BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan perkebunan termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan
modernisasi. Di negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang
diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial
1
. Sebelum mengenal sistem perkebunan dari barat, masyarakat agraris di negara-negara
berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian pertanian tradisional. Usaha kebun sering merupakan usaha tambahan atau
pelengkap dari pertanian pokok terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat
modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja yang berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada pasar, dan lebih berorientasi
kepada kebutuhan subsisten
2
Penetrasi kekuasaan politik dan ekonomi barat telah menagkibatkan terjadinya proses transformasi struktural dari struktur politik dan ekonomi
tradisional ke arah struktur politik dan ekonomi kolonial dan modern .
3
1
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 3
2
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Ibid. hal 4
3
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Ibid. hal. 5
. Sistem perkebunan dibentuk dalam usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat
padat modal capital intensive, penggunaan areal pertanahan yang luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja
Universitas Sumatera Utara
upahan wage labour, struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, dan
penanaman tanaman komersial commercial crops yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia
4
Sejarah perkebunan Indonesia memang sangat ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
ditetapakan dari waktu ke waktu telah mewarnai bentuk perkebunan hingga sampai seperti saat ini
.
5
. Berpangkal pada doktrin Kejayaan glory, kekayaan gold dan penyebaran agama gospel. Gerakan kolonialisme barat pada tahap
awal telah melancarkan kegiatan ekspansi kekuasaan teritorial untuk membangun kekuasaan dominasi kolonial. Dampak penting dari gerakan
kolonialisme ialah timbulnya sistem kolonial colonial system dan situasi kolonial colonial situation di negara jajahan. Sistem kolonial dan situasi
kolonial telah mencipatakan sistem hubungan kolonial antara pihak penguasa kolonial dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak jajahan dan
negara induknya
6
Perwujudan dominasi kolonial berpusat pada golongan minoritas yang memerintah terhadap golongan mayoritas yang diperintah. Dominasi kolonial
tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan politik di tangan kekuasaan kolonial, tetapi juga dalam eksploitasi dan akumulasi sumber
kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara induk. Dominasi minoritas- mayoritas ini mendasari pola hubungan superioritas-inferioritas antara
penguasa dan yang dikuasai dalam segala bidang kehidupan, baik bidang politik, militer, ekonomi, sosial maupun kebudayaan
.
4
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Ibid. hal 4
5
Mubyar to. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 16.
6
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Op. cit. hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Sistem kolonial menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial
yang hierarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah di puncak teratas dari strukur masyarakat tanah jajahan. Dalam struktur masyarakat
kolonial diskriminasi mendasari sistem pergailan dalam berbagai dimensi kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Diskriminasi
menjadi inti hubungan sosial dan menjadi faktor penguat dalam hubungan kolonial antara yang memerintah dan yang diperintah
7
Sistem dominasi, eksploitasi dan diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial telah menciptakan hubungan ketergantungan dan jurang
perbedaan antara pusat dan daerah, antara negara jajahan dan negara induk pada pihak lain. Dikotomi hubungan depedensi antara negara induk dan
negara jajahan, pada dasarnya masih dapat dijumpai dalam hubungan antara apa yang disebut negara-negara pusat central atau negara maju developed
countries dan negara-negara berkembang developing atau under developed countries dari bangsa-bangsa pinggiran peripherial
.
8
. Dikotomi hubungan depedensi
9
semacam ini pada dasarnya juga merupakan hasil perkembangan sistem kapitalisme, dari sistem merkantilisme pada masa awal sampai ke
sistem korporasi multinasional multinational corporation yang berlaku pada masa kini
10
Hubungan antara daerah jajahan dengan daerah pusat penjajahan boleh dikatakan hampir tidak pernah memberikan keuntungan finansial bagi negara-
.
7
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Ibid. hal. 6
8
Stavenhagen, Rodolvo. 1975. Social Classes in Agrarian Societies. New York: Anchor Books. Hal 3- 8
9
Lihat Bakry, Umar S. 1997. Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Jaya Baya. Hal 66-71
10
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Op. cit. hal. 6-7
Universitas Sumatera Utara
negara terjajah. Belanda khususnya di Indonesia sejak merkantilisme hingga kapitalisme dalam pandangan tertentu dianggap sebagai keberhasilan dalam
menanamkan model dari sebuah sistem ekonomi yang dapat diandalkan. Penetrasi kapitalisme utamanya bersumber dari keberhasilan Belanda dalam
mengadopsikan sistem ekonomi modern
11
Pada permulaan masa penjajahan di Indonesia awal abad ke 17, Belanda melalui VOC yang merupakan suatu sindikat dagang memusatkan
perhatiannya pada masalah perdagangan semata-mata. Pada waktu itu yang dianggap penting adalah bagaimana dengan segala cara dapat terus diperoleh
hasil bumi Indonesia yang sangat laku di pasaran Eropa tanpa harus mengusahakan hasil bumi itu secara langsung. Hal ini dilakukan dengan cara
membeli hasil bumi dari penduduk atau melalaui perjanjian pembelian dengan para raja-rajanya
12
Adapun taktik yang dijalankan oleh Belanda adalah dengan menjalankan monopoli dan pungutan paksa. Dalam perkembangan
selanjutnya, dengan meningkatnya permintaan bahan rempah-rempah di pasar internasional, kemudian kebun-kebun rempah-rempah diperluas untuk
memenuhi permintan tersebut. Tidak hanya perkebunan rempah-rempah yang diperluas, tetapi perluasan ini menyangkut tanaman-tanaman lain seperti kopi
di Priyangan .
13
11
lihat Yanuar, Ikbar. 2002. Ekonomi Politik Internasional. Bandung: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi. Hal. 104-108
12
Mubyarto. Op. cit. hal. 16
13
Sistem pengusahaan kopi di Priyangan dikenal dengan Priyangan stelsel
dan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Bupati untuk seterusnya diserahkan kepada Kumpeni.
Universitas Sumatera Utara
Menurut ketentuan uang pembayaran yang diberikan VOC diserahkan kepada penduduk
14
Sebagai akibat terjadinya Revolusi Prancis, negara–negara di Eropa termasuk Belanda dilanda oleh paham dan cita-cita liberalisme. Perkembangan
politik Belanda diwarnai oleh munculnya dua partai yaitu yang beraliran liberal dan yang beraliran konservatif. Kedua paham tersebut mempunyai
pandangan yang berbeda dalam pengelolaan tanah jajahan. Kelompok liberal menghendaki agar pemerintah mengupayakan penghapusan verplichten
.
15
Raffles mengubah sistem pungutan paksa yang dijalankan oleh VOC menjadi sistem pungutan pajak tanah landrente. Dengan cara ini rakyat
“dibebaskan” dari segala unsur paksaan, dan sebaliknya rakyat diberi “kebebasan” baik dalam menentukan tanaman-tanaman yang dikehendaki
maupun dalam menentukan penggunaan hasil panennya serta
memberikan hak tanah secara perorangan bagi pribumi. Sementara golongan konservatif menghendaki tetap dipertahankannya cara lama yang jelas
memenguntungkan demi kemakmuran setinggi-tinginya bagi negeri Belanda Daendles Belanda dan Rafles Inggris yang berkuasa di Indonesia
setelah bubarnya VOC, merupakan tokoh-tokoh penguasa yang menganut paham liberal. Mereka memperjuangkan diterapkannya kebebasan perorangan,
baik dalam hak milik tanah, bercocok tanam, berdagang, menggunakan hasil tanaman, maupun dalam pemberian kepastian hukum dan keadilan bagi
rakyat tanah jajahan.
16
14
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Op. cit. hal. 33-34
15
Pajak yang berupa hasil bumi
16
Mubyarto. Op. cit. hal. 16-17
. Banyak cara dilakukan untuk meningkatkan ekspor seperti menyewakan kebun-kebun
Universitas Sumatera Utara
kepada kepala-kepala desa, mengadakan kontrak penyerahan hasil tanaman dan pembatasan kegiatan dagang orang-orang cina di pedesaan. Upaya-upaya
tersebut tetap tidak berhasil memajukan produksi tanaman ekspor. Bahkan secara keseluruhan, sistem sewa tanah yang telah berjalan hampir 20 tahun
1810-1830 ternyata tidak berhasil mewujudkan tujuannya yaitu tercapainya kemakmuran rakyat dan meningkatnya produksi tanaman ekspor.
Dengan gagalnya pelaksanaan sistem sewa tanah dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, maka Johanes van
den Bosch yang pada tahun 1830 menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia, kemudian mengenalkan sistem tanam paksa Cultuurstelsel
17
Selama pelaksanaan tanam paksa, dapat dikatakan bahwa diantara tanaman ekspor yang dikembangkan, kopi dan tebu menduduki peran yang
terpenting karena mendapat keuntungan yang terbesar. Perusahaan-perusahaan gula melakukan perbaikan-perbaiakan jaringan irigasi sehingga sawah tempat
penanaman tebu menjadi subur pada gilirannya meningkatkan produksi beras juga. Dengan intensifikasi dalam penggarapan sawah ini terjadi peningkatan
hasil, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan bagi perorangan
. Sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib
dan sistem pajak tanah. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat bukan dalam bentuk uang pajak uang, tetapi berupa hasil pertanian.
18
Penderitaan rakyat Indonesia akibat diberlakukannya sistem tanam paksa telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama para
penganut paham liberal. Sejalan dengan hal ini, kaum borjuis Belanda yang .
17
Mubyarto. Ibid. hal 20
18
Geertz, Cliford. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara K.A. hal. 82
Universitas Sumatera Utara
mempunyai modal lebih, menuntut digantikannya sistem monopoli pemerintah dan sistem kerja paksa dengan sistem persaingan bebas dan kerja bebas
menurut konsepsi kapitalisme liberal yang saat itu sedang berkembang di Eropa
19
Tuntutan ini terjawab dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische Wet pada dasarnya berisi dua
hal pokok, yaitu memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk berkembang di Indonesia disamping melindungi hak-hak rakyat atas
tanahnya. Mulai saat itu kedudukan pemerintah diganti oleh kaum usahawan perkebunan. Sejak diundangkannya Agrarische Wet, maka perusahaan swasta
tumbuh subur baik di Jawa maupun di luar Jawa, terutama di daerah Sumatera Timur. Disamping itu, muncul pula perkebunan rakyat pribumi
.
20
Pada mulanya pembongkaran tanah-tanah perkebunan ditujukan terutama pada tanah-tanah perkebunan yang lahannya paling mudah diubah
seperti perkebunan-perkebunan tembakau. Namun pembukaan lahan baru ini kemudian meluas juga pada tanaman keras. Keadaan ini diperparah dengan
munculnya penduduk setempat untuk menguasai tanah-tanah perkebunan .
Selama masa pendudukan Jepang, terjadi penurunan produksi perkebunan yang sangat drastis. Dapat dikatakan bahwa ekonomi perkebunan
menjadi terhenti. Hal ini disebabkan oleh kebijaksanaan peningkatan produksi pangan yang dijalankan pemerintah Jepang untuk kepentingan ekonomi
perang, yang dilakukan dengan cara mengadakan pembatasan-pembatasan penggunaan lahan perkebunan untuk diganti dengan tanaman pangan dan
membongkar tanah-tanah perkebunan untuk digantikan tanaman pangan.
19
Harsono, Boedi. 1986. UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Bagian I, Jilid I. Jakarta: Jambatan. Hal. 18
20
Mubyarto. Op. cit. hal. 22-24
Universitas Sumatera Utara
setelah Jepang terusir dari Indonesia. Sebagai dampak Perang Dunia II, perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat
21
Berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar tahun 1949, perkebunan milik asing perlu dikembalikan, sedang perkebunan milik
pemerintah kolonial diambilalih oleh pemerintah Republik Indonesia, begitu pula milik orang asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemiliknya
.
22
Peristiwa ini diawali gagalnya Pemerintah Indonesia dalam memperoleh dukungan pada pemungutan suara di PBB mengenai tuntutan
kedaulatan Indonesia atas Irian Barat yang selama itu masih dikuasai Belanda. Hal ini terjadi pada tanggal 29 November 1957. Sebagai akibatnya, terjadi
gelombang protes yang berupa pemogokan buruh yang bekerja pada perusahaan Belanda, dan kemudian disusul dengan pengambilalihan
perusahaan dan perkebunan-perkebunan Belanda oleh para buruh dan kemudian militer
. Pemulihan perkebunan mulai dilaksanakan sekitar tahun 1951 dan beberapa
perusahaan perkebunan mulai beroperasi lagi. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958 terjadi peristiwa
pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia, termasuk perusahaam-perusahaan perkebunan. Peristiwa ini dikenal dengan
Nasionalisasi Perusahaan swasta Belanda.
23
Selanjutnya pada tanggal 9 Desember 1957, Perdana MenteriMenteri Pertahanan Djuanda Kartawidjaja selaku pimpinan tertinggi militer
mengeluarkan sebuah peraturan yang menempatkan semua perkebunan Belanda di bawah yuridiksi Republik Indonesia dan memberi wewenang
.
21
Mubyarto. Ibid. hal 24-25
22
Kartodirdjo, Sartono. Djoko Suryo. Op. cit. hal. 166
23
Mubyarto. Op. cit. hal. 26
Universitas Sumatera Utara
kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan yang dianggap perlu. Kemudian pada hari berikutnya Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan
tentang penempatan perkebunan Belanda di bawah pengawasan teknis sebuah organisasi baru yaitu PPN Baru yang cikal bakalnya adalah Perusahaan
Perkebunan Negara PPN dan Jawatan Perkebunan
24
Pada bulan Desember 1957 itu lebih dari 500 perkebunan Belanda atau lebih kurang 75 dari seluruh perkebunan yang ada di Indonesia, maupun
sejumlah besar perusahaan lainnya telah berada di bawah pengawasan militer
.
25
Karena hingga tahun 1958 Belanda tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah pada tekanan ekonomi Indonesia, maka pada bulan November 1958,
kabinet mengajukan Rancangan Undang-Undang Nasionalisasi, dan selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1958, Presiden Soekarno
menandatangani Undang-Undang nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
.
26
24
Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 206
25
Pelzer, Karl J. ibid. hal 208
26
Mubyarto. Loc. cit.
. Setelah terjadinya pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan
Belanda pada tahun 1957-1958, memang ada kecenderungan terjadinya penurunan produksi. Hal ini disebabkan karena adanya kemunduran
pengelolaan dan keterampilan teknis dalam perusahaan perkebunan setelah dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun sedikit demi sedikit hal ini dapat
diatasi, sehingga produksi dapat ditingkatkan lagi
Universitas Sumatera Utara
Dalam masa-masa selanjutnya, perkebunan mengalami perkembangan yang meningkat, dan sampai saat ini sektor perkebunan masih tetap
merupakan salah satu sumber penting perekonomian negara. Bagaimanakah kebudayaan politik pada masyarakat Perkebunan?
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan yang dimiliki kita dapat menggambarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan
politik negaranya; atau dengan kata lain kita bisa mengambarkan kebudayaan politiknya
27
2. Perumusan Masalah