di bawah pengawasan teknis sebuah organisasi baru yaitu PPN Baru yang cikal bakalnya adalah Perusahaan

Perkebunan Negara (PPN) dan Jawatan Perkebunan24

Pada bulan Desember 1957 itu lebih dari 500 perkebunan Belanda atau lebih kurang 75% dari seluruh perkebunan yang ada di Indonesia, maupun sejumlah besar perusahaan lainnya telah berada di bawah pengawasan militer

.

25

Karena hingga tahun 1958 Belanda tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah pada tekanan ekonomi Indonesia, maka pada bulan November 1958, kabinet mengajukan Rancangan Undang-Undang Nasionalisasi, dan selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1958, Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia

.

26

24

Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 206

25

Pelzer, Karl J. ibid. hal 208 26

Mubyarto. Loc. cit.

.

Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda pada tahun 1957-1958, memang ada kecenderungan terjadinya penurunan produksi. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran pengelolaan dan keterampilan teknis dalam perusahaan perkebunan setelah dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun sedikit demi sedikit hal ini dapat diatasi, sehingga produksi dapat ditingkatkan lagi


(16)

Dalam masa-masa selanjutnya, perkebunan mengalami perkembangan yang meningkat, dan sampai saat ini sektor perkebunan masih tetap merupakan salah satu sumber penting perekonomian negara.

Bagaimanakah kebudayaan politik pada masyarakat Perkebunan? Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan yang dimiliki kita dapat menggambarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik negaranya; atau dengan kata lain kita bisa mengambarkan kebudayaan politiknya27

2. Perumusan Masalah

. Maka dengan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menggambarkan bagaimanakah kebudayaan politik pada masyarakat perkebunan beradasarkan kajian teori studi kebudayaan politik. Bahjambi dipilih sebagai lokasi penelitian karena penulis menganggap lokasi tersebut mendukung untuk mewakili masyarakat perkebunan, disamping lokasi yang masih dapat dijangkau oleh penulis.

Yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah kebudayaan politik yang ada pada masyarakat perkebunan di PTPN IV Bahjambi.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisa bagaimana gambaran masyarakat perkebunan PTPN IV Bahjambi berdasarkan kajian teori budaya politik.

27


(17)

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak, antara lain :

1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan

penulis dalam membuat karya ilmiah dan menganalisa kondisi sosial masyarakat.

2. Manfaat akademis bagi FISIP-USU khususnya Departemen Ilmu Politik,

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi kepustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Penelitian ini juga diharapakan mampu memberikan sumbangan bagi

berbagai pihak yang menaruh perhatian bagi studi budaya politik.

5. Dasar-Dasar Teori. 5.1. Terminologi Budaya

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, dengan asal kata dari bahasa latin colere yang berarti ‘mengolah tanah’. Dari defenisi tersebut, berkembanglah istilah culture sebagai ‘segala daya upaya serta

tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam’.28

a. a general state or habits of mind (suatu kebiasaan umum atau kebiasaan

pemikiran)

Dalam bahasa Inggris, kata culture dalam abad yang lalu mengalami pergeseran arti sebagai berikut:

28

Haryono, Drs. P. 1996. Memahami Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Hal 46


(18)

b. The general state of intellectual development in society as a whole

(kedaaan umum dari pengembangan intelektual dari masyarakat secara keseluruhan)

c. the general body of arts (bagian umum dari seni)

d. a whole way of life, material, intellectual and spiritual (keseluruhan cara

hidup, material, intelektual, dan spiritual)29

Menurut Linton (1940) Budaya adalah keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola prilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu anggota masyarakat tertentu30

Menurut Kluckhohn dan Kelly (1945) Budaya adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial bagi perilaku manusia

.

31

Menurut Kroeber (1948) Budaya adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan dan perilaku yang ditimbulkannya

.

32

AL. Kroeber dan C. Kluchkohn sempat mengumpulkan 160 defenisi tentang kebudayaan. Defenisi yang beragam tentang kebudayaan terjadi karena manusia tidak mungkin membicarakan kebudayaan seluruhnya sekaligus tetapi sebagian kecil saja yang menjadi minat dan perhatiannya33

29

Harsojo. Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung : Binacipta. Hal. 93 30

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. hal 68

31

Keesing, Roger M. 1992. ibid 32

Keesing, Roger M. 1992. ibid 33

Haryono, Drs. P. 1996. Op. cit. hal 46


(19)

Dapat disimpulkan bahwa arti kebudayaan amat luas, meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat34

Dengan demikian kebudayaan dapat pula dilihat secara kontekstual sesuai yang dibicarakan menurut tafsiran beberapa disiplin ilmu. AL. Krober dan C. Kluckhohn merumuskan tujuh kategori pokok, masing-masing menurut pendekatan ilmu tertentu

.

35

1. Sosiologi menekankan kebudayaan sebagai keseluruhan

kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan seterusnya) yang dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat.

.

2. Ilmu Sejarah menekankan kebudayaan sebagai

perkembangan dan tradisi atau warisan dari generasi ke generasi.

3. Filsafat menekankan aspek normatif, nilai-nilai, realisasi

cita-cita, dan way of life dari konsep kebudayaan itu.

4. Antropologi Budaya menekankan aspek tingkah laku dan

tata kelakuan manusia sebagai makhluk sosial.

5. Psikologi menekankan proses-proses adaptasi, belajar, dan

pembentukan kebiasaan manusia terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kebudayaan dipandang sebagai syarat-syarat untuk survival. Psikoanalisis menekankan peranan alam bawah sadar dalam pembentukan kebudayaan. Freud, misalnya berpendapat bahwa kebudayaan tak lain dari sublimasi atau deseksualisasi libido.

6. Ilmu Bangsa-Bangsa dan petugas museum menekankan

aspek material dari kebudayaan, yaitu artifacts atau benda-benda hasil kebudayaan.

7. Defenisi-defenisi lain, misalnya yang dikemukakan Karl

Marx, menyatakan bahwa kebudayaan adalah superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas-kelas didalam Masyarakat. Lain lagi, A. Toynbee, memahami kebudayaan sebagai dialektika, chalenge and response. Dapat ditambahkan, misalnya, disiplin ilmu hukum menekankan kebudayaan sebagai akhlak. Ilmu ekonomi menekankan pada upaya pemenuhan kesejahteraan dan kebutuhan manusia. Arsitektur menekankan

34

Harsojo. Prof. 1984.Op. cit. Hal. 93 35


(20)

kebudayaan sebagai simbol. Yaitu suatu kreasi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai seperti Kriteria akan kebutuhan, pemakaian yang tepat, nilai estetik, makna asosiatif dan fungsi teknologi36

Defenisi kebudayaan amat banyak, dengan redaksi yang berbeda-berbeda, bahwa pengertian kebudayaan memiliki pokok-pokok sebagai berikut

. Dalam pengertian ilmu sosial kebudayaan adalah seluruh cara hidup masyarakat.

37

1. Bahwa kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beranekaragam.

:

2. Bahwa kebudayaan itu dapat diteruskan secara sosial dengan

pelajaran

3. Bahwa kebudayaan itu terjabarkan dari komponen biologi,

komponen psikologis dan sosial dari eksistensi manusia 4. Bahwa kebudayaan itu berstruktur

5. Bahwa kebudayaan terbagi kedalam beberapa aspek

6. Bahwa kebudayaan itu dinamis

7. Bahwa nilai dalam kebudayaan itu relatif. Ciri-ciri budaya

Ciri-ciri budaya sebagai berikut38 1. Dapat dipelajari.

:

2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun

tertulis, baik disengaja maupun tidak disengaja.

3. Memiliki simbol tertentu. Setiap budaya memiliki simbol-simbol yang memiliki makna khusus biasanya dimengerti oleh masyarakatnya.

4. Selalu berubah. Tidak ada budaya yang statis. Budaya suatu

masyarakat selalu dinamis dan terus berubah sesuai dengan perkembangan Zamannya

5. Memiliki sistem integral. Setiap unsur kebudayaan terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, satu unsur kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menyangkut unsur-unsur yang lain dalam suatu jaringan yang kompleks

6. Sifatnya adaftif. Kebudayaan berubah untuk beradaptasi dengan

dunia yang berubah. Wujud Kebudayaan

36

Haryono, Drs. P. 1996. ibid. hal 47-48 37

Haryono, Drs. P. 1996. Op.cit. hal 93-94 38


(21)

Pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A. L Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep, dan wujudnya

sebagai rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola.39

Koentjoroningrat menyarankan agar kebudayaan dibedakan sesuai dengan empat wujudnya. Dari bagian terluar sampai bagian terdalam adalah sebagai berikut

Dalam rangka itu J.J Honingmann membuat perbedaan atas tiga gejala kebudayaan. Yakni (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts

40

1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts,

atau benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan, peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk konkret ini adalah kebudayaan fisik

2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku

manusia. Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film. Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu. Merupakan pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola tingakah laku manusia disebut sistem sosial.

3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan

tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut sistem budaya.

4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan

gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.

39

Koentjotoningrat. 1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hal 74 40


(22)

Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur yang tak terbatas jumlahnya. Unsur kebudayaan yang terkecil sampai kepada yang merupakan gabungan yang terbesar bersama-sama merupakan unsur kebudayaan. Cara menganalisa kebudayaan dalam strukturnya seperti tersebut diatas sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan kebudayaan itu sendiri, dan dirasakan terlalu mekanis. Akan tetapi cara analisa seperti itu dapat memberikan kepada kita gambaran ilmiah yang lebih baik tentang hakekat kebudayaan.

Koentjoroningrat mengumukakan konsep unsur-unsur kebudayaan menjadi 7, yaitu41

1. sistem religi dan upacara adat :

2. sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan 3. sistem ilmu pengetahuan

4. bahasa

5. kesenian

6. sistem ekonomi dan mata pencaharian

7. sistem alat dan teknologi

Ketujuh unsur kebudayaan tersebut sering disebut sebagai unsure kebudayaan universal (kultural universal). Kesatuan kebudayaan dimanapun dimuka bumi ini, mulai dari masyarakat yang sederhana samapai masyarakat yang modern, akan dapat ditemukan tujuh unsur kebudayaan tersebut di dalamnya.

41


(23)

5.2. Terminologi Politik

Secara sederhana politik yaitu suatu usaha untuk mencapai atau mewujudkan tujuan, cita-cita atau ideologi politik. Politik ialah hal yang ada hubungannya dengan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai authority, control, capacity, dan hubungan/relationship. Suatu hubungan kekuasaan dapat terjadi bilamana sekelompok orang atau sekelompok golongan tunduk kepada orang atau golongan lain dalam suatu bentuk kegiatan tertentu. Seseorang dapat menikmati kekuasaan, bila orang itu dapat mempengaruhi perilaku dan pikiran orang lain. H.J. Morgenthau dalam

Politics Among Nations menulis “power means man’s control over the minds and actions of other men”. Demikian juga Soeleman Soemardi merumuskan

bahwa kekuasaan adalah pengaruh atau pengawasan atau pengambilan keputusan yang berwenang. Sedangkan Robert M. Mac Iver memberikan batasan bahwa: “ kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara yang ada”42. Dalam batasan diatas maka kekuasaan diartikan sebagai

capacity. Sehubungan dengan ini dapat dikemukakan pula pendapat Talcot

Parsons yang mengemukakan bahwa: “ hasil daripada politik sebagai suatu sistem adalah kekuasaan, yang diberi batasan sebagai kemampuan yang digeneralisir dari suatu sistem sosial untuk menyelasaikan sesuatu berdasarkan kepentingan bersama”.43

42

Mac Iver, Robert M. 1947. The Web of Government. New York: The Mac Milan Company. Hal. 87 43

Parsons, Talcot. 1960. Structure and Process in Modern Societies. Hal.131

Menurut Ossip K Flechteim, kekuasaan sosial adalah keseluruhan daripada kemampuan, hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain … untuk tujuan-tujuan yang


(24)

ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.44 Disamping itu kekuasaan dapat diartikan sebagai authority, control. Dalam bukunya Contemporary Political

Science mengatakan bahwa: “ kekuasaan, misalnya dapat diberi batasan

sebagai authority dan control; tingkat tertinggi dari authority adalah kedaulatan sedangkan tingkat tertinggi daripada control adalah supremasi”.45 Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, yaitu kekuasaan yang mempunyai fokus ditujukan kepada negara yang merupakan satu-satunya pihak yang berwenang yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan politik disamping mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktifitas negara dalam bidang administratif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan politik oleh Ossip K Flechtheim dibedakan menjadi dua

macam46

1. bagian dari kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara/kekuasaan

negara atau state power seperti lembaga legislatif dan presiden :

2. bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan pada negara

Asal Kata Politik

Asal kata politik berasal dari kata polis bahasa Yunani, dapat berarti kota atau negara kota. Dari kata polis ini kemudian diturunkan menjadi kata-kata polities yang berarti warga negara. Politicos yang berarti kewarganegaraan, politike te ckne yang berarti kemahiran politik; politike episteme yang berarti ilmu politik. Selanjutnya orang Romawi mengambil alih perkataan Yunani itu lalu menamakan

44

Fleichteim, Ossip K. 1952 Fundamentals of Political Science. New York: Ronald Press Co. Hal. 16 45

Lasswel, Harold D. 1950. Contemporary Politican Science. Hal.533 46


(25)

pengetahuan tentang negara/pemerintah dengan istilah ars politica artinya kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan. Kalau kita lihat dalam sejarah masyarakat Yunani pada waktu sekitar empat abad sebelum masehi sudah mengenal suatu kebiasaan untuk berkelompok yaitu hidup berkumpul dan membentuk suatu alat untuk mengatur ketentraman, ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bersama. Alat ini diberi wewenang untuk mewujudkan dengan cara-caranya tersendiri, suatu ketentraman, dan ketertiban dalam masyarakat. Organisasi ini yang diberi segala

wewenang untuk mengatur kehidupan bersama yang disebut polis47

Masyarakat Yunani pada waktu itu terdiri atas beberapa kelompok-kelompok kecil atau masyarakat kecil yang mendiami suatu daerah tertentu. Keanggotaan masyarakat ini sangat sedikit jumlahnya karenanya masing-masing sangat mengenal dengan baik dan mengenal luas daerahnya yang hanya relatif kecil/sempit saja. Masyarakat yang demikian disebut city state (negara kota). Dapat dikatakan bahwa

polis yang satu memandang dirinya sebagai keutuhan yang terlepas dari polis yang

lain. Bahkan kadang-kadang polis yang satu memandang polis yang lain sebagai lawannya. Dari kata polis inilah lahir kata politik yang pengertiannya berubah-ubah sepanjang sejarah. Selanjutnya kehidupan negara kota (city state) tersebut makin meluas dan berkembang sesuai dengan zamannya mendekati bentuk-bentuk dan sifat-sifat negara dalam pengertian modern

.

48

Politik adalah masalah setiap warga negara dan karenanya masalah bersama dan apa yang menjadi masalah bersama sudah seyogiyanya diputuskan bersama pula. Azas inilah sesungguhnya yang merupakan dasar utama dari apa yang sejak zaman Yunani kuno disebut negara yang demokratis. Aristoteles , filosof zaman Yunani yang lazim dianggap sebagai bapak ilmu politik, dua puluh empat abad yang lalu telah

.

47

Gani, Soeliswati Ismail. 1984. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesi. Hal.14 -15 48


(26)

membahas secara sistematais peran warga negara dalam negaranya. Yang dianggap warga negara oleh aristoteles hanyalah mereka yang turut mengambil bagian dalam tata pemerintahan49

Bagi Plato dan Aristoteles, organisasi politik dari warga negara Yunani purba yang disebut polis adalah organisasi yang bertujuan memberikan kepada warga negaranya kehidupan yang baik. Jadi polis bertujuan menjamin kehidupan yang baik bagi warga negaranya dan polis itu dipertahankan demi kehidupan yang baik itu pula. Oleh karena itu masalah-masalah yang dihadapi polis itu adalah masalah-masalah bersama, yang juga adalah masalah dari setiap individu dan individu wajib untuk turut serta memikirkan dan menyelesaikan masalah-masalah polis. Tidak mengherankan jikalau ilmu politik sejak zaman Yunani purba itu dipandang sebagai “the master

science”, induk dari segala ilmu, justru karena fungsinya sebagai ilmu tentang

kebahagaiaan umat manusia. Sifat polis pada waktu itu mutlak dimana tidak dikenal pemisahan antara negara dan masyarakat sehingga merupakan negara-masyarakat. Negara dan masyarakat adalah satu dan tidak dapat dipisahkan

.

50

Ada berbagai pendefenisian ilmu politik yang beraneka ragam oleh para sarjana. Bahkan Ny. Mirriam Budiardjo menulis mengenai hal berikut. “Setiap kali para ahli berkumpul, maka sukar bagi mereka untuk mencapai persetujuan mengenai pendefenisian ilmu politik”

. Keadaan seperti itu telah berubah sama sekali pada abad-abad berikutnya.

51

Namun kesukaran dalam pendefenisian ilmu politik itu tidak menyebabkan usaha-usaha mencari defenisi umum yang dapat diterima itu menjadi dihentikan, melainkan justru menimbulkan berbagai macam defenisi. Sehingga dapatlah

.

49

Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Bina Cipta. Hal .1 50

Barker, Ernest. 1952. Pricipes of Social and Political Theory. London: Oxford University Press. Hal 5-7

51


(27)

dikatakan kesukaran mendefenisikan ilmu politik itu disebabkan terutama karena banyaknya defenisi-defenisi yang berlainan. Yang satu berbeda dengan yang lain secara prinsipil. Hal ini disebabkan para sarjana ilmu politik itu sudah punya konsepsi sendiri tentang hakekat ilmu politik yang pada umumnya berbeda dari konsepsi sarjana-sarjana lainnya52

52

Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Bina Cipta. Hal 26

.

Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka perlu kiranya dibahas istilah politik itu. Dalam kepustakaan ilmu politik ternyata ada bermacam-macam defenisi mengenai politik.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public Policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan resources yang ada.

Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.


(28)

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari dari seluruh masyarakat (public

goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik

menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang-seorang (individu).

Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai, disebabkan kareana setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur saja. Unsur itu diperlakukan nya sebagai konsep pokok, yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian diatas jelaslah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian atau alokasi. Berikut defenisi-defenisi yang diberikan para sarjana:

1. negara (state)

Roger F. Soltau dalam Introduction to Politics bahwa ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain53. J. Barents, dalam Ilmu Politika menyatakan bahwa “ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara … yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya”54

2. kekuasaan (power)

.

Harold D. Laswell dan A. Kaplan dalam Power and Society: ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.

W.A. Robson dalam The University Teaching of Social Sciences: Ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat…yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses,

53

Soltau , Roger F. 1961. An Introduction to Politics. London: Longmans. Hal. 4 54


(29)

ruang lingkup, dan hasil-hasil. Fokus perhatian sarjana ilmu politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu55

3. pengambilan keputusan (decision making)

.

Joy Mitchell dalam bukunya Political Analysis and Public Policy bahwa Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum

untuk masyarakat seluruhnya56. Karl W. Deutsch menyatakan politik adalah

pengambilan keputusan melalui sarana umum57

4. kebijaksanaan ( policy, beleid)

. Keputusan yang merupakan sektor publik dari suatu negara.

Hoogerwerf menyatakan bahwa Objek dari ilmu politik adalah kebijaksanaan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya. David Easton menyatakan ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijaksanaan umum58

5. pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)

.

Harold Laswell dalam buku Who gets What, When and How: Politik adalah

masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana59. David Easton mengatakan

sistem politik adalah keseluruhan dari interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat60

55

Robson. W. A. 1994. The University Teaching of Social Sciences. Paris: Unesco. Hal. 24 56

Mitchell, Joyce M. 1969. Political Analysis and Public Policy. Chicago: Rand Mc Nally. Hal. 4 57

Deutsch, Karl W. 1970. Politics and Government. Boston: Houghton miffinh co. hal 5 58

Easton, David. 1971. The Political System. NewYork: Alfred A. Knopf, inc. hal 128 59

Laswell, Harold D. 1972. Politics, Who gets What, When, How. New york: World Publishing Co. 60

Easton,David. 1965. A System Analysis of Political Life. New York.


(30)

5.3. Terminologi Masyarakat

Kata masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society berasal dari kata Latin yaitu socius yang berarti kawan. Ini paling lazim ditulis dalam tulisan-tulisan ilmiah maupun bahasa sehari-hari untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia. “Masyarakat” sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu syaraka, yang artinya “ikut serta, berperan serta”. Kata Arab musyaraka berarti saling bergaul.

Istilah masyarakat terlalu banyak mencakup hubungan yang luas sehingga walaupun diberi defenisi yang mencakup keseluruhannya masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya. Berikut adalah berbagai pandangan para sarjana tentang defenisi masyarakat.

Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu61

Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan

.

62

Herkoyits mendefenisikan masyarakat sebagai kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti cara hidup tertentu

.

63

Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama

.

64

Maclver menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia

.

61

Pelly, H. Zainul. 1997. Pengantar Sosiologi. Medan: USU Press Medan. Hal 28 62

Pelly, H. Zainul. 1997. ibid. hal 29 63

Pelly, H. Zainul. 1997. ibid 64


(31)

dam kebebasan. Sistem yang kompleks selalu berubah atau jaringan dari relasi sosial itulah yang dinamakan masyarakat65

Bagi Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat bukanlah hanya penjumlahan individu-individu semata melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka; sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri

.

Menurut Paul B. Horton dan C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.

66

Marion Levy mengemukakan empat Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan melebihi masa hidup seorang individu; (2) rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui reproduksi (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama” (4) adanya system tindakan utama bersama yang bersifat “swasembada”. Kemudian Inkeles mengemukakan bahwa suatu kelompok hanya dapat dikatakan sebagai masyarakat bila kelompok tersebut memenuhi keempat Kriteria tersebut; atau bila kelompok tersebut dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun samasekali tidak ada orang atau kelompok lain diluar kelompok tersebut

67

Talcot Parsons pun merumuskan kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent) melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta

.

65

Maclver. 1955. Society, An Introductory Analysis. Hal 5 66

Durkheim, Emile.1964. The Rules, of Sociological Method. New York: Free Press. Hal 102. 67

Sunarto, Kananto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 56


(32)

melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Edward Shils pun menekankan pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya dalam tiga komponen: pengaturan diri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self-regulation,

self- reproduction, self-generation)68

Kalau kita merujuk definisi Linton maka masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu-individu yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama. Dalam waktu yang cukup lama itu yang belum terorganisasikan, mengalami proses fundamental yaitu

.

69

1. adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota :

2. timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok atau L’espirit de

corps

Proses itu biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota kelompok. Untuk tidak simpang siur dalam penggunaan istilah, maka yang dimaksud dengan kelompok (group) disini adalah setiap pengumpulan manusia sosial yang mengadakan relasi sosial antara yang satu dengan yang lain70

68

Sunarto, Kananto. 2000. ibid. 69

Harsojo, Prof. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta. Hal. 127 70

Harsojo, prof. 1984. Ibid.

. Anggota dari suatu kelompok menunjukkan adanya suatu reprositas. Kelompok seperti yang dimaksud diatas belum terorganisasikan secara sadar. Jadi menurut Linton ada satu faktor yang penting dalam pembentukan suatu masyarakat yaitu faktor waktu. Sebab faktor waktulah yang memberi kesempatan pada individu untuk dapat bekerja sama dan menemukan pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, dan menemukan suatu teknik untuk hidup bersama. Dengan adanya waktu yang cukup lama timbullah syarat yang dimiliki oleh tiap-tiap masyarakat, yaitu proses adaptasi dan organisasi dari kelakuan para anggota kelompok dan disamping itu timbullah kesadaran berkelompok. Adaptasi timbal balik dalam tingkah laku dan sikap individu,


(33)

mengubah aggregate of individuals kelompok yang terorganisasikan dan mempunyai jiwa kelompok, dan jika kelompok itu mempunyai ciri-ciri seperti itu maka Linton

menyebutnya masyarakat71. Adapun kerjasama yang terdapat dalam suatu

masyarakat terdapat dalam bidang psikologis bukan hanya pada bidang fisik saja. Dengan adanya penyesuaian psikologis, terdapatlah integrasi dalam masyarakat. Dan pada umumnya dalam suatu masyarakat, pola sikap dan emosi cenderung sama yang disebabkan oleh kebiasaan dan latihan. Oleh karena itulah masyarakat dapat mengadakan suatu tindakan sebagai suatu kesatuan72

W F Connell menyimpulkan bahwa ciri masyarakat adalah .

Ciri/Kriteria Masyarakat

Seperti yang telah disebut, menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan/disebut sebagai masyarakat.

1. Ada sistem tindakan utama.

2. Saling setia pada sistem tindakan utama.

3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.

4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran/reproduksi manusia

73

71

Harsojo, prof. 1984. Ibid. 72

Harsojo, prof. 1984. ibid. hal 128. 73

http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_15.html

:

1. suatu kelompok orang yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu,


(34)

2. kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan,

3. suatu ke orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan yang terorganisasi

Menurut Koentjoraningrat ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan disebut masyarakat adalah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam batas kesatuan tersebut yang sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan, sehingga menjadi adat istiadat. Selain adat istiadat yang meliputi sektor kehidupan serta kontinitas waktu, warga masyarakat juga harus memiliki ciri lain yaitu rasa identitas bahwa mereka merupakan suatu kesatuan yang khusus yang berbeda dari kesatuam-kesatuan masyarakat lainnya. Maka yang disebut masyarakat harus memilki keempat ciri itu, yaitu74

1. interaksi antar warga

2. adat istiadat, norma-norma, hukum serta aturan yang mengatur semua

pola tingkah laku masyarakat 3. kontinuitas dalam waktu

4. rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga .

Faktor-Faktor/Unsur-UnsurMasyarakat

Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini 75

1. Berangotakan minimal dua orang manusia

:

2. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama dalam suatu daerah tertentu

3. Adanya aturan aturan yang mengatur mereka untuk menuju kepada

kepentingan dan tujuan bersama

4. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.

5. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama

6. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta

keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

74

Koentjaraningrat.1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hal. 121 75


(35)

Masyarakat tidak begitu saja muncul seperti sekarang ini, tetapi adanya perkembangan yang dimulai dari masa lampau sampai saat sekarang ini dan terdapat masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini kemudian berkembang mengikuti perkembangan jaman sehingga kemajuan yang dimiliki masyarakat sejalan dengan perubahan yang terjadi secara global, tetapi ada pula masyarakat yang berkembang tidak seperti mengikuti perubahan jaman melainkan berubah sesuai dengan konsep mereka tentang perubahan itu sendiri.

5.4. Budaya Politik

5.4.1. Terminologi Budaya Politik

Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr. menyatakan bahwa budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi76

Lucian Pye memandang budaya politik sebagai cara untuk menemukan sebuah metode kerja dari hal-hal terpendam psikologi individual yang kompleks hingga ke tingkat agregat sosial yang menjadi lahan tradisional ilmu politik

.

77

76

Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powel, Jr.1978. Compartive Politics. Boston: Litle, Brown and Company . hal. 25

77

Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Introduction: Political Culture and Political Development. Princenton: Princenton University Press. Hal. 9

. Pye memandang budaya politik memberikan suatu batas subyek yang teratur yang diketemukan dalam dua tingkat. Bagi individu budaya politik memberikan panduan kontrol prilaku politik yang efektif, dan kolektivitas ia memberikan satu struktur sistematis nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan


(36)

rasional yang memastikan koherensi dan kinerja-kinerja institusi-institusi dan organisasi-organisasi78

Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba kebudayaan politik adalah merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat tersebut

.

79

Sidney Verba selanjutnya menyatakan budaya politik terdiri dari sistem keyakinan empiris, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai dimana tindakan politik berlangsung. Budaya politik adalah sebuah kontrol berhubungan dengan keyakinan-keyakinan yang dipegang individu-individu

. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat tersebut. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

80

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut

.

81

78

Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Ibid. hal. 7 79

Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik Tingah Laku di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal . 16

80

Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Comparative Political Culture. Princenton: Princenton University Press. Hal. 513

:

81


(37)

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b.Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah

nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d.Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik)

.

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual82

82 ibid


(38)

Berdasarkan defenisi diatas maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut83

Teori kebudayaaan politik melekatkan beberapa arti penting pada sikap politik, keyakinan politik, nilai, dan emosi-emosi dalam menjelaskan fenomena politik, fenomena struktural, dan fenomena perilaku kohesi nasional, pola-pola lapisan politik, cara-cara mengatasi konflik serta ciri khas partisipasi (peran serta) dalam politik dan ketaatan terhadap penguasa. Kebudayaan politik tidak pernah diajukan secara serius sebagai penyebab tunggal dari struktur dan perilaku politik. Walaupun teoritisi kebudayaan

:

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek

non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.

Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik,

artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.

Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan

komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

83 ibid


(39)

politik telah ditambahkan sebagai berpendapat demikian oleh para kritikus84. Versi umum dari teori kebudayaan politik yaitu versi yang diajukan oleh sebagian penganutnya ialah bahwa hubungan antara struktur politik dengan kebudayaan politik bersifat interaktif, bahwa seseorang tidak dapat menjelaskan sifat-sifat kebudayaan tanpa mengacu pada pengalaman sejarah dan kendala-kendala dalam masyarakat kontemporer, dan bahwa pada gilirannya sejumlah pola sikap yang telah dianut sebelumnya akan cenderung bertahan meskipun ada usaha untuk mentransformasikannya. Sebuah klasifikasi dan klaim ini merupakan bagian dari teori kebudayaan politik. Alasannya adalah bahwa bagaimanapun refresifnya negara, bagaimanapun momopoli dan persuasi media, betapapun negara memberikan rangsangan yang luas, kebudayaan politik akan membebankan kendala bermakna (significant constraints) terhadap perubahan perilaku dan perubahan struktural yang efektif, sebab sikap yang menggarisbawahinya akan cenderung bertahan sampai pada tingkat tertentu dan dalam periode yang signifikan85

Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut

.

5.4.2 Komponen-Komponen Budaya Politik

86

84

Lihat Barry M, Brian. 1970. Sociologists, Ekonomicsts, and Demokracy. London: Collier Macmilan. hal 48

85

Macridis, Roy C & Bernard E. Brown . 1992. Perbandingan Politik. Jakarta: Erlangga. Hal. 249 86

Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. Loc. cit.


(40)

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada

politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para

aktor dan penampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek

politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

5.4.3 Tipe-Tipe Budaya Politik

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya polit ik memiliki kecenderungan sikap militan atau sifat toleransi87

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan

.

a. Budaya Politik Militan

87


(41)

oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.

Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas88

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan

:

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

88 ibid


(42)

dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang Memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

2. Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.


(43)

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut 89:

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Individu-individu memiliki pengaharapan dan kepedulian yang rendah terhadap pemerintah dan umumnya merasa tidak terlibat

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Individu-individu peduli dengan keluaran-keluaran yang dicapai pemerintah namun tidak berpartisipasi dalam proses-proses yang mengahasilkan keputusan-keputusan kebijakan.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Individu-individu bersikap aktif dan terlibat dengan sistem secara utuh, yaitu, dalam proses-proses input maupun outputnya.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

89


(44)

No Budaya Politik Uraian/Keterangan

1. Parokial a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek

umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

2. Subyek/kaula a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi

terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah c. Hubungannya terhadap sistem politik secara

umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiasikan. e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan


(45)

3. Partisipan a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara

eksplisit terhadap sistem politik secara

komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik)

c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik

d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan


(46)

dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politik

partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling

rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi


(47)

dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.

Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial.

6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi90

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk

metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

90

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 63


(48)

menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif

6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada masyarakat perkebunan yang tinggal di PTPN IV Bahjambi

6.3. Populasi dan Sampel 6.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di daerah PTPN IV Bahjambi yang berusia dewasa (17 tahun ke atas) atau dengan kata lain yang telah memiliki hak pilih dalam Pemilu.

6.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane 91, sebagai berikut:

Keterangan:

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

91


(1)

6. Mengenai frekuensi komunikasi politik yang dilakukan masyarakat di Bah Jambi, mayoritas hanya melakukan pembicaraan politik dengan intensitas yang relatif rendah. Mengikuti berita-berita politik belum berpengaruh signifikan terhadap pembicaraan politik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Bah Jambi

7. Dalam hal dimensi psikologis masyarakat dalam mendiskusikan masalah politik dan pemerintahan, perasaan dibatasi relatif tidak terlihat dalam masyarakat Bah Jambi. Tidak ada pembatasan yang cukup serius yang membuat masyarakat menghindari untuk melakukan komunikasi politik. Akan tetapi mayoritas masyarakat menolak menyatakan afiliasi partai politiknya, masih terdapat kecurigaan terhadap resiko pernyataannya pada suatu tingkat tertentu. Perasaan bebas dalam mendiskusikan politik tidak sejajar dengan sikap atau prilaku bebas dalam mendiskusikan afiliasi partai.

8. Terdapat gambaran yang tegas bagaimana perasaan masyarakat Bah Jambi mempercayai dan merasa perlu untuk mengikuti pemilu. Masyarakat menyatakan bahwa pemilu itu sangat perlu. Masyarakat Bah Jambi menyatakan perasaan puas jika pergi ke tempat pemungutan suara.

9. Masyarakat Bah Jambi merasa tidak diikutsertakan dalam pembuatan atau penentuan kebijakan. Mereka menyatakan akan alpanya peran mereka dalam input sistem politik. Mayoritas masyarakat pasif dalam input sistem politik. 10. Karakteristik partisipan aktif yang tinggi baik terhadap objek-objek input

maupun objek-objek output dari sistem politik belum terlihat. Peran aktifis belum terdapat pada masyarakat Bah Jambi


(2)

11. Masyarakat Bah jambi menunjukkan minat yang relatif rendah untuk turut serta dalam politik. mayoritas menyatakan tidak mampu untuk berpartisipasi dalam politik.

12. Mayoritas masyarakat Bah Jambi mengakui bahwa mereka tidak yakin dapat mempengaruhi kebijakan publik. Minimnya partisipasi input menggambarkan kondisi masyarakat dengan budaya politik subyek/kaula.

13. Dalam hal struktur mental yang bersifat akomodatif lebih dominan dalam masyarakat Bah Jambi. Mereka dapat menerima hal baru yang berharga berdasarkan perkembangan masa kini. Mereka terbuka akan perubahan.

2. Saran

1. Pemerintah lokal hendaknya ikut serta dalam menumbuhkan kesadaran politik dan partisipasi pada masyarakat Bah Jambi yaitu dengan memberikan informasi secara luas dan melibatkan masyarakat jika ada kegiatan pemerintahan dan politik di tingkat lokal.

2. Mayoritas masyarakat Bah jambi mengakui bahwa pemerintah memiliki pengaruh besar dalam segi kehidupan mereka. Masyarakat Bah Jambi secara tegas memiliki harapan yang tinggi terhadap kinerja pemerintahan. Hal ini menggambarkan akan harapan perbaikan dari pelayanan publik dan instansi-instansi pemerintahan. Untuk itu hendaknya pemerintah memperbaiki kinerjanya. Masyarakat menginginkan kualitas yang lebih baik dari pelayanan publik dan perbaikan atas kondisi masyarakat lebih baik lagi.

3. Sebagian besar masyarakat Bah Jambi merasa tidak diikutsertakan dalam pembuatan atau penentuan kebijakan. Mereka menyatakan akan alpanya peran


(3)

mereka dalam input sistem politik. Untuk itu hendaknya perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan kompetensi politik serta kesadaran politik tentang wewenangnya sebagai warga negara khususnya dalam mengkawal pembuatan kebijakan publik.

4. Partisipasi masyarakat dalam input sistem politik relatif minim. Disisi lain, mayoritas menyatakan tidak mampu untuk berpartisipasi dalam politik. Kita juga masih melihat minat yang relatif rendah untuk turut serta dalam politik. Dalam hal ini masyarakat hendaknya diberikan informasi yang memadai serta pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi politik serta partisipasi masyarakat dalam sistem politik baik dari sisi input maupun outputnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powel, Jr.1978. Compartive Politics. Boston: Litle, Brown and Company

Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik Tingah Laku di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Bakry, Umar S. 1997. Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Jaya Baya. Barents, J. 1965. Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan. Jakarta: PT.

Pembangunan

Barker, Ernest. 1952. Pricipes of Social and Political Theory. London: Oxford University Press.

Chilcote, Ronald H. 2003. Teori Perbandingan Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa

Deutsch, Karl W. 1970. Politics and Government. Boston: Houghton miffinh co

Durkheim, Emile.1964. The Rules, of Sociological Method. New York: Free Press.

Easton,David. 1965. A System Analysis of Political Life. New York. Easton, David. 1971. The Political System. NewYork: Alfred A. Knopf, inc Fleichteim, Ossip K. 1952 Fundamentals of Political Science. New York:

Ronald Press Co

Gani, Soeliswati Ismail. 1984. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia

Geertz, Cliford. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara K.A

Harsono, Boedi. 1986. UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian I, Jilid I. Jakarta: Jambatan.


(5)

Isjwara. F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Bina Cipta Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia.

Yogyakarta: Aditya Media

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga

Koentjotoningrat. 1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Kuntjara, Esther. 2006. Penilitian Kebudayaan . Yogyakarta: Graha Ilmu Lasswel, Harold D. 1950. Contemporary Politican Science

Laswell, Harold D. 1972. Politics, Who gets What, When, How. New york: World Publishing Co.

Mac Iver, Robert M. 1947. The Web of Government. New York: The Mac Milan Company

Macridis, Roy C & Bernard E. Brown . 1992. Perbandingan Politik. Jakarta: Erlangga

Mitchell, Joyce M. 1969. Political Analysis and Public Policy. Chicago: Rand Mc Nally

Mohtar Mas’oed. 1995. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Parsons, Talcot. 1960. Structure and Process in Modern Societies Pelly, H. Zainul. 1997. Pengantar Sosiologi. Medan: USU Press

Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Introduction: Political Culture and Political Development. Princenton: Princenton University Press. Pye, Lucian W dan Sidney Verba. 1965. Comparative Political Culture.


(6)

Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Robson. W. A. 1994. The University Teaching of Social Sciences. Paris: Unesco.

Soltau , Roger F. 1961. An Introduction to Politics. London: Longmans Stavenhagen, Rodolvo. 1975. Social Classes in Agrarian Societies. New York:

Anchor Books.

Sunarto, Kananto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Yanuar, Ikbar. 2002. Ekonomi Politik Internasional. Bandung: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi

Sumber Internet


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

8 99 104

Pengendalian Persediaan Produksi Minyak Sawit Dan Inti Sawit Pada Ptpn IV (Persero) Bah Jambi

12 130 52

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja Di PTPN – IV (Studi Kasus Di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

1 57 104

Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

2 34 102

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

0 0 10

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

0 0 1

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

0 0 24

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

0 0 26

Tinjauan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Atas Kecelakaan Kerja di PTPN-IV (Studi Kasus di PTPN – IV Unit Kebun Bah Jambi, Pematang Siantar)

0 0 2

Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 12