Seks Berisiko PERILAKU BERISIKO PENYEBAB HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) POSITIF (Studi Kasus di Rumah Damai Kelurahan Cepoko Kecamatan Gunungpati Kota Semarang)

Dosis yang digunakan untuk pemula adalah 0,1 mg per hari, namun bagi pecandu dosisnya setiap hari akan bertambah. 0,1 mg per hari hanya cukup untuk menutupi rasa kecanduan, sedangkan agar bisa beraktifitas seperti orang normal atau bukan pecandu membutuhkan dosis yang lebih bahkan sehari minimal 0,5 gram tergantung tingkat kecanduan narasumber. Narasumber sudah memiliki kemauan untuk berhenti namun karena pengaruh dari teman akhirnya kembali mengkonsumsi narkoba lagi. Hal ini terjadi karena pecandu narmoba memiliki kecenderungan gangguan yang disebut adiksi yaitu gangguan psikis, gangguan sosial, gangguan moral, dan gangguan spritual.

5.2. Seks Berisiko

Menurut Weidhart dan Carey dalam Wahyu Raharjo, seks berisiko disebut sebagai keterlibatan individu dalam melakukan aktivitas seksual yang memiliki risiko terkena penyakit menular seperti AIDS. Perilaku seks berisiko tidak hanya perilaku seks dengan banyak pasangan seks saja, namun juga meliputi hubungan seks di usia dini, tidak konsisten dalam penggunaan kondom ketika berhubungan seks, dan hubungan seks dengan orang asing, atau orang yang baru dikenal, serta tidak diketahui secara pasti status kesehatan seksualnya Wahyu Raharjo, 2003. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Damai, empat narasumber Ma, Ja, Bk, dan An pernah berhubungan seksual dengan pasangan masing-masing. Human Immunodeficiency Virus HIV dapat hidup di dalam cairan sperma dan cairan vagina. Karena HIV dapat hidup di dalam cairan sperma dan cairan vagina hal ini dapat menyebabkan penularan HIV melalui hubungan seksual. Oleh sebab itu untuk menghindari penularan HIV melalui hubungan seksual yang berisiko dapat menggunakan alat pengaman yaitu kondom yang digunakan setiap melakukan hubungan seksual. Narasumber melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, sehingga memiliki risiko tertular HIV melalui hubungan seksual. Hal ini sesuai dengan penelitian Tuti Susilowati yang menyatak an bahwa “secara epidemiologi responden dengan pola kebiasaan seks lebih dari satu pasangan mempunyai risiko 2,886 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS. Menurut Agung Saprasetya, Dwi Laksana, Diyah Woro, dan Dwi Lestari 2004, laki-laki homoseksual memiliki faktor risiko penularan seksual lebih tinggi daripada laki-laki heteroseksual. Hal ini tampak dari kecenderungannya untuk memiliki lebih banyak partner seks dan melakukan seks anal, sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung memiliki risiko penularan HIVAIDS lebih tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa memakai kondom. Faktor yang mendorong “An” untuk melakukan hubungan seksual adalah dari diri sendiri namun faktor dari lingkungan juga berpengaruh cukup besar dalam aktifitas seksualnya. 3 narasumber Ja, Bk, dan An pernah mengunjungi tempat prostitusi dan melakukan hubungan seksual dengan WPS minimal 2 kali tanpa menggunakan kondom. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko penularan penularan HIVAIDS baik melalui berganti-ganti pasangan dan penggunaan jasa wanita pekerja seksual WPS, yang sesuai dengan penelitian Gunawan Widiyanto 2008 yang menyebutkan bahwa Perilaku berisiko pada pekerja seks dimana kurang dari 50 pekerja seks yang melaporkan secara rutin menggunakan kondom, dan penelitian Agung Saprasetya, Dwi Laksana, Diyah Woro, dan Dwi Lestari 2004 yang menyebutkan bahwa hanya 20 kelompok laki-laki heteroseksual dan 12 kelompok homoseksual yang selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual. Rendahnya angka pemakaian kondom meningkatkan risiko penularan pada kelompok heteroseksual dan homoseksual.

5.3. Penderita HIV Positif dan PMS