Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Oreochromis sp Deskripsi dan Komposisi Daun Jambu Biji

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila Oreochromis sp

Ikan nila berbentuk agak pipih, pada badan dan ekor terdapat garis-garis vertikal, sedangkan pada sirip punggung dan sirip dubur garisnya memanjang. Ikan nila memiliki sirip punggung, sirip dubur, dan sirip perut yang masing- masing mempunyai jari-jari lunak dan jari-jari keras yang tajam seperti duri Suyanto 1994. Bentuk tubuh ikan nila dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Ikan nila Oreochromis sp. Klasifikasi ikan nila menurut Saanin 1984 sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterygii Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis sp Ikan nila merupakan ikan omnivora yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan. Ikan ini dapat hidup di lingkungan air tawar, payau, dan asin. Nilai pH air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5. Namun pertumbuhan optimalnya pada pH 7-8. Suhu optimal ikan nila berkisar berkisar antara 25-35 C. Air yang kaya plankton merupakan sumber makanan ikan nila. Ikan nila mampu tumbuh cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25 Suyanto 1994. Komposisi kimia ikan nila setiap 100 g daging dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ikan nila setiap 100 g daging. Senyawa kimia Jumlah Air 79,44 Protein 12,52 Lemak 2,57 Abu 1,26 Sumber : Suyanto 1994. Pada perairan air tawar, ikan nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas, maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, danau, waduk, rawa, sawah, tambak air payau, atau di dalam jaring terapung di laut. Di daerah tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 meter di atas permukaan air laut Suyanto 1994.

2.2. Deskripsi dan Komposisi Daun Jambu Biji

Jambu biji termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Myrtales, dan dalam Suku Myrtaceae. Daun jambu biji bertulang menyirip, berbintik, berbentuk bundar telur agak menjorong atau agak bundar sampai meruncing, panjang helai daun 6 cm sampai 14 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm, panjang tangkai 3 mm sampai 7 mm; daun yang muda berbulu, daun yang tua permukaan atasnya menjadi licin. Daun jambu biji mempunyai morfologi tunggal, bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata, berhadapan, panjang 6-14 cm, lebar 3-6 cm, pertulangan menyirip dan mempunyai warna daun hijau kekuningan ataupun hijau Syamsuhidayat dan Hutapea 1991. Jambu biji dikenal dengan nama Psidium guajava InggrisBelanda, jambu biji Indonesia, jambu klutuk, bayawas, tetokal, tokal Jawa, jambu klutuk, jambu batu Sunda, dan jambu bender Madura Heyne 1987. Morfologi daun jambu biji dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Daun jambu biji Psidium guajava. Daun jambu biji merupakan bagian dari pohon jambu biji yang biasa digunakan sebagai ramuan obat tradisional untuk penyembuhan penyakit diare, radang lambung, sariawan, keputihan, dan diabetes militus. Daun jambu biji mengandung senyawa aktif saponin, flavonoid, minyak atsiri, tanin, eugenol, dan triterpenoid. Senyawa polifenol yang mendominasi daun jambu biji ialah flavonoid 1,4 dan tanin BPOM 2004. Syamsuhidayat dan Hutapea 1991 menyatakan daun jambu biji mengandung saponin, flavonoid, tanin serta mengandung minyak atsiri. Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan taninnya mencapai 17,4 persen. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Rebusan daun jambu biji pada konsentrasi 10 mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan konsentrasi 2 menghambat Staphylococcus aureus Winarno 1998. Ada beberapa jenis atau varietas jambu biji yang banyak dikenal masyarakat Parimin 2005 antara lain : a. Jambu biji kecil Jambu biji kecil atau jambu biji menir adalah salah satu jenis jambu biji yang unik dan menarik. Jenis jambu biji ini memiliki ukuran daun sekitar 4 cm dan lebar sekitar 1 cm. Warna daunnya hijua tua dengan bentuk bulat panjang. Buahnya serba kecil dengan bobot maksimal 12 gbuah. Rasa buah manis, sedikit asam dan beraroma harum. b. Jambu biji sukun Jambu biji sukun merupakan salah satu jenis jambu biji tanpa biji triploid. Jambu biji ini buahya berbentuk simetris atau persegi panjang. Jambu biji sukun memiliki bobot buah rata-rata 400-500 gbuah. Warna daunnya hijau dan berbentuk kipas dengan panjang 10-11 cm dan lebar 7-8 cm. Rasa buah manis dan segar. c. Jambu biji bangkok Jambu biji bangkok mulai populer pada tahun 1980. Buahnya berukuran besar dengan bobot sekitar 500-1.200 gbuah. Daging buah tebal, berwarna putih. Kulit buah berwarna hijau muda mengkilap bila sudah matang. d. Jambu biji variegata Jambu biji variegata memiliki daun berwarna hijau tua polos tanpa belang- belang merah. Tanaman ini merupakan hasil mutasi tanaman dari varietas jambu biji Kampuchea. Buah berbentuk bulat simetris dengan diameter sekitar 4 cm. Bobot buah sekitar 15-18 gbuah. e. Jambu biji australia Jambu biji Australia memilki ciri yang unik, yaitu batang, daun, maupun buahnya berwarna merah tua. Daunnya berbenuk bulat memanjang dengan ukuran 12-13 cm dan lebar 6-7 cm. Daging buah berwarna putih, berbiji banyak, dan rasanya manis. f. Jambu biji brasil Jambu biji Brasil memilki ukuran buah kecil dan berwarna kemerahan setelah matang. Batangnya seperti jambu biji pada umumnya. Daunnya berwarna hijau mengkilap, bentuknya seperti kipas, dan letaknya saling berhadapan. Panjang daun sekitar 3-5,5 cm dan lebar 2,5 cm. Kulit buahnya berwarna merah mengkilap dan dagingnya putih. g. Jambu biji merah getas Jambu biji merah getas merupakan hasil temuan Lembaga Penelitian Getas, Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 1980-an. Jambu biji ini merupakan hasil silangan antara jambu pasar minggu yang berdaging merah dengan jambu biji bangkok. Jambu biji mrah getas memilki keunggulan antara lain daging buahnya merah menyala atau merah cerah, tebal, berasa manis, harum dan segar. Ukuran buahnya cukup besar dengan ukuran 400 gbuah. Daun jambu biji merah getas berwarna hijau tua. Panjang daun sekitar 6-14 cm. Kulit buah berwarna hijau muda sampai hijau kekuningan bila telah matang. h. Jambu biji susu Jambu biji berasal dari pasar minggu. Bentuk buahnya jambu biji susu bulat dan meruncing di bagian dekat tangkai buah. Warna daunnya hijau tua. Panjang daun sekitar 5-11 cm dan lebar 4-5 cm. Bobot buah sekitar 300 gbuah dengan diameter 7,5 cm. i. Jambu biji khemer Jambu biji khemer memilki benuk buah bulat panjang dan melancip di bagian tangkainya, kulit buah berwarna hijau kekuningan, dan daging buahnya bberwarna merah. Bobot buah jambu biji khemer sekitar 350 gbuah. j. Jambu biji bangkok epal Jambu bangkok epal atau epal biji banyak dikenal di Malaysia. Bobot buahnya hanya 400 gbuah. Permukaan kulit buahnya halus, rata, dan licin. Warna buah saat matang hijau kekuning-kuningan. k. Jambu biji pasar minggu Merupakan hasil seleksi kultivar jambu biji kebun rakyat pada tahun 1920-1930. Bobot buah jambu sekitar 150-200 gbuah. Bentuk buahnya agak lonjong seperti alpukat. Daging buahnya merah, berasa manis, bertekstur lembut, dan beraroma harum. 2.3. Senyawa Antimikroba Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya, berkemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat atau dibunuh secara fisik maupun kimia. Zat antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba tersebut Pelczar dan Chan 1988. Antibakteri ini hanya digunakan jika mempunyai sifat toksisitas artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua jenis yaitu yang memiliki aktivitas bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri dan yang memiliki aktivitas bakterisidal membunuh bakteri. Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bakterisida pada konsentrasi tinggi Schunack, Mayer, Haake 1990. Beberapa kelompok bahan antibakteri adalah fenol, alkohol, halogen, logam berat, detergen, aldehida dan kemosterilisator gas Pelczar dan Chan 1988. Senyawa fenol digunakan sebagai bakteriostatik atau bakterisida tergantung dari kadar konsentrasi. Apabila digunakan dalam konsentrasi yang tinggi, fenol bekerja dengan merusak membran sitoplasma secara total dengan mengendapkan protein sel, akan tetapi, bila dalam konsentrasi 0,1-2, fenol merusak membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran metabolit penting dan menginaktifkan sejumlah sel bakteri Wisley dan Wheeler 1993 diacu dalam Inayati b 2007. Senyawa antibakteri bekerja dengan cara merusak dinding, merubah permeabilitas sel, mendenaturasi protein sel, menghambat kerja enzim dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein. Hal ini sesuai pendapat Pelczar dan Chan 1988, yaitu bahwa zat-zat anti mikrobial merusak mikroba dengan berbagai cara, yaitu dengan merusak dinding sel, merusak membran plasma yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, mendenaturasi protein dan asam-asam nukleat, menghambat kerja enzim, menghambat sintesis asam nukleat dan protein. Johnson 1994 diacu dalam Inayati b 2007 menambahkan bahwa aktivitas kerja senyawa antimikroba dalam menghambat atau membunuh mikroba dipengaruhi oleh pH, stabilitas senyawa antimikroba, lingkungan mikroba, jumlah mikroorganisme yang ada, dan aktivitas metabolime mikroorganisme. Banyak faktor dan keadaan yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri, antara lain konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, spesies bakteri, adanya bahan organik, suhu, dan pH lingkungan Pelczar dan Chan 1988. Konsentrasi minimum yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri dikenal sebagai konsentrasi hambat tumbuh minimum KHTM. Sifat antibakteri dapat berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang berspektrum luas bila menghambat atau membunuh bakteri gram positif dan gram negatif, berspektrum sempit bila menghambat atau membunuh bakteri gram positif atau gram negatif saja, dan berspektrum terbatas bila efektif terhadap spesies bakteri tertentu Todar 1997. Flavonoid merupakan senyawa yang dapat larut dalam air dan berperan sebagai faktor pertahanan alam. Menyatakan bahwa etanol 70 dapat mengekstrak flavonoid. Steroid terdapat pada lapisan malam lilin daun dan buah yang berfungsi sebagai pelindung atau menolak serangga dan serangan mikroba Harborne 1987. Menurut Zhu et al 2000 diacu dalam Sugiharti 2007 steroid dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif. Alkaloid menurut Harborne 1987 merupakan senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam bentuk gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga dapat digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, bersifat optis aktif, berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Menurut Jouvenaz, Blum, Macconnell 1972 dan Karou 2006 senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif, namun demikian mekanisme penghambatan senyawa alkaloid terhadap bakteri belum jelas, Karou 2006 menyatakan bahwa senyawa alkoloid menyebabkan lisis sel dan perubahan morfologi bakteri. Tanin merupakan senyawa oligomer kompleks dari satuan berulang dengan gugus fenolik bebas. Tanin mengandung gugus hidroksi fenolik dan gugus lain yang cocok seperti karboksil untuk memebentuk kompleks yang stabil dengan protein dan makromolekul lain secara efektif dalam kondisi yang sesuai Horvarth 1981 diacu dalam Inayati a 2007. Tanin mudah larut dalam pelarut polar, seperti air, dioksan, aseton, alkohol; sedikit larut dalam pelarut etil asetat, dan tidak larut dalam pelarut non-polar seperti eter, kloroform, dan benzena Desphande, Cheriyan, Stalunkhe 1986. Kristal tanin berwarna putih-kuning sampai coklat muda bila terkena cahaya matahari, dan berwarna cokelat tua apabila teroksidasi. Tanin terdapat pada bagian daun, batang, dan akar pada suatu tanaman. Pada daun tanaman, tanin biasanya berada di dalam vakuola dan lapisan lilin permukaan daun Foo dan Forter 1980. Mekanisme penghambatan tanin terhadap bakteri menurut Brannen dan Davidson 1993 diacu dalam Inayati b 2007 adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim essensial, dan destruksi atau inaktivasi fungsi material genetik. Hemingway dan Karchesy 1989 menyatakan tanin dapat menyembuhkan penyakit diare dengan menciutkan dinding sel perut yang rusak karena asam atau bakteri. Tanin digolongkan dalam dua kelas yaitu tanin terkondensasi proantosianin dan tanin terhidrolisis. Jenis tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan C-C penghubung antar satuan terputus dan dibebaskan monomer antosianidin Harborne 1987. Menurut Ribereau 1972 diacu dalam Inayati a 2007 reaksi tersebut menghasilkan senyawa bernama flobalen tanin merah. Proantosianidin. adalah polimer flavan-3-ol atau katekin yang tidak rentan terhadap hidrolisis. Tanin terkondensasi memilki BM 20.000 dan terdapat dalam bentuk yang kompleks Reed 1995 diacu dalam Inayati a 2007. Proantosianidin disebut sebagai tanin terkondensasi karena secara biosintesis dapat dianggap terbentuk secara kondensasi katekin tunggal galokatekin yang membentuk dimer lalu oligomer. Beberapa aktivitas dari tanin terkondensasi adalah menurunkan permeabilitas membran, dan menghambat aktivitas enzim destruktif Haslam 1989 diacu dalam Inayati a 2007. Tanin terhidrolisis dengan BM 500-5.000, mudah dihidrolisis baik secara kimia maupun dengan enzim. Jenis tanin ini merupakan ester dari gula sederhana dengan satu atau lebih polifenol asam karboksilat sehingga mudah dihidrolisis dengan asam, basa dan enzim. Tanin terhidrolisis lebih rentan terhadap hidrolisis enzimatik dan non enzimatik dibandingkan dengan proantosianidin. Menurut produk hidrolisisnya, tanin terhidrolisis diklasifikasikan menjadi galotanin dan elagitanin. Galotanin merupakan gabungan asam galat dan glukosa sedangkan elagitanin merupakan gabungan asam elagat dan glukosa Haslam 1989 diacu dalam Inayati a 2007 Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping itu, sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid dapat larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan alkohol. Beberapa flavonoid tanaman memilki bermacam-macam aktivitas biologis, seperti antivirus, antifungi, antipembengkakan, dan sitotoksik, antioksidan, dan antibakteri Sakanaka et al 1986 diacu dalam Inayati a 2007. Flavonoid yang termasuk senyawa fenol dan bersifat agak asam akan berubah warna jika ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi Markham 1998. Flavonoid berdasarkan kelarutannya dapat terbagi dua yaitu flavonoid yang bersifat kurang polar contohnya : flavonones dan aglycone serta flavonoid yang bersifat lebih polar contohnya : flavonoid glikosida Marston dan Hostettmann 2006. Flavonoid merupakan golongan senyawa fenolik alami yang paling besar, selain fenol sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik Harborne 1987. Flavonoid tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi, dan perubahan kimia. Sifat ini dapat menyebabkan struktur flavonoid berubah sehingga keaktifannya dapat menurun bahkan hilang Funamaya et al 1993 diacu dalam Inayati a 2007. Flavonoid dapat dipakai dalam berbagai pengobatan tradisional. Flavonoid dapat menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase, dan lipooksigenase. Flavonoid sering bertindak sebagai senyawa pereduksi yang menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non-enzim. Senyawa polifenol mempunyai kemampuan membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga mampu menghambat aktivitas kerja enzim Robinson 1995. 2.4. Ekstraksi Ekstraksi adalah peristiwa pemisahan zat terlarut solut diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur Adijuwana dan Nur 1989. Ekstraksi dapat diartikan juga cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen- komponen yang terpisah Winarno, Fardiaz 1973. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fase air aqueus phase dan fase organik organic phase. Ekstraksi fase air menggunakan air sebagai pelarut sedangkan ekstraksi fase organik menggunakan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya. Kelarutan zat di dalam pelarut tergantung dari kepolarannya. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat yang non-polar hanya larut dalam pelarut non-polar. Bahan-bahan organik tidak selalu larut dalam air, oleh karena itu dapat dipisahkan dengan corong pemisah. Hal lain yang harus diperhatikan adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut Harborne 1987. Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terdiri dari sokletasi, arus balik dan ultrasonik Harborne 1987. Penelitian ini menggunakan metode maserasi. Tingkat kepolaran beberapa jenis pelarut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat titik didih dan kepolaran berbagai jenis pelarut. No Pelarut Titik didih o C Polaritas E o C 1 Etanol 78,3 0,68 2 Aseton 56,2 0,47 3 Etil asetat 77,1 0,38 4 Heksana 68,7 5 Pentena 36,2 6 Diklorometana 40,8 0,32 7 Isopropanol 82,2 0,63 8 Air 100 0,73 9 Propilen Glikol 187,4 0,73 10 Dietil Eter 34,6 Sumber : Mukhopadhyay 2002 diacu dalam Sugiharti 2007. Maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu pelarut dengan lama waktu tertentu, biasanya dilakukan selama sehari semalam 24 jam tanpa menggunakan pemanas. Kelebihan metode maserasi diantaranya metodenya sederhana, tidak memerlukan alat-alat yang rumit dan relatif murah dan metode ini dapat menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas. Kelemahan metode ini diantaranya dari segi waktu dan penggunakan pelarut yang tidak efektif dan efisien karena jumlah pelarut yang digunakan relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama Meloan 1999 diacu dalam Sugiharti 2007.

2.5. Proses Kemunduran mutu ikan