Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2001. Sangkan Paran Gender.Yogyakarta.Pustaka Pelajar Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada media

Group.

Daulay, Harmona. 2007. Perempuan Dalam Kemelut Gender. Medan: USU Press. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Gardiner – Oey, Mayling, dkk. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Handayani, Trisakti & Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM press.

Ihromi, T.O. 1990. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moelong. L.j. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Remaja Rosda Karya.

Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Narwoko, J.D & Suyanto Bagong. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Relawati, Rahayu. 2011. Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender. Bandung. Muara Indah

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Soekarno. 2013. Wanita Bergerak ( Materi Kursus Wanita Pada Masa Revolusi). Bantul: Kreasi Wacana Offset.

Sugihastuti & Saptiawan, Itsna Hadi. 2008. Gender dan Inferioritas Perempuan (Praktik Kritik Sastra Feminins). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(2)

Jurnal/Skripsi :

Kusumawati, Yunita. 2012. Peran Ganda Pemetik Teh. komunitas Vol. 4 No. 2, 2012.

Dr. Marzuki S.Ag. 2000. Konsepsi dan Perspektif Gender dalam Perencanaan progra.. Makalah.

Puspitawati, Herien. 2013. Konsep, Terori dan Analisis Gender. Departemen Ilmu Keluarga dan KonsumenFakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor.

Ratnawati, Deni. 2008. Dampak Peran Ganda Pada Ibu Bekerja. Fakultas Psikologi Univesitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Rustiani, F. 1996. Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender. dalam Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996, Bandung:Yayasan Akatiga.

Saputro, Kurniawan. 2013. Skripsi. Peran Ganda Perempuan (Sebuah Kajian Pada Karyawati Unit Kerja Spinning 2 PT. Apac Inti Corpora). Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana.

Wibowo, Dwi Edi. 2011. Peran Ganda Perempuan Dan Kesetaraan Gender. Muwazah. Vol. 3, No.1, Juli 2011.


(3)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian Deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini bermakasud memahami tentang fenomena apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Bogdon dan taylor (dalam Moelong, 2000:3) mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Peneliti memilih pendekatan deskriptif karena penelitian yang memiliki tujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala tau kelompok tertentu di dalam masyarakat. Peneliti berusaha menggali dan menjelaskan tentang ketidakadilan gender yang terjadi pada buruh perempuan penyiram bibit kelapa sawit di lokasi penelitian.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di unit kerja pembibitan kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi yang berada di Nagori Bah Jambi, kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di tempat tersebut karena buruh harian lepas yang bekerja pada unit kerja pembibitan kelapa sawit mayoritas adalah perempuan atau ibu rumah tangga. Lokasi penelitian yang dipilih juga merupakan kampung halaman penulis dimana penulis pada kesempatan ini


(4)

tertarik untuk mengetahui fenomena sosial yang ada disana khususnya yang berkaitan dengan studi perempuan.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yan di perhitungkan menjadi subjek penelitian atau unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin 2007:76). Dalam peneltian ini yang menjadi unit analisis adalah buruh perempuan pembibitan kelapa sawit.

3.3.2 Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun sebagai orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007:76). Dalam penelitian ini yang menjadi informan penelitian meliputi informan kunci dan informan biasa (pendukung), yaitu :

1. Informan Kunci

Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah : Buruh perempuan pembibitan kelapa sawit yang bekerja pada unit pembibitan kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi.

2. Informan Pendukung

Adapun yang menjadi informan pendukung dalam penelitian ini adalah :

1. Pihak Manajemen Unit Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Perkebunan Bah Jambi.


(5)

2. Suami dari buruh perempuan penyiram bibit kelapa sawit PTPN IV Perkebunan Bah Jambi.

Penentuan informan ditetapkan secara sengaja (purposive sampling). Sebelum fokus ini tertuang dalam proposal penelitian, peneliti telah melakukan penjajakan lokasi penelitian, untuk mengetahui kondisi unit kerja pembibitan kelapa sawit. Peneliti mendapatkan bahwa mayoritas pekerja pada unit pembibitan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan data primer dan data skunder, yaitu :

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian menggunakan alat pengumpulan data secara langsung. Pengumpulan data primer dapat dilakukan dengan cara : 1. Observasi

Observasi yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin,2007:115). Metode observasi langsung dilakukan melalui pengamatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat peristiwa yang sedang berlangsung dilapangan.Observasi dilakukan dengan mengamati secara terselubung atau observasi non partisipan dimana peneliti hanya mengamati tanpa terlibat dalam aktifitas sosial yang berlangsung. Observasi dilakukan dengan mengamati objek dilapangan


(6)

yaitu buruh perempuan penyiram bibit kelapa sawit yang menerima berbagai bentuk ketidakadilan gender.

2. Wawancara Mendalam(Deep Interview)

Wawancara mendalam (Deep Interview) atau kuisioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh peneliti terhadap informan penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai permasalahan penelitian lebih mendalam, lebih lengkap dan rinci dari informan. Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada informan secara spesifik dengan panduan interview guide (Bungin,2007).

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari sumber kedua atau pihak lain terkait dengan permasalahan penelitian. Data ini diperoleh melalui sumber-sumber bacaan seperti buku, majalah, surat kabar, dokumen-dokumen serta laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang dianggap relevan dan keabsahan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat mengumpulkan banyak data melalui berbagai instrumen penelitian, seperti wawancara, observasi maupun data dari dokumentasi. Data tersebut masih dalam catatan lapangan sehingga perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategorinya. Sebelum menginterpretasikan data tersebut terlebih dahulu dievaluasi relevansinya terhadap fokus permaslahan dalam penelitian ini. Kemudian analisis data dapat dimulai dengan mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian. Akhir dari semua proses ini adalah


(7)

penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan (Faisal,2007).

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 Acc Judul Penelitian 3 Penyusunan Proposal

Penelitian

√ √

4 Seminar Proposal

5 Revisi Proposal Penelitan 6 Penelitian Lapangan dan

Penulisan Laporan

√ √

3.7 Keterbatasan Penelitian

“Tak ada manusia yang sempurna”, ungkapan itu layaknya tepat apabila ditujukan kepada peneliti yang dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan. Dalam penelitian ini peneliti menyadari adanya keterbatasan yang berasal dalam diri peneliti yang mencakup kemampuan dan pengalaman yang masih sangat minimdalam melakukan penelitian ilmiah. Minimnya pengalaman dan kemampuan merupakan akibat dari masih buruknya manajemen diri maupun waktu yang disadari sendiri oleh peneliti. Tentunya hal ini menjadi sebuah penyesalan bagi peneliti karena sebenarnya peneliti mengharapkan isi skripsi yang berbobot.


(8)

Selain keterbatasan yang berasal dari dalam diri peneliti, peneliti juga menemukan keterbatasan yang berasal dari luar diri peneliti seperti keterbatasan waktu dan dana. Peneliti harus membagi waktu dengan aktifitas-aktifitas lain peneliti diluar skripsi seperti mata kuliah maupun organisasi membuat alokasi waktu peneliti untuk pengarjaan skripsi menjadi terbatas. Keterbatasan waktu juga mencakup desakan dari orang tua yang ingin peneliti agar segera menyelesaikan studi. Keterbatasan waktu juga menyebabkan kurang banyaknya peneliti berhubungan dengan objek penelitian karena lokasi penelitian yang jauh dari kota medan. Hal tersebut menyebabkan masih kurang mendalamnya data yang diperoleh peneliti untuk diinterpretasikan. Selain keterbatasan waktu, keterbatasan dana merupakan aspek penting yang sangat mengganggu pikiran peneliti dalam pengerjaan skripsi ini.

Disamping keterbatasan waktu dan dana keterbatasan lain yang berasal dari luar diri peneliti adalah minimnya data skunder khususnya yang berkaitan dengan masyarakat perkebunan yang merupakan fokus dari skripsi ini. Dalam mensiasati hal tersebut, peneliti lebih banyak melakukan metode observasi maupun wawancara untuk menjelaskan kehidupan masyarakat perkebunan.


(9)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Deskripsi singkat Nagori Bah Jambi

Nagori/Kelurahan Bah Jambi Merupakan wilayah administratif pemerintahan kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi, Kabupaten Simalungun. Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi memiliki luas wilayah 73,72 km2 yang meliputi 8 Nagori atau kelurahan dan 47 dusun seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1

Luas wilayah menurut Nagori/Kelurahan di Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi

No Nagori/kelurahan Luas (Km2) Jumlah Dusun

1 Mariah Jambi 16,25 5

2 Moho 4,25 5

3 Bahalat Bayu 17,84 5

4 Mekar Bahalat 8,83 6

5 Tanjung Maraja 6,25 7

6 Jawa Maraja 6,75 6

7 Bah Joga 7,45 5

8 Bah Jambi 6,10 8

Jumlah 73,72 47

Sumber : BPS Kabupaten Simalungun (2011)

Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bandar - Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Tanah Jawa - Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Huta Bayu Raja - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bosar Maligas


(10)

Nagori Bah Jambi memiliki luas wilayah 6,10 km2 dengan rasio 8,27% terhadap luas kecamatan. Jarak ke ibukota kecamatan sejauh 4 km dapat ditempuh lebih kurang 30 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan jarak ke ibukota kabupaten 60 km dapat ditempuh lebih selama lebih kurang 2 jam. Kelurahan bah jambi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan sungai Bah Bolon - Sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun Bukit Bayu - Sebelah Barat berbatasan dengan Nagori Moho - Sebelah Timur berbatasan dengan Nagori Bah Joga

Nagori Bah Jambi merupakan wilayah pusat kegiatan produksi perkebunan kelapa sawit milik PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi yang sebagian besar lahannya digunakan untuk tanaman kelapa sawit dan pemukiman karyawan. Hal ini sangat berbeda dengan Nagori/Kelurahan lainnya di kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi yang lahannya diperuntukkan sebagai lahan persawahan. Argumen diatas dapat dilihat dari data yang di kutip dari BPS Simalungun (2011) yang terangkum dalam tabel dibawah ini:


(11)

Tabel 4.2

Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahan dan jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi

No Nagori /Kelurahan

Lahan Sawah (M2)

Lahan Kering (M2)

Halaman Pekarangan (M2)

Lainnya (M2)

Jumlah (M2)

1 Mariah Jambi 560 858 21 186 1.625

2 Moho 315 65 21 24 425

3 Bahalat Bayu 596 1.094 44 50 1.784

4 Bahalat Bayu 262 329 17 275 883

5 Tanjung Maraja

463 106 19 37 625

6 Jawa Maraja 453 186 20 16 675

7 Bah Joga 153 359 70 163 745

8 Bah Jambi - 516 80 14 610

Jumlah 2.8-2 3.513 292 765 7.373

Sumber : BPS Simalungun (2011)

Dari data diatas dapat dilihat bahwa tidak ada lahan diperuntukkan sebagai persawahan di Nagori/Kelurahan Bah Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangannya Nagori Bah Jambi mengandalkan pendistribusian dari wilayah lain.

4.1.2 Demografi Penduduk

Jumlah penduduk Nagori Bah Jambi adalah 3.127 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 3.050 jiwa dan perempuan 6.177 jiwa.


(12)

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Nagori Bah Jambi berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis kelamin Jumlah/Jiwa

1 Laki-laki 3.127

2 Perempuan 3.050

Jumlah 6.177

Sumber : BPS Simalungun (2011)

Tabel 4.4

Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Agama di Nagori Bah Jambi

No Agama Jumlah Persentase

1 Islam 4.617 74.75

2 Protestan 1.390 22.50

3 Katolik 170 2.75

Jumlah 6.177 100

Sumber Data : BPS Simalungun (2011)

Mayoritas Penduduk di Nagori Bah Jambi menganut Agama Islam dengan Jumlah 4.617 orang atau 74,75% dari total jumlah penduduk. Di Bah Jambi terdapat 2 Mesjid dan 6 Musholsa sebagai tempat peribadatan umat muslim. Sedangkan untuk Protestan dianut oleh 1.390 orang dan katolik 170 orang, terdapat 2 gereja di Nagori Bah Jambi

Tabel 4.5

Klasifikasi Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan/Pekerjaan di Nagori/Kelurahan Bah Jambi

No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase

1 Sekolah 370 382 752 17,97

2 Perkebunan 1.144 251 1.395 33,5

3 Industri 4 3 7 0,17

4 Konstruksi 2 1 3 0,07

5 Perdagangan 9 6 15 0,36

6 Transportasi 47 1 48 1,15

7 Jasa Pemerintah 141 169 310 7,40

8 Lainnya 394 1.260 1.654 39,53

Jumlah 2.111 2.073 4.184 100

Sumber data : BPS Simalungun (2011)

Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas jenis pekerjaan yang dilakukan masyarakat Nagori bah Jambi adalah bergerak dibidang perkebunan atau bekerja untuk PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi yaitu


(13)

sebesar 33,5%. Jenis pekerjaan lain yang paling banyak dilakukan adalah bekerja di sektor pendidikan atau sekolah dengan persentase sebesar 17,97%. Adanya jenis pekerjaan yang beragam memperlihatkan suatu kondisi masyarakat yang kompleks. Dengan adanya spesialisasi pekerjaan dapan membantu masyarakat Nagori Bah Jambi dalam pemenuhan kebutuhannya akan barang dan jasa.

Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja secara kuantitas hampir berimbang dengan selisih yang relatif rendah dengan 2.111 orang laki-laki yang bekerja dan 2.073 orang perempuan yang bekerja. Namun yang perlu dicermati adalah jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan dan jenis pekerjaan yang dilakukan laki-laki cenderung berbeda. Laki-laki paling banyak menempati jenis pekerjaan di perkebunan yang notabene adalah pekerjaan yang memiliki nilai kebanggan disana karena memiliki penghasilan yang cukup bahkan lebih serta mendapatkan fasilitas maupun tunjangan dari perusahaan. Sedangkan perempuan paling banyak mengisi jenis pekerjaan lainnya. Jenis pekerjaan lainnya ialah jenis pekerjaan yang cenderung tidak populer sehingga tidak diidentifikasi di dalam tabel. Jenis pekerjaan lainnya menurut analisis peneliti ialah pekerjaan seperti pembantu rumah tangga, buruh harian lepas di perkebunan, pedagang kecil, pengasuh anak, dll. Sehingga jenis pekerjaan lainnya saya interpretasikan sebagai jenis pekerjaan yang cenderung marginal.

Namun terlepas dari hal seperti dikemukakan diatas, perempuan telah keluar dari ruang domestiknya untuk mengambil peran di dalam


(14)

masyarakat. Tidak hanya ikut suami atau menjadi ibu rumah tangga tetapi juga ikut menyokong perekonomian keluarga.

Tabel 4.6

Klasifikasi Penduduk Nagori/Kelurahan Bah Jambi Berdasarkan tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendiidkan

Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase 1 Tidak/belum

sekolah

354 322 676 10.95

2 Tidak Tamat SD 470 486 956 15.48

3 SD 301 426 727 11.7

4 SLTP 595 620 1.215 19.67

5 SLTA 1.235 1.039 2.274 36.81

6 Dip I-II 20 45 65 1.05

7 Dip III 34 53 87 1.41

8 Dip IV – S1 115 57 172 2.78

9 S2 - S3 3 2 5 0.08

Jumlah 3.127 3.050 6.177 100

Sumber : BPS Simalungun (2011)

Dari tabel diatas kita dapat melihat beragamnya tingkat pendidikan yang ada pada masyarakat Nagori Bah Jambi. Tingkat pendidikan SLTA adalah yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat dengan persentase 36.81%. Sedangkan tingkat pendidikan yang paling sedikit dimiliki adalah tingkat pendidikan S2 – S3 yang hanya dimiliki oleh 0.08 % dari jumlah penduduk.

Dilihat dari komposisi yang ada, distribusi untuk tingkat pendidikan tinggi yang ada di Nagori Bah Jambi masih berada pada kondisi yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum terlalu menaruh perhatiannya terhadap pendidikan tinggi.


(15)

4.1.3 Profil PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi

4.1.3.1 Sejarah Singkat PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi

PT Perkebunan Nusantara IV unit usaha Bah Jambi adalah salah satu unit usaha dari Perkebunan Nusantara berada di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara dan berkantor pusat di Jl. Letjend. Suprapto Medan. Bergerak di bidang usaha perkebunan dan pengelolaan kelapa sawit yang menghasilkan minyak (CPO) dan inti (PK). Pada mulanya unit usaha Bah Jambi adalah milik swasta asin NV, HVA (Handel Veroniging Amsterdam) dari negeri Belanda, komoditinya budidaya sisal (Agave Sisalana).

Tanggal 2 mei 1959 diambil alih oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Nomor 19 dalam lembaran Negara nomor 31, tahun 1959 dengan peralihan status menjadi PPN baru sampai dengan tahun 1963. Pada tahun 1963 berdasarkan peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1963, Perusahaan Perkebunan Negara dibagi menurut wilayah PPN Aneka Tanaman (Antan) I s/d XIII dan Unit Usaha Bah Jambi masuk dalam PPN Sumut III selanjutnya berubah nama PPN Antan III sampai dengan tahun 1968.

Tahun 1968 sebagaimana Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 1968, dalam regrouping perkebunan dari PPN Aneka Tanaman III, IV, PPN Karet VI, dan PPN Serat Sumut menjadi Perusahaan Negara Perkebunan VII (PN Perkebunan VII). Tanggal 14 Januari tahun 1985, PN Perkebunan VII diperserokan menjadi Perusahaan Perseroan PT Perkebunan VII (PTP VII).


(16)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1996, PT Perkebunan VII dilebur, selanjutnya dilaksanakan penggabungan (merger) PTP di wilayah Sumatera Utara dan PT Perkebunan VI, PT Perkebunan VII, PT Perkebunan VIII dilebur menjadi satu badan usaha PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) dengan akte notaris Harun Kmil, SH Nomor 37 tanggal 11 maret 1996 dan keputusan Mentri Kehakiman No.C2.8335 HT.01.01 TAHUN 1996, tanggal 8 agustus 1996 yang dicantumkan dalam lembaran Berita Negara nomor 81 tanggal 08 oktober 1996.

4.1.3.2 Letak Geografis

Lokasi PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi berada Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi dan Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Jarak dengan kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara berkisar 147 km, dan dari kota Pematang Siantar 19 km. Topografi tanah keadaannya sedikit bergelombang dan berbukit. Jenis tanah Podolik Coklat Kuning (PCK) dan Prosolik Coklat (PC).

PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi memiliki luas HGU 8.127.30 Ha, terdiri dari Lokasi, 9 Afdeling tanaman kelapa sawit, Emplasmen, Pembibitan, Pabrik dan Kolam Limbah.

4.1.3.3 Produk yang dihasilkan

PT Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Bah Jambi didalam operasionalnya menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan inti sawit (PK-Meal). Pelanggan utama produk PT Nusantara IV unit usaha Bah Jambi seperti di tunjukkan dalam tabel berikut.


(17)

Tabel 4.7

Tabel Pelanggan Utama PTPN IV Bah Jambi

PRODUK PELANGGAN

Crude Palm Oil Pelanggan Langsung :

o Bagian Pemasaran PT Perkebunan Nusantara IV

Pelanggan tidak langsung : o PT.Musim Mas

o PT.Multimaa Nabati Asahan o PMN Belawan

Inti Sawit Pelanggan langsung :

o Bagian Pemasaran PT. Perkebunan Nusantara IV

Pelanggan tidak langsung : o PPIS Pabatu

o PT.Multimas Asahan Sumber : PTPN IV Unit usaha Bah Jambi, 2015

4.1.3.4 Visi dan Misi PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi 1. Visi

PT Perkebunan Nusantara IV menjadi pusat keungulan pengelolaan perusahaan agro industri kelapa sawit dengan tata kelola perusahaan yang baik serta berwawasan lingkungan.

2. Misi

- Menjamin keberlanjutan usaha yang kompetitif

- Meningkatkan daya saing produk secara berkesinambunan dengan sistem, cara dan lingkungan kerja yang mendorong munculnya kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas dan efisien.

- Meningkatkan laba secara berkesinambungan

- Mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan, yang menpedomani etika bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik


(18)

- Meningkatkan tanggung jawab sosial lingkungan

- Melaksanakan dan menunjang kebijakan serta program pemerintah pusat/daerah.

4.1.3.5 Stuktur Organisasi

Struktur Organisasi PTPN IV Unit Bah Jambi dipimpin oleh seorang Manjer unit yang dibantu oleh 4 Kepala dinas yaitu; Kepala dinas tanaman rayon utara,Kepala dinas tanaman rayon selatan, Kepala dinas Teknik/pengolahan dan Kepala dinas tata usaha serta 1 Asisten SDM Umum. Struktur organisasi PTPN IV Unit Bah Jambi secara utuh dapat dilihat dalam bagan di bawah ini :


(19)

(20)

4.1.3.6 Sumber Daya Manusia

Tabel 4.8

Formasi Karyawan Pelaksana Berdasarkan Golongan

Golongan Laki-laki Perempuan Jumlah IA 53 1 54 IB 79 42 121 IC 416 78 494 ID 144 37 181

IIA 56 9 65

IIB 37 15 52

IIC 15 8 23

IID 9 4 13

Jumlah 809 194 1.003

Sumber Data : PTPN Unit Usaha Bah Jambi, 2015

Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah karyawan Pelaksana PTPN IV unit Bah Jambi adalah sebanyak 1.003 orang yang terdiri dari 809 karyawan pelaksana laki-laki dan 194 karyawan pelaksana perempuan. Terjadi selisih yang signifikan antara jumlah karyawan pelaksana laki-laki dengan karyawan pelaksana perempuan.

4.1.3.7 Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi Pembibitan Kelapa Sawit adalah kegiatan penyemian bibit kelapa sawit mulai dari kecambah sampai dengan bibit siap tanam. Luas area pembibitan kelapa sawit kebun Bah Jambi adalah 38 Ha yang meliputi bangunan kantor, tempat penyemian bibit dan pemeliharaan bibit dengan jumlah blok sebanyak 28 yang dibagi dalam sub A, B, C dan D.

Pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bibit, baik untuk kebun sendiri maupun kebun lain yang seinduk mengadakan permajaan. Secara struktur kegiatan pembibitan kelapa sawit di kebun Bah jambi dipimpin oleh Asisten Pembibitan yang berkoordinasi dengan Mandor Utama di pembibitan.


(21)

Selanjutnya mandor akan mengarahkan Buruh Harian Lepas (BHL) untuk melakukan pekerjaan di pembibitan.

Kegiatan yang dilakukan pada sektor pembibitan kelapa sawit meliputi 3 Tahap pembagian kerja, yaitu :

1. Tahap Persiapan Lapangan, yang meliputi : a. Pemilihan lokasi

Pada Tahap ini tempat yang dipilih harus rata, dekat dengan sumber air, dekat dengan sumber tenaga kerja, dekat dengan rencana penanaman (central) dan drainase harus baik.

b. Penyiapan Bedengan

Bedengan terbuat dari papan/kayu/bambu dengan lebar ±20 cm. Ukuran bedengan adalah 10 meter × 1,2 meter dan jarak antar bedengan 0,5 meter. Dalam satu bedengan dapat ditempatkan 12 × 100 polybag = 1.200 polybag

c. Penyiapan Naungan

Naungan adalah semacam bangunan yang terdiri dari tiang-tiang dan atap berbahan jaring. Tujuan dari pembuatan naungan adalah mengurangi sinar matahari langsung kebibit yang baru tumbuh atau kecambah.

d. pengisian polybag

Ukuran Polybag kecil yang dipakai (lay flat) adalah 15 cm × 22 cm × tebal 0,07 mm atau 6”×9”, warna hitam atau putih/bening dengan 2 baris lubang drainase yang berjumlah 12-24 buah


(22)

e. Pengisian Tanah

Media Tanagh yang akan digunakan harus diayak terlebih dahulu (dengan ayakan 10 mm) sehingga bebas dari bekas akar, bekas ranting tanaman, gumpalan besar dan batu. Setelah diayak dicampur dengan pupuk Rock Phosphate (RP) sebagai pupuk dasar sebanyak 5 kg per-ton tanah (±6 gram/polybag). Pemakaian pasir dilakukan apabila tanah yang digunakan mempunyai kandungan pasir yang rendah.

f. Pengisian Polybag

Polybag disusun kedalam petak pesemaian dengan posisi tegak dan saling menyokong dan dilakukan penyiraman sebelum penanaman kecambah

2. Tahap Penanaman dan Teknik Penanaman

Sebelum penanaman, kecambah diseleksi dahulu dalam polybag diratakan dan disiram terlebih dahulu. Kecambah ditanam dengan akar (radicula) ke bawah dengan tahapan membuat lubang dengan ibu jari ditengah-tengah polybag sedalam ± 3 cm, memasukkan kecambah ke lubang, setelah posisi kecambah sudah benar maka ditutup dengan tanah halus.

3. Tahap Pemeliharaan a. Penyiraman

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore) kecuali jika ada curah hujan lebih dari 8 mm, namun apabila curah hujan


(23)

8 mm tetapi polybag masih kering maka tetap dilakukan penyiraman.

b. Penyiangan

Penyiangan secara manual dilakukan untuk membuang rumput yang ada di dalam dan luar (antar) polybag.

c. Pemupukan

Bibit di pesemaian yang sudah berdaun satu lembar dapat dipupuk dengan cara menyiramkan cairan Urea 0,2 %. Campuran air dengan Urea 0,2 % setiap 1 liter dapat digunakan untuk memupuk 100 bibit. Setelah penyemprotan segera disiram kembali dengan air agar daun tidak terbakar.

d. Hama dan penyakit

Monitoring hama/penyakit dilakukan setiap hari dengan hand picking (terhadap hama), hama dan penyakit.

e. Seleksi bibit

Seleksi atau thining out bertujuan untuk menyingkirkan/ memisahkan bibit yang tumbuh abnormal yang diakibatkan faktor genetis, kerusakan mekanis, serangan hama penyakit dan kesalahan kultur teknis dan lain-lain.

Areal pembibitan yang luas tentunya memerlukan banyak tenaga kerja agar kegiatan produksi dapat berjalan dengan efektif. Pada umumnya karyawan yang ada di sektor pembibitan adalah mandor atau pengawas lapangan, sedangkan yang mengerjakan lahan adalah para BHL. Jumlah Mandor yang bertugas pada pembibitan menurut hasil


(24)

wawancara peneliti dengan Mandor utama adalah 5 orang, yang terdiri dari mandor utama (Mandor besar), mandor penanaman, Mandor penyiraman, mandor pemupukan, dan mandor penyiangan. Sedangkan jumlah untuk BHL adalah kurang lebih ada 250 BHL yang mayoritas diisi oleh para BHL perempuan. Menurut hasil wawancara, sangat sulit menentukan jumlah pasti BHL, karena statusnya yag tidak tetap sehingga banyak BHL yang keluar masuk.

4.1.4 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Perkebunan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi

Kehidupan sosial ekonomi merupakan segala aspek yang berkaitan dengan keberadaan individu secara sosial (hubungan dengan individu lainnya) dan ekonomi (upaya pemenuhan kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan yang dilakukan dengan bebrbagai cara dan memiliki proses yang panjang dan berkelanjutan.

PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi sebagai perusahaan BUMN yang bergerak dalam kegiatan produksi Crude Palm Oil (CPO) dan inti sawit (PK-Meal) dalam lahan seluas 8.127,30 Ha tetntunya memerlukan tenaga kerja dalam skala besar untuk menjalankan kegiatan. Sehingga masyarakat di Perkebunan Bah Jambi maupun disekitar daerah perkebunan menggantungkan hidupnya terhadap PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi.

Mayoritas masyarakat Bah Jambi bekerja sebagai karyawan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi baik sebagai karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana. Jumlah penduduk yang memiliki jenis pekerjaan ini berjumlah 1.003 orang dari kesluruahan penduduk usia produktif yang berjumlah 4.184


(25)

orang. Jenis pekerjaan ini merupakan yang paling baik disana karena memberikan kehidupan yang layak bagi para karyawan, terutama pada para karyawan pimpinan. Selain upah, adanya fasilitas pemukiman, berbagai tunjangan dan jaminan kerja membuat para karyawan memiliki status sosial yang lebih tinggi diantara kelompok jenis pekerjaan lainnya.

Selain karyawan, jenis pekerjaan lain yang banyak digeluti oleh penduduk Bah Jambi dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya adalah bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di perkebunan PTPN IV. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan ini cenderung lebih rendah dari penghasilan karyawan dan tidak memiliki fasilitas maupun jaminan atau tangungan. Pekerjaan ini banyak dikerjakan masyarakat Bah Jambi karena sangat minimnya rekrutmen/penerimaan tenaga karyawan dalam beberapa tahun belakangan. Menurut pengamatan peneliti hal tersebut adalah dampak dari tidak seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan kebutuhan perusahaan untuk kuota karyawan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi selain dari perampingan anggaran yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Jenis pekerjaan lainnya meliputi tenaga kerja pemerintahan, guru, pedagang, pemborong, dan lain-lain yang secara tidak langsung terkait dengan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Mayarakat Bah Jambi merupakan masyarakat yang komplek yang selalu bekerja dapat dikategorikan sejahtera karena rata-rata memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.


(26)

4.1.5 Interaksi Sosial Masyarakat Perkebunan di Bah Jambi

Masyarakat perkebunan adalah kumpulan individu atau kelompok sosial yang berdomisili di daerah perkebunan. Berdasarkan hasil observasi peneliti, masyarakat Perkebunan Bah Jambi adalah masyarakat yang heterogen karena terdiri dari berbagai komunitas seperti suku, agama dan latar belakang yang berbeda-beda dan beragam. Namun mayoritas suku yang berdomisili disini adalah suku jawa. Hal ini tidak terlepas dari sejarah terbentuknya perkebuanan pada masa kolonialisme Belanda yang menggunakan tenaga kerja dari Jawa untuk mengerjakan lahan di Sumatera. Pada umumnya penduduk Jawa yang ada di perkebunan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi adalah keturunan dari para buruh kontrak yang dibawa Belanda pada masa lalu. Sehingga masyarakat Jawa di perkebunan telah terasimilasi secara sosial-budaya dengan penduduk asli seperti suku Simalungun, Batak dan Melayu.

Masyarakat Nagori Bah Jambi yang sangat heterogen sangat kental dengan sifat pluralisme dan rasa saling menghargai diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Hal tersebut terlihat dari kegiatan gotong-royong yang masih terlaksana diantara para penduduk seperti rewang (kegiatan gotong royong dalam pesta/hajatan salah satu anggota komunitas), kerja bakti dan lain-lain.

Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat kedalam kelas secara bertingkat (hirarkis). Pelapisan di dalam masyarakat terjadi kerena adanya perbedaan tanggung jawab dan peran diantara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Stratifikasi sosial di masyarakat di PTPN IV


(27)

Unit Usaha Bah Jambi dikelompokkan dalam 3 lapisan besar yaitu, karyawan pimpinan, karyawan pelaksana dan buruh harian lepas. Dalam struktur organisasi jelas nampak perbedaan (seperti kesenjangan) antara karyawan pimpinan dengan karyawan pelaksana dan buruh harian lepas yang diakibatkan oleh perbedaan komponen dan nilai nominal upah serta fsilitas pada berbagai level pekerja mulai dari BHL hingga karyawan pimpinan. Kesenjangan berdasarkan struktur pekerjaan terpelihara oleh pola pemukiman karyawan pimpinan dengan karyawan pelaksana dan BHL yang berjarak berjauhan sehingga saat interaksi yang terjadi hanya sebatas dalam linkungan kerja saja yang sifatnya sangat formal. Untuk interaksi yang terjadi diluar linkungan kerja antara karyawan pimpinan dengan karyawan pelaksana maupun BHL sangat jarang terjadi. Selain pemukiman yang berjarak berjauhan, tipe rumah pemukiman antara karyawan pimpinan dengan karyawan pelaksana memiliki tipe yang berbeda. Karyawan pimpinan mendapatkan fasilitas berupa rumah permanen dengan ukuran yang lebih besar dengan rumah di pemukiman karyawan pelaksana. Hal tersebut adalah simbol sosial yang menunjukkan perbedaan strata diantara keduanya. Sedangkan untuk karyawan BHL tidak diberikan fasilitas pemukiman sehingga pada umumnya mereka tinggal didaerah sekitar perkebunan.

Stratifikasi yang sangat jelas dilingkungan perkebunan PTPN IV bah jambi terpelihara oleh adanya beberapa piranti seperti komponen upah dan pola pemukiman yang diterapkan. Pembentukan Stratifikasi yang terjadi memiliki berfungsi positif terhadap pemudahan proses penawasan terhadap


(28)

para pekerja. Dimana para karyawan pimpinan merupakan instrumen yang penting dalam pengawasan karyawan pelaksana yang dilanjutkan kepada BHL sebagai eksekuto di lapangan dan merupakan ujung tombak dalai pencapaian target perusahaan. Mereka ditempatkan sebagai panutan utama bagi komunitas karyawan pimpinan dan BHL sehingga perlu dilakukan sebuah perlakuan yang berbeda.

4.2 Profil Informan 1. Rani

Perempuan yang sering disapa Mama Rani ini merupakan informan pertama yang peneliti wawancarai setelah ia selesai melakukan pemupukan untuk bibit kelapa sawit. Mama Rani yang berperawakan agak gemuk pada saat itu menggunakan baju lengan panjang tebal berwarna biru putih dengan kerudung dan topi di kepalanya. Informan pada saat ini berusia 37 tahun dan memiliki 3 orang putra ini memberikan saya kesempatan untuk melakukan wawancara pada saat jam istirahatnya (jam wolon).

Sambil menikmati makan siangnya di bawah pohon rindang mama Rina menjelaskan bahwa dia sudah bekerja selama 1 tahun di pembibitan kelapa sawit unit bah jambi. Mama Rani yang merupakan warga Nagori Moho berangkat setiap hari bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan untuk keluarga. Selanjutnya informan mengatakan bahwa ia sangat terbatas dalam hal memilih jenis pekerjaan karena status pendidikannya yang hanya sampai SMP dan statusnya sebagai istri dan ibu mengharuskannya untuk mencari pekerjaan yang tidak mengganggu pekerjaan rumah tangganya. Pekerjaan sebagai BHL di pembibitan


(29)

dipilihnya sebagai pekerjaan yang paling tepat untuk dirinya. Namun wanita yang memiliki tahi lalat diatas bibir ini mengungkapkan kalau upah yang diterimanya belumlah cukup untuk menutupi semua kebutuhan keluarganya disamping suaminya yang belum mendapatkan pekerjaan yang tetap (mocok-mocok).

2. Dewi

Dewi adalah wanita berjilbab yang berusia 40 tahun. Suaminya adalah karyawan pelaksana di bagian pengolahan kelapa sawit di PTPN IV Bah jambi. Dewi merupakan ibu dari 4 orang anak yang terdiri dari 3 putri dan 1 putra. Anak terbesarnya pada saat ini sudah menamatkan pendidikannya dari SLTA dan tidak melanjutkan kuliah dan sekarang tinggal dirumah karena belum mendapatkan pekerjaan. sedangkan ketiga anaknya yang lain saat ini masih sekolah yang masing-masing ada di SD untuk anak yang paling kecil, SMP untuk anak nomor 3 dan SMA untuk anak nomor 2.

Dewi yang sudah lebih dari 1 tahun bekerja di pembibitan menjelaskan tujuannya bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan untuk kebutuhan keluarga. Informan mengakui bahwa suaminya yang bekerja sebagai karyawan bergolongan rendah penghasilannya masihlah kurang, mengingat pada beberapa tahun belakangan harga-harga semakin tinggi. Sehingga dia memilih untuk bekerja sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan yang akan digunakan untuk anak sekolah maupun aktifitas sosialnya di lingkungan tempat tinggalnya seperti arisan/zula-zula. Lebih lanjut informan menjelaskan bahwa ia dapat bekerja karena anak


(30)

pertamanya sudah tamat sekolah sehingga sebagian pekerjaan rumah tangganya dikerjakan oleh anaknya tersebut.

3. Sepi

Informan ini bernama Sepi, informan sudah 7 tahun bekerja di pembibitan kelapa sawit Bah Jambi. wanita yang berusia 47 tahun ini merupakan salah satu BHL yang paling lama bekerja di pembibitan Bah Jambi. Informan memiliki suami yang bekerja sebagai wiraswasta dan dikaruniai 2 orang putra. Putra terakhirnya masih bersekolah di jenjang SMA. Wanita yang berperawakan kurus ini pada saat peneliti wawancarai mengenakan pakaian lengan panjang berwarna biru muda tersebut menjelaskan tujuannya bekerja adalah untuk menambah penghasilan keluarga.

Sepi mengungkapkan bahwa penghasilan yang ia dapatkan sudah cukup untuk membantu perekonomian keluarga. Panas teriknya adalah masalah yang sering dihadapinya saat bekerja. Namun, hal tersebut dimakluminya sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang harus diterimanya. Informan yang tidak menamatkan pendidikan SMA-nya ini menjelaskan bahwa selama ia bekerja, pekerjaan rumah tangganya tidaklah berkurang. Ia adalah yang bertanggung jawab atas keberadaan rumah, pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mengurus anak dilakukannya disela-sela jam kerjanya.

4. Ria

Ria adalah informan yang sudah bekerja di pembibitan kelapa sawit selama lebih dari 1 tahun. Saat ini ia usianya adalah 27 tahun. Suaminya


(31)

bekerja sebagai buruh harian lepas di bagian pemanenan kelapa sawit. Ibu dari anak bernama friska ini menjelaskan kepada peneliti bahwa motivasinya bekerja di pembibitan kelapa sawit bah jambi adalah untuk menambah penghasilan keluarga.

Selain karena alasan ekonomi, alasannya untuk bekerja disini adalah karena jarak tempat kerja yang tidak terlalu jauh dengan rumahnya sehingga ia masih dapat leluasa mengurusi rumah. Jam kerjanya hanya sampai jam 12 siang, dengan kata lain total waktu yang digunakannya untuk bekerja di sektor publik adalah selama 5 jam. Penghasilan yang ia dapatkan adalah sebesar Rp.30.000 untuk 5 jam kerja setiap hari. Jika diakumulasikan dengan 25 hari kerja maka dalam sebulan dirinya dapat memperoleh gaji yang kisarannya sebesar Rp. 750.000. Informan ini mengakui jika penghasilannya sesuai dengan pekerjaannya daripada sama sekali tidak berpenghasilan.

5. Siti

Informan berusia 39 tahun ini adalah istri dari pedagang jamu di Nagori Bah Jambi dan sekitarnya. Saat ini dia memiliki 3 orang anak. Di pembibitan kelapa sawit tugasnya adalah memberikan pupuk ke dalam polybag dan mencabut rumput yang tumbuh didalam polybag. Alasannya bekerja di pembibitan adalah karena butuh uang atau mencari penghasilan tambahan. Selanjutnya penghasilan tersebut digunakan untuk makan dan memenuhi kebutuhan lainnya.

Informan ini menjelaskan bahwa setiap pagi dirinya dan teman-teman BHL perempuan yang lain dijemput pihak perusahaan menggunakan


(32)

truk untuk bekerja. Sebelum bekerja ia telah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah seperti memasak dan mencuci dan melanjutkan sisanya sepulang kerja. Informan yang belum genap satu tahun bekerja di pembibitan kelapa sawit ini menambahkan kalau tidak ada bantuan suami untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun dia sudah ikut membantu mencari nafkah.

6. Lili Suryadi

Informan ini adalah seorang mandor utama di pembibitan kelapa sawit di PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Pria berumur 50 tahun ini sudah bekerja selama 28 tahun untuk PTPN IV Unit Usaha Bah jambi dan sudah 9 tahun menjadi mandor utama di pembibitan. Tugasnya adalah mengawasi dan mengkoordinasi mandor-mandor lapangan di wilayah pembibitan.

Pria Tamatan SMA ini menambahkan bahwa sektor yang ditanggungjawabinya sama ibaratnya seperti anak bayi yang baru lahir, sehingga perhatian yang diberikan harus intensiv, khusus dan sungguh-sungguh. Menurutnya penggunaan mayoritas BHL perempuan pada lahan pembibitan didasari oleh stereotip yang melekat pada diri perempuan yang meliputi sifat penyayang, sabar, lembut dan telaten. Bibit yang dianalogikan dengan bayi tadi akan tumbuh dengan baik apabila dirawat oleh perempuan. kemudian ia menambahkan bahwa pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi menghasilkan bibit kelapa sawit unggulan yang terbaik di kelasnya. Ia mengakui hal tersebut tidak lepas dari peran BHL perempuan yang mengerjakan lahan di wilayah kerjanya.


(33)

7. Indra

Informan kali ini adalah suami dari Buruh perempuan pembibitan. Indra yang berusia 45 tahun berperawakan kurus dengan janggut di dagunya dengan senang hati menerima kedatangan peneliti di rumahnya. Peneliti mendapatkan rumah indra yaitu di Nagori Moho dari informasi yang peneliti dapatkan sebelumnya dari informan kunci dewi.

Indra memiliki pekerjaan sebagai penjual jamu keliling di daerah sekitar perkebunan. Keseharian yang dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga adalah dengan meracik jamu pada pagi hari dan menjualnya dengan sepeda motor pada siang sampai sore hari. Informan mengakui bahwa pekerjaan menjual jamu sudah lama digelutinya, namun dalam beberapa bulan belakangan ini pembeli jamu semakin sedikit karena para generasi muda tidak terbiasa minum jamu. Pembelinya pada umumnya adalah orang dewasa yang sudah lama berlangganan jamu dengannya. Penghasilan dari menjual jamu menurutnya tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. sehingga ia terpaksa membiarkan istrinya bekerja untuk menambah pendapatan keluarga.

8. Silaban

Informan ini merupakan suami dari informan kunci Ria. Pada saat ini Silaban berumur 28 tahun. Pekerjaannya adalah sebagai buruh panen di PTPN IV Unit Bah Jambi. Priadi mengungkapkan tidak menjadi masalah apabila isterinya bekerja di pembibitan. Pria dengan tamatan SMA ini mengakui keinginan untuk bekerja di pembibitan berasal dari istrinya. Awalnya dia menolak karena takut kalau istrinya kelelahan. Namun karena


(34)

kasihan dengan kondisi istri yang tidak memiliki aktifitas di pagi sampai siang hari, pada akhirnya dia mengijinkan.

Matriks 4.1 Data Informan Berdasarkan Jenis kelamin, Usia, status, Agama, Pekerjaan dan Pendidikan Perakhir

No Nama Jenis

Kelamin

Usia /Tahun

Status Agama Pekerjaan Pend. Terakhir

1 Rani Perempuan 37 Menikah Islam BHL SMP

2 Dewi Perempuan 47 Menikah Islam BHL SLTA

3 Sepi Perempuan 40 Menikah Islam BHL SD

4 Ria Perempuan 27 Menikah Protestan BHL SLTA

5 Siti Perempuan 39 Menikah Islam BHL SMP

6 Lili suryadi

Laki-laki 50 Menikah Islam Karyawan

/Mandor Utama Bibitan

SLTA

7 Indra Laki-laki 45 Menikah Islam Pedagang SLTA

8 Silaban Laki-Laki 28 Menikah Islam BHL SMA

Sumber : data olahan peneliti, 2016 4.3 Interpretasi Data

4.3.1 Kehidupan Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi

Secara tradisional, ada beberapa peranan utama perempuan Indonesia yang dapat diidentifikasikan, yaitu; peran reproduksi, peran rumah tangga dan pendapatan yang berkaitan dengan rumah tangga dan peran produksi sosial yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang menunjang status keluarga. Kini selain aspek-aspek tradisional yang disebutkan diatas, semakin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kehidupan perempuan yang bekerja tentunya berbeda denga perempuan yang tidak bekerja.


(35)

Hasil temuan di Nagori Bah Jambi, kaum perempuan bekerja guna membantu perekonomian keluarga sebagai buruh harian lepas di Pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Buruh perempuan menjalani aktifitas sehari-hari sebagai buruh di tempat kerja dan sebagai istri atau ibu di rumah. Mereka dituntut untuk cermat dalam membagi waktu agar kedua aktifitasnya dapat berjalan dengan lancar. hal diatas sesuai dengan penuturan informan (Ria, 27 Tahun):

“...saya mau kerja disini untuk mendapatkan uang tambahan. Lumayan untuk nambah-nambah uang untuk beli susu anak. ...kalau kerja disini ada enaknya ada nggak enaknya, walaupun panas-panasan, capek tapi kita masih bisa bagi waktu untuk keluarga, suami. Karena siang kita uda pulang.”

Menjadi buruh harian lepas bagi para perempuan di pembibitan merupakan alternatif yang dilakukan untuk menutupi pengeluaran yang semakin meningkat dan untuk mengisi kekosongan waktu pada pagi sampai siang hari dimana para anggota keluarga yang lain seperti suami yang bekerja dan anak-anak yang sekolah. Pekerjaan seperti memupuk, menyiang, dan menyiram tanaman bibit adalah jenis-jenis pekerjaan yang tiap harinya mereka lakukan. Sebagai BHL di Pembibitan berkerja dari pukul 07:00 hingga pukul 12:00 dan kadang ada yang melanjutkan untuk shift sore dari pukul 13:00 hingga pukul 16:00 untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Penghasilan BHL diitung dari jam kerja yang mereka lakukan. Rata-rata mendapatkan Rp. 30.000 – Rp. 40.000 per hari. Upah tersebut dinilai sebagian besar informan masih kurang mengingat semakin mahalnya harga-harga kebutuhan. Namun mereka harus menjalaninya daripada tidak mengerjakan apapun dan demi mendapatkan


(36)

penghasilan tambahan. Lowongan pekerjaan yang terbatas membuat mereka memilih pekerjaan sebagai BHL di pembibitan. Hal diatas diperkuat oleh pernyataan yang diberikan informan Sepi (47 tahun) kepada peneliti, yaitu:

“...kalau dibilang cukup nggak juga ya. Sebetulnya masih kurang. Kadang kalau dipikir-pikir ya, untuk beli beras aja satu tumbak udah 18 ribu, sedangkan cabe aja udah 5 ribuan. Jadi ya kalau diprediksikan ya kurang.. tapi ya dari pada nggak ada kerjaan. Lumayan lah untuk nambah-nambah.”

Sebagai seorang istri yang bertanggung jawab terhadap kondisi rumah tangga, buruh perempuan pembibitan juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat bekerja. Pekerjaan tersebut dilakukan agar mereka dapat meninggalkan rumah dengan tenang. Sebagai seorang perempuan yang telah berkeluarga, mereka harus mengkombinasikan dengan baik waktunya untuk rumah dan pekerjaan. Namun prioritas terbesar yang menjadi tanggung jawabnya adalah rumah tangga. Buruh perempuan yang merangkap sebagai ibu rumah tangga melakukan pekerjaan rumahnya sebelum berangkat bekerja dan sepulang bekerja. Sesuai dengan pernyataan informan Rani (37 tahun), yaitu:

...Karena pagi-pagi kan anak-anak sudah sekolah bapaknya juga kerja, sebelum berangkat saya sudah buatin untuk anak-anak sama bapaknya sarapannya sama bajunya. Jadi saya masih perhatian sm anak-anak dan keluarga. nanti juga saya udah pulang kerja duluan sebelum anak-anak pulang sekolah. Jadi masih bisalah bagi waktunya untuk anak-anak. nanti sore kalau pergi ngaji mereka masih bisa saya urusi lagi. Masih tetaplah. Cuma waktu yang kosong awak gunakan untuk bekerja.”

Selain aktifitas utama sebagai istri, ibu dan pencari nafkah dalam rumah tangga, buuh perempuan juga tidak terlepas dari kegiatan sosial maupun keagamaan. Misalnya seperti pengajian yang dilaksanakan rutin


(37)

sekali seminggu di lingkungan tempat tinggalnya yang diyaknini dapat memperkuat keimanan mereka disamping dapat menambah wawasan mereka tentang ilmu keagamaan. Kemudian ada juga perwiridan yang dilakukan dari rumah ke rumah. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi diantara sesama warga dan dapat mengurangi stres atau beban yang mereka alami. Selanjutnya kegiatan-kegiatan sosial lain seperti arisan, serikat tolong menolong dan zula-zula (tarikan).

Aktifitas yang begitu padat ternyata tidak mengurangi sedikitpun tanggung jawab para buruh terhadap rumah tangganya. Mereka tetap mengerjakan yang menjadi tanggung jawabnya dirumah seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus anak dan suami dan lain-lain. Dan keseluruhan informan yang saya wawancarai menganggap keluarga sebagai prioritas yang paling utama dalam kehidupannya. Sesuai dengan pernyataan informan Siti (39 tahun) berikut ini:

“...Kalau kelurga itu tetap yang nomor satu. Kita kerja juga untuk keluarga, biar keluarga kita bisa makan dan anak bisa sekolah. Karena kalau mengharapkan gaji dari suami pasti tidak cukup. Kita ikut wirid sm pengajian juga untuk menjaga silaturahmi sm yang lain. Biar orang lain baik sm keluarga kita. Pokoknya semua saya lakukan untuk keluarga.”

4.3.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender yang dialami Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi

Permasalahan ketidakadilan gender muncul karena sistem sistem sosial dan budaya yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat atau lebih rendah daripada laki-laki. Buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN Unit Usaha PTPN IV Bah Jambi yang menjadi fokus dalam


(38)

penelitian ini tak luput dari permasalahan ketidakadilan gender. Secara umum para buruh tidak mempersoalkan posisinya yang mengalami ketidakadilan gender. Hal tersebut diakibatkan sudah sangat melekatnya sistem sosial patriaki dan kurangnya sosialisasi tentang konsep dan pemahaman tentang gender terhadap perempuan. Sosialisasi mengenai konsep gender paling mudah didapatkan melalui pendidikan. Namun faktanya mayoritas dari informan dalam penelitian ini memiliki status pendidikan yang cenderung rendah. Kondisi tersebut merupakan hasil dari pemikiran yang bias gender dimana yang menjadi prioritas untuk mendapatkan pendidikan adalah laki-laki. Ketidakadilan gender yang dominan masih dialami oleh perempuan termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yaitu; Marginalisasi, Subordinasi, Marginalisasi, Beban Kerja Ganda dan Kekerasan.

4.3.2.1. Marginalisasi Terhadap Buruh Perempuan Pembibitan

Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah proses pemiskinan/peminggiran yang menyebabkan kemiskinan terhadap jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (Narwoko & Suyanto 2010:341). Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Dengan anggapan bahwa perempuan bekerja sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Anggapan itu dibenarkan oleh informan Rina (37 tahun) yang mengungkapkan bahwa dia bekerja


(39)

untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Berikut kutipan transkrip wawancaranya:

“karena kekurangan uang. Kerja disini kan bisa nambah penghasilan suami. Nanti uangnya untuk anak-anak sekolah. Dulu sempat jual-jualan. Tapi kadang nggak laku jadi rugi. Kalau kerja kan pasti dapat gaji. Walaupun sedikit, tapi bisa untuk membantu. Apalagi suami mendukung, yang penting kata suami kuat ngerjakannya, jangan terlalu capek.”

Fakta bahwa pekerjaan perempuan sebagai BHL pembibitan dinilai sebagai pekerjaan rendah berpengaruh terhadap upah/gaji yang mereka terima. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Proses marginalisasi lain yang peneliti temukan di lokasi pembibitan adalah sebagian besar pembagian kerja sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin). Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh BHL laki-laki cenderung mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut dijelaskan oleh informan Lili Suryadi (50 tahun) yang merupakan mandor utama pembibitan. Berikut hasil kutipan transkrip wawancara dengan informan:

“...beda-beda kalau gajinya. Kalau untuk penyiram, penyiang dan tukang pupuk yang ngerjakan biasanya perempuan. Tapi kalau untuk bagian penanaman sama meracun itu dikerjakan sama BHL laki-laki. Kalau gaji untuk penyiram dan penyiang biasanya sebulan merekka bisa dapat sekitar 700-800 ribu Rupiah sebulan, kalau kerjanya penuh. Kalau untuk pemupukan bisa sampai 1-2 juta sebulan. Kalau menanam sama meracun gajinya sekitar 1,5 juta sebulan. Itu kalau dirata-ratakan. Jadi bervariasi. Tergantung apa yang dikerjakan. Kalau memang pekerjaannya setengah laki-laki 1,5 dapat.”

Dari penuturan informan diatas dapat diinterpretasikan bahwa jenis pekerjaan ditentukan oleh jenis kelamin. Pekerjaan yang cenderung


(40)

berat dan membutuhkan tenaga yang besar biasanya dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan tenaga yang besar dan memerlukan kelembutan biasanya dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja seperti ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Anggapan bahwa perempuan tidak sekuat laki-laki menjadi landasan pembagian kerja yang timpang yang implikasinya mengarah kepada perbedaan upan/penghasilan yang diterima.

Dalam perspektif feminisme liberal pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin (seks) dinamakan pembagian divisi kerja atau pembagian kerja seksual. Pembagian kerja seksual pada umumnya menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Ekspresi utama teori ini adalah perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral (Ritzer &Goodman 2011:420). Namun fakta bahwa buruh perempuan pembibitan kelapa sawit di PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi mengalami pemingiran merupakan akibat dari pembagian kerja seksual. Masyarakat perkebunan yang cenderung mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi indusrti lebih menekankan aspek produktifitas daripada kemanusiaan. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi sehingga nilai-nilai fundamental kemanusiaan seperti kesetaraan gender cenderung diabaikan. Maka dapat dikatakan yang memperkuat kondisi ketidakadilan gender pada buruh perempuan pembibitan di bah jambi adalah sistem masyarakat modren-kapitalis yang cenderung mengakomodasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.


(41)

Akibatnya posisi perempuan tetap lebih rendah dalam posisi marginal sedangkan posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral. 4.3.2.2. Subordinasi yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui bahwa nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan rumah tangga, sementara laki-laki dalam urusan publik. Peran yang paling sering mendapatkan penghargaan dan nilai pengakuan adalah peran publik yang dilakukan oleh laki-laki. Maka sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik berbeda dengan peran publik, sepanjang itu pula ketidakadilan gender sedang berlangsung.

Dalam penelitian ini, buruh perempuan pembibitan telah keluar dari ruang domestiknya untuk bekerja di pembibitan kelapa sawit Bah Jambi, namun pekerjaan sebagai buruh pembibitan yang dilakukan adalah jenis pekerjaan yang kurang memiliki nilai penghargaan. Ada beberapa alasan yang menjadikan perempuan memilih jenis pekerjaan ini. Tanggung jawab atas keberlangsungan rumah tangga menjadi faktor yang membuat perempuan mengambil peran terhadap jenis pekerjaan ini. Para buruh perempuan pembibitan terbatas dalam hal memilih pekerjaan karena harus bertanggung jawab penuh dalam kegiatan rumah tangga. Pekerjaan di pembibitan dinilai para buruh perempuan tidak memakan banyak waktu sehingga mereka dapat tetap menyelesaikan pekerjaan


(42)

rumah tangganya. Konsekuensi dari pekerjaan berstatus rendah yang dilakukan perempuan adalah upah rendah yang diterima. Hal demikian terangkum dalam potongan transkrip wawancara peneliti dengan informan Rani (37 tahun):

“...sebetulnya malu bekerja disini, anak-anak kan malu kalau mamaknya kerja kayak gini. Tapi mau bagaimana lagi, daripada nggak ada yang dikerjai, kan nggak jadi nggak ada penghasilan. Lumayan lah untuk nambah-nambah. Kalau kerja di tempat lain takutnya nggak sempat ngurusi rumah sama anak-anak nanti.”

Hal senada diungkapkan oleh informan Dewi (40 tahun):

“...kalau gajinya sih sikit disini. Tapi mau kerja disini karena dekat sama rumah. Jadi masih bisa ngurusi rumah. Kalau disiantar kan jauh, nanti jadi nggak bisa ngurus anak-anak sm bapaknya. Trus disini saya kerjanya Cuma sampai jam 12 aja. Jadi masih sempat ngurusi rumah”

Dari penuturan kedua informan diatas dapat diinterpretasikan jika buruh perempuan cenderung memilih jenis pekerjaan yang tidak mengganggu aktifitas rumah tangganya. Mayoritas perempuan sebagai pekerja pada sektor ini menunjukkan bahwa terjadi subordinasi terhadap perempuan di ruang publik. Perempuan terbatas memilih jenis pekerjaan karena tanggung jawab rumahnya yang tidak dapat ditinggalkan bahkan dikurangi. Sehingga para buruh memilih jenis pekerjaan di pembibitan sebagai buruh harian lepas yang notabene merupakan jenis pekerjaan yang kurang memiliki nilai prestise.

Selain karena alasan tanggung jawab rumah tangga, status pendidikan yang rendah menjadi faktor lain mengapa para perempuan bekerja di pembibitan. Tamatan yang rendah diakui sebagian informan sebagai bagian dari sistem sosial yang menganggap perempuan tidak


(43)

perlu sekolah tinggi-tinggi. Kondisi buruh perempuan yang berpendidikan rendah membuat perempuan semakin terbatas dalam memilih pekerjaan disamping memang terbatasnya lapangan pekerjaan. berikut kutipan transkrip wawancara dengan Informan Sepi (47 tahun) tentang status pendidikanya:

“...Saya ini kan Cuma lulusan SD, mana bisa kerja milih-milih. Dapat kerjaan ini aja udah bersyukur. Kadang saya nyesal dulu nggak mau ngelanjutin sekolah. Saya kira perempuan itu kerjaannya Cuma didapur, apalagi jaman dulu. Jadi nggak perlu sekolah tinggi-tinggi.”

Dari penuturan informan diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dalam hal mendapatkan pendidikan. Menurut perspektif feminisme liberal bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tak terkecuali dalam hal mendapatkan pendidikan.

4.3.2.3. Beban Kerja Ganda yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan

Banyaknya jumlah perempuan dalam beberapa dekade terakhir merupakan kesuksesan aliran feminisme dalam meningkatkan peran perempuan di dunia publik. Namun perempuan yang bekerja tidak begitu saja lepas dari tanggung jawab rumah tangganya. Selain bekerja di sebagai buruh harian lepas di PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi, para buruh perempuan juga harus bertanggung jawab penuh atas kondisi rumah tangganya. hal tersebut dijelaskan oleh Informan Rani (37 tahun):

“Bekerja ya bekerja, kalau urusan rumah udah nggak bisa di ganggu gugat. Capek juga iya. Tapi karena kita butuh harus


(44)

dikerjai. Selama bekerja harus bangun jam 4 atau jam 5 pagi biar sempat masak untuk sarapan anak sama suami. Nanti kalau pulang kerja barulah cari sayuran lagi, ngurusi anak lagi. kalau rumah harus beres, kan malu sama tetangga kalau anak-anak nggak terurus.”

Dari penjelasan diatas peneliti melihat bagaimana peran rumah tangga informan tepat menjadi prioritas walaupun mereka sudah bekerja di sektor publik. Kegagalan dalam mengurus rumah tangga merupakan hal yang paling dihindari. Hal demikian terjadi kerena sebagai istri dan ibu, buruh perempuan menganggap kondisi rumah tangga secara penuh merupakan tanggung jawabnya. Jadi apabila terjadi sesuatu dengan rumah tangga para perempuanlah yang harus bertanggung jawab dan menanggung malu. Maka sebisa mungkin para buruh perempuan menjaga keberadaan rumah tangganya agar tetap harmonis dengan cara menyelesaikan semua tanggung jawabnya baik di dalam rumah maupun untuk pekerjaannya.

Buruh perempuan pembibitan mengalokasikan waktunya baik sebagai ibu rumah tangga maupun buruh harian lepas di Pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Masuknya perempuan yang berstatus menikah kedalam dunia pekerjaan menimbulkan persoalan tersendiri bagi para buruh perempuan pembibitan. Tidak jarang peran ganda yang dijalani para buruh perempuan pendidikan berubah menjadi beban ganda. Menurut Rosadi (2010) dalam Kusumawati (2012:161) bahwa sebagian besar budaya masyarakat di Indonesia puada umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran perempuan sebagai pemeran utama dalam rumah tangga, yaitu; melahirkan dan mengasuh anak, menyiapkan


(45)

kebutuhan makanan, dan tata kelola ekonomi rumah tangga. adapun alokasi waktu buruh perempuan pembibitan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.9

Alokasi Waktu Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Buruh Harian Lepas (BHL) Pembibitan

Alokasi Waktu Wanita Dalam Pekerjaan Subjek Penelitian Umur/ tahun Status Domestik Sebagai ibu rumah tangga (dalam jam/hari) Publik sebagai buruh pembibitan (dalam jam/hari) Total Jam Kerja/ Hari

Rani 37 Istri 11 5 16

Dewi 47 Istri 10 5 15

Sepi 40 Istri 11 5 16

Ria 27 Istri 8 8 16

Siti 39 Istri 9 5 14

Sumber : Data Hasil Wawancara, Januari 2016

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa peremuan Buruh harian lepas pembibitan lebih banyak menglokasikan waktunya di ruang domestik daripada di sektor publik. Alokasi waktu yang digunakan di ruang domestik rata-rata berkisar antara 8 hingga 11 jam sehari, sedangkan alokasi waktu yang digunakan untuk ruang publik hanya berkisar antara 5 hingga 8 jam perhari. Namun jika diakumulasikan, alokasi waktu yang digunakan bekerja di ruang domestik maupun di ruang publik berkisar antara 14 hingga 16 jam perhari. Akumulasi Alokasi waktu seperti ini tentunya jauh lebih banyak dibandingkan dengan alokasi waktu laki-laki di sektor publik yang hanya berkisar diantara 9-10 jam perhari. Hal demikian tentunya menyebabkan waktu istirahat yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Beratnya beban ganda yang diemban oleh para perempuan diperparah oleh kurangnya kontribusi suami dalam aktifitas


(46)

domestik. Seperti yang dikemukakan informan Rani (37 tahun) berikut ini :

“...kalau suami nggak ada ngerjain rumah. Tapi gini ya, dia kan capek juga kerja, pulangnya pun nanti uda malam baru sampai rumah. Suami saya kan supir.”

Hal senada disampaikan Informan Sepi (47 tahun):

“...suami kan tanggung jawabnya nyari duit.. kalau bantu-bantu pernah juga tapi nggak sering. Itupun nggak banyak, paling dia bantuin masang gas atau bereskan pekarangan. Kalau bantu nyuci sm masak dia nggak pernah.”

Dari penuturan dua informan diatas dapat dimengerti bahwa para suami cenderung tidak membantu mereka dalam kegiatan kerumahtanggan. Jikapun ada, porsinya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan. Pembagian kerja yang timpang antara laki-laki dan perempuan merupakan manifestasi ketidakadilan yang disebabkan oleh sikap egoisme suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Jika ada pekerjaan rumah tangga yang dilakukan, maka itu adalah pekerjaan yang sifatnya membutuhkan tenaga besar seperti mengangkat tabung gas dan membersihkan pekarangan. Stereotip semacam ini merupakan bentuk bias gender yang semakin memperkuat terjadinya beban ganda yang dialami perempuan.

Kewajiban yang di emban perempuan yang bekerja tentunya juga sangat besar. Dimana ia harus berada di dalam sektor domestik dan sektor publik secara bersamaan. meskipun merasa kerepotan, sebagian besar perempuan buruh pembibitan ini ternyata tidak merasa keberatan. Meskipun kadang mereka merasa lelah dan bosan, namun mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik dan sudah


(47)

seharusnya dilakukan oleh seorang istri maupun ibu dalam keluarga. Saat pendapatan suami masih kurang, maka para buruh perempuan mengambil peran untuk menambah penghasilan untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga, meskipun menjadi beban yang berat karena harus menjalani beban ganda. Hal ini sesuai dengan pendapat Informan Siti (39 tahun) sebagai berikut:

“...Kerja disini capek sih. Tapi kerja disini kan bisa nambah penghasilan suami yang kurang. Nanti uangnya untuk anak-anak sekolah. Dulu sempat jual-jualan. Tapi kadang nggak laku jadi rugi. Kalau kerja kan pasti dapat gaji. Walaupun sedikit, tapi bs untuk membantu.”

Kontribusi buruh perempuan terhadap ekonomi keluarga ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar dimana upah yang didapatkan dari bekerja digunakan untuk keperluan anak sekolah maupun keperluan rumah tangga lainnya. Walaupun upah yang diterima masih jauh dari cukup, namun mereka tetap bersyukur karena masih bisa dipekerjakan dan mendapatkan gaji.

Keberadaan perempuan dalam peran ganda tentunya tidak terlepas dari keputusan suami yang tidak merasa keberatan jika istrinya bekerja di sektor publik. Seperti yang dikemukakan informan Yani (37 Tahun) seperti berikut ini :

“...Apalagi suami mendukung, yang penting kata suami kuat ngerjakannya, jangan terlalu capek.kalau suami nggak nginjinin ya saya nggak mungkin pergi kerja kayak gini”

Penuturan informan yani menjelaskan tentang bagaimana seorang istri harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari suami untuk bisa bekerja. Ijin tersebut penting karena tugas utama sebagai seorang istri


(48)

dan ibu tidak boleh semata-mata ditinggalkan karena alasan pekerjaan. hal demikian disampaikan oleh informan Indra (45tahun) yang merupakan suami dari informan kunci Dewi, berikut kutipan transkrip wawancaranya :

“Saya tidak mempersalahkan jika istri di bibitan sampai siang. Yang penting kalau udah kerja jangan lupakan rumah sama anak-anak.”

Hal tersebut senada dengan apa yang dikatan oleh informan Silaban (28 tahun) yang merupakan suami dari informan kunci ria, berikut hasil kutipan wawancaranya:

“Saya bilang sama istri jangan terlalu capek. Kalau nggak kuat ya nggak usah dipaksakan. Tapi saya kasihan juga kalau dia nggak kerja, nggak tau mau ngapain dirumah. Anak-anak sekolah saya juga kerja. Jadi waktunya banyak kosong, sayang juga kalau nggak dipakai.”

Penuturan kedua informan diatas menjelaskan bahwa pada umumnya tidak keberatan apabila istrinya memiliki peran ganda asal pekerjaan rumah tangga tetap dilaksanakan dengan baik. Meskipun perempuan sudah memasuki ruang publik sebagai pencari nafkah, namun mereka tetap diharapkan menjalankan peran domestiknya dengan baik. Menurut Wilson dalam Kusumawati (2012:163), hal ini berkaitan dengan pandangan tradisional yang didukung kuat oleh ideologi, yaitu pandangan yang mengasumsikan perempuan “secara alami” tepat untuk peran-peran domestik dan pengasuhan (maternal) dan laki-laki dengan peran pencari nafkah, sehingga ketika semakin banyak perempuan memasuki ranah publik, harapan sosial bahwa perempuan yang menikah bertanggung jawab utama atas pekerjaan domestik tetap berlangsung.


(49)

Hubungan antara buruh perempuan pembibitan dengan anak tetap berjalan dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh informan Rani (37 tahun) seperti berikut ini:

“kalau waktu untuk anak-anak kalau terkurangi nggak ya. Karena pagi-pagi kan mereka uda sekolah, sebelum berangkat saya sudah buatin sarapannya sama bajunya. Jadi saya masih perhatian sm anak-anak. nanti juga saya udah pulang kerja duluan sebelum anak-anak pulang sekolah. Jadi masih bisalah bagi waktunya untuk anak-anak. nanti sore kalau pergi ngaji mereka masih bisa saya urusi lagi. Masih tetaplah. Cuma waktu yang kosong awak gunakan untuk bekerja.”

Dari hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa meskipun perempuan bekerja setiap harinya, namun intensitas interaksi dengan anak-anaknya tidak terkurangi sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena sebelum berangkat kerja para perempuan pembibitan sudah menyiapkan anak untuk berangkat sekolah seperti menyiapkan sarapan dan seragam sekolah anak. mereka biasanya sudah pulang dari tempat kerja sebelum anak-anak pulang sekolah. Sebagian besar dari informan membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas rumah dari sekolah. Hal ini adalah bagian dari fungsi produksi sosial perempuan dalam keluarga yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang menunjang status keluarga.

Dalam perspektif feminisme liberal fakta bahwa perempuan sudah mendapatkan ruang untuk berekspresi di ruang publik teentunya menjadi kemenangan gerakan perempuan dan kemenangan feminisme liberal (Ritzer & Goodman 2011:422). Namun ketimpangan masih dialami perempuan dalam bentuk beban kerja ganda seperti alokasi waktu yang lebih panjang untuk bekerja daripada laki-laki dan waktu istirahat yang


(50)

lebih sedikit daripada laki-laki. dua ruang yang secara konstan berinteraksi dalam kehidupan perempuan (dan lebih banyak ketimbang laki-laki) dan kedua ruang itu masih dibentuk oleh ideologi patriakis dan seksisme (Davis, 1997 dalam Ritzer & Goodman 2011:422).

4.3.2.4. Stereotip pada Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra bakuatau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau bias.

Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan.

Pelebelan yang bernuansa gender juga dialami oleh para buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Lebel seperti pencari nafkah tambahan, sebagai penanggung jawab ranah domestik hingga lebel yang mengarah kepada sifat atau peringai perempuan seringkali ditimpakan kepada perempuan. Sifat feminisme perempuan seperti, sifat lemah lembut, irasional, sabar, mudah diatur, penyayang, telaten dan cengeng dijadikan alasan mempertahankan


(51)

perbedaan gender yang berlangsung. Selain itu peran publik dan sistem pembagian kerja di masyarakat seringkali didasarkan atas lebel yang diberikan atas dasar anggapan gender. Di lokasi Pembibitan PTPN IV Bah Jambi ditemui fakta bahwa mayoritas buruh harian lepas adalah perempuan yang sudah menikah. Keberadaan perempuan sebagai mayoritas pada sektor ini tentunya memiliki alasan atau tidak terjadi begitu saja. Menurut pihak manajemen PTPN IV Bah Jambi, penggunaan tenaga kerja perempuan dalam pengerjaan lahan pembibitan dilakukan untuk mendapatkan efektifitas dalam hal produksi. Dibawah ini adalah kutipan wawancara peneliti dengan Lily Suryadi yang merupakan Mandor Utama di pembibitan Unit Usaha Bah Jambi :

“...Ya.. kalau di pembibitan ini sama kan ibaratnya seperti memelihara bayi, namanya memelihara bibit yang umur 3 bulan kita samakan aja dengan memelihara bayi. Bayi itu harus diperlakukan secara khusus, diibutuhkan kesabaran, kelembutan dan ketelatenan. Kalau laki-laki dia lebih kasar. Kayak nyiram itu harus betul-betul, pakai hati. Kalau perempuan yang kita kerjakan rasa sayang dia itu lebih sama tanaman itu. kayak ngurus anaknya nanti dibuatnya. Jadi yang kita harapkan dari perempuan itu yah kelembutan sifatnya. Dulu sudah pernah mempekerjakan laki-laki tapi hasilnya kurang efektif karena terlalu kasar dan mau cepat aja kerjanya, biar cepat pulang. Sedangkan bibit mana bisa diperlakukan kayak gitu, rusak dia. Mengurus bibit itu nggak perlu kecepatan. Contoh seperti menyiram bibit, kalau laki-laki langsung disiramnya kencang-kencang padahal udah kita arahkan. Kalau kayak gitu bisa keluar bibitnya, akarnya keluar, menguning terus mati. Kalau perempuan beda cara kerjanya. Dia lebih sabar dan lembut kalau kerja.”

Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa pihak manajemen PTPN IV Bah Jambi menganalogikan posisi tanaman bibit seperti bayi manusia yang baru lahir. Sifat keibuan perempuan yang penyayang dan sudah terbiasa merawat bayi merupakan alasan memilih


(52)

perempuan untuk mengerjakan lahan pembibitan. Pembagian kerja berdasarkan stereotip gender digunakan untuk mencapai efektifitas kerja. Kondisi bibit yang rentan perlakuan kasar membuat para perempuan dinilai tepat untuk mengerjakan lahan di pembibitan. Asumsi dan fakta bahwa perempuan lebih sabar dan penyayang daripada laki-laki dijadikan alasan utama pembagian kerja.

Pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan gender dapat dikatakan sebagai keadaan yang memperkuat kondisi ketidakadilan gender. Jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam lokasi kerja pembibitan pada umumnya mengarah kepada pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan tenaga besar dan jenis pekerjaan yang memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Asumsi bahwa perempuan lebih lemah secara fisik daripada laki-laki serta lebih sabar dan telaten menempatkan perempuan dalam jenis pekerjaan ini. Namun yang menjadi perhatian peneliti adalah perbedaan upah yang diterima masing-masing jenis pekerjaan menmpatkan perempuan dalam posisi yang tersubordinat dari laki-laki. Jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar dan keahlian khusus seperti menanam, membongkar muat dan meracun bibit merupakan pekerjaan yang dilakukan buruh laki-laki di pembibitan Bah Jambi. Jenis pekeejaan ini mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para buruh perempuan seperti penyiraman, penyiangan dan pemupukan bibit yang cenderung lebih mengutamakan aspek kesabaran dan ketelatenan


(53)

daripada aspek tenaga maupun keahlian. Pembedaan upah yang terjadi dibenarkan oleh Informan Lili Suryadi (50 tahun) sebagai beritkut:

“Kalau untuk penyiram dan penyiang atas kalau mereka bekerja penuh selama 8 jam, mereka bisa dapat hampir 1 juta tiap bulannya. Kalau untuk pemupuk sama menyiang bawah bisa sampai 1,2 juta kalau kerja penuh. Tapi kalau menanam, meracun sama bongkar muat tanaman bibit bisa sampai 1,5 juta perbulannya. Jadi bervariasi, tergantung apa yang dikerjai. Kalau memang pekerjaannya itu setengah laki-laki kayak menanam sama bongkar muat gajinya pasti lebih besar.”

Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bagaimana pembedaan upah dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (seks). Kategorissasi jenis pekerjaan dan kisaran upah dapat lebih mudah dipahami dengan melihat tabel dibawah ini :

Tabel 4.10

Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin dan kisaran Upah

No. Jenis Pekerjaan Pekerja

(Perempuan /Laki-laki)

Kisaran Upah/bulan (Rupiah)

1 Penyiram bibit Perempuan 700.000 – 1.000.000 2 Penyiang atas Perempuan 700.000 – 1.000.000 3 Penyiang bawah Perempuan 900.000 – 1.200.000 4 Pemupukan bibit Perempuan 900.000 – 1.200.000 5 Penanaman bibit Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 6 Bongkar muat bibit Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 7 Pemberantasan Hama/

meracun

Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 Sumber : data hasil wawancara dengan mandor 1 pembibitan

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas bagaimana pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dimana perempuan cenderung bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki upah lebih rendah daripada jenis


(54)

pekerjaan yang dilakukan laki-laki. Kondisi pembagian kerja yang demikian merupakan hasil dari stereotip yang melekat pada masing-masing jenis kelamin.

Stereotip lainnya yang melekat pada diri para perempuan yang dijadikan pertimbangan perusahaan yang kaitannya dengan rekrutmen para buruh harian lepas adalah sifat penurut dan memiliki rasa malu yang tinggi. Dua sifat yang dimiliki para perempuan berfungsi terhadap efektifitas mandor dalam melakukan koordinasi dengan para perempuan BHL. Berikut Hasil kutipan wawancara dengan Informan Lili Suryadi yang menjelaskan hal diatas:

“... kalau laki-laki waktu diawasi bagus, tapi kalau nggak kita awasi sering membandel. Dulu sudah pernah mempekerjakan laki-laki tapi hasilnya kurang efektif karena terlalu kasar mau cepat aja kerjanya, kalau nggak diawasi. Maksudnya biar cepat pulang. Kalau perempuan, diperintah sekali aja cukup, karena reasa malunya itu besar. Dibilangi sekali aja uda ngerti. Beda dibandingkan dengan laki-laki. kalau perempuan uda ditegur sekali gak bakalan diulangi lagi.

Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa perempuan lebih mudah diatur daripada laki-laki karena sifat penurut yang dimilikinya. Rasa tahu malu yang besar memudahkan mandor dalam memberikan perintah dan mengawasi para BHL. Stereotip seperti ini berpengaruh positif terhadap perusahaan dalam mencapai target industri di pembibitan. Sebagai salah satu pembibitan terbaik di Sumatera Utara, pembibitan PTPN Unit Usaha Bah Jambi menekankan aspek produktifitas daripada aspek kemanusiaan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis yang menjadikan perempuan sebagai alat produksi yang bermutu dengan ongkos produksi yang murah.


(55)

4.3.2.5. Kekerasan Yang Dialami Buruh Perempuan Perkebunan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Dari penelusuran yang dilakukan peneliti melalui beberapa teknik pengumpulan data, peneliti sangat sulit menemukan kekerasan yang sifatnya kekerasan fisik maupun non fisik dari keluarga maupun lingkungan kerja. Kekerasan secara langsung menurut sebagian besar informan tidak pernah dialami. Jikapun ada maka menurut sebagian buruh perempuan tidak baik menceritakan permasalahan rumah tangga di ruang publik. Seperti yang dikemukakan informan Rani (37 tahun) dibawah ini:

“Namanya keluarga pasti pernah ada cekcok. Tapi suami tidak pernah sampai main tangan. Kalaupun ada pamali nyritainnya sama orang lain. Nggak baik.”


(56)

Peneliti tidak dapat menggali lebih dalam mengenai kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan. Hasil temuan di lapangan menunjukkan tidak terjadi kekerasan secara fisik maupun non fisik terhadap buruh perempuan pembibitan dalam kedua perannya.


(57)

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uaraian-uraian yang telah dikemukakan oleh penulis, dimulai dari bab I sampai dengan bab IV, banyak hal yang telah ditemukan oleh penulis baik masalah teoritis ataupun masalah teknis yang berkaitan dengan judul yang telah diteliti oleh penulis maupun kesimpulan dari hasil pengolahan data dan wawancara dengan para buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi, mandor pembibitan dan suami buruh perempuan pembibitan maka diperoleh kesimpulan yaitu :

1. Buruh perempuan pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi menjalani kehidupan yang berbeda dengan perempuan pada umumnya. Aktifitas sehari-hari sebagai buruh di tempat kerja dan sebagai istri atau ibu di rumah menuntut mereka untuk cermat dalam membagi waktu agar kedua aktifitasnya dapat berjalan dengan lancar.

Pekerjaan seperti memupuk, menyiang, dan menyiram tanaman bibit adalah jenis-jenis pekerjaan yang tiap harinya mereka lakukan ketika bekerja. Sebagai BHL di Pembibitan berkerja dari pukul 07:00 hingga pukul 12:00 dan kadang ada yang melanjutkan untuk shift sore dari pukul 13:00 hingga pukul 16:00 untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sebagai seorang istri yang bertanggung jawab terhadap kondisi rumah tangga, buruh perempuan pembibitan juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat bekerja. Sebagai seorang perempuan yang telah berkeluarga, mereka harus mengkombinasikan dengan baik


(58)

waktunya untuk rumah dan pekerjaan. Namun prioritas terbesar yang menjadi tanggung jawabnya adalah rumah tangga.

Selain aktifitas utama sebagai istri, ibu dan pencari nafkah dalam rumah tangga, buuh perempuan juga tidak terlepas dari kegiatan sosial maupun keagamaan. Misalnya seperti pengajian yang dilaksanakan rutin sekali seminggu di lingkungan tempat tinggalnya yang diyaknini dapat memperkuat keimanan mereka disamping dapat menambah wawasan mereka tentang ilmu keagamaan.

2. Ketidakadilan gender yang dialami oleh buruh harian lepas PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi antara lain termanifestasi kedalam beberapa bentuk yaitu :

a. Marginalisasi

Anggapan bahwa perempuan bekerja sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Proses marginalisasi lain yang peneliti temukan di lokasi pembibitan adalah sebagian besar pembagian kerja sangat ditentukan oleh sex (jenis kelamin). Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh BHL laki-laki cenderung mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan.

b. Subordinasi

buruh perempuan cenderung memilih jenis pekerjaan yang tidak mengganggu aktifitas rumah tangganya. Mayoritas perempuan sebagai pekerja pada sektor ini menunjukkan bahwa terjadi


(1)

terimakasih saja sepertinya tidak adil bila dibandingkan dengan semua kebaikan yang penulis terima selama ini dari beliau. Tapi dalam kesempatan ini penulis hanya bisa mengucapkan “big thanks Nande”. Dikesempatan lain penulis pasti akan membalas semuanya.

10.Para sahabat Juli Water, Reno, Rencius, Raymond Dewantara Boy, Memet, Bebe, dan lain-lain yang tak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Penulis menucapkan banyak terimakasih buat pertemanan yang tidak ternilai harganya selama kita sama-sama di Medan.

11.Teman-teman seperjuangan stambuk 2011 Theo Pilus, Bani Rizky, Azhary, Hezron, Samuel, Doddy, Defasari, ziya, dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini. Terimakasih banyak atas semangat dan kerja samanya selama perkuliahan ini.

12.Abang/kakak senior bang Troy Sirait, Kak Reni, Bang Ahok, Bang Waren, bang Adian, dan lain-lain. Terimakasih buat motivasi dan materi ringan yang diberikan kepada penulis hingga saat ini.

13.Keluarga besar GmnI Fisip USU. Terimakasih untuk banyak ilmu dan pengalaman yang tidak mungkin penulis bisa dapatkan ditempat lain. Semoga tetap jaya. Marhaen...Menang!!!

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, dan banyak kekurangan baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan materi. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Sehingga Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun mudah-mudahan dikemudian hari dapat memperbaiki segala kekuranganya.


(2)

Akhirnya, Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak dan apabila ada yang tidak tersebutkan Penulis mohon maaf, dengan besar harapan semoga skripsi yang ditulis oleh Penulis ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

Medan 2 April 2015


(3)

i   

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan Abstrak

Abstract Kata Pengantar

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Perumusan Masalah ...8

1.3. Tujuan Penelitian ...8

1.4. Manfaat Penelitian ...9

1.4.1 Manfaat Teoritis ...9

1.4.2 Manfaat Praktis ...9

1.5. Definisi Konsep ...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...13

2.1. Konsep Gender...13

2.2. Konsep Wilayah Domestik dan Wilayah Publik...16

2.3.Teori Feminisme Liberal...19

2.4.Ketidakadilan Gender...21

2.4.1. Gender dan Marginalisasi Perempuan...22

2.4.2. Gender dan Subordinasi Pekerjaan Perempuan...22

2.4.3. Gender dan Stereotip atas Pekerjaan Perempuan...22

2.4.4. Gender dan Beban Kerja Lebih Berat...23

2.4.5. Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan...24


(4)

2.5. Studi Pendahuluan yang pernah dilakukan...24

2.5.1. Peran Ganda Pemetik Teh...24

2.5.2. Peran Ganda Perempuan (Sebuah Kajian Pada Karyawati Unit Kerja Spaning 2 PT. Apac Inti Corpora...26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...28

3.1. Jenis Penelitian ...28

3.2. Lokasi Penelitian ...28

3.3. Unit Analisis Dan Informan ...29

3.3.1. Unit Analisis...29

3.3.2. Informan...29

3.4. Teknik Pengumpulan Data ...30

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Primer...30

3.4.2.Teknik Pengumpulan Data Sekunder ...31

3.5. Interpretasi Data ...31

3.6. Jadwal Kegiatan ...32

3.7. Keterbatasan Penelitian ...32

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA ...34

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………...34

4.1.1 Deskripsi Singkat Nagori Bah Jambi………...34

4.1.2 Demografi Penduduk...36

4.1.3 Profil PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...40

4.1.3.1. Sejarah Singkat PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...40

4.1.3.2. Letak Geografis...41

4.1.3.3. Produk yang Dihasilkan...41


(5)

iii   

4.1.3.5. Struktur Organisasi...43

4.1.3.6. Sumber Daya Manusia...45

4.1.3.7. Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...45

4.1.4 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat perkebunan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...49

4.1.5 Interaksi Sosial masyarakat Perkebunan di Bah Jambi...50

4.2. Profil Informan …...53

4.3.Interpretasi Data...59

4.3.1. Kehidupan Buruh Perempuan Pembibitan KelapaSawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...59

4.3.2. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender yang dialami Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi...62

4.3.2.1. Marginalisasi Terhadap Buruh Perempuan Pembibitan...63

4.3.2.2. Subordinasi yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan...66

4.3.2.3. Beban Kerja Ganda yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan...68

4.3.2.4. Stereotipe pada Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit...75

4.3.2.5. Kekerasan Yang Dialami Buruh Perempuan Perkebunan...80

BAB V PENUTUP ………...………... 82

5.1. Kesimpulan...82

5.2. Saran ...86

Daftar Pustaka ...87 LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Luas wilayah menurut Nagori/Kelurahan di Kecamatan

Jawa Maraja Bah Jambi ... 34 Tabel 4.2. Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahan dan jenis Penggunaan

Lahan di Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi ... 36 Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Nagori Bah Jambi berdasarkan Jenis Kelamin... 37 Tabel 4.4. Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Agamad i Nagori Bah Jambi... 37 Tabel 4.5. Klasifikasi Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis

Kegiatan/Pekerjaan di Nagori/Kelurahan Bah Jambi... 37 Tabel 4.6. Klasifikasi Penduduk Nagori/Kelurahan Bah Jambi Berdasarkan

tingkat Pendidikan ... 39 Tabel 4.7. Tabel PelangganUtama PTPN IV Bah Jambi ... 42 Tabel 4.8. Formasi Karyawan BerdasarkanGolongan………... 45 Tabel 4.9. Alokasi Waktu Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Buruh

Harian Lepas (BHL) Pembibitan ... 70 Tabel 4.10. Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin ………... 78


Dokumen yang terkait

Budaya Politik Masyarakat Perkebunan (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)

0 26 103

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 30 91

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 0 10

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 8

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 10

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 2

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep gender - Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 12

Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 12