Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu

(1)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

NURMILA ANWAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAANMENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Nurmila Anwar NRP: C551060081


(3)

ABSTRACT

NURMILA ANWAR. Characteristic of Chemical Physics of Territorial Water and Bearing with Distribution and also Abundance of Larva of Fish Bay of Palabuhan Ratu under Direction of DJISMAN MANURUNG and M. MUKHLIS KAMAL.

Three cruises were conducted in the shallow embayment, and six cruises for distribution ini sentral Bay of Palabuhan Ratu, west Java to study abundance and caracterisation of chemical physics of territorial water bearing of the early stages of fish (fish larva) during six month the late summer reproductive season (west season and transition period). Result of subdividing character of chemical physics of territorial water from each station yield three group of habitat that is: estuary, transition and oseanic. High densities of recently post larvae and preflexion larvae were observed during November 2007- April 2008 in estuary. The dominant species for example from family: Congridae, Gobiidae, Elopidae,

Mugilidae, Pomatomidae, Siganidae, Alepochepalidae, Chelodactylidae and Lutjanidae. Habitat of estuary found by species: Congridae, Siganus Spp., Liza

Spp. later;then Elopsaurus, Mugil Sp, Gobidae, Xenodermicthys, Siganus spinus

and Ostracion with overflows than 12-14 ind/m3 with entirety of mean per month more than 13 ind/m3. Stadia of Larva which is at most obtained by post of larva and juvenile. Species found in habitat of transition is equal to habitat of estuary is only differentiated by storey;level of density and what overflows. level of stadia even also still at gyration of prolarva and post of larva although there are some species of growth of stadianya have reached phase juvenile. composition of Species found in habitat of oseanic differ from habitat of estuary and transition because most species of exist in oseanic have the character of high stenohaline, some spesies found by a estuary species (eurihaline). For example

Xenodermicthys, Siganus Spinus, Kuhlia marginata, Signoglassidae, Ambassis marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus Sp, Siganus linneatus. In general the overall of station of oseanic more amount got by species of

Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus Sp, Bregmacerotidae, Aseraggodes Sp, and Urolophus sp. density and overflows in oseanic habitat much more a few compared to estuary and transition and than stadia most still yolk sac larvae and prolarva. In four of some cruises, larval size distribution moved progressively to larger larvae (By spasial); however, small-size, recently hatched larvae were low in the last cruise. The change in larval size coincided with intrusion of nutrient in the Bay as a result of current forcing and wave events. And by temporal the mean of a coastal station showed also presence of larval hake during month period and extremely high abundance of preflexion larvae in Februari, March and April 2008. The overall results from this study suggest that the Bay of Palabuhan Ratu is used by all fish spesies as a spawning and nursery area at the end of the west season season when environmental characteristics, such as food availability and nearshore retention are favourable for larval survival and for distribution in deep enveroment.

Keyword: Larvae, Ichtyoplankton, Bay of Palabuhan Ratu, Distribution and


(4)

RINGKASAN

NURMILA ANWAR.

Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu

Dibimbing oleh:

DJISMAN MANURUNG sebagai Ketua dan M. MUKHLIS KAMAL sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

`Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui kaitan antara karakter habitat dengan distribusi larva yang didasarkan pada parameter fisika kimia perairan dan pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di perairan Teluk Palabuhan Ratu. Dengan penelitian ini, akan diketahui sejauh mana kondisi ekologis larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu.

Pengumpulan data dilakukan dengan menyisir kolom perairan secara horizontal, pada 9 stasiun yang disebar berturut turut dari muara ke tengah teluk, menggunakan net larva 350-500 mikron. Parameter yang diukur untuk melihat keterkaitan fisika-kimia perairan dengan kelimpahan larva antara lain arus, gelombang, salinitas, pH, DO dan unsur nutrien penting yaitu: nitrat fosfat dan silika untuk melihat produktivitasnya. Data diolah dengan mengelompokkan stasiun yang sama tingkatan ciri fisik-kimianya melalui indeks similaritas.

Didapatkan tiga kelompok habitat hasil pengelompokan stasiun yaitu habitat muara, transisi dan laut lepas. Hasil perolehan komposisi jenis, kelimpahan, kepadatan, dominansi dan stadia larva disubsitusikan kedalam masing masing kelompoknya untuk melihat distribusi spasial dan temporal masing-masing larva dihabitatnya.

Habitat muara ditemukan spesies: Congridae, Siganus spp., Liza spp. kemudian Elopsaurus, Mugil sp, Gobidae Xenodermicthys, Siganus spinus dan Ostracion dengan kelimpahan 12-14 ind/m3 dengan keseluruhan rata-rata setiap bulannya lebih dari 13 ind/m3. Stadia larva yang paling banyak diperoleh adalah post larva dan juwana. Spesies yang ditemukan di habitat transisi sama dengan habitat muara hanya dibedakan oleh tingkat kepadatan dan kelimpahan. Tingkatan stadianya pun masih pada kisaran prolarva dan post larva walaupun terdapat beberapa spesies perkembangan stadianya telah mencapai fase juwana. Komposisi spesies yang ditemukan di habitat laut lepas berbeda dengan habitat muara dan transisi karena kebanyakan spesies yang ada di laut lepas bersifat stenohaline tinggi, beberapa diataranya ditemukan spesies muara (eurihaline). Antara lain Xenodermicthys, Siganus spinus, Kuhlia marginata, Signoglassidae, Ambassis marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus sp, Siganus linneatus. Secara umum dikeseluruhan stasiun laut lepas lebih banyak didapatkan spesies Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus sp,

Bregmacerotidae, Aseraggodes sp, dan urolophus sp. Kepadatan dan

kelimpahan di habitat laut lepas jauh lebih sedikit dibanding muara dan transisi dan stadia larvanyapun kebanyakan masih yolk sac larvae dan prolarva.


(5)

Berdasarkan hasil analisis regresi antara kelimpahan dan faktor oseanografi untuk keseluruhan bulan pengamatan hampir seluruhnya menunjukkan angka signifikan atau memiliki keterkaitan. Demikian pula dengan hubungan kelimpahan dengan nutrien menunjukkan hubungan korelasi yang besar kecuali nitrat dibeberapa bulan pengamatan menunjukkan nilai korelasi yang kecil, atau cenderung berkorelasi negatif. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa nutrien dan arus memegang peranan besar dalam transport dan distribusi larva secara spasial.

Kata kunci: Larva, Ichtyoplankton, Teluk Palabuhan Ratu, Distribusi dan kelimpahan, habitat muara, habitat transisi dan habitat laut lepas.


(6)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya


(7)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

NURMILA ANWAR

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Judul Tesis : Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu

Nama : Nurmila Anwar

N R P : C551060081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc. Dr.Ir. M.Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc. Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu),

agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),

dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;

dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,

dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,

dan supaya kamu bersyukur.

(Q.S. An Nahl : 14)

Karya ilmiah ini kupersembahkan untuk orang tua, adik-adik, keluarga dan teman-teman tercinta.

Kuhaturkan terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada orang tuaku: Abi H. Anwar Laku dan Ummi Hj. Rukmah, S.Ag. terkasih, atas do’a restu dan dorongan moril dalam setiap kegiatan Ananda,

semoga Allah SWT. meridhoi. Adik-adikku tersayang: Yusri Anwar, Yusran Anwar

dan M. Risky Arba Al Hikmah (Al hajj) Anwar. Kalian adalah motivatorku.


(11)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

NURMILA ANWAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(12)

PERNYATAANMENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

Nurmila Anwar NRP: C551060081


(13)

ABSTRACT

NURMILA ANWAR. Characteristic of Chemical Physics of Territorial Water and Bearing with Distribution and also Abundance of Larva of Fish Bay of Palabuhan Ratu under Direction of DJISMAN MANURUNG and M. MUKHLIS KAMAL.

Three cruises were conducted in the shallow embayment, and six cruises for distribution ini sentral Bay of Palabuhan Ratu, west Java to study abundance and caracterisation of chemical physics of territorial water bearing of the early stages of fish (fish larva) during six month the late summer reproductive season (west season and transition period). Result of subdividing character of chemical physics of territorial water from each station yield three group of habitat that is: estuary, transition and oseanic. High densities of recently post larvae and preflexion larvae were observed during November 2007- April 2008 in estuary. The dominant species for example from family: Congridae, Gobiidae, Elopidae,

Mugilidae, Pomatomidae, Siganidae, Alepochepalidae, Chelodactylidae and Lutjanidae. Habitat of estuary found by species: Congridae, Siganus Spp., Liza

Spp. later;then Elopsaurus, Mugil Sp, Gobidae, Xenodermicthys, Siganus spinus

and Ostracion with overflows than 12-14 ind/m3 with entirety of mean per month more than 13 ind/m3. Stadia of Larva which is at most obtained by post of larva and juvenile. Species found in habitat of transition is equal to habitat of estuary is only differentiated by storey;level of density and what overflows. level of stadia even also still at gyration of prolarva and post of larva although there are some species of growth of stadianya have reached phase juvenile. composition of Species found in habitat of oseanic differ from habitat of estuary and transition because most species of exist in oseanic have the character of high stenohaline, some spesies found by a estuary species (eurihaline). For example

Xenodermicthys, Siganus Spinus, Kuhlia marginata, Signoglassidae, Ambassis marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus Sp, Siganus linneatus. In general the overall of station of oseanic more amount got by species of

Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus Sp, Bregmacerotidae, Aseraggodes Sp, and Urolophus sp. density and overflows in oseanic habitat much more a few compared to estuary and transition and than stadia most still yolk sac larvae and prolarva. In four of some cruises, larval size distribution moved progressively to larger larvae (By spasial); however, small-size, recently hatched larvae were low in the last cruise. The change in larval size coincided with intrusion of nutrient in the Bay as a result of current forcing and wave events. And by temporal the mean of a coastal station showed also presence of larval hake during month period and extremely high abundance of preflexion larvae in Februari, March and April 2008. The overall results from this study suggest that the Bay of Palabuhan Ratu is used by all fish spesies as a spawning and nursery area at the end of the west season season when environmental characteristics, such as food availability and nearshore retention are favourable for larval survival and for distribution in deep enveroment.

Keyword: Larvae, Ichtyoplankton, Bay of Palabuhan Ratu, Distribution and


(14)

RINGKASAN

NURMILA ANWAR.

Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu

Dibimbing oleh:

DJISMAN MANURUNG sebagai Ketua dan M. MUKHLIS KAMAL sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

`Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui kaitan antara karakter habitat dengan distribusi larva yang didasarkan pada parameter fisika kimia perairan dan pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di perairan Teluk Palabuhan Ratu. Dengan penelitian ini, akan diketahui sejauh mana kondisi ekologis larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu.

Pengumpulan data dilakukan dengan menyisir kolom perairan secara horizontal, pada 9 stasiun yang disebar berturut turut dari muara ke tengah teluk, menggunakan net larva 350-500 mikron. Parameter yang diukur untuk melihat keterkaitan fisika-kimia perairan dengan kelimpahan larva antara lain arus, gelombang, salinitas, pH, DO dan unsur nutrien penting yaitu: nitrat fosfat dan silika untuk melihat produktivitasnya. Data diolah dengan mengelompokkan stasiun yang sama tingkatan ciri fisik-kimianya melalui indeks similaritas.

Didapatkan tiga kelompok habitat hasil pengelompokan stasiun yaitu habitat muara, transisi dan laut lepas. Hasil perolehan komposisi jenis, kelimpahan, kepadatan, dominansi dan stadia larva disubsitusikan kedalam masing masing kelompoknya untuk melihat distribusi spasial dan temporal masing-masing larva dihabitatnya.

Habitat muara ditemukan spesies: Congridae, Siganus spp., Liza spp. kemudian Elopsaurus, Mugil sp, Gobidae Xenodermicthys, Siganus spinus dan Ostracion dengan kelimpahan 12-14 ind/m3 dengan keseluruhan rata-rata setiap bulannya lebih dari 13 ind/m3. Stadia larva yang paling banyak diperoleh adalah post larva dan juwana. Spesies yang ditemukan di habitat transisi sama dengan habitat muara hanya dibedakan oleh tingkat kepadatan dan kelimpahan. Tingkatan stadianya pun masih pada kisaran prolarva dan post larva walaupun terdapat beberapa spesies perkembangan stadianya telah mencapai fase juwana. Komposisi spesies yang ditemukan di habitat laut lepas berbeda dengan habitat muara dan transisi karena kebanyakan spesies yang ada di laut lepas bersifat stenohaline tinggi, beberapa diataranya ditemukan spesies muara (eurihaline). Antara lain Xenodermicthys, Siganus spinus, Kuhlia marginata, Signoglassidae, Ambassis marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus sp, Siganus linneatus. Secara umum dikeseluruhan stasiun laut lepas lebih banyak didapatkan spesies Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus sp,

Bregmacerotidae, Aseraggodes sp, dan urolophus sp. Kepadatan dan

kelimpahan di habitat laut lepas jauh lebih sedikit dibanding muara dan transisi dan stadia larvanyapun kebanyakan masih yolk sac larvae dan prolarva.


(15)

Berdasarkan hasil analisis regresi antara kelimpahan dan faktor oseanografi untuk keseluruhan bulan pengamatan hampir seluruhnya menunjukkan angka signifikan atau memiliki keterkaitan. Demikian pula dengan hubungan kelimpahan dengan nutrien menunjukkan hubungan korelasi yang besar kecuali nitrat dibeberapa bulan pengamatan menunjukkan nilai korelasi yang kecil, atau cenderung berkorelasi negatif. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa nutrien dan arus memegang peranan besar dalam transport dan distribusi larva secara spasial.

Kata kunci: Larva, Ichtyoplankton, Teluk Palabuhan Ratu, Distribusi dan kelimpahan, habitat muara, habitat transisi dan habitat laut lepas.


(16)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya


(17)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

NURMILA ANWAR

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(18)

(19)

Judul Tesis : Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu

Nama : Nurmila Anwar

N R P : C551060081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc. Dr.Ir. M.Mukhlis Kamal, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc. Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(20)

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu),

agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),

dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;

dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,

dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,

dan supaya kamu bersyukur.

(Q.S. An Nahl : 14)

Karya ilmiah ini kupersembahkan untuk orang tua, adik-adik, keluarga dan teman-teman tercinta.

Kuhaturkan terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada orang tuaku: Abi H. Anwar Laku dan Ummi Hj. Rukmah, S.Ag. terkasih, atas do’a restu dan dorongan moril dalam setiap kegiatan Ananda,

semoga Allah SWT. meridhoi. Adik-adikku tersayang: Yusri Anwar, Yusran Anwar

dan M. Risky Arba Al Hikmah (Al hajj) Anwar. Kalian adalah motivatorku.


(21)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil Alamin, Tiada kata yang paling tulus dipersembahkan kepada Allah SWT. atas rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya sehingga tesis dengan judul Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu, dapat diselesaikan sesuai rencana. Salam serta shalawat senantiasa dituturkan untuk Baginda Rasullullah S.A.W, pembawa rahmat bagi semua makhluk.

Tesis ini berisikan tentang hubungan antara parameter fisik kimia perairan dengan kelimpahan larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu. Hasil dari penelitian ini nantinya akan menjadi masukan bagi pemerintah daerah sebagai alternatif pengelolaan perikanan pantai bagi masyarakat pesisir Teluk Palabuhan Ratu.

Kendala dan permasalahan tidak luput dari kegiatan ini mulai dari awal hingga akhir pelaksanaannya, sehingga dirasa tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dorongan dan kerjasama dari semua pihak yang telah membantu hingga usainya segala kegiatan.

Terima kasih dan penghargaan besar penulis ucapkan kepada:

1. Dosen pembimbing: Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir.

M.Mukhlis Kamal, M.Sc disela kesibukannya bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir

atas saran perbaikannya.

3. Program Mitra Bahari-

Coral reef Management Program II (PMB-COREMAP II) Tahun 2008 dan Yayasan Danamandiri (DAMANDIRI) tahap I atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008.

4. Serta tidak lupa juga pada rekan-rekan P.S. IKL 2006-2007 atas masukan dan

dukungannya, sehingga memudahkan penulisan tesis ini.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat berguna dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya daerah pantai.


(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mandalle (Pangkep) Sulawesi Selatan pada tanggal 08 Mei 1982, dari Ayahanda H. Anwar Laku dan Ibunda Hj. St. Rukmah S.Ag. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negri 19 Tamarupa Kab. Pangkep dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negri 2 Mandalle, selesai pada Tahun 1997. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA di SMU Negri 1 Kabupaten Barru dan menyelesaikannya di SMU Negri 1 Segeri Kabupaten Pangkep pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di program Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar dan selesai pada tahun 2006 dengan gelar Sarjana Perikanan.

Selama di Universitas Hasanuddin, pernah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik yang bersifat intern sebagai Anggota dalam lingkup Keluarga Mahasiswa Perikanan (KEMAPI) UNHAS di jurusan perikanan, maupun yang bersifak eksternal, diantara yang pernah aktif di ikuti adalah Anggota Forum kajian Pesisir (FKP) Perikanan, yang bergerak dibidang konservasi mangove dan pesisir (2003-2006); Anggota Forum Studi Ulil Albab (FSUA), yang bergerak di bidang pembinaan dakwah kampus UNHAS (2001-2006). Dibidang akademik penulis pernah tergabung di Korps Asisten Jurusan Perikanan sebagai asisten mata kuliah Limnologi (2002/2003), asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air (2005/2006), Asisten mata kuliah Biologi laut selama dua periode (2004/2005-2005/2006).

Ditahun yang sama setelah menyelesaikan pendidikan Strata satu, penulis melanjutkan pendidikan Strata dua (S2) di Institut Pertanian Bogor dengan biaya Mandiri pada Program Studi Ilmu Kelautan (PS.IKL) minat Biologi laut dan selama di PS. IKL tergabung dalam anggota Wahana Interaksi Mahasiswa Pasca Sarjana IKL (WATERMAS IKL) 2006 hingga menyelesaikan studi.


(23)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah... 2 1.3. Tujuan dan Manfaat... 4 1.4. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondidi Umum Teluk Palabuhan Ratu ... 5

2.2. Biologi larva ikan ... 7 2.3. Distribusi larva ikan ... 10

2.4. Parameter Fisika ... 11 2.4.1. Suhu perairan ... 11 2.4.2 Salinitas ... 13 2.4.3 Arus ... 13 2.5. Parameter Kimia... 15 2.5.1 Derajat Keasaman (pH) ... 15 2.5.2 Oksigen Terlarut (DO) ... 16 2.5.3. Nitrat ... 17 2.5.4. Fosfat (PO4)... 17

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19 3.2. Penentuan stasiun penelitian ... 19 3.3. Bahan dan Alat ... 20 3.4. Pengumpulan Data dan pengukuran parameter Fisika Kimia Perairan 20 3.5. Analisis Data ... 21 3.5.1. Struktur Komunitas Larva Ikan ... 21 3.5.2. Pola Pemencaran/distribusi Populasi ... 22 3.5.3. Kelimpahan Larva Ikan ... 23 3.5.4. Kepadatan Populasi ... 23 3.5.5. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Indeks Similaritas Canberra ... 24 3.5.6. Keterkaitan antara Parameter Lingkungan

dengan Kelimpahan Larva ikan ... 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu. ... 25 4.1.1. Kondisi Oseanografi ... 25 4.1.1.1. Gelombang ... 25 4.1.1.2. Arus ... 26 4.1.2. Parameter Fisika Kimia ... 26 4.1.2.1. Suhu Permukaan ... 26


(24)

4.1.2.2. Salinitas ... 28 4.1.2.3. Oksigen terlarut ... 29 4.1.2.4. Tingkat Keasaman (pH) ... 29 4.1.2.5. Tingkat Kekeruhan... 30 4.1.3. Variabilitas Nutrien antar Stasiun... 30 4.1.3.1. Nitrat ... 30 4.1.3.2. Fosfat ... 32 4.1.3.3. Silika ... 33 4.2. Pengelompokan habitat ... 34 4.3. Struktur Komunitas larva Ikan... 39 4.3.1. Komposisi Jenis larva Ikan ... 39 4.3.2. Kepadatan Individu dan Distribusi larva Ikan ... 40 4.4. Keanekaragaman dan Dominansi... 40 4.5. Keterkaitan Struktur komunitas dengan Karakteristik habitat ... 41 4.5.1. Habitat Muara ... 42 4.5.1.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Muara... 42 4.5.1.2. Kelimpahan larva Ikan Muara... 42 4.5.1.3. Stadia larva Ikan Muara... 43 4.5.2. Habitat Transisi ... 43 4.5.2.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Transisi ... 43 4.5.2.2. Kelimpahan larva Ikan Transisi ... 44 4.5.2.3. Stadia larva Ikan Transisi ... 45 4.5.3. Habitat Laut Lepas... 46 4.5.3.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Laut Lepas ... 46 4.5.3.2. Kelimpahan larva Ikan Laut Lepas ... 46 4.5.3.3. Stadia larva Ikan Laut Lepas ... 47

4.6. Struktur Komunitas dan Kepadatan Larva Ikan Temporal ... 47 V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ... 49 5.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN... 55


(25)

Halaman

1. Pengukuran parameter fisika kimia perairan ... 22

2.

Komunitas Ikan dan kepadatan individu selama bulan pengamatan

di Teluk Palabuhan Ratu

... 40

3.

Data Hasil perhitungan indeks keanekaragaman dan dominansi

larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu setiap bulan pengamatan.

... 41

4.

Data hasil perhitungan kelimpahan larva ikan setiap bulan

pengamatan (ind/m3).

... 42

5.

Hasil regresi kelimpahan larva dengan nutrien perairan

Teluk Palabuhan Ratu.

... 52


(26)

Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 3 2. Arah kecepatan arus dan pasang surut dalam periode 24 jam

di Teluk Palabuhan Ratu ... 7 3. Peta Teluk Palabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ... 20 4. Grafik fluktuasi suhu permukaan setiap bulan pengamatan

... 26

5. Grafik nilai rata-rata suhu setiap stasiun pada bulan pengamatan ... 27 6. Grafik fluktuasi salinitas permukaan setiap bulan pengamatan ... 28 7. Grafik konsentrasi nitrat perstasiun pengamatan

... 31

8. Grafik rata-rata sebaran jumah nitrat setiap bulan pengamatan

... 31

9. Grafik konsentrasi fosfat setiap stasiun pengamatan

... 32

10. Grafik rata-rata sebaran jumah fosfat setiap bulan pengamatan

... 33

11. Grafik konsentrasi silika perbulan pengamatan

... 33

12. Grafik rata-rata sebaran jumlah silika (Si) setiap bulan pengamatan

... 34

13 Dendrogram similaritas antar stasiun pada Bulan November,

Desember dan Januari

... 36

14. Dendrogram similaritas antar stasiun pada Februari, Maret dan April

... 37

15.

Hubungan antara Kelimpahan dengan kecepatan arus

perbulan pengamatan

... 51


(27)

Halaman

1.

Tabel data sampling parameter fisika kimia perairan

Teluk Palabuhan Ratu 6 bulan pengamatan

... 60

2.

Tabel komposisi dan frekuensi kehadiran larva

ikan setiap stasiun pengambilan sampel di Teluk Palabuhan Ratu

... 63

3. Tabel distribusi komposisi dan stadia larva berdasarkan

kelompok habitat ... 64

4.

Tabel hasil perhitunganpola pemencaran populasi Morisita

(

Iδ)

... 68

5.

Tabel koordinat dan kedalaman stasiun pengambilan sampel

di Teluk Palabuhan Ratu

... 69

6.

Hasil analisis klaster observasi parameter fisika-kimia

... 70

7.

Gambar dan deskripsi morfologi larva/juwana ikan yang tertangkap

di stasiun peneitian

... 73

8.

Gambar Jaring larva untuk pengambilan sampel

... 85


(28)

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN

KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN

LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU

NURMILA ANWAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(29)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jaminan stok berbagai komoditas perikanan umumnya tergantung pada keberadaan fase larva. Perikanan pantai tergantung pada keberadaan biota-biota muda yang hidup di areal pasang surut, tempat mereka berlindung dan memperoleh makanan diawal masa hidupnya.

Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga

perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Dengan

terganggunya tahap-tahap awal dari kehidupan ikan maka hal ini memberi dampak negatif bagi populasi ikan.

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut, pemahaman terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisika-kimia laut, seperti cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut semenjak semula dipandang sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk menguraikan secara mendetail tentang keterkaitan pola distribusi dengan kelimpahan larva ikan berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Mengingat Ichthyoplankton sebagai awal kehidupan ikan yang merupakan sumberdaya perikanan di suatu perairan.


(30)

Mengetahui distribusi Ichthyoplankton sangat penting, tidak hanya dalam pengertian proses ekologis, tetapi juga terhadap implikasi praktis penilaian kelimpahannya (Brodeur dan Rugen, 1994), diharapkan dengan pengetahuan tentang faktor-faktor fisik laut akan dapat memberikan arahan yang jelas tentang keberadaan ichthyoplankton di laut sehingga tidak dilakukan penangkapan tanpa memperhitungkan kelestariannya.

Teluk Palabuhan Ratu dipilih sebagai lokasi penelitian karena teluk ini dianggap masih sangat potensial sebagai daerah pemijahan dan penangkapan ikan intensif, memiliki karakteristik perairan yang khas dengan berbagai macam sumberdaya ikan, sehingga diharapkan mampu memberikan interpretasi tentang keberadaan larva ikan. Disamping itu, studi mengenai distribusi dan kelimpahan larva di perairan ini masih belum banyak dilakukan.

1.2 Perumusan masalah

Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang sedikit dibandingkan dengan jangka panjang. Umumnya nelayan bersaing untuk mendapatkan ikan lebih banyak sehingga mengancam kapasitas lingkungan sumberdaya.

Keadaan di atas tidak hanya terjadi pada sumberdaya ikan yang telah dewasa tetapi juga terjadi pada sumber daya larva ikan, padahal telah diketahui bahwa fase ini merupakan fase awal dalam siklus biota untuk berkembang menjadi dewasa. Sehingga jika tidak dilakukan pengelolaan sejak awal akan mengancam kelestarian dan keberlangsungan hidup biota tersebut.

Secara biologi fase larva akan banyak ditemui di daerah pesisir, selain karena adanya naluri dari induk ketika memijah, juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan ruang. Kedua faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia perairan seperti arus, suhu, pasang surut, salinitas, dan yang lainnya. Sehingga dengan demikian antara faktor fisika, kimia dan biologi larva akan terjadi interaksi yang saling terkait menjadi komponen ekologi di perairan pantai. Artinya jika salah satu di atara variabel lingkungan berubah maka secara berantai akan menyebabkan perubahan bagi variabel lingkungan lainnya (Gambar 1).

Hal inilah yang ingin di kaji yaitu untuk melihat sejauh mana keterkaitan antara komponen-komponen itu dengan pola distribusi larva ikan.


(31)

BIOLOGI * komposisi dan kelimpahan * keragaman (Indeks Diversitas) * pola penyebaran (Indeks Morisita) * Kepadatan

SUMBER DAYA IKAN

PESISI ESTUARI LAUT LEPAS

IKAN DEWASA

LARVA IKAN

EKSPLOITASI

-KEBERLANGSUNGAN KETERSEDIAAN

SD MAKANAN

PENGELOLAAN

+

FISIKA KIMIA PERAIRAN Suhu, arus, salinitas, pasang surut, pH, DO, elemen nutrien (Nitrogen, Fosfat dan silika)

POLA DISTRIBUSI LARVA IKAN

= hubungan

=

ruang lingkup penelitian

*

=

pengaruh langsung

=

komponen

RUANG

* Plankton


(32)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui keterkaitan antara karakter habitat dengan distribusi larva yang didasarkan pada parameter fisika kimia perairan di Teluk Palabuhan Ratu. 2. Mengetahui pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di perairan

Teluk Palabuhan Ratu.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya larva ikan dan dengan ini akan diketahui sejauh mana kondisi ekologis larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu. 1.4 Hipotesis

1. Perbedaan karakteristik habitat tidak mempengaruhi komunitas larva ikan dan distribusi stadia larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu.

2. Perbedaan parameter fisika-kimia perairan tidak mempengaruhi pola distribusi dan komposisi jenis larva secara spasial-temporal.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu

Perairan Teluk Palabuhan Ratu terletak pada posisi geografis 6o57’- 7o07’ LS dan 106o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Sistem sungai yang bermuara di perairan teluk diketahui ada 7 buah yaitu 2 buah golongan besar: S. Cimandiri dan S. Cibareno dan 5 buah lainnya tergolong sungai kecil: S. Cimaja, CiPalabuhan, Cidadap, Cibutun dan Ciletuh (LON-LIPI 1975)

Musim sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari), diantara Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan (Wyrtki, 1961) yang disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat (September-Oktober)

Kondisi Teluk Palabuhan Ratu banyak dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Wyrtki (1961) mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhan Ratu sesuai dengan sifat laut dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September sampai Desember yang bergerak kearah barat. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan Teluk Palabuhan Ratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29-30oC dan pada musim timur 26-27oC

Pariwono et al. (1988) mengemukaan bahwa pada Bulan September dan Oktober suhu permukaan laut relatif rendah, yaitu rata-rata 26.57oC sedangkan pada musim hujan suhu permukaan laut rata-rata naik menjadi 27.78oC padahal disaat itu laut kurang menerima pemanasan dari matahari, karena tertutup awan. Hal ini diduga sebagai pertanda bahwa proses upwelling terjadi pada Bulan Agustus September dan okteber di perairan Teluk Palabuhan Ratu.

Dari hasil penelitian Purba (1995), diacu dalam PRTK & Dep ITK (2004) diketahui bahwa di lepas Pantai Palabuhan Ratu terjadi upwelling mulai Bulan Juli, terbukti dengan terlihatnya kelompok massa air yang lebih dingin di sekitar lepas pantai, diapit oleh massa air yang lebih hangat ke arah pantai dan ke arah laut lepas. Kelompok massa air dingin ini berasal dari proses upwelling oleh


(34)

Terdapat perbedaan suhu permukaan laut musim timur dan musim barat, baik di perairan lepas pantai selatan Jawa (S. Hindia) maupun di perairan Palabuhan Ratu. Levinton (1982) mendapatkan adanya perbedaan suhu permukaan laut di perairan lepas pantai selatan Jawa, yaitu 28oC (Agustus-Oktober) dan 29oC (Februari-April). Demikian pula hasil penelitian LON LIPI 1975 di perairan pantai selatan Jawa diketahui adanya perbedaan suhu pada musim kemarau (28oC) dan musim hujan (29-30)

Hasil penelitian Pariwono et al. (1988) menunjang pernyataan di atas setelah melakukan pengukuran suhu di perairan Palabuhan Ratu pada bulan September-Oktober (akhir musim timur) dan bulan November-Desember (awal musim barat) masing-masing tercatat sebesar 26 dan 28 oC. Selanjutnya dikemukaan bahwa terdapat fenomena perbedaan suhu yang relaif lebih rendah pada musim timur dibandingkan dengan musim barat menunjukkan adanya proses upwelling di perairan yang bersangkutan.

Penyebaran suhu vertikal di perairan Teluk Palabuhan Ratu pada kedalaman 25 meter antara 29.75-28.55 oC (rata-rata 28.43 oC). Perbedaan tersebut disebabkan terutama adanya pengaruh penyinaran matahari terhadap peningkatan suhu permukaan perairan teluk (Sanusi dan Atmodipoera, 1993)

Salinitas di perairan Teluk Palabuhan Ratu dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhan Ratu. Namun demikian di perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai salinitas rerata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing sebesar 32.96‰ dan 32.33‰ (Pariwono et al., 1988)

Massa air bersalinitas tinggi ini berasal dari Laut Flores yang memasuki Laut Jawa seiring dengan pergerakan arus permukaan pada Musim Timur ini yang menuju ke barat. Menurut Wyrtki (1961), bahwa pada Musim Timur ini di sekitar Laut Banda dan Selat Makasar bagian selatan terjadii upwelling, sehingga daerah sekitarnya menjadi subur. Kesuburan perairan tersebut terbawa arus hingga ke Laut Jawa sehingga mangakibatkan Laut Jawa selama dan sesudah Musim Timur ini menjadi subur dan akan tersedia makanan bagi ikan dan pijahannya.


(35)

Karakter pasut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan karakter gelombang, merupakan perambatan dari pengaruh pasut yang terjadi di Samudera Indonesia. Pasut bersifat campuran dominasi semidiurnal yaitu tinggi pasang dan surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang dan surut kedua, terjadi karena perairan teluk berhubungan langsung dengan perairan laut lepas Samudera Hindia (PRTK & Dep ITK 2004). Gambar 2 menunjukkan grafik komponen pasut dalam 24 jam di Teluk Palabuhan Ratu.

Gambar 2. Arah Kecepatan Arus dan pasang Surut dalam periode 24 jam di Teluk Palabuhan Ratu (PRTK & Dep ITK 2004).

2.2 Biologi larva ikan

Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup planktonik, merupakan cabang Ichtyologi yang membahas tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya terutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Matarase et al. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juwana (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton, yaitu sebagian


(36)

dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Menurut Mantiri (1995), ikan-ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva digolongkan dan di istilahkan sebagai ichthyoplankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton.

Ichthyoplankton menurut Mantiri (1995) adalah merupakan organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, namun ada juga yang menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juwana yang masih bersifat planktonis. Selanjutnya dikatakan bahwa istilah Ichthyoplankton belum terlalu dikenal dan digunakan. Tulisan-tulisan ilmiah yang sudah menggunakan istilah ini seperti: Able (1978), Brodeur et al. (1985), Boehlert et al.

(1985), Beckley (1986), Ozawa (1986), Brodeur dan Rugen (1994), Mantiri (1993 dan 1995).

Ichthyoplankton sebagai tahapan awal perkembangan, sejak dari stadia telur menuju larva dan juwana ikan. Russel (1976) mengemukakan bahwa larva ikan merupakan bentuk atau tingkatan ikan setelah telur menetas dan menggunakan istilah larva yang merujuk pada larva masih memiliki yolk sac atau kantung telur dan “postlarva” untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana. Stadia ini kemudian berakhir setelah persediaan kuning telur yang ada telah habis diserap. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator, ketersediaan makanan dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas. Dengan demikian tahap ini adalah kondisi yang paling menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut.

Menurut Effendie (1978), Perkembangan larva dalam garis besarnya di bagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya, prolarva masih mempunyai kantung kuning telur yang terletak di bagian depan bawah, tubuh masih transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum diketahui fungsinya. Sirip dada dan ekor sudah ada tapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur tidak mempunyai sirip perut yang nyata, hanya bentuk tonjolan. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna dan memperoleh makanan hanya dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.


(37)

Masa postlarva ikan mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada akhir masa postlarva tersebut secara morfologis sudah mempunyai bentuk hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian pula dengan sirip ekor sudah mulai ada bentuknya. Berenangnya sudah mulai aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie, 1978).

Pada perkembangan larva lebih lanjut dijelaskan bahwa sirip ekor berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebra dan osteogenesis mengeras dan dengan perubahan pigmentasi badan maka post larva mencapai tingkat juwana. Pada larva ikan yang baru menetas kuning telur terletak pada bagian anterior vertebral tubuh, bentuk menonjol dan sering kali menutupi hampir separuh panjang total tubuh. Mata belum berpigmen, mulut belum berfungsi dan anal belum terbuka. Selama perkembangan larva, mata menjadi berpigmen, mulut serta anus mulai terbuka. Posisi anus dapat digunakan sebagai karakter identifikasi. Selama perkembangan kuning telur dan kelenjar minyak digunakan secara bertahap. Ketika kuning telur habis, organ-organ yang dibutuhkan untuk mencari dan mengunyah makanan sudah berfungsi. Pada masa ini larva mengalami masa krisis (Effendie, 1978).

Apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juwana. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada beberapa yang mengalami perubahan bentuk tubuh atau bermetamorphose. Hoar dan Randall (1987) mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidup akan melalui tiga tahap, yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi yaitu:

preflexion, plexion dan postflexion larva.

Pada ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang digunakan untuk mengenal larva, yaitu:

1. Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan, lambung dan sirip (khususnya sirip dada)

2. Urutan munculnya sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang. 3. Ukuran larva.


(38)

5. Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan terubah, sungut pada dagu dan duri pada

preoperculum (Russel, 1976).

Karakter melanophora merupakan ciri diagnostik utama dalam mengidentifikasi spesies pada stadia postlarva. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora berada. Lokasi melanophora biasa terletak di bagian eksternal dari dermis atau epidermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebra dan di daerah otocystic (Russel, 1976).

2.3 Distribusi larva ikan

Ichthyoplankton memiliki pola distribusi vertikal berdasarkan migrasinya yang di bagi atas dua tipe. Migrasi tipe I dikenal sebagai pola distribusi yang lebih umum yaitu Ichthyoplankton naik ke permukaan pada malam hari. Migrasi tipe II merupakan pola distribusi yang tidak umum dan merupakan kebalikan dari migrasi tipe I yaitu Ichthyoplankton naik ke lapisan permukaan pada siang hari. Pada dasarnya pola distribusi ini sangat di pengaruhi oleh cahaya, namun predator dapat juga mengubah pola distribusi vertikal Ichthyoplankton (Brodeur dan Rugen, 1993). Contoh-contoh pola distribusi tipe I seperti yang dilaporkan Rogers (1940), dan Brodeur et al. (1993). Adapun tipe II dilaporkan oleh Boehlert

et al. (1985).

Demikian halnya ukuran tubuh, peningkatan kemampuan berenang dan kapasitas perkembangan larva dikatakan merupakan pengontrol posisi vertikal golongan ini (Fortier dan Leggett, 1983). Secara umum seperti yang dikemukakan beberapa ahli, distribusi ichthyoplankton di tentukan oleh faktor-faktor tingkah laku seperti pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri, 1995); faktor-faktor fisik seperti sirkulasi air pasang surut (Laprise dan Dodson, 1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978); dan faktor ketersediaan makanan.


(39)

2.4 Parameter Fisika 2.4.1 Suhu perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengaturan seluruh proses kehidupan dan penyebaran organisme, dan proses metabolisme tejadi hanya dalam kisaran tertentu. Di laut suhu berpengaruh secara langsung pada laju proses fotosintesis dan proses fisiologi hewan (derajat metabolisme dan siklus reproduksi) yang selanjutnya berpengaruh terhadap cara makan dan pertumbuhannya.

Perbedaan penerimaan radiasi matahari setiap wilayah menyebabkan perbedaan suhu, terkait dengan perbedaan letak geografis lintang. Selain panas matahari, faktor lain yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah arus permukaan, keadaan awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama sekitar estuaria sepanjang garis pantai (Hela dan Laevastu, 1970).

Selain oleh faktor di atas suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin oleh karenanya suhu permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Seperti contoh pada saat musim pancaroba, angin biasanya lemah dan permukaan laut akan tenang sehingga proses pemanasan dipermukaan terjadi sangat kuat. Akibatnya pada musim pancaroba suhu lapisan permukaan mencapai maksimum (Nontji, 2001).

Perubahan suhu juga dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi massa air dan hal itu dapat mempengaruhi distribusi. Ikan biasanya memilih suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik. Aktivitas metabolisme dan penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh suhu perairan fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting yang menentukan konsentrasi dan pengelompokan ikan.

Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), suhu permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 28-30oC dan di daerah upwelling suhunya dapat turun mencapai 25oC dan secara horizontal suhu permukaan laut di perairan Indonesia memiliki variasi tahunan yang rendah, namun variasi tersebut masih menunjukkan perubahan musiman. Perubahan ini dipengaruhi oleh posisi matahari dan pengaruh massa air di daerah lintang tinggi.

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme dalam suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena sebagaian besar organisme bersifat poikiloterm. Tinggi rendahnya suhu


(40)

permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu air laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Suhu berpengaruh terhadap tingkah laku ikan, mempunyai kisaran tertentu untuk melakukan pemijahan bahkan dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula (Gunarso, 1985).

Lawalata (1977), diacu dalam Olii (2003). Menurut Sidjabat (1978), menyatakan bahwa suhu perairan merupakan suatu faktor lingkungan yang paling mudah dipelajari dari faktor-faktor lainnya, sebab suhu merupakan suatu petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan, suhu air laut, terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga suhu air laut akan seiring dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Perubahan suhu ini dapat terjadi secara: (1) harian, (2) musiman, (3) tahunan, dan (4) jangka panjang. Selanjutnya Sidjabat (1978) mengatakan bahwa jika suatu perairan yang homogen dan tenang dipanasi oleh matahari, distribusi suhu secara vertikal akan menurun eksponensial ke bawah. Apalagi jika tidak ada gangguan pada perairan ini, keadaan perairan akan selalu stabil karena lapisan yang paling atas yang lebih panas akan lebih rendah densitasnya dari pada lapisan bawah.

Ikan dapat mendeteksi perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,1 oC. Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sulliva (1954), diacu dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan antara lain: 1) sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi kebutuhan makanan dan laju up take dan pertumbuhan); 2) sebagai modifier dari aktivitas badan (misalnya laju renang); dan 3) sebagai stimulus saraf.

Reaksi ikan terhadap anomali suhu adalah suatu masalah kompleks. Asumsi bahwa hampir semua reaksi spesies ikan terhadap anomali lingkungan muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Sedangkan jangka yang lebih panjang: musiman dan tahunan, reaksinya harus mencakup beberapa proses integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian makan melalui migrasi dan pencarian atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi dan terhadap rekruitmen (Sulliva 1954, diacu dalam Laevastu dan Hayes 1981).


(41)

2.4.2 Salinitas

Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan nilai salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida.

Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan. Salinitas berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh besar terhadap kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan toleransi salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit (stenohaline). Disamping itu Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa salinitas berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi, dan kesuksesan reprodukasi dari ikan.

Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan. pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, maupun ichthyoplankton. Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 o/oo, sedangkan larva ikan biasanya cepat

menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusi larva ikan (Lignot et al., 2000).

2.4.3 Arus

Arus berperan dalam transportasi ikan dan larva di laut. Adanya arus yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di laut. Arus merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan iklim, arus juga membawa organisme plankton dalam jumlah yang besar dari tempat asalnya secara periodik (Davis, 1955). Pola aliran arus juga menentukan pola karakteristik penyebaran nutrien, transport sedimen, plankton, ekosistem laut dan geomorfologi pantai. Pada daerah teluk, pola aliran air lebih didominasi oleh pasang surut dan angin.


(42)

Di daerah teluk, jenis arus yang dibangkitkan oleh gaya pasang surut sangat dominan dibandingkan dengan arus yang dibangkitkan oleh gaya gesek angin dengan permukaan air. Dwiponggo (1972) mengemukakan bahwa jenis jenis ikan tertentu akan bergerak mengikuti arus pada waktu pasang naik kearah pantai. Laevastu dan Hayes (1981) mengungkapkan bahwa ikan-ikan besar menggunakan arus untuk mendeteksi medan geoelectrocity bagi perjalanan migrasi mereka. Ikan demersal juga melakukan hal yang sama yaitu antara arus pasut dan migrasinya. Arus juga berperan dalam distribusi pemindahan telur, larva dan ikan kecil selain itu arus merupakan faktor pembatas bagi beberapa spesies. Karakter arus bervariasi dari tahun ketahun dan berperan penting dalam migrasi musiman dan siklus hidup dari ikan pelagis dan semi pelagis.

Sverdrup et al. (1972) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar, yaitu : 1). Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus ini disebabkan oleh air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air yang berdensitas kecil atau lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan sejumlah besar massa air ke tempat lain; 2). Arus yang ditimbulkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air kesatu jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu; 3). Arus yang disebabkan oleh air pasang. Arus jenis ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke pantai, atau berputar.

Gerakan massa air dalam sangat berbeda dengan massa air permukaan. Massa air dalam terisolasi dari angin, oleh karena itu gerakannya tidaklah bergantung pada angin. Tetapi gerakan massa air dalam sebenarnya terjadi karena perubahan gerakan air permukaan. Di daerah tertentu dan dalam keadaan tertentu pula, gerakan lateral air yang disebabkan oleh angin juga mengakibatkan air mengalami suatu sirkulasi vertikal atau gerakan ke atas atau

upwelling (Nybakken, 1992).

Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan Laevastu dan Hayes (1982) menyatakan, bahwa: 1) penyebaran ikan oleh arus mengalihkan telur dan anak anak ikan dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai pola rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya arus pasang surut; 4) Arus dapat secara langsung mempengaruhi pengelompokan makanan atau faktor lain yang membatasinya (suhu); 5) Arus


(43)

juga mempengaruhi lingkungan alami ikan, dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas distribusi geografisnya.

Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juwana mulai dari daerah pembesaran sampai daerah pemijahan dan mungkin berperan sebagai suatu penjajakan migrasi arus balik dari ikan dewasa mulai dari daerah pembesaran sampai daerah pemijahan. Anomali arus permukaan dapat mempengaruhi distribusi larva, juwana dan juga migrasi pemijahan ikan dewasa. Selain itu, sebaran stok ikan utama biasanya mengikuti sistem arus tertentu.

Arus arus yang besar di laut seluruhnya menyebabkan perubahan densitas massa air permukaan. Perubahan densitas air laut berhubungan dengan variasi suhu dan salinitas, yaitu kenaikan suhu menyebabkan penurunan densitas air laut yang diikuti dengan kenaikan salinitas. Di laut perubahan salinitas dan suhu biasanya terjadi bersama-sama dan keduanya sangat penting dalam mengendalikan densitas (Barnes dan Hughes, 1998).

Menurut Hinckley et al. 1991, diacu dalam Olii (2003), arus selalu berhubungan dengan kedalaman. Perubahan arah arus yang kompleks susunannya terjadi sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan. Pada umumnya tenaga angin yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat membangkitkan timbulnya arus permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kecepatan arus ini akan berkurang cepat sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan dan akhirnya angin menjadi tak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan arus (Hutabarat dan Evans, 1986). Selanjutnya mengemukakan bahwa pada kedalaman dibawah 100 meter kecepatan arus sangat lambat sehingga Ichthyoplankton di daerah ini kemungkinan tidak hanyut jauh dari wilayah dimana mereka dipijahkan, sedangkan pada kedalaman di atas 50 meter dari kolom air, arus semakin cepat sehingga Ichthyoplankton akan mudah terbawa oleh arus.

2.5. Parameter Kimia

2.5.1 Derajat Keasaman (pH)

Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat

menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat


(44)

di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0 – 8.5. Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung (Romimuhtarto, 1991).

Derajat keasaman merupakan salah satu parameter penentu produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi karena adanya sistem karbondioksida dalam laut, maka air laut mempunyai kapasitas penyangga (buffer) yang kuat (Nontji, 2001).

2.5.2 Oksigen Terlarut (DO)

Kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitasnya, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya.

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlaurut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Romimuhtarto, 1991).

Selanjutnya Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa oksigen terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi didalamnya. Hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktifitas respirasi organisme air juga organisme dekomposer dalam proses dekomposisi bahan organik dalam perairan.

Respirasi di perairan memerlukan oksigen dari dalam air dan menghilangkan limbah karbon dioksida. Insang adalah tempat pertukaran gas terjadi pada sebagian besar jenis ikan, meskipun ada juga beberapa jenis ikan yang bernafas melalui kulit. Biasanya laju konsumsi oksigen dapat digunakan untuk mengukur intensitas metabolismenya. Laju ini dipengaruhi oleh ukuran ikan dan karakteristik air seperti suhu dan kandungan CO2 (Reddy, 1993).

Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup di dalam air. Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali kali di berbagai lokasi dengan tingkat kedalaman yang berbeda pada waktu yang


(45)

tidak sama (Sastrawijaya, 2000). Oksigen terlarut merupakan parameter penting bagi sistem kimia air laut maupun proses biologi perairan laut. Hal ini karena oksigen diperlukan dalam proses mineralisasi/dekomposisi bakteri dalam menguraikan bahan organik. Penurunan oksigen terlarut juga akan mempengaruhi kehidupan organisme melalui proses respirasi, dan reaksi oksidasi reduksi terhadap senyawa-senyawa kimia dalam air laut.

2.5.3. Nitrat (NO3)

Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Di perairan, nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) serta beberapa

senyawa nitrogen organik lainnya (Wardoyo, 1987).

Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat dan amonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap amonia dibandingkan

dengan nitrat karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch, 1980). Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat.

Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi diperairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Welch, 1980).

2.5.4. Fosfat (PO4)

Selain nitrogen, fosfor merupakan nutrien penting bagi pertumbuhan fitoplankton. Parson et al., (1984) menyatakan bahwa fosfor diperairan berada dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut dan fosfor partikulat. Wetzel (1983) menyatakan bahwa orthofosfat merupakan bentuk senyawa dengan unsur dasar P yang efektif bagi pertumbuhan fitoplankton. Selanjutnya Grahame (1987) menambahkan bahwa fosfor terlarut terutama berfungsi sebagai ortofosfat anorganik (PO4-) atau yang secara

sederhana disebut fosfat (PO4). Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa

fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat untuk pertumbuhannya.


(46)

Pada perairan alami ikatan senyawa fosfat umumnya berada pada ikatan Fe dan Al, sedangkan pada perairan basa, fosfat berikatan dengan kation natrium dan pada perairan netral berikatan dengan kalsium (Prescott, 1973). Konsentrasi fosfat pada perairan tawar dan laut memiliki kisaran yang hampir sama yaitu 1 – 3 mg/l, sementara kisaran fosfat yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 0.09 – 1.80 ppm (Sunarto, 2001).

Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0,1 ppm. Kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton (Wardoyo, 1987). Kadar fosfat yang baik di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan. Sebagai indikator produktivitas perairan, keberadaan fitoplankton atau zooplankton dapat diketahui melalui kandungan fosfat ideal yang terkandung di perairan karena akan menjadi makanan utama bagi larva ikan.


(47)

III. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 2007 untuk survey dan penetapan stasiun penelitian. Pengambilan sampel dan pengukuran di lapangan dilaksanakan pada malam hari dimusim barat satu kali dalam setiap bulan mulai Bulan November 2007 hingga Bulan April 2008.

= Stasiun pengamatan

Sumber:

Peta Dishidros AL. 2007

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian dan Posisi stasiun pengambilan sampel di Teluk Palabuhan Ratu.

3.2 Penentuan stasiun penelitian

Perairan Teluk Palabuhan Ratu terletak pada posisi geografis 6o57’- 7o07’ LS dan 106o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km (LON-LIPI 1975) membentuk cekungan yang menyolok dibagian selatan Pulau Jawa. Berdasarkan perbedaan ciri fisik maka lokasi stasiun penelitian dibagi atas 9 mencakup muara dan laut lepas.


(48)

Secara spasial, stasiun terdistribusi menjadi dua bagian mulai dari mulut muara sungai Cimandiri hingga yang mengarah ke perairan terbuka di Teluk Palabuhan Ratu. Kelompok pertama mewakili muara sungai yang terdapat di Teluk Palabuhan ratu yakni stasiun 1, 8 dan 9. Kelompok kedua di daerah laut lepas yang terdiri dari stasiun 2 hingga 7, dimaksudkan untuk mengetahui batasan distribusi spesies larva ikan tertentu melalui komposisi dan jumlah yang tertangkap dimasing-masing kedalaman (Gambar 3; Lampiran 6).

Kedalaman stasiun masing-masing adalah stasiun 2 adalah 25-30 meter, stasiun 3 dan 4 dengan kedalaman 80-100 meter; stasiun 5 kedalaman > 450 meter; stasiun 6 dan 7 kedalaman > 400 (Gambar 3; Lampiran 6) Perbedaan kedalaman yang sangat tajam disebabkan oleh Topografi dasar laut (bathymetri) Teluk Palabuhan Ratu yang curam dengan kadalaman antara 3 - 4 meter dibagian pantai (perairan pantai/muara) sampai > 200 meter di bagian tengah perairan teluk, yang merupakan lereng kontinen (Continental Shelf) (PRTK & Dep ITK 2004).

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan-bahan kimia untuk analisis kualitas air, buku identifikasi larva, alat tulis dan botol sampel. Sedangkan alat yang digunakan adalah perahu nelayan, Global Positioning System (GPS Tipe Map 198C) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, termometer (Hg Pembacaan skala) untuk pengukuran suhu, flow meter (For Plankto net Model OSK 16168) untuk mengukur kecepatan arus dan layangan arus untuk melihat arah arus, handrefraktometer untuk pengukuran salinitas, Eh-pH meter (Schott Instrumen Lab 850) untuk mengukur tingkat keasaman, saringan, timbangan elektrik (AND GR 200), mikrometer (Celiper ketelitian 0,05 mm), mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali, water sampler,

net larva (mesh zise 350-500 µm, diameter 60 cm) dan hand counter untuk menghitung jumlah individu larva ikan.

3.4 Pengumpulan Data dan Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran langsung dengan menggunakan termometer, flow meter, layangan arus dan titrasi Winkler untuk pengukuran oksigen langsung di lokasi penelitian. Pengukuran TSS (Total Suspension Solid), salinitas, pH, nitrat, fosfat dan silika dilakukan di laboratorium


(49)

Produktivitas Lingkungan (Proling) Fakultas Perikanan dan Ilmu Teknologi Kelautan IPB. Larva (Ichthyoplankton) dikumpulkan menggunakan net larva

dengan menyisir kolom perairan secara horizontal sejauh 70-100 meter selama 3-5 menit. Penyisiran pada tiap stasiun dilakukan dengan tiga kali ulangan, Sampel dikumpulkan dan diawetkan dalam formalin 4% untuk selanjutnya diukur panjang dan ditimbang beratnya. Pengukuran panjang dan berat larva ikan dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan Petunjuk Identifikasi FAO (Smith dan Richardson, 1977); buku identifikasi larva ikan (Leis dan Carson-Ewart, 2000; dan Niera, et al. 1998).

Parameter fisika kimia perairan yang diukur selama penelitian tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

No Parameter Satuan Alat/metode

A 1. 2. 3. 4. Fisika Suhu Arus Kekeruhan Gelombang oC cm/detik NTU m Termometer

Floating method/ estimasi Turbidimeter Estimasi B 1. 2. 3. Kimia Salinitas Tingkat keasaman DO ppt pH mg/l Handfraktometer pH meter Titrasi winkler C 1. 2. 3. Nutrien Nitrat Fosfat Silika mg/l mg/l mg/l spectrofotometer spectrofotometer spectrofotometer

3.5 Analisis Data

3.5.1 Struktur Komunitas Ikan

Indeks keanekaragaman dan dominansi digunakan untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan terhadap komunitas larva ikan. Pengaruh kualitas lingkungan terhadap kelimpahan ikan selalu berbeda-beda tergantung pada jenis ikan, karena tiap jenis ikan memiliki adaptasi dan toleransi yang berbeda terhadap habitatnya. Indeks tersebut digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih rinci tentang komunitas ikan.

Indeks keanekaragaman dikemukakan oleh Shannon-Wiener diacu dalam Bengen (2000), yang dirumuskan sebagai berikut:


(50)

)

(

'

1 2

Pi

Log

pi

H

s i

=

=

Dengan: H’ = Indeks keaneragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis (spesies)

ni = jumlah total individu jenis larva i N = jumlah seluruh individu dalam total n Pi=ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu:

H’ < 1, keanekaragaman rendah

1-3 keanekaragaman tergolong sedang 3 >, keanekaragaman tergolong tinggi.

Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai jenis ikan yang mendominasi pada suatu komunitas pada tiap habitat indeks dominansi yang dikemukakan oleh Simpson yaitu (Ludwig dan Reynold, 1988):

=

=

s i

pi

C

1 2

Dengan C = Indeks dominansi Simpson S = Jumlah jenis (spesies)

ni = jumlah total individu jenis larva i N = jumlah seluruh individu dalam total n Pi=ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikandominansi spesies ikan yaitu:

Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies ikan. Mendekati 1 = indeks besar atau cenderung dominansi oleh beberapa spesies

ikan.

3.5.2 Pola Pemencaran/distribusi Populasi

Pola penyebaran larva ikan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan Indeks Morisita (Iδ). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh luas stasiun pengambilan sampel dan sangat baik untuk membandingkan pola pemencaran populasi (Brower et al, 1990). Rumus yang dipergunakan adalah:


(51)

)

1

(

2

=

N

N

N

X

n

I

δ

i

dengan: Iδ = indeks distribusi Morisita

N = jumlah seluruh individu dalam total n

n = jumlah seluruh stasiun pengambilan sampel

∑Xi2 = kuadrat jumlah larva jenis i per stasiun untuk total n stasiun

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: Iδ < 1, pemencaran individu cenderung acak

Iδ = 1, pemencaran individu bersifat merata

Iδ > 1, pemencaran individu cenderung berkelompok.

Untuk menguji kebenaran nilai indeks di atas, digunakan suatu uji statistik, yaitu sebaran Chi-Kuadrat dengan persamaan:

N

N

X

n

x

=

2 2

dengan : x2 = Chi-Kuadrat

n = Jumlah pengamatan

∑X2 = Jumlah kuadrat larva jenis I yang ditemukan pada tiap stasiun N = Jumlah seluruh Individu

Nilai Chi-Kuadrat dari perhitungan di atas di bandingkan dengan niali Chi-Kuadrat tabel statistik dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Apabila nilai X2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X2 tabel maka tidak berbeda nyata yang berarti pola sebaran jenisnya bersifat acak.

3.5.3 Kelimpahan Larva Ikan

Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan

rumus:

N

=

n

/

V

tsr

dengan: N = Kelimpahan Larva ikan ( ind/m3)

n = Jumlah Larva ikan yang tercacah (ind) Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v)

l : Luas bukaan mulut saringan

t : lama waktu penarikan saringan (menit) v : Kecepatan tarikan (m/menit).


(52)

3.5.4 Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi menunjukkan rataan individu suatu jenis larva ikan perstasiun dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus:

D = ∑Xi / n Dengan: ∑Xi = jumlah total individu jenis larva i

n = luas seluruh stasiun contoh (jumlah keseluruhan Vtsr).

Kepadatan populasi (Ind/m3) yang didapatkan akan digunakan untuk menganalisis tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi serta pola penyebaran spesies larva.

3.5.5 Pengelompokan Habitat berdasarkan Indeks Similaritas Canberra. Nilai indeks similaritas ini digunakan untuk membandingkan kesamaan antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan dan dan larva ikan yang diperoleh selama penelitian (Bengen 1999).

= ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + − = n

i X j X j

j X j X N C

1 1 2

2 1 1

dengan: Ic = Indeks Canberra

X1j = Nilai Parameter ke j stasiun 1

X2j = Nilai Parameter ke j stasiun 2

n = Jumlah parameter yang dihitung

N = Jumlah total stasiun pengambilan contoh

Pada penelitian ini terdapat 6 parameter fisika kimia air laut yang diukur yaitu suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrat dan fosphat. Hasil perhitungannya dibuat dalam bentuk matriks similaritas Canberra, dan dari matriks ini dapat dilihat persentase kemiripan antar stasiun penelitian berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Matriks dan dendrogram dibuat dengan menggunakan bantuan softwere minitab 14.

3.5.6 Hubungan Kelimpahan Larva Ikan dengan Karakteristik Fisika Kimia Perairan

Untuk melihat fluktuasi kehadiran larva ikan disajikan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat hubungannya digunakan analisis regresi.


(1)

anal, tepat dibawah batang ekor terdapat sirip anal. Mulut Terminal dengan mata yang lebar hamper tidak menonjol.

Spesies : Siphamia cephalotes Stadia : Post larva

kepala pigmen mata pigmen perut badan batang/sirip ekor

Deskripsi : Tubuh agak panjang lebih dari dua kali tinggi badannya. Mulut terminal dengan garis linea tepat dibagian tengah badan mulai dari belakang operculum sampai pangkal batang ekor, linealateralis pada Stadia post larva dipertegas dengan kehadiran pigmen hingga setengah dari panjang standar tubuhnya, kumpulan pigmen juga tergapat dipangkal sirip punggung. Pigmen juga terdapat dipangkal sirip anal, sirip dada yang kecil tampak dibelakang operculum tetapi tidak terdapat sirip perut hanya ada sirip anal terletak di sepertiga bagian belakang tubuhnya sebelum pangkal batang ekor, sirip ekor berbentuk truncate keduan bagian sudut ekor lebih agak panjang dan meruncing seperti truncate.

Spesies : Platycephalidae Stadia : Juwana

Deskripsi : morfologi badan compres atau lebar badan lebih besar dibanding tingginya (gepeng), letak mulut dibagian bawah ujung depan badan karena sifatnya demersal, terdiri atas sirip punggung yang bersambung menjadi sirip ekor, sirip dada terdiri atas dua pasang lapisan, lapisan pertama terdiri atas sirip yang lebih keras dan kaku ; lapisan kedua terdiri atas sirip yang lemah yaitu terdiri atas selaput yang lebih lembut dibanding lapisan sirip pertama.

Literatur : Stadia ini disebut Alevin prosesnya yaitu Pada Stadia yol sac larvae bermetamorpHosis langsung kedalam Stadia Juwana, sehingga disebut sebagai alevins. Stadia ini berukuran 47 mm panjang totalnya. Ekor tidak terbagi dua cabang tetapi berbentuk forked seperti fasa dewasa. Pigmen berwarna gelap berbentuk bintik masing-masing di sisi samping, di bagian atas yol sac. Vertebra belum mengalami pengerasan. Linea lateralis dapat terlihat.Adiposefin berkembang. Satu maxillary dan dua mandibular berkembang. Maxillary tidak sampai kebagian dasar pectoral pada Stadia ini. Stadia awal Juwana plat gigi belum berkembang (bagian gigi pada plat berbentuk lonjong sebagai gigi geraham yang terdapat pada ikan pada saat bermetamorpHosis) Satu maxillary sampai ujung pectoral. Panjang dari dua mandibular tidak sampai setengah bagian kepala . Adiposefin memiliki pigmen. (From M.J. Prince Jeyaseelan,1998. Manual of Fish Eggs and Larvae from Asian Mangrove Waters. Science and Technology, UNESCO Publishing.)

Spesies : Bregmacerotidae Stadia : Post larva


(2)

Literatur :

Morfologi badan pipih agak datar. usus dengan ketat bergulung. Kepala berubah dari bulat menjadi lurus. Mulut miring. Sekeliling mata agak datar. Sirip anal menjadi tebal dan panjang melewati anus. Sirip anal terbentuk dari anterior dan posterior dari depan kearah sirip yang akan memendek pada saat dewasa mengail. sirip dada berbentuk padlle dan terletak seperti pengayuh di atas linea lateralis yang bercabang samping. Pigmentasi pada larva Bregmacerotid berganti ganti mulai dari tanpa pigmen dari satu Stadia dari berbagai Spesies tergantung pada ketebalannya. Kebanyakan Spesies mempunyai pigmen di atas gelembung gasnya. Pigmen juga terdapat disudut rahang bagian bawah. Larva Bregmacerotid mempunyai banyak pewarnaan internal terutama pada diatas gelembung renang, ekor tersebar dan di peduncle kepala. Pigmen biasanya meningkatkan ketika larvae sedang tumbuh.

post larva/ kepala badan badan ekor sirip ekor

Spesies : Kyposus sp. Stadia : Post larva

Morfologi : Tubuh memanjang agak pipih setengah mengular bagian kepala agak besar dengan batas kepala dengan badan sangat jelas karena dibelakang operculum tertekuk oleh lengkungan kepala. Mulut terminal dengan ekor truncate pigmen sangat jelas terlihat sepanjang linealateraris, bintik pigmen juga terlihat mengikuti pola myomer, terdapat sirip punggung yang memanjang sampai batang ekor. sirip anal terdapat dibagian belakang sebelum pangkal sirip ekor.

Literatur : Badan memipih dan secara menyamping memampatkan. Kepala besar. mulut terminal agak besar miring. Sekeliling terlihat besar. Vertebra berukuran kecil di posterior dan ventral preopercular. Preopercular di depan tereduksi seiring pertumbuhan.

Pewarnaan

kepala badan ekor Spesies : Cynoglossis sp.

Stadia : Prolarva

Deskripsi : Badan agak panjang dengan bagian kepala lebih besar, dari depan badan lebih lebar dan semakin mengecil kebagian ekor. vertebra masih sangat namapak jelas , sirip belum nampak berkembang dengan sempurna, tetapi mulai terlihat pertumbuhan sirip sepanjang bagian dorsal dan di bagian bawah perut, sirip


(3)

ekor belum berkembang dengan sempurna masih berupa membrane tipis yang halus. Mata besar dengan mulut yang masih terbuka. Sangat jelas terlihat garis miomer halus mengikuti arah pertumbuhan tulang vertebra. Warna tubuh bening dan sangat pipih.

Literatur : Morfologi larva Cynoglossid pada mulanya memanjang (cynoglossines) hingga halus ( sympHurines), pipih dan kedua sisinya simetris. menjadi sangat pipih dan lebih lebar setelah flexion notochordnya lengkap. Badan dan Kepala pada awalnya banyak lebih lebar disbanding ekor yang runcing. ekor secara berangsur-angsur menjadi lebih lebar, hanya sedikit yang tertinggal dibandingkan badannya. Ada 43-59 myomeres (7-10+ 36-50). Usus bergulung dan menebal ke dalam pengulangan tunggal, besar dan menonjol dengan jelas dari garis tepi badan sirip perut. Tingkat tonjolan keduanya bervariasi secara ontogenetic dan antar Spesies, tetapi usus yang menonjol dapat melakukan pelebaran. Pigmen penutup terdapat pada beberapa Spesies dalam ekstrimitas usus yang menonjol: Kombinasi panjang dari kedua proyeksi ini dapat melebihi 60% BL (Yevseyenko, 1991). Anus pada umumnya sedikit tertutup dan pada Stadia flexion dan postflexion larvae di sebelah kanan dan ventral hingga pangkal sirip anal. Usus (diukur mulai sirip anal ketika awal terbentuknya sirip anal) sampai 30-40% BL. Bagaimanapun, usus akan tertarik kembali tepi badan ketika berubah menjadi larva dan kemudian hanya mencapai 23-30% BL. Gelembung renang terdapat dibagian ventral dari usus terisi pada malam hari dan akan tereduksi selama metamorfosis. (Fahay, 1983. Guide to the early stages of marine fishes occurring in the Western North Atlantic Ocean, Cape Hatteras to the Southern Scotian Shelf).

Mulut +kepala mata + kepala badan badan + btng ekor sirip ekor Spesies : Apogon sp.

Stadia : Juwana

Ekor badan badan badan post larva/ kepala

Family : Phosichthydae Stadia : Post larva

Deskripsi : Tubuh agak memanjang berbentuk torpedo, sirip yang lebih berkembang terdiri atas sirip perut berupa lembaran membrane filament halus berjumlah antara 7-9 lembaran, sirip punggung belum berkembang dengan sempurna di ujung belakang dorsal sebelum batang ekor. Sirip ekor berbentuk


(4)

truncate, sirip anal terlihat sejajar dengan sirip punggung dibagian ventral sebelum batang ekor. Myosepta dan myomer sangat jelas kelihatan, tubuh bening dengan garis linea yang nampak ditengah badan mulai daribelakang tutup ingsang sampai ujung batang ekor. mata masih besar dan k mulut sub terminal. Pigmentasi terbentuk dengan jelas disekitar kepala dan diatas mata. Sedangkan dibagian tubuh lain hanya nampak jelas dibagian pangkal sirip pada masing masing bagian.

Spesies : Aseragoddes sp. Stadia : Prolarva

kepala ventral badan vertebrae ekor+ sirip

Deskripsi : Larva Spesies ini lebih mirip larva sinoglossis sp., yang membedakannya hanya lebar badan dari Spesies ini lebih besar dibanding sinoglossis, bentuk mulut dan posisi rahang berbeda dengan Sinoglossus sp.. Kepalanya juga lebih besar dan usus dibagian ventralnya sudah mulai nampak terbentuk, sirip halus yang sangat tipis sudah namapak terlihat mengelilingi bagian sisi ventral dan dorsal tubuhnya tanpa kecuali pada bagian kepala, dan hanya tersisa bagian depan sebelum mulut, sedangkan batas tumbuh sirip dibagian ventral sapai pada bagian perut bawah. Jika dilihat secara sepintas panjang tubuhnya hampir sama dengan lebar tubuhnya terutama disebabkan oleh terjadinya pelebaran pada bagian perut pada Stadia ini. Tubuh juga sangat pipih dan tipis.

Literatur :Larval soleids mempunyai badan yang pipih, menyamping, terdapat suatu saluran usus. pada awalnya bagian sisinya simetris. Ada 33-47 myomeres (4-20 + (4-20-38). Preanal myomeres berkurang seiring dengan pertumbuhan karena anal berpindah ke depan. Usus berupa tabung yang tebal bergulung, dan tampak di bawah sirip perut, tidak terjumbai. Anal lebih sempit. pada preflexion larva biasanya lebih besar dari 50% BL, karena anus berpindah secara perlahan ke depan. Pada postflexion larva kurang dari 50% BL. Dari Stadia flexion usus akan melurus dan tereduksi kembali ke dalam rongga yang abdominal, pada saat anal tidak di posterior bagian usus. Gelembung renang pada beberapa Spesies terdapat dipertengahan hingga ke pertengahan ventral usus. kepala yang dimampatkan bersifat moderat dalamkeadaan variabel dan ukuran yang melebar. Tetapi menjadi dibulat dengan suatu profil di bagian belakang lebih cembung (kecuali selama perpindahan mata dibeberapa Spesies). Mulut pendek dan biasanya bulat.


(5)

Prolarva post larva/kepala badan ekor ekor

Spesies : Urolophus sp. Stadia : Yolk sac larvae

Telur yolk sac preplexion larva


(6)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Perbedaan karakter fisika kimia perairan di Teluk Palabuhan Ratu berkorelasi erat terhadap kelimpahan dan distribusinya dan dibagi atas tiga bagian yaitu: habitat muara, transisi dan laut lepas. Perbedaan karakter lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap komposisi larva yang tertangkap selama bulan pengamatan. Kelimpahan setiap spesies relatif lebih besar dan jumlahnya berfluktuasi setiap bulan.

Pola distribusi larva ikan secara temporal untuk habitat muara, transisi dan laut lepas di perairan Teluk Palabuhan Ratu tidak menunjukkan perbedaan yang besar dalam perolehan jumlah spesies setiap bulannya, tetapi menunjukkan perbedaan jumlah dalam induvidu (dalam satu spesies) yang berfluktuasi secara temporal mengikuti musim. Secara spasial, larva ikan dominan lebih banyak ditemukan di daerah muara dan transisi. Pola distribusinya dapat terlihat melalui tingkatan stadia yang ditemukan mengikuti naluri pemijahan dan mencari makanan, terlihat dari kelimpahan yang lebih tinggi di daerah dekat daratan yang mempunyai zat hara yang relatif tinggi.

5.2. Saran

Mengingat sampling pada penelitian ini terbatas pada daerah permukaan saja dan dilakukan secara horizontal, maka disarankan agar dilakukan sampling dikedalaman dengan metode penyisiran secara vertikal.