yang tidak dikenalnya. Namun kadang kala sebelum klaim tersebut disadari, laporan ini juga berlaku untuk anak dirumah sakit, yang
situasinya tidak hanya menyebabkan perpisahan dari keluarga, dan lingkungan yang tidak dikenalnya, tetapi juga menambah stres akibat
pengalaman nyeri dan membuat stres Basfort slevin, 2006.
2.3 Tingkah Laku Anak Saat Menjalani Rawat Inap Beserta Stresor dan
Reaksi Anak
Anak akan menunujukkan berbagai tingkah laku sosial sebagai reaksi terhadap pengalaman rawat inap. Menurut Robert 2000, tingkah laku
mengarah ke moral baik buruk, seperti cara kita bersikap dan berbicara serta bergaul dengan anak,semuanya akan ditangkap secara perlahan-lahan dan
simulatif. Menurut Thorndike dalam Muhibin Syah 2006 tingkah laku adalah menekankan pada proses interaksi antara stimulus dan respon yang biasanya
berupa pikiran, perasaan atau gerakan. Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keaneka ragaman perasaan. Seperti takut, marah, sedih,
gembira, senang, benci, was-was dan juga dapat dianggap sebagai perwujudan dari perilaku belajar.
Menurut Sarwono 1983, dalam Sunaryo, 2004, ciri-ciri prilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial perilaku atau
tingkah laku sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, tiap individu adalah unik. Menurut kamus bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
perilaku sosial adalah tanggapan, reaksi individu anak terhadap rangsangan atau lingkungan dan berkenaan dengan masyarakat.
Stresor utama dari rawat inap antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut
dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan, atau hospitalisasi rawat inap.
a. Cemas Akibat Perpisahan
Stresor utama dari masa usia prasekolah adalah kecemasan akibat perpisahan, disebut juga depresi anaklitik Wong, 2008. Perilaku tingkah
laku utama sebagai respon terhadap stresor ini selama masa prasekolah adalah terjadinya fase protes, putus asa, pelepasan adaptasi.
Menurut Wong 2008, selama fase protes, anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua. Mereka menangis dapat terus
berlangsung hanya berhenti bila lelah dan berteriak memanggil orang tua mereka, menolak perhatian dari orang lain, dan kedudukan mereka tidak dapat
ditenangkan, perilaku lain yang diobserfasi yaitu anak menyerang orang asing secara verbal misal, “pergi”, menyerang orang asing secara fisik misal;
menendang, menggigit, memukul, mencubit. Anak mencoba kabur untuk mencari orang tuanya, mencoba menahan orang tuanya secara fisik agar tetap
tinggal. Perilaku-perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari, namun pada anak prasekolah fase protes terjadi tidak
langsung dan kurang agresif dibanding anak yang lain serta dilampiaskan pada benda lain.
Universitas Sumatera Utara
Selama fase putus asa, tangisan berhenti dan muncul depresi, anak tersebut menjadi kurang begitu aktif, tidak tertarik untuk bermain atau
terhadap makanan, menarik diri dari orang lain, tidak komutatif. Mundur ke perilaku awal misal; mengisap ibu jari, mengompol, menggunakan dot.
Lamanya perilaku tersebut berlangsung bervariasi. Fase pelepasan, disebut juga penyangkalan. Tahap ini secara superfisial
tampak bahwa anak akhirnya menyesuaikan dirinya terhadap kehilangan. Anak tersebut menjadi lebih tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan
orang lain, dan tampak membentuk hubungan baru. Akan tetapi, tingkah laku ini merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan tanda-tanda
kesenangan, pada anak prasekolah tahap ini terdapat otonomi, ragu-ragu atau malu, rasa bersalah. Anak memisahkan diri dari orang tua sebagai upaya
menghilangkan nyeri emosional karena menginginkan kehadiran orang tua dan mengatasinya dengan membentuk hubungan yang yang dangkal dengan
orang lain, menjadi makin berpusat pada diri sendiri, dan semakin berhubungan dengan objek materi. Meskipun perkembangan ke tahap
pelepasan jarang terjadi, tahap-tahap awal sering terlihat sekalipun perpisahan dengan orang tua terjadi sangat singkat.
b. Kehilangan Kendali
Anak prasekolah juga menderita akibat kehilangan kendali yang disebabkan oleh restriksi fisik, perubahan retunitas, dan ketergantungan yang
harus dipatuhi. Kemampuan kognitif spesefik yang membuatnya merasa sangat berkuasa dan membuatnya kehilangan kendali begitu juga dengan
Universitas Sumatera Utara
reaksi mereka terhadap perpisahan, nyeri, sakit, dan rawat inap. Lingkungan yang tidak dikenal atau pengalaman tanpa ada persiapan yang adekuat menjadi
menakutkan bagi anak dan bahkan rawat inap merupakan hukuman bagi kesalahan baik yang nyata atau khayalan. Respon terhadap pemikiran
semacam ini anak biasanya merasa malu, bersalah, dan takut. c.
Cedera Tubuh dan Nyeri Anak prasekolah sulit membedakan antara diri mereka sendiri dan dunia
luar. Mereka berfokus pada kejadian eksternal yang dirasakan, anak-anak mendefinisikan penyakit berdasarkan apa yang diberituhukan pada mereka
atau bukti eksternal yang diberikan, konflik psikoseksual anak prasekolah sangat terhadap ancaman cedera tubuh. Tindakan keperawatn yang
menimbulkan nyeri maupun yang tidak merupakan ancaman baginya yang konsep integriats tubuhnya belum berkembang baik. Ak prasekolah dapat
menunjukkan skala nyeri dengan tepat, anak yang berusia 3 tahun dapat menggunakan alat pengkajian yang menggunakan ekspresi wajah terhadap
nyeri.
2.4 Memaksimalkan Manfaat dari Rawat Inap