2. Pembahasan
Dari penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa anak prasekolah saat menjalani rawat inap mengalami fase protes, fase putus asa dan pelepasan. Hasil
penelitian ini sesuai dengan pendapat Wong 2008 yang menyatakan bahwa dampak dari perpisahan akibat rawat inap pada anak prasekolah akan timbul
berbagai respon terhadap stresor, diantaranya terjadinya fase protes, fase putus asa, dan fase pelepasan.
Hasil dari penelitian untuk anak yang mengalami fase protes pada pengamatan pertama sebanyak 12 orang anak 38,7, pada pengamatan kedua
sebanyak 6 orang anak 19,4 dan pada pengamatan ketiga sebanyak 4 orang anak 12,9. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan jumlah anak yang
mengalami fase protes, anak berangsur-angsur mulai menerima keadaannya sehingga anak merasa putus asa dengan apa yang telah terjadi padanya.
Menurut Wong 2008, fase protes terjadi akibat anak belum siap untuk dirawat. Pada saat seorang anak prasekolah masuk rumah sakit, perawat melakukan
beberapa prosedur penerimaan yang cukup universal. Salah satu keputusan yang dibuat adalah pemilihan ruangan.
Pertimbangan minimum untuk menentukan ruangan adalah usia, jenis kelamin, dan sifat dari penyakit. Akan tetapi idealnya pemilihan ruangan harus
dilakukan berdasarkan keanekaragaman kebutuhan perkembangan dan psikobiologis. Penentuan teman sekamar yang sesuai, baik bagi anak-anak
maupun bagi orang tua rawat gabung, sangat mempengaruhi potensi pertumbuhan dari pengalaman rumah sakit tersebut. Oleh karena itu bantuan perawat pada
Universitas Sumatera Utara
prosedur penerimaan merupakan hal yang sangat penting. Hasil pengamatan peneliti, bahwasanya perawat menggabungkan anak prasekolah di satu rungan
terdiri dari beberapa usia anak yang tidak sama kisaran usia perkembangannnya dan jenis kelaminnya, akan tetapi di ruangan RB4 tersebut hanya dibedakan antara
ruang infeksi dengan ruang non infeksi dan ruang VIP anak. Untuk anak yang mengalami fase putus asa pada pengamatan pertama
sebanyak 14 orang anak 45,2, pada pengamatan kedua sebanyak 8 orang anak 25,8, dan pada pengamatan ketiga sebanyak 5 orang anak 16,1. Hasil
penelitian menunjukkan adanya penurunan jumlah anak yang mengalami fase putus asa, dan anak mulai menerima kenyataannya sehingga anak menerima
lingkungan yang ada. Menurut Supartini 2004, perawatan anak prasekolah dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakan
aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan lingkungan rumah, permainan dan teman sepermainannya sehingga menyebabkan anak merasa putus asa. Perawatan
rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktifitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri dan anak menjadi tergantung pada
lingkungannya. Akhirnya anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya. Perawat harus mampu bekerja sama dengan anak baik itu dalam
mempertahankan jalur IV ataupun yang lainnya. Dalam mengawali tindakan terlebih dahulu perawat menjelaskan kepada anak bahwasanya tindakan tersebut
tidak menimbulkan sakit pada anak dan menjelaskan kepada anak tujuan dari anak dirawat, dan perawat harus mampu mempertahankan kontak mata dengan anak
dengan bantuan orang tua.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan perawat di ruang anak RB4 memperlihatkan bahwasanya setiap melakukan tindakan perawat tidak menjelaskan kepada anak tujuan anak dirawat,
dan tindakan yang akan dilakukan. Kontak mata antara perawat dengan anak sangatlah kurang disebabkan perawat sibuk dengan pasien yang lain yang harus
mendapatkan tindakan. Orang tua anak berusaha mengajak anaknya untuk bicara dan mempertahankan kontak mata agar anaknya mau menjalani rawatan yang
diberikan. Untuk anak yang mengalami fase pelepasan, pengamatan pertama sebanyak
10 orang anak 32,3, pada pengamatan kedua sebanyak 7 orang anak 22,6, dan pada pengamatan ketiga sebanyak 6 oarang anak 19,4. Menurut Wong
2008, lingkungan yang akrab juga meningkatkan penyesuaian anak terhadap perpisahan yang dapat menimbukan fase pelepasan. Jika orang tua tidak dapat
melakukan rawat gabung, mereka harus membawa barang kesukaan anak dari rumah ke rumah sakit untuk bersamanya seperti selimut, mainan, botol, peralatan
makanan atau pakaian, dengan demikian anak mendapatkan rasa nyaman dan ketenangan dari barang-barang miliknya tersebut. Perawat harus mampu
mengevaluasi stimulus di lingkungan dari sudut pandangan anak pertimbangkan juga apakah anak dapat melihat atau mendengar apa yang terjadi pada pasien yang
lain dan melakukan setiap upaya untuk melindungi anak dari pemandangan, bunyi dan peralatan yang menakutkan atau tidak dikenal.
Tindakan perawat di ruang RB4 dalam masalah ini perawat hanya menjaga lingkungan agar tidak bising dengan suara-suara yang ada, membatasi pengunjung
rumah sakit, namun masih ada tindakan yang dilakukan kepada pasien lain yang
Universitas Sumatera Utara
dilihat langsung oleh anak tanpa membuat sekat atau sampiran. Orang tua anak ada yang membawa mainan anak seperti boneka dan mobil-mobilan.
Maka dapat disimpulkan bahwa tingkah laku anak prasekolah pada setiap fase mengalami perubahan, hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhinya
dianataranya usia anak yang paling dominan berusia 6 tahun, lama perawatan rawat inap yang sudah dilewati oleh anak 16-20 jam, dan pengalaman rawat inap
anak sebelumnya. Menurut Wong 2008 walaupun rumah sakit sangat membuat stres bagi anak dan keluarga, tetapi hal tersebut juga dapat membantu untuk
memfasilitasi perubahan kearah positif antara anak dan anggota keluarganya apalagi bila anak di rawat dalam waktu yang lama yaitu antara lain; membantu
perkembangan hubungan orang tua-anak, memberikan kesempatan untuk pendidik, meningkatkan pengendalian diri, memberi kesempatan untuk sosialisasi.
Pengalaman rawat inap dapat menjadi pelajaran bagi anak prasekolah. Sesuai dengan pendapat Nursalam 2005, tingkah laku anak yang
diperlihatkan merupakan reaksi terhadap pengalaman rawat inap. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak,
pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya.
Menurut Hidayat 2009, keluarga merupakan unsur penting dalam perawatan anak mengingat anak bagian dari keluarga. Sebagai perawat, dalam memberikan
pelayanan keperawatan anak harus mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan baik berupa pemberian tindakan keperawatan
langsung maupun pemberian pendidikan kesehatan pada anak. Peran perawat
Universitas Sumatera Utara
dalam meminimalkan stress akibat hospitalisasi pada anak adalah sangat penting. Perawat perlu memahami konsep stres hospitalisasi dan prinsip-prinsip asuhan
keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan. Stres yang utama selama mengalami hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kontrol, adanya luka di
tubuh, dan rasa sakit. Reaksi setiap anak terhadap krisis ini adalah dipengaruhi oleh perkembangan umur, pengalaman mereka terhadap penyakit, perpisahan
ataupun hospitalisasi, kemampuan koping, keseriusan penyakit, dan tersedianya sistem pendukung. Hidayat mengatakan untuk mencapai perawatan tersebut
beberapa prinsip yang dapat dilakukan perawat antara lain, menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga, meningkatkan kemampuan orangtua
dalam mengontrol perawatan anak, mencegah atau mengurangi cedera injury dan nyeri dampak psikologis, tidak melakukan kekerasan pada anak, dan
modifikasi lingkungan fisik. Menurut Wong 2008, rencana asuhan yang efektif untuk anak yang di rawat
inap dibuat berdasarkan kebutuhan pasien dan keluarga yang terindefikasi, dan juga apa yang telah diidentifikasi oleh perawat. Tujuan utama perencanaan bagi
anak yang sedang sakit dan atau rawat inap adalah anak akan siap untuk rawat inap, anak akan mengalami sedikit persiapan atau bahkan tidak sama sekali, anak
akan mempertahankan rasa pengendalian, anak akan menunjukkan penurunan ketakutan terhadap cedera tubuh, anak akan mengalami penurunan nyeri yang
dapat diterima oleh anak, anak akan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan yang tepat sesuai perkembangan, anak akan
mendapatkan manfaat maksimal dari rawat inap.
Universitas Sumatera Utara
Perawat memastikan bahwa mainan dan aktifitas yang lain tersedia dan anak ditempatkan dalam satu ruangan dengan anak lain yang kisaran usia
perkembangannya sama. Kondisi kenyataan yang ada dari hasil penelitian, bahwasanya tidak adanya
persiapan yang dibutuhkan anak pada hari masuk rumah sakit sesuai konseling prarumah sakit yang akan terjadi dalam prosedur medis awal dan perawat
menggabungkan anak prasekolah di satu ruangan terdiri dari beberapa usia anak yang tidak sama kisaran usia perkembangannya. Dari ruangan membatasi jumlah
pengunjung, namun menerima kehadiran orang tua setiap waktu untuk menemani dan mendampingi anak agar dapat meminimalkan efek dari perpisahan. Perawat
tidak melakukan tour hospitalisasi pada anak dan orang tua disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perawat sibuk dengan pasien lainnya yang harus
diberikan tindakan keperawata. Untuk melakukan tindakan keperawatan pada anak seperti pemasangan IV
atau menginjeksi, perawat tidak menjelaskan kepada anak terlebih dahulu manfaat dari pada pemasangan IV dan di injeksi sesuai dengan tingkat pengetahuan atau
perkembangan anak, sebelum melakukan tindakan keperawatan perawat tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang atau menyentuh alat
tersebut alat-alat non steril agar anak tahu bahwasanya alat tersebut tidak menyakiti dirinya, perawat memaksa anak untuk mau di infus atau di injeksi
sehingga perawat membiarkan anak untuk menangis. Namun di dalam melakukan tindakan keperawatan, orang tua anak tetap menemani anaknya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN SARAN