hydrophila S. agalactiae hydrophila agalactiae

42 tersingkat pada hasil perlakuan LD 100 , dengan rincian kode untuk masing-masing inokulan bakteri sebagaimana tertera pada Tabel 3 dan 4. Tabel 4 Perlakuan infeksi LD 50 Perlakuan Tipe bakteri Perbandingan volume bakteri Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A1 + B1 A1 + B1 A1 + B1 A1 + B1 A1 + B1 D1 + E3 D1 + E3 D1 + E3 D1 + E3 D1 + E3 Tryptic Soy Broth Brain Heart Infusion 50 : 50 75 : 25 25 : 75 0 : 100 100 : 0 50 : 50 75 : 25 25 : 75 0 : 100 100 : 0 - - A B C D1 D2 E F G H1 H2 Kontrol Kontrol A. hydrophila dalam TSB dengan masa inkubasi 24 jam A1, S. agalactiae dalam BHI dengan masa inkubasi 24 jam B1, A. hydrophila dalam TSA dengan masa inkubasi 24 jam D1, S. agalactiae dalam BHIA dengan masa inkubasi 72 jam E3. 2 Gambaran Hematologi Analisis gambaran hematologi dan sistem imun dilakukan dengan mengamati sampel darah yang diambil dari ikan perlakuan kemudian diukur kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki 1995, differensial leukosit menurut metode Blaxhall dan Daisley 1973, dan indeks fagositik menurut metode Zhang et al. 2008. Hasil dan Pembahasan Ikan dapat membentuk pertahanan diri terhadap serangan infeksi bakteri. Apabila terjadi suatu serangan patogen atau benda asing pada ikan maka akan terjadi respons imun alami yang melibatkan sirkulasi dan perbaikan jaringan melalui respons fagosit granulosit neutrofil dan eosinofil sel granular monosit, dan sel makrofag. Respons imun alami ini hanya dapat bertahan dan berfungsi dengan baik pada beberapa hari atau minggu setelah adanya invasi bakteri ke dalam tubuh dan berfungsi sebagai respons imun anti-infeksi fase awal. 43 Gambar 11 Total hematokrit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Hasil perlakuan ko-infeksi Kode A, B, C, E, F, dan G dengan perbandingan komposisi cfumL bakteri yang berbeda antara A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan adanya penurunan kadar hematokrit. Hematokrit darah diukur dengan melihat proporsi volume darah yang terdiri dari sel darah merah, plasma atau komponen cairan, dan sel-sel lainnya. Perlakuan infeksi bakteri dapat menurunkan jumlah hemosit sel darah merah dan meningkatkan plasma darah pada setiap perlakuan, terdapat perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan control P0,05, namun tidak berbeda nyata P0,05 jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila Kode D2 dan H2 dan infeksi tunggal S. agalactiae Kode D1 dan H1 Gambar 11. Aktifitas makrofag atau sel mast oleh adanya invasi bakteri dapat mempengaruhi pembentukan mediasi inflamasi dan merangsang transfer serta akumulasi leukosit ke daerah yang terinfeksi. Selama infeksi bakteri sedang berlangsung, adanya respons pertahanan ikan ditandai dengan banyaknya leukosit 50 100 150 A B C D1 D2 E F G H1 H2 Kontrol H em at ok ri t Perlakuan 48 jam Plasma darah 48 jam sel darah 96 jam Plasma darah 96 jam sel darah 144 jam Plasma darah 144 jam sel darah 192 jam Plasma darah 192 jam sel darah 240 jam Plasma darah 240 jam sel darah 44 yang ditransfer sehingga akan nampak adanya peningkatan jumlah leukosit dalam darah yang berfungsi untuk mengeliminasi serangan bakteri Caruso et al. 2002. Gambar 12 Total monosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol Gambar 12, 13, dan 14. Hal ini menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai sel fagosit makrofag yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh ikan Gambar 15. Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri. 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 D L M onosi t Perlakuan 48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam 45 Gambar 13 Total neutrofil ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Gambar 14 Total limfosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Menurut Pan 1999, selama masa infeksi akan terjadi peningkatan yang signifikan dari aktifitas fagositosis oleh neutrofil. Hasil penelitian Zhang et al. 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 D L N eut rof il Perlakuan 48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 D L Li m fosi t Perlakuan 48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam 46 2008, injeksi A. hydrophila 5,2x10 6 cfumL terhadap Bullfrog menunjukkan trend penurunan secara gradual dari presentasi tingkat fagositosis darah, total leukosit dan eritrosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, serta aktifitas antibakterial meningkat. Infeksi A. hydrophila dapat mempengaruhi reaksi imun non-spesifik pada Bullfrog. Gambar 15 Indek fagositik ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan Kontrol. Kematian ikan Nila yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian mencapai 100. Hal ini disebabkan karena adanya toksin mematikan dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut, karena jumlah bakteri yang diinjeksikan sangat tinggi yaitu 10 12 cfumL. Kematian ikan setelah diinjeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dengan perbedaan waktu tanam dalam media yang berbeda sesuai dengan hasil kurva tumbuh pada tahap satu, diperoleh hasil bahwa yang paling mematikan dari isolat bakteri A. hydrophila adalah yang ditanam dalam media TSB dan TSA umur inkubasi 24 jam, sedangkan untuk isolat S. agalactiae adalah yang ditanam 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 Indek s fag osi ti k Perlakuan 0 jam 48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam 47 dalam media BHI umur inkubasi 24 jam dan dalam media BHIA umur inkubasi 72 jam Gambar 16. Gambar 16 Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD 100. A1 A. hydrophila TSB 24 jam, A2 A. hydrophila TSB 48 jam, A3 A. hydrophila TSB 72 jam, B1 S. agalactiae BHI 24 jam, B2 S. agalactiae BHI 48 jam, B3 S. agalactiae BHI 72 jam, C1 A. hydrophila+S. agalactiae TSB 24 jam, C2 A. hydrophila+S. agalactiae TSB 48 jam, C3 A. hydrophila+S. agalactiae TSB 72 jam, D1 A. hydrophila TSA 24 jam, D2 A. hydrophila TSA 48 jam, D3 A. hydrophila TSA 72 jam, E1 S. agalactiae BHIA 24 jam, E2 S. agalactiae BHIA 48 jam, E3 S. agalactiae BHIA 72 jam, F1 A. hydrophila+S. agalactiae 24 jam, F2 A. hydrophila+S. agalactiae 48 jam, F3 A. hydrophila+S. agalactiae 72 jam, dan kontrol. Perbedaan tingkat virulensi ini diduga karena adanya perbedaan kandungan komponen penyusun media tumbuh yang dapat mempengaruhi tingkat kematangan bakteri dan ekspresi virulensi dari masing-masing bakteri. Pengujian ko-infeksi dilakukan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila menggunakan dosis LD 100 dan dosis LD 50 , di mana masing-masing ikan 2 4 6 8 10 12 14 16 18 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 Pengamatan jumlah ikan jam K em at ian ikan ekor A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 E1 E2 E3 F1 F2 F3 Kontrol 48 diinjeksi 0,1 mL inokulan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dengan masa inkubasi berbeda yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Perlakuan ko-infeksi dengan dosis 50:50 A. hydrophila:S. agalactiae menunjukkan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis ko-infeksi 25:75 maupun 75:25. Hasil ko- infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50 dalam waktu inkubasi 2- 12 hari. Gambar 17 Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD 50. A Tipe bakteri A1+B1 50:50, B Tipe bakteri A1+B1 75:25, C Tipe bakteri A1+B1 25:75, D1 Tipe bakteri A1+B1 0:100, D2 Tipe bakteri A1+B1 100:0, E Tipe bakteri D1+E3 50:50, F Tipe bakteri D1+E3 75:25, G Tipe bakteri D1+E3 25:75, H1 Tipe bakteri D1+E3 0:100, H2 Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan kontrol. Hasil uji LD 50 Gambar 17 yang mematikan ikan Nila sebesar 50 dari ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae adalah pada perlakuan B dan E. Perlakuan B adalah campuran 75:25 bakteri A. hydrophila dalam TSB 24 jam dengan S. agalactiae dalam BHI 24 jam. Perlakuan E adalah campuran 50:50 5 10 15 20 25 30 35 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 K em at ian ikan ekor pengamatan jumlah ikan jam A B C D1 D2 E F G H1 H2 Kontrol 49 bakteri A. hydrophila dalam TSA 24 jam dengan S. agalactiae dalam BHIA 72 jam. Kematian yang berbeda diduga karena adanya keterbatasan sistem imunologi ikan yang hanya mampu mengenali finite clonal dari suatu antigen dalam satu waktu sekitar 10 5 sel, dan bahwa setiap antigen memiliki karakter berbeda dalam pengenalan dengan sistem imun non spesifik dari ikan. Setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh ikan, ada yang berhasil dieliminasi oleh sistem imun namun untuk yang lolos dari eliminasi akan menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan penyakit pada inang. Ikan memiliki keterbatasan di dalam memberikan respons imun dan respons pengenalan multi antigen. Keterbatasan kapasitas finite clonal dan proteksi imunitas rata-rata terbatas pada 5x10 5 sel antigen yang dapat dikenali vektor imun ikan sebagai antigen pada satu waktu akan mempengaruhi efektifitas respons imun ikan Busch 1997. Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae ternyata lebih mematikan daripada hasil ko-infeksi dengan tingkat kematian 13- 100. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis tinggi LD 100 dibanding dengan bakteri S. agalactiae, hal ini diduga karena adanya endotoksin yang dimiliki bakteri A. hydrophila yang bersifat sangat toksik lethal toxic. Kebalikannya dengan dosis mematikan LD 50 bakteri S. agalactiae ternyata lebih virulen dibandingkan dengan bakteri A. hydrophila pada ikan Nila. Dilihat dari pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut di mana rata-rata kematian terjadi 3-8 hari pascainfeksi. Sedangkan infeksi MAS bersifat akut dan kronis, di mana kematian akut terjadi hari ke-1 sampai hari ke-3 pascainfeksi dan kematian kronis terjadi 8 hari pascainfeksi, dengan kematian ikan antara 20-100. Mian et al. 2009 menyatakan bahwa pada suhu perairan hangat lebih dari 27 o C S. agalactiae cenderung lebih bersifat virulen. Setelah uji tantang dengan LD 50 strain SA 20-06 LD 50 pada 6,14x10 7 cfumL menyebabkan kematian 90- 100. Gejala klinis muncul 24 jam pascainfeksi, dengan gerakan renang tak menentu merupakan gejala yang umum terjadi apabila terjadi infeksi pada bagian 50 otak. Kematian terjadi pada 72 jam pascainfeksi, namun beberapa ikan mati setelah 14 hari pascainfeksi. Penyakit biasanya timbul dalam tipe infeksi akut dengan kondisi klinis munculnya peradangan yang sistemik dan mengakibatkan kematian dalam waktu 24 sampai 48 jam. Tipe infeksi kronis ditandai dengan kerusakan pada bagian sirip, lesi pada kulit, gerakan renang lemah, dan menyebabkan kematian 10 sampai 70 dari total populasi di kolam budidaya Ibrahem et al. 2008. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi A. hydrophila digolongkan dari yang bersifat akut hingga bersifat laten dengan membentuk infeksi septisemia Ismail et al. 2010. Simpulan dan Saran Hasil dari uji patogenesis ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat disimpulkan bahwa : 1. Injeksi secara intra peritoneal dari kedua jenis bakteri tersebut pada ikan Nila dapat merangsang homeostasi respons imun non-spesifik monosit, neutrofil, limfosit, dan hematokrit dan meningkatkan kemampuan fagositosis darah. 2. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut. 3. Ko-infeksi buatan dari gabungan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae menyebabkan kematian ikan Nila sebesar 33-50 dalam waktu 2-12 hari pascainfeksi. Ikan Nila sangat rentan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Karakter dari patogenesis infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae yang berisfat akut dan kronis, maka diperlukan kewaspadaan pada kegiatan budidaya ikan yang baik dan benar dalam manajemen sistem budidaya maupun sistem pengelolaan lingkungannya, agar tidak terjadi wabah penyakit MAS dan Streptococcosis. 51 VAKSIN BIVALEN Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae: KEAMANAN, STERILITAS DAN KARAKTER PROTEIN Abstrak Vaksin inaktif dibuat dari isolat bakteri A. hydrophila AHL0905-2 dan S. agalactiae N 14 G dengan menambahkan 3 bufer formalin kedalam biakan broth bakterin dan diinkubasi selama 24 jam. Kualitas produk vaksin dikontrol dengan melakukan uji keamanan, sterilitas, dan karakter protein penyusun dari sediaan vaksin. Hasil karakterisasi protein menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila sel utuh memiliki empat belas pita, dua pita dari produk ektraselular, tiga pita pada sediaan crude supernatan, dan tujuh pita dari sediaan broth. Sediaan sel utuh S. agalactiae memiliki sepuluh pita, dua pita produk ekstraselular, tiga pita sediaan crude supernatan, dan empat pita sediaan broth. Residu formalin pada sediaan vaksin sel utuh sebesar 0,147 ppm, produk ekstraselular ECP 1,01 ppm, dan campuran sel utuh+ECP 0,702 ppm. Inaktifasi sediaan vaksin menggunakan formalin masih dipertanyakan keamanannya oleh beberapa praktisi akuakultur, akan tetapi hasil uji sterilitas dan keamanan vaksin bivalen dari penelitian ini aman untuk digunakan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila. Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein Abstract Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N 14 G, were used to evaluate an inactivated vaccine of A. hydrophila and S. agalactiae in Nile Tilapia for controlling of Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcal disease outbreaks. Formaldehyde treatment was a process widely used in vaccine preparation to stabilize protein components or to inactivate toxin molecules. Different vaccine preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by adding neutral buffered formalin 3 to the bacterial culture bacterin. Formaldehyde concentrations residues from whole cell vaccine was 0.147 mgL, extracellular product ECP was 1.01 mgL, and mixed between whole cell+ECP were 0.702 mgL. Based on protein characterization using SDS-PAGE, whole cell A. hydrophila protein profiles has forteen pairs proteins, extracellular product has two pairs proteins, crude supernatant has three pairs proteins, and broth has seven pairs proteins. Whole cell S. agalactiae protein profiles has ten pairs, extracellular product has two pairs proteins, supernatant has three pairs proteins, and broth has four pairs proteins. The safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through intra peritoneal injection route. In addition, safety of the vaccine was shown where no mortality with signs of MAS and Streptococcocis disease occurred in similar sized fish following immunization. Key Words: Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein 52 Pendahuluan Beberapa metode pembentukan vaksinasi aktif dari bakteri telah berhasil dikembangkan untuk ikan, diantaranya melalui pasase di laboratorium, pasase menggunakan inang alternatif, mutagenesis menggunakan bahan kimia maupun secara fisik, dan manipulasi genetik dengan teknik insersi gen Shoemaker et al. 2010. Perkembangan strategi pembentukan vaksin aktif memiliki keuntungan dan kekurangan, dalam bidang akuakultur pembuatan vaksin lebih banyak menggunakan vaksin in-aktif yang dimatikan, baik dengan pemanasan, sonikasi, maupun penambahan bahan kimia tertentu. Preparasi pembuatan vaksin menggunakan formalin merupakan vaksin in- aktif dengan menambahkan bahan kimia yang dapat mematikan sel bakteri. Beberapa vaksin jenis ini terbukti telah dapat meningkatkan level antibodi dan dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit yang sama selama 8 minggu setelah pemberian pada ikan. Vaksin bakteri in-aktif untuk ikan biasanya dibuat dalam sediaan kultur media broth, karena dapat diperoleh sel bakteri beserta produk ekstraseluarnya. Jenis vaksin ini akan efektif memberikan perlindungan jika diaplikasikan melalui suntik dan perendaman Evans Arias 2009. Bakterin dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae telah banyak dibuat sediaan vaksin dengan inaktifasi formalin Toranzo et al. 2009. Penggunaan serotipe bakteri yang sesuai dengan strain lokal sangat tepat digunakan karena akan memberikan proteksi lebih tinggi dengan efek samping minimal. Faktor utama yang perlu diperhatikan apabila akan menggunakan vaksin adalah tingkat keamanannya, sterilitas, dan karakter komposisi penyusun vaksin. Keuntungan menggunakan vaksin in-aktif adalah aman terhadap lingkungan karena agen penyakit telah dilemahkan atau dimatikan, kemampuannya dalam menstimulasi sel mediasi, humoral antibodi, dan imunitas mukosal. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan dan sterilitas vaksin untuk memastikan kelayakan vaksin tersebut digunakan pada ikan dengan pemberian melalui injeksi. Metode pembuatan vaksin mengadopsi dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, kemudian dilakukan modifikasi sehingga diperoleh cara preparasi sediaan vaksin yang praktis dan efisien dari segi 53 penggunaan alat dan proses inaktifasi. Karakter protein penyusun vaksin dilihat menggunakan metode SDS-PAGE untuk melihat berat protein penyusun dari masing-masing sediaan vaksin. Bahan dan Metode Preparasi sediaan vaksin bivalen merupakan modifikasi dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah terbukti aman digunakan, mudah dalam pembuatan dan dapat meningkatkan respons imun. Agen patogen yang digunakan sebagai kandidat vaksin merupakan isolat lokal, maka perlu dilakukan langkah penelitian awal dengan melakukan uji kemanan dan sterilitas sediaan vaksin. Metode yang sudah ada dimodifikasi sampai diperoleh cara dan sediaan yang tepat untuk membuat vaksin bivalen A.hydrophila dan S. agalactiae. 1 Preparasi Sediaan Vaksin Pembuatan vaksin bivalen menggunakan cara kultur dengan modifikasi metode kultur terpisah menurut Silva et al. 2009. Proses inaktifasi vaksin dilakukan dengan menambahkan bufer formalin dalam sediaan kultur bakteri. Vaksin yang dibuat pada penelitian ini adalah vaksin bivalen yang berisi campuran dari sel utuh, ECP, sel utuh+ECP, crude supernatan, dan sediaan broth dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Vaksin bivalen dibuat dengan mencampurkan masing-masing sediaan vaksin dengan perbandingan 1:1 vv. Prosedur pembuatan vaksin yang dilakukan adalah sebagai berikuit :

1.1 Sediaan Vaksin Sel Utuh Whole Cell

Vaksin sel utuh A. hydrophila dibuat dengan modifikasi metode Ismail et al. 2010 dan Rodrigues et al. 2006. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dan pelet endapan sel diresuspensi dengan PBS pH 7,2. Hasil resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 o C. 54 Vaksin sel utuh S. agalactiae dibuat dengan modifikasi metode Shoemaker et al. 2010 dan Evans et al. 2004. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Hasil inaktifasi dengan formalin disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, pelet sel bakteri dan supernatan dipisahkan. kemudian pelet diresuspensi dalam larutan salin 0,845 steril dengan rasio 1:10 vv. Hasil resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 o C.

1.2 Sediaan Vaksin ECP

Vaksin ECP A. hydrophila dibuat dari extracellular product ECP bakteri A. hydrophila modifikasi metode yang dilakukan Ni et al. 2010 dengan beberapa modifikasi. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 o C di inkubator dengan shaker. Hasil kultur ditambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin 0,3 vv kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C proses inaktifasi. Hasil inaktifasi disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit. Pelet endapan sel bakteri dipisahkan dari supernatan. Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan shaker , kemudian disaring memakai filter steril 0,45 μm untuk menghilangkan residu bakteri. Hasil saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 o C. Vaksin ECP S. agalactiae dibuat dengan metode seperti yang dilakukan oleh Hardi 2011, Klesius et al. 1999 dan Evans et al. 2004 dengan beberapa modifikasi. Bakteri S. agalactiae diinokulasi pada media TSB, diinkubasi pada suhu 28 o C selama 72 jam. Hasil kultur ditambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin 0,3 vv kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C proses inaktifasi. Hasil inaktifasi kemudian disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit. Pelet endapan sel bakteri dipisahkan dari supernatan. Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan shaker, kemudian disaring memakai filter steril 0,22 μm untuk menghilangkan residu bakteri. Hasil saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 o C. 55

1.3 Sediaan Vaksin Crude Supernatan

Vaksin crude supernatan A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila yang diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Sel bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, suspensi bakteri dipisahkan dari pelet endapan. Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 o C. Vaksin crude supernatan bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S. agalactiae yang diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Hasil killing dengan formalin disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, pelet dan suspensi bakteri dipisahkan. Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 o C.

1.4 Sediaan Vaksin Broth

Vaksin broth A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila yang diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Sediaan broth disimpan pada suhu 4 o C. Vaksin broth bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S. agalactiae yang diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10 bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3 vv disimpan selama 24 jam pada suhu 28 o C. Sediaan broth disimpan pada suhu 4 o C. 2 Uji Kualitas Vaksin Bivalen

2.1 Uji keamanan vaksin Innocuity test

Uji keamanan vaksin menggunakan metode Anderson et al. 1970 dengan menginokulasi sel bakteri dari sediaan vaksin pada ikan Nila O. niloticus secara 56 intra peritoneal IP 0,1 mLekor dan sebagai kontrol ikan diinjeksi dengan salin fisiologis. Setelah 15 hari pascainjeksi dilakukan reisolasi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dari ikan perlakuan untuk melihat koloni bakteri yang sama. Vaksin yang dikatakan aman jika hasil dari reisolasi tidak diperoleh bakteri aktif yang sama dengan isolat vaksin.

2.2 Uji sterilitas vaksin Sterility test

Uji sterilisasi seperti yang dilakukan Aly 1981 dengan melakukan kultivasi sediaan vaksin hasil inaktifasi kedalam BHIA dan TSA yang diinkubasi pada suhu 25 °C selama 24 jam untuk memastikan tidak ada bakteri yang tumbuh dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae yang sama seperti bakterin sediaan vaksin.

2.3 Uji kadar formalin vaksin

Uji kuantitatif untuk melihat residu kadar formalin yang terkandung dalam sediaan vaksin setelah inaktifasi dilakukan dengan menggunakan metode AOAC 1990. Tahapan analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Penyerapan warna dilihat dengan alat spektrofotometer pada absorban 415 nm. Hasil analisis dimasukkan ke dalam rumus: Kadar formalin ppm Keterangan : Ca : Mikrogram formalin dari kurva W : berat contoh gram F : faktor pengenceran 3 Analisis Protein ECP, Sel Utuh, dan Crude Supernatan Menggunakan Sodium Dodecyl Sulphate –Polyacrylamide Gel Electrophoresis SDS– PAGE Protein secara umum diukur dengan metoda Bradford 1976 di dalam Bollag dan Edelstein 1991. Sebanyak 100 L sampel ditambah dengan 1 mL pereaksi Bradford kemudian divortex dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Pereaksi Bradford berasal dari larutan stok yakni: 100 mL 57 etanol 95, 200 mL phosphoric acid 88 dan 350 mg Serva Blue G. Sebanyak 30 mL larutan stok ditambah 425 mL akuades, 15 mL etanol 95 dan 30 mL phosphoric acid 88. Campuran tersebut diencerkan dua kali sebelum digunakan untuk analisis protein. Konsentrasi protein contoh dihitung berdasarkan kurva standar yang dibuat dari Bovine Serum Albumin BSA. Khusus pada tahap pemurnian, protein dimonitor dengan cara mengukur serapan pada panjang gelombang 280 nm A 280 . Elektroforesis mengikuti metode Laemmli 1971 di dalam Bollag dan Edelstein 1991 dengan tahapan persiapan gel pemisah 10: 3,34 mL larutan A  30 bv akrilamid dan 0,8 bv bis-akrilamid, 2,5 mL larutan B 1,5 M Tris-Cl pH 8,8; 0,4 SDS ditambah 50 L APS 10 dan 5 L TEMED dituangkan ke dalam cetakan gel. Stacking gel 5: 0,67 mL larutan C 1 M Tris- Cl pH 6,8 dan 0.4 SDS, 2,3 mL akuades, 30 L APS 10 dan 5 L TEMED dituang diatas gel pemisah yang sudah beku kemudian dipasang sisir serta ditunggu hingga gel beku sempurna. Bufer elektroforesis berisi Tris 25 mM, glisin 192 mM, dan SDS 0,1. Bufer diatur pada pH 8,3. Pemisahan protein dilakukan dengan cara protein sampel 20 L dicampur dengan 5 L bufer sampel 60 mM Tris-Cl pH 6,8 25 gliserol; 2 SDS; 14,4 mM 2-merkaptoetananol dan 0,1 bromfenol biru, dididihkan selama 2-3 menit dan dimasukkan ke dalam gel. Protein dipisahkan dengan memberikan aliran listrik 125 mA dan 150 V. Gel kemudian diwarnai dengan perak nitrat. Tahapan pewarnaan dengan perak nitrat dapat dilihat pada Lampiran 3. Gel diangkat, direndam selama 30 menit di dalam larutan berisi 50 metanol dan 10 asam asetat kemudian dicuci selama 30 menit di dalam larutan berisi metanol 5 dan asam asetat 7. Kemudian gel direndam di dalam 10 glutaraldehid selama 30 menit dan dibilas dengan akuades selama 1-2 jam diganti setiap 30 menit. Selanjutnya gel direndam dalam larutan dithiothreitol 5 gmL selama 30 menit, larutan dibuang dan diganti dengan larutan perak nitrat 0,1. Gel kemudian dibilas dengan sedikit akuades, dibilas dua kali dengan sedikit larutan developer 50 L formaldehid 37 di dalam sodium karbonat. Tahap akhir, gel 58 direndam dalam larutan developer hingga pita protein dapat diamati dengan baik dan reaksinya segera dihentikan dengan mencuci gel di dalam larutan asam sitrat 2,3 M. Hasil dan Pembahasan 1 Preparasi Sediaan Vaksin Metode preparasi sediaan vaksin yang dilakukan merupakan hasil modifikasi dari beberapa metode yang telah ada. Tahapan pembuatan vaksin dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 18 Sediaan vaksin hasil inaktifasi dengan 3 bufer formalin. a sediaan hasil sentrifuse : pelet di bagian bawah dan supernatant, b sediaan pelet yang dilarutkan dalam salin sediaan vaksin sel utuh, pelet bakteri. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 o C. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3 vv NBF atau neutral buffer formalin 10 ; dibuat dengan mencampurkan 0,4 g NaH 2 PO 4 +0,65 g Na 2 HPO 4 +10 mL formaldehid 37+90 mL akuades steril kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. In-aktif sel utuh bakteri diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu 4 o C, pelet endapan sel dipisahkan dari supernatan, pelet sel diresuspensi dengan salin NaCl 0,845, pH 7. Produk ekstraselular ECP A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil a b 59 sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 o C. Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S. agalactiae 1:1 vv. Gambar 19 Sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh “siap pakai” yang diinaktifasi dengan 3 bufer formalin. 2 Sterilitas dan Keamanan Sediaan Vaksin Kematian harian ikan Nila yang diinjeksi vaksin dengan sediaan inaktifasi 3 bufer formalin terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-12, kematian terbanyak terjadi pada kelompok ikan Nila yang divaksin dengan sediaan vaksin bivalen crude supernatan dan sediaan broth Gambar 20. Sediaan vaksin monovalen dan bivalen diuji kualitasnya dengan melihat tingkat keamanan dan sterilitas dari vaksin. Preparasi sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh, ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, dan broth yang diinaktifasi menggunakan 3 bufer formalin aman dan steril untuk digunakan dengan rata-rata kelangsungan hidup 80 Tabel 5. Ikan Nila yang telah diinjeksi melalui intra peritoneal dengan beberapa jenis sediaan vaksin tersebut tidak terjadi kematian dalam waktu 24 jam pascainjeksi, gerakan renang normal, nafsu makan stabil, dan tidak menunjukkan gejala peradangan ataupun tukak di area bekas injeksi. Gejala perubahan tingkah laku dan kerusakan di area bekas injeksi tersebut biasanya akan muncul jika ada efek toksik dari formalin terhadap ikan. 60 Gambar 20 Pengamatan kematian ikan pascavaksinasi dengan sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan 3 bufer formalin. Tabel 5 Kelangsungan hidup ikan Nila pascavaksinasi No Komposisi sediaan vaksin Kelangsungan hidup 1 Monovalen A. hydrophila 91,7 b 2 Monovalen S. agalactiae 90 bc 3 Bivalen Sel utuh 91,7 b 4 Bivalen ECP 88,3 cd 5 Bivalen Sel utuh + ECP 93,3 a 6 Bivalen crude Supernatan 85 d 7 Bivalen Broth 80 e 8 Kontrol 95 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji P0,05. Hasil re-isolasi terhadap beberapa ikan pascavaksinasi tidak diperoleh adanya tumbuh bakteri yang sama dengan kandidat vaksin dan sediaan vaksin hasil inaktifasi ketika dilakukan preparasi gores pada media agar tidak ada yang 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 k em atian k u m u latih h ar ian perlakuan vaksin hari Monovalen A. hydrophila 1 Monovalen A. hydrophila 2 Monovalen A. hydrophila 3 Monovalen S. agalactiae 1 Monovalen S. agalactiae 2 Monovalen S.agalactiae 3 Bivalen Sel utuh 1 Bivalen Sel utuh 2 Bivalen Sel utuh 3 Bivalen ECP 1 Bivalen ECP 2 Bivalen ECP3 Bivalen Sel utuh+ECP 1 Bivalen Sel utuh+ECP 2 Bivalen Sel utuh+ECP 3 Bivalen Supernatan 1 Bivalen Supernatan 2 Bivalen Supernatan 3 Bivalen Broth 1 Bivalen Broth 2 Bivalen Broth 3 Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845 Kontrol 61 tumbuh. Pengujian karakter kesamaan bakteri kandidat vaksin dilakukan dengan melihat sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik yang sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sugiani dan Lusiastuti 2011. Formalin untuk ikan bersifat toksik akut, sehingga konsentrasinya dalam tubuh ikan diharapkan rendah. Pemakaian formalin dalam perikanan masih menjadi perdebatan untuk keamanan pangan, adapun penggunaan formalin dalam sediaan vaksin masih dapat diterima dengan catatan bahwa konsentrasinya tidak tinggi sehingga tidak toksik ketika diaplikasikan baik melalui suntik, perendaman, maupun melalui pakan. Kadar formalin pada sediaan vaksin sel utuh 0,147 mgL, ECP 1,01 mgL, dan sel utuh+ECP 0,702 mgL menunjukkan bahwa sediaan vaksin relatif aman untuk digunakan melalui injeksi intraperitonel, karena tingkat kelangsungan hidupnya sekitar 85-100 Tabel 6. Tabel 6 Hasil uji kadar formalin sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 No Sampel Kadar Formalin mgL 1 Sel utuh 0,147 2 ECP 1,010 3 Sel utuh+ECP 0,702 Jung et al. 2001 melakukan penelitian mengenai residu formalin 37 pada urat daging ikan olive flounder Paralichthys olivaceus dan black rockfish Sebastes schlegeli setelah ditreatmen dengan cara perendaman. Residu formalin dalam urat daging dapat luruh hingga konsentrasi yang setara dengan normal kontrol setelah 72 jam, yaitu kandungan residu yang terdeteksi pada perlakuan 100 mgL setelah 1, 24, 48, dan 72 jam berturut-turut adalah 0,8; 0,7; 0,8; 0,9 µgg, perlakuan 300 mgL dengan residu 1,2; 0,8; 0,9; 0,7 µgg, perlakuan 500 mgL dengan residu 1,6; 0,8; 1,0; 0,8 µgg, sedangkan kontrol 0,9 µgg. Begitu juga dengan residu pada air pemeliharaan dengan perlakuan 25, 50, 100, 150, dan 200 mgL yang akan luruh berturut-turut dalam jangka waktu 2, 6, 8, 9, dan 10 hari ketika diaerasi, tanpa diganti air dan luruh dalam jangka waktu 7, 9, 11, 13, dan 19 hari tanpa aerasi dan tanpa ganti air. Secara alami kandungan formalin 62 dalam jaringan urat daging ikan olive flounder dan black rockfish terdeteksi 0,5- 2,1 µgg. Formaldehid yang dipakai untuk membuat bahan bufer formalin merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam proses inaktifasi sediaan vaksin. Fungsi formaldehid adalah untuk menstabilkan komponen protein atau untuk inaktifasi molekul toksin dari bakteri. Formaldehid bereaksi dengan grup asam amino lisin yang merupakan produk tidak stabil membentuk ikatan metilen methylene bridge sehingga menjadi grup asam amino yang stabil, reaksi ini dapat terbentuk antar asam amino dengan molekul yang sama sehingga membentuk ikatan silang antar internal protein atau antara dua molekul membentuk ikatan dimer senyawa kimia yang terdiri dari dua molekul monomer yang identik dan terikat bersama-sama Sato et al. 1984. 3 Protein Vaksin Tabel 7 memperlihatkan berat protein sediaan vaksin A. hydrophila hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3 dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,53 mgmL, sediaan ECP 1,93 mgmL, sediaan crude supernatan 1,99 mgmL, serta sediaan broth 2,12 mgmL. Tabel 7 Berat protein sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 Nama Berat protein mgmL

A. hydrophila

S. agalactiae

Sel utuh 0,53 1,37 ECP 1,93 1,89 Crude supernatan 1,99 1,88 Broth 2,12 2,11 Berat protein sediaan vaksin S. agalactiae hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3 dari jenis sediaan sel utuh adalah 1,37 mgmL, sediaan ECP 1,89 mgmL, sediaan crude supernatan 1,88 mgmL, serta sediaan broth 2,11 mgmL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sediaan vaksin broth memiliki berat protein yang lebih besar dibandingkan dengan sediaan vaksin crude supernatan, ECP, maupun sel utuh. Penghitungan berat protein dapat dilihat pada Lampiran 5. 63 97 kDa 66 kDa 45 kDa 30 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa 97 kDa 66 kDa 45 kDa 30 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa M 1 2 3 4 Gambar 21 SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Aeromonas hydrophila AHL0905- 2 M Marker 1 broth A. hydrophila 2 sel utuh A. hydrophila 3 ECP A. hydrophila 4 crude supernatan A. hydrophila. M 1 2 3 4 Gambar 22 SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Streptococcus agalactiae N 14 G M Marker 1 broth S. agalactiae 2 crude supernatan S. agalactiae 3 sel utuh S. agalactiae 4 ECP S. agalactiae. Gambar 21 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan 12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa Tabel 8. Penghitungan berat molekul protein A. hydrophila hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6. 64 Gambar 22 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 terdapat 10 pita yaitu 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita yaitu 111,86; 79,09; 23,20; dan 18,74 kDa Tabel 8. Penghitungan berat molekul protein S. agalactiae hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6. Karakterisasi protein

A. hydrophila

menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jumlah pita protein terbanyak berturut-turut terdapat pada sel utuh, broth, crude supernatan, dan ECP. Thomas et al. 2009 menggunakan 4 jenis pita protein untuk mengkarakterisasi A. hydrophila yaitu 19,5 kDa, 25,36 kDa, 29 kDa and 65,6 kDa. Jika dibandingkan dengan hasil SDS-PAGE terhadap A. hydrophila isolat AHL0905-2 maka hanya identik dengan 1 pita yaitu 25,36 kDa, dan mendekati pita pada19,5 kDa yaitu 19,0 kDa. Tabel 8 Karakter berat molekul protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 Vaksin Sediaan BM Kd A. hydrophila Sel utuh 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; 12,81 ECP 55,80; 17,10 Crude Supernatan 94,39; 55,80; 17,10 Broth 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; 14,61 S. agalactiae Sel utuh 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 34,61; 23,20; 17,77; 15,97 ECP 83,42; 21,99 Crude Supernatan 83,42; 58,98; 21,99 Broth 111,86; 79,09; 23,20; 18,74 Preparasi sediaan vaksin dengan menggunakan formalin ternyata dapat mempengaruhi profil protein. Sediaan vaksin sel utuh memiliki jumlah profil protein yang lebih banyak dibandingkan dengan sediaan ECP, crude supernatan, maupun broth. Formaldehid dapat membantu membentuk ikatan metilen yang akan mempengaruhi respons sel-T terhadap data paralel protein yang terdiri dari 65 asam amino modifikasi seperti N-glikosilasi, alkilasi, dan iodinasi sehingga dapat mempengaruhi presentasi antigen oleh sel-T. Penggunaan formaldehid juga dapat mendegradasi secara parsial protein FHA forkhead-associated , merubah sensitifitas protein pada aktifitas protease, adanya purifikasi digesti tripsin dan dapat mendegenerasi fragmen protein menjadi ukuran yang lain Tommaso et al. 1994. Pasnik et al. 2005 melakukan uji karakterisasi protein S. agalactiae menggunakan SDS-PAGE di mana terdapat dua pita 47 dan 75 kDa dan predominan pita 54 kDa dan 55 kDa pada sediaan segar satu hari setelah inaktifasi dengan bufer formalin 3, sedangkan sediaan vaksin yang telah disimpan selama 1 tahun pada suhu 4 o C hanya terdeteksi pita 47, 54, dan 55 kDa. Proses penyimpanan dan lama waktu penyimpanan dapat merubah profil protein dari sediaan vaksin serta dapat menurunkan tingkat proteksi terhadap kelangsungan hidupnya hanya 29. Simpulan dan Saran Simpulan dari kegiatan preparasi sediaan vaksin dengan metode inaktifasi berbeda adalah : 1. Sediaan vaksin bivalen hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3 aman digunakan untuk pemberian secara injeksi intra peritoneal pada ikan Nila O. niloticus. 2. Jumlah pita protein vaksin A. hydrophila dan S. agalactiae sediaan sel utuh lebih banyak dibandingkan dengan pita protein sediaan vaksin ECP, broth, dan crude supernatan. Sediaan vaksin yang telah dibuat perlu diuji lebih lanjut untuk melihat tingkat efektifitasnya pada ikan dengan menganalisis efek vaksin tersebut terhadap respons imun dari ikan Nila. 66 HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA Oreochromis niloticus YANG DIIMUNISASI DENGAN VAKSIN MONOVALEN DAN BIVALEN : Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus agalactiae Abstrak Respons imun terhadap campuran sel utuh dan ekstraselular antigen Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dievaluasi sebagai ukuran keberhasilan peningkatan respons antibodi ikan Nila setelah divaksin dengan vaksin monovalen dan bivalen. Analisis hematologi dan respons imun dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, komplemen, dan antibodi. Ikan Nila 15±0,5 g divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, dan kontrol. Parameter imun diukur setiap minggu selama 3 minggu pemeliharaan setelah vaksinasi. Titer antibodi terdeteksi setelah satu minggu pemeliharaan pascavaksinasi, nilai titer antar vaksin bivalen dengan vaksin monovalen dan kontrol berbeda nyata P0,05. Vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih baik jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi homolog. Sedangkan untuk proteksi terhadap bakteri heterolog vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae. Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, vaksin monovalen, vaksin bivalen, respons imun Abstract The humoral immune responsse to mixed whole cell antigens and extracellular product of Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae, the common Gram negative and Gram positive bacterial pathogens associated with diseases of Motile Aeromonads Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia were evaluated for their efficacy in triggering antibody responsses. The Nile Tilapia were either immunized with antigens from single bacterial strain A. hydrophila and S. agalactiae or a combination of all two. An antibody and humoral immune response was detected at the 1 st week post immunization that rose significantly p0.05 at the 3 th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant difference p0.05 in the humoral immune response between groups immunized with single and mixed bacterial antigens. The monovalent vaccine could enhance immune responsse specific and non specific better than the bivalent vaccine from bacterial homolog. Otherwise, the protection from heterologous bacteria, the bivalent vaccine provided the best specific and non specific immune respons compared with monovalent vaccine. Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, monovalent vaccine, bivalent vaccine, immune responsse 67 Pendahuluan Keberhasilan pemberian vaksinasi pada ikan dapat dilihat menggunakan faktor imunologi yang dapat membuktikan keamanan dan tingkat proteksinya. Vaksin yang ideal harus dapat bertahan dalam jaringan inang lebih lama untuk membentuk perlindungan terhadap antigen sehingga tidak terjadi sakit. Analisis imunologi dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, antibodi, dan komplemen Ellis 2001. Stimulasi respons imun non spesifik dapat meningkatkan kemampuan ikan melindungi diri terhadap serangan patogen, namun dengan adanya antibodi spesifik akan lebih baik lagi dalam meningkatkan kemampuan proteksinya. Tingkat proteksi ini tergantung dari reaksi silang antar komponen antigen yang akan digunakan sebagai kandidat vaksin, yang bertujuan untuk meningkatkan tanggap kebal terhadap antigen homolog Gudding et al. 1999. Kemampuan peningkatan respons imun ikan setelah vaksinasi dapat dijadikan acuan keberhasilan peningkatan tanggap kebal. Vaksinasi dapat menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi yang akan membantu dalam perlindungan terhadap antigen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hematologi dari ikan Nila yang diberi vaksin terhadap respons antigen homolog yang masuk. Keberhasilan reaksi respons imun dari ikan yang telah vaksinasi dalam mengeliminasi serangan antigen diperlukan kerjasama antara respons imun spesifik dan respons imun non spesifik. Beberapa parameter yang dilihat pada penelitian ini merupakan gambaran respons imun non spesifik yang diamati dari darah ikan setelah vaksinasi dengan vaksin bivalen. Bahan dan Metode Ikan Nila pada perlakuan vaksin diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mLikan dengan sediaan monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, 68 dan bivalen broth. Ikan Nila kontrol diinjeksi dengan TSB, BHI, salin 0,845, dan kontrol tanpa injeksi. Ikan dipelihara selama 21 hari Li et al. 2006, setiap 3 hari gambaran hematologi diamati dengan beberapa parameter yang dilihat sebagai berikut : 1 Gambaran Hematologi Darah diambil secara intra muscular dari caudal vein ikan menggunakan syring yang telah diberi heparin sebagai antikoagulan, darah disimpan pada suhu 15 o C. kemudian diukur kadar haemoglobin menurut metode Sahli Wedenmeyer Yasutake 1977, kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki 1995. 2 Indek Fagositosis Aktifitas fagositosis dievaluasi menggunakan metode Zhang et al. 2008 dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 100 µL suspensi Staphylococcus aureus kepadatan 10 7 cfumL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, ditambahkan 200 µL darah dengan heparin dan dihomogenkan menggunakan vortex, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 o C. 1 mL salin ditambahkan ke dalam tabung dan dihomogenkan. Solusi homogenat disentrifus dengan 3.000 g selama 5 menit, 1 mL supernatan diambil kemudian dibuang, sisa solusi dihomogenkan kembali. Diambil satu tetes homogenat, dibuat preparat ulas di atas slide glass. Preparat difiksasi dengan metanol selama 2-3 menit, kemudian dicuci dengan akuades, preparat dikeringanginkan, tahap akhir preparasi diwarnai dengan pewarna giemsa. Preparat diamati di bawah mikroskop. Persen Fagositosis PP dan Indek Fagositosis IP dihitung menggunakan rumus: PP =N 1 100x100 IP = N 2 100 Keterangan : N 1 N 2 : total jumlah fagosit yang memakan engulf bakteri secara acak dari 100 fagosit yang terhitung. : total jumlah bakteri yang dimakan oleh fagosit dari 100 fagosit yang terhitung. 69 3 Uji Respiratory Burst Metode NBT-Assay Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan pewarnaan nitroblue tetrazolium NBT seperti yang dilakukan Anderson dan Siwicki 1995. 0,1 mL sampel darah dengan heparin diletakkan pada tabung efendorf dan ditambahkan 0,1 mL 0,2 NBT, suspensi NBT- sel darah diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian 0,05 mL sampel suspensi NBT-sel darah dipindahkan ke dalam tabung gelas yang berisi 1 mL N,N- dimethylformamide solution DMS. Suspensi disentrifus selama 5 menit pada 3.000 g. Supernatan dipisahkan, dimasukkan dalam tabung kuvet dan dibaca menggunakan spektrofotometer. NBT akan direduksi oleh formazan pada reaksi dengan radikal oksigen yang diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisis produksi radikal oksigen dengan menggunakan NBT dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. 4 Aktifitas Lisosim Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut Lie et al. 1989 dan Gassent et al. 2004 dengan melihat zona lisis dari bakteri Micrococcus lysodeikticus. Metode ini dilakukan dengan membuat sumur 2 mm pada media agar cawan yang berisi bakteri M. lysodeikticus 50 mgmL, setiap sumur diisi plasma darah sebagai serum uji kemudian diberi bufer fosfat 5 L 14,04 gL KH 2 PO4; 5,2 gL Na 2 HPO 4 , pH 6,2. Cawan diinkubasikan pada 25 o C selama 20 jam, untuk pembentukan zona lisis. 5 Aktifitas Komplemen Aktifitas komplemen Complement consumption assay dilakukan menggunakan metode Vivas et al. 2005 yang dimodifikasi. Sebanyak 200 µ L serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri A. hydrophila 10 9 cfumL dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri S. agalactiae 10 9 cfumL dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 100 µL suspensi bakteri A. hydrophila dan 100 µL suspensi bakteri S. agalactiae dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf, untuk kontrol 70 tabung eppendorf hanya diisi dengan PBS. Tabung diinkubasi selama 1,5 jam pada suhu 16 o C. Ditambahkan 400 µL PBS ke dalam setiap tabung dan suspensi difilter menggunakan filter 0,22 µm. Larutan hasil filtrasi dimasukkan ke dalam mikrotiter 25 µL, ditambahkan secara serial serial two-fold dilutions 2 suspensi rabbit red blood cells RaRBC dalam PBS yang kemudian diinkubasi selama 1,5 jam pada 16 o C. Tahap selanjutnya ditambahkan 100 µL 0,9 salin dingin ice-cold, dan sel diendapkan dengan cara disentrifus 1.400 g, 5 menit, 4 o C. Absorban supernatan dilihat dengan 405 nm. 100 hemolisis diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 175 µL akuades, dan aktifitas lisis spontaneous lysis diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 50 µL PBS, setelah 1 jam diinkubasi ditambahkan 100 µL 0,9 salin. Aktifitas komplemen dihitung dengan melihat hemolisis pada RaRBC, hasil dimasukkan dalam rumus berikut : x 100 6 Titer Antibodi Titer diukur menggunakan aglutinasi langsung direct aglutination terhadap antigen- antibodi perlakuan. Nilai titer dimasukkan dalam hitungan log 2. Tes aglutinasi dilakukan pada mikrotiter 96 sumur dengan dasar sumur berbentuk huruf „U‟. Serum ikan perlakuan vaksin sebagai antibodi dimasukkan ke dalam sumur no 1 kontrol positif dan sumur no 2 masing-masing 100 µL, kemudian dilakukan pengenceran seri serially two-fold diluted dalam PBS 100 µL pH 7,2 sampai sumur ke-11, pada sumur ke-12 hanya diisi PBS kontrol negatif. Pengujian kelompok pertama dengan menambahkan antigen ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog A. hydrophila. Kelompok kedua, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog S. agalactiae. Kelompok terakhir, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 50 µL bakteri A. hydrophila+50 µL bakteri S. agalactiae yang telah diinaktifasi dengan formalin 71 10 7 cfumL. Mikrotiter yang berisi antibodi dan antigen kemudian diinkubasi semalaman pada suhu ruang dan titer aglutinasinya dihitung. Hasil dan Pembahasan Beberapa parameter imunitas seperti kadar hemoglobin, hematokrit, aktifitas fagositosis, lisosim, dan aktifitas Respiratory burst NBT-positif dapat dijadikan parameter evaluasi untuk melihat respons ikan terhadap infeksi bakteri maupun pemberian imunostimulan Zhang et al. 2012. 1 Kadar Hemoglobin Hemoglobin merupakan metaloprotein protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Gambar 23 Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen. monovalen A. hydrophila, Monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, kontrol. Pengaruh vaksinasi pada ikan Nila dengan beberapa sediaan vaksin monovalen dan bivalen yang diaplikasikan melalui suntik terhadap parameter hemoglobin darah ikan dapat dilihat pada Gambar 23. Dua kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7- 10 g 100 mL -1 rata-rata peningkatan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah vaksinasi P0,05. 2 4 6 8 10 12 1 3 6 9 12 15 18 21 H em ogl obi n g perlakuan vaksin hari 72 Hemoglobin darah ikan mengalami fluktuasi dan cenderung semakin menurun setelah adanya perlakuan injeksi vaksin karena adanya pengurangan sel darah merah dan adanya penambahan jumlah plasma darah yang mengakibatkan kadar warna merah darah berkurang, proses ini merupakan respons normal ikan terhadap adanya suatu perubahan lingkungan maupun serangan agen penyakit. Pada suhu perairan 15-30 o C kadar hemoglobin ikan Nila normal berkisar antara 7,5-8 g 100 mL -1 Sherif Feky 2009. 2 Hematokrit Darah Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan, bila hematokrit 30 30 berarti darah terdiri dari 30 eritrosit dan 70 plasma dan leukosit. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di level 17 Gambar 24. Gambar 24 Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. monovalen A. hydrophila, Monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, kontrol. Eritrosit merupakan salah satu sel darah merah yang berperan dalam proses pengangkutan material di dalam tubuh ikan. Perubahan persentasi hematokrit dalam darah terjadi karena adanya proses fisiologis tubuh yang bereaksi terhadap adanya antigen yang masuk. Pada suhu perairan 15-30 o C kadar hematokrit ikan Nila normal berkisar antara 24,1-25,0 Sherif Feky 2009. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 3 6 9 12 15 18 21 H em at okr it perlakuan vaksin hari 73 3 Indek Fagositosis Kemampuan fagositosis dilihat dari persentase fagositosis nilai dan indek fagosit. Hasil penghitungan indek fagositosis terlihat bahwa perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol P0,05 Gambar 25 dan 26. Gambar 25 Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. monovalen A. hydrophila, Monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, kontrol. Ikan memiliki mekanisme pertahanan sendiri terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Vaksinasi yang diberikan berupa vaksin aktif yaitu komponen penyusunnya berasal dari bakteri dan debris bakteri yang telah diinaktifasi, apabila masuk ke dalam aliran darah diduga akan dikenali sebagai antigen dan merangsang respons imun spesifik yang kemudian jika terpapar lebih lama akan membentuk suatu memori dengan dibentuknya respons imun spesifik. Respons imun non spesifik akan mengalami fluktuasi pada sesaat setelah invasi antigen dalam hitungan hari, sedangkan respons imun spesifik akan terbentuk dalam hitungan minggu. Kedua respons imun ini memegang peranan penting dalam mekanisme tanggap kebal dari ikan terhadap serangan patogen Skinner et al. 2010. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 6 9 12 15 18 21 p er sen tase fag o sito sis perlakuan vaksin hari 74 Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis indek fagosit dan persen fagositosis dari perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen. Gambar 26 Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen. monovalen A. hydrophila, Monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, kontrol. 4 Respiratory Burst NBT-Assay Aktifitas produksi oksigen radikal superoksida O - 2 pada aktifitas fagositosis dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan NBT. Pada hasil penelitian diketahui bahwa pemberian perlakuan vaksin dapat meningkatkan kemampuan sel fagosit dalam melawan antigen. Nilai Optical density OD perlakuan vaksin berbeda nyata P0,05 jika dibandingkan dengan kontrol namun jika dibandingkan dengan antar perlakuan maka yang memberikan pengaruh terbaik terhadap nilai NBT adalah perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila. Antar perlakuan vaksin bivalen tidak berbeda nyata P0,05 tetapi berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol P0,05. Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan terjadi rata-rata pada 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 1 3 6 9 12 15 18 21 in d ek f ag o sitik perlakuan vaksin hari 75 pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke-12 setelah vaksinasi. Hasil pengamatan nilai NBT dapat dilihat pada Gambar 27. Nilai NBT semakin tinggi menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen bebas pada aktifitas respiratory burst semakin besar. Produksi radikal bebas ini digunakan untuk melawan patogen. Ikan mempunyai mekanisme membunuh sel- sel fagosit melalui oksigen bebas dalam vakuola lisosom yang mampu meningkatkan permeabilitas sel bakteri sehingga bisa menyebabkan masuknya substansi dan cairan dalam sel bakteri yang kemungkinan bisa menyebabkan plasmolisis. Gambar 27 NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dan bivalen. Radikal oksigen toksik ini dengan cepat dikonversi menjadi hidrogen peroksida H 2 O 2 yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat. Karakter radikal oksigen yang bersifat toksik terhadap patogen ini diduga pula dikonversi menjadi radikal hidroksi OH - yang memiliki kemampuan mendegradasi membran lipid antigen. Penurunan aktifitas NBT mengindikasikan adanya kontaminan dan infeksi yang kronis atau ikan sedang dalam kondisi stres. Peningkatan NBT dapat mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan vaksin telah efektif merangsang 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1 3 6 9 12 15 18 21 O D N B Tass ay 540nm perlakuan vaksin hari Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan Bivalen Broth Kontrol 76 sistem kekebalan tubuh ikan Anderson 2004. Neutrofil dan sel fagositik yang teraktivasi dapat menghasilkan absorbans 20-30 lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Hasil analisis NBT terhadap ikan yang diberi vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan suatu peningkatan jumlah oksidatif radikal jika dibanding dengan kontrol, dengan semakin tinggi nilai NBT maka kemampuan sel fagosit dalam aktifitas respiratory burst semakin tinggi. Oksigen radikal bebas dihasilkan pada saat fagositosis melalui aktifitas respiratory burst. Hasil dari nilai NBT perlakuan vaksin bivalen lebih tinggi dibanding kontrol, maka p enggunaan vaksin bivalen yang diaplikasikan melalui injeksi pada ikan Nila tidak mengakibatkan hambatan dalam pembentukan respons imun, walaupun nilainya tidak setinggi NBT dari vaksin monovalen. Sediaan vaksin bivalen yang merupakan formula vaksin yang menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila Gram negatif dan S. agalactiae Gram positif dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT penurunan aktifitas respiratory burst. 5 Aktifitas Lisosim Respons imun alami merupakan pertahanan pertama terhadap serangan infeksi patogen, mencegah perlekatan antigen, invasi, atau multiplikasi dari patogen infeksius. Salah satu kunci utama dalam respons imun alami adalah aktifitas lisosim. Analisis aktifitas lisosim dilakukan untuk melihat pengaruh injeksi vaksin monovalen dan bivalen terhadap sistem imun alami dan perolehan pada ikan Nila. Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim dan titer antibodi terhadap antigen spesifik. Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin Gambar 28. Aktifitas lisosim sebelum perlakuan berkisar antar 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi 77 sesudahnya. Berdasarkan hasil analisis perlakuan bivalen sel utuh, bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan perlakuan kontrol P0,05. Gambar 28 Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi. monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae bivalen sel utuh bivalen ECP bivalen sel utuh+ECP bivalen crude supernatan bivalen broth kontrol Pada masa induksi vaksin hari ketiga sampai hari kesembilan terlihat adanya peningkatan aktifitas lisosim yang menandakan bahwa ada reaksi respons imun dari ikan Nila terhadap vaksin monovalen dan bivalen yang diberikan secara injeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh, dan bivalen sel utuh+ECP memiliki rata-rata peningkatan aktifitas lisosim lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol yaitu 9; 10; 12 pada hari ke-3, 12; 8; 10 pada hari ke-6, dan 7; 7; 6 pada hari ke-9. Lisosim merupakan lisin yang berfungsi sebagai penghancur membran sel, biasanya terdapat dalam cairan mukus, serum, jaringan yang kaya kandungan leukositnya ginjal anterior, dan bagian tubuh ikan yang rentan terhadap serangan mikroorganisme kulit, insang, saluran pencernaan, anus. Lisosim merupakan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β 14 antara N-acetylmuramic acid dan N-acetylglucosamine yang merupakan konstituen penyusun lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. 2 4 6 8 10 12 14 1 3 6 9 12 15 18 21 Z ona l isi s a kt if it as l isos im m m Perlakuan vaksin hari 78 Ikan memiliki lisosim yang berfungsi sebagai respons imun alami, yang mampu melisis bakteri Gram negatif dan Gram positif Yano 1996. Lisosim berperan dalam opsonisasi yang merupakan kunci utama untuk respons inflamasi dengan adanya aktifasi sistem komplemen dan fagositisis. Pada saat proses inflamasi, makrofag dan granulosit polimorf nuklear memakan dan menghancurkan patogen target dibantu oleh kerja lisosim. 6 Aktifitas Komplemen Aktifitas komplemen dilihat dari kemampuan hemolisis terhadap RaRBC Rabbit Red Blood Cells. Kemampuan komplemen meningkat seiring dengan peningkatan pembentukan titer antibodi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis hemolisis komplemen pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan rata-rata hemolisis komplemen pada minggu kedua dan minggu pertama setelah vaksinasi. Aktifitas komplemen perlakuan vaksin berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol yang hanya menggunakan PBS sebagai solusi uji P0,05. Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi pengenceran ke-2 dan ke-3 dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 pengenceran ke-4. Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80 pada pengenceran ke-1 Gambar 29. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke 14 pascavaksinasi. Komplemen adalah komponen penting dari tanggapan kebal adaptif dan bawaan pada ikan. Komponen komplemen non-aktif akan diaktifkan dan diubah menjadi serine protease aktif akhirnya yang akan mendorong sel neutrofil dan makrofag untuk melakukan opsonisasi atau mengarahkan pembunuhan patogen melalui aktifitas peradangan. Sistem komplemen memegang peran penting di dalam respons tanggap kebal dan proses peradangan dengan menarik sel fagosit ke lokasi luka atau infeksi Holland Lambris 2002. 79 Gambar 29 Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan 3 bufer formalin. a minggu ke-1, b minggu ke-2, c minggu ke-3. Komplemen dapat diinisiasi melalui tiga jalur yaitu melalui jalur klasik classical complement pathway atau CCP, jalur alternatif alternate complement 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x H em ol isi s Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-1 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x H em ol isi s Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-2 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x H em ol isi s Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-3 Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan Bivalen Broth Kontrol a b c 80 pathway atau ACP, dan melalui jalur lektin lectin complement pathway LCP. Jalur klasik berasosiasi dengan imunitas dapatan yang dirangsang oleh aktifitas perlekatan permukaan antigen, membentuk ikatan antigen-antibodi komplek Holland Lambris 2002. 7 Titer Antibodi Titer antibodi ikan Nila Gambar 30, 31, dan 32 dengan perlakuan vaksin monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol P0,05. Hasil pengamatan antar perlakuan vaksin maka diperoleh data yang menunjukkan perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan ko-infeksi pada nilai 6, dan 5 log 2 dibanding dengan bivalen ECP, crude supernatan, dan broth. Hasil titer antibodi menunjukkan bahwa perlakuan vaksinasi monovalen ternyata lebih tinggi dalam membentuk respons imun dengan mencapai nilai 7 log 2 untuk monovalen A. hydrophila dan nilai 5 log 2 untuk monovalen S. agalactiae jika dibandingkan dengan vaksin bivalen semua sediaan ketika uji tantang dengan bakteri tunggal. Hasil titer antibodi terhadap uji tantang gabungan ko-infeksi menunjukkan nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan proteksi vaksin bivalen. Rata-rata titer antibodi setiap perlakuan terjadi peningkatan pada minggu ke-2 pascavaksinasi, beberapa perlakuan puncak titer tertinggi diperoleh pada masa minggu ke-3 dan pada saat dilakukan uji tantang terlihat bahwa titer antibodi mengalami penurunan yang kemudian diikuti adanya peningkatan kembali pada masa pemulihan yaitu 2 minggu setelah uji tantang. Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. 81 Gambar 30 Titer antibodi serum ikan Nila O. niliticus pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin A. hydrophila. monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae bivalen sel utuh bivalen ECP bivalen sel utuh+ECP bivalen crude supernatan bivalen broth kontrol Gambar 31 Titer antibodi serum ikan Nila O. niliticus pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin S. agalactiae. monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae bivalen sel utuh bivalen ECP bivalen sel utuh+ECP bivalen crude supernatan bivalen broth kontrol Gambar 32 Titer antibodi serum ikan Nila O. niliticus pascavaksinasi yang di tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae bivalen sel utuh bivalen ECP bivalen sel utuh+ECP bivalen crude supernatan bivalen broth kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke- T iter an tib o d i lo g 2 Perlakuan vaksin inaktifasi dengan 3 bufer formalin 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke- T it er an ti b o d i lo g 2 Perlakuan vaksin inaktifasi dengan 3 bufer formalin 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke- T iter an tib o d i lo g 2 Perlakuan vaksin inaktifasi dengan 3 bufer formalin 82 Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Ikatan komplek bersama antara antibodi dan toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah Skinner 2009. Simpulan dan Saran Berdasarkan analisis hematologi dan imunologi serum ikan yang diberi perlakuan vaksin menunjukkan hasil bahwa : 1. Vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi infeksi tunggal. 2. Vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik terhadap perlakuan ko-infeksi jika dibandingkan dengan monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae. Vaksin yang memberikan respons imun terbaik adalah bivalen sel utuh+ECP dari gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Respons imun ini digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat proteksi secara menyeluruh pada ikan Nila, pada tahap selanjutnya perlu dilakukan uji tantang dengan infeksi tunggal maupun ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae untuk mengetahui efektifitas vaksin terhadap kelangsungan hidup ikan Nila. 83 EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus Abstrak Peningkatan respons antibodi pascavaksinasi dengan antigen tunggal dan campuran dari bakterin Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae diharapkan dapat meningkatkan daya tahan ikan Nila Oreochromis niloticus terhadap penyakit Motile Aromonas Septicemia MAS dan Streptococcosis. Ikan divaksinasi melalui injeksi intraperitoneal 0,1 mL dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen Sel utuh, produk ektraselularECP, crude supernatan, campuran sel utuh dan ECP, dan broth. Uji tantang dilakukan menggunakan dosis LD 50 infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Efektifitas dan keampuhan vaksin tersebut dihitung berdasarkan nilai RPS Relative Percent Survival dan hasil deteksi respons hematologi. Vaksin bivalen campuran sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin bivalen terbaik dalam meningkatkan RPS dibandingkan dengan perlakuan sediaan vaksin monovalen maupun vaksin bivalen sediaan sel utuh, ECP, crude supernatan, broth. Nilai RPS vaksin bivalen campuran sel utuh dan ECP mencapai 100 untuk uji tantang dengan A. hydrophila, 86,2 untuk uji tantang dengan S. agalactiae, dan 56,7 untuk uji tantang ko-infeksi. Kata kunci : vaksin monovalen, vaksin bivalen, RPS Abstract The immune responsse to single and mixed antigens of A. hydrophila and S. agalactiae, the common bacterial pathogens associated with diseases in O. niloticus were evaluated for their efficacy in triggering survival responsses. Fish were vaccinated by using monovalent, bivalent vaccines whole cell, Extracellular productECP, crude supernatant, mixed whole cell+ECP, and broth and the efficacy of these vaccines were tested by using the challenge test with the detection of RPS Relative Percent Survival and by detecting the immune responsse of fish after challenge. An immune responsse was detected rose significantly p0.05 at 2 th week after challenge in all the immunized groups. The results of fish vaccination showed that the bivalent vaccine mixed whole cell+ECP when used in Nile Tilapia through the injection route was of higher efficacy RPS respectively and it was effective against more than one type of bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed whole cell+ECP was 100 and 86.2 to single infections and 56.7 to co- infections, indicate that this vaccine was eficient in Nile tilapia. Keywords : monovalent vaccine, bivalent vaccine, RPS 84 Pendahuluan Perkembangan penanggulangan penyakit dalam budidaya ikan lebih cenderung memilih cara pencegahan dengan strategi vaksinasi yang dapat spesifik melindungi baik dari tipe patogen maupun spesies ikan. Menurut KEP.02-MEN- KKP-2007 untuk menjamin keamanan dan mutu produk perikanan maka produk perikanan harus bebas residu antibiotik, bebas logam berat, serta bebas dari bahan biologi dan bahan kimia yang dilarang. Penggunaan vaksin yang dikombinasikan dengan cara budidaya ikan yang baik CBIB dapat menjadi substansi pencegahan penyakit sehingga hasil produksi lebih dapat diprediksi. Penanggulangan penyakit Motile Aeromonas Septicemia MAS dan Streptoccoccosis akibat infeksi Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae menggunakan vaksin monovalen telah banyak dilakukan, namun penggunaan vaksin bivalen untuk sekaligus melindungi ikan Nila dari serangan infeksi kedua jenis penyakit tersebut belum dilakukan. Vaksinasi ikan sudah menjadi protokol standar dalam kegiatan akuakultur. Program efisiensi vaksinasi dapat menurunkan frekuensi terjadinya suatu wabah penyakit dan dapat menurunkan penggunaan antibiotik untuk pengobatan. Keberadaan antibodi spesifik setelah dilakukan vaksinasi dapat diamati dengan metode konvensional menggunakan ikatan antigen-antibodi. Konsentrasi antibodi serum dapat memproteksi inang dari serangan infeksi bakteri, akan tetapi titer antibodi jika tidak didukung dengan respons imun lainnya tidak selalu berkorelasi positif terhadap ketahanan pada ikan. Banyak faktor imunologi yang akan mempengaruhi aktifitas biologi dalam pembentukan antibodi yang akan menstimulasi pembentukan respons non-spesifik sebagai efektor dan antibodi spesifik sebagai sel memori Nikosleinan et al. 2007. Pembentukan vaksin bivalen akan dipengaruhi oleh banyak proses imunologi seperti reaksi silang antigen cross-reaction antigenic, kompetisi antigen, waktu pematangan dan penghilangan sifat antigenik yang akan mempengaruhi efektifitas, kemampuan menghasilkan respons imun dan level antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat proteksi ikan Nila melalui tingkat kelangsungan hidupnya terhadap uji tantang dengan bakteri homolog dan 85 bakteri heterolog setelah dilakukan vaksinasi dengan vaksin monovalen dan vaksin bivalen, serta melihat respons imun ikan Nila terhadap kedua jenis bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae setelah uji tantang. Bahan dan Metode 1 Spesifik Respons dan Proteksi Vaksin Monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae Kajian reaksi respons imun silang antar heterolog bakteri A. hydrophila dan Streptococcus sp. perlu dilakukan untuk melihat kemampuan proteksi setiap vaksin monovalen yang diberikan pada ikan terhadap jenis bakteri lain penyebab MAS dan Streptococcosis. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan bakteri dari genus berbeda, jika dilihat dari gejala klinis yang tampak antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae dan A. hydrophila memiliki karakter yang berbeda pada ikan Nila, diduga tingkat proteksi silang antar kedua jenis bakteri ini juga akan berbeda. Dosis vaksin monovalen vaksin A. hydrophila menggunakan dosis Sugiani et al. 2010, sedangkan dosis S. agalactiae menggunakan dosis yang dilakukan Pasnik et al. 2006. Setiap ikan disuntik vaksin secara intraperitoneal sebanyak 0,1 mLikan. Kombinasi komponen vaksin disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Perlakuan proteksi vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang 1 2 1 2 3 1 2 3 A. hydrophila A. hydrophila A. hydrophila S. agalactiae S. agalactiae S. agalactiae A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi S. agalactiae A. hydrophila Ko-infeksi Ko-infeksi A. hydrophila + S. agalactiae 2 Proteksi Vaksin Bivalen Terhadap Infeksi Tunggal dan Ko-infeksi Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Ikan Nila dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen Tabel 10, dan 4 kelompok kontrol Tabel 11 dengan 3 ulangan, di mana setiap ikan disuntik vaksin secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mLikan. Ikan dipelihara 86 selama 21 hari setelah divaksin kemudian dilakukan uji tantang dengan dosis LD 50 sebanyak 0,1 mLikan, ikan dipelihara kembali selama 14 hari. Data kematian ikan dicatat setiap hari selama waktu penelitian untuk menghitung kematian kumulatif, sedangkan gambaran darah dan patologi klinik darah diukur setiap 3 hari. Tabel 10 Perlakuan vaksin bivalen Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang 1 2 3 4 5 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Biv su AH : su SA Biv su AH : su SA Biv su AH : su SA Biv ECP AH : ECP SA Biv ECP AH : ECP SA Biv ECP AH : ECP SA Biv su+ECP AH : su+ECP SA Biv su+ECP AH : su+ECP SA Biv su+ECP AH : su+ECP SA Biv cS AH : cS SA Biv cS AH : cS SA Biv cS AH : cS SA Biv br AH : br SH Biv br AH : br SH Biv br AH : br SH A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi

A. hydrophila S. agalactiae

Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi

A. hydrophila S. agalactiae

Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi Biv bivalen, AH Aeromonas hydrophila, SA Streptococcus agalactiae, ECP produk ekstraseluler, su sel utuh, cS crude supernatan, br broth, ko-infeksi A. hydrophila +

S. agalactiae

Tabel 11 Perlakuan kontrol Perlakuan Ulangan Kontrol Komponen uji tantang 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Kontrol TSB Kontrol TSB Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol BHI Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845 Kontrol Salin 0,845 Kontrol Salin 0,845 Kontrol tanpa injeksi Kontrol tanpa injeksi Kontrol tanpa injeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi

A. hydrophila S. agalactiae

Ko-infeksi A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi

A. hydrophila S. agalactiae

Ko-infeksi TSB trytic soy broth, BHI brain heart infusion 87 Ikan Nila diberi perlakuan vaksin gabungan hasil kultur terpisah bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi menggunakan 3 bufer formalin dengan perbandingan volume sediaan vaksin 1:1 vv Silva et al. 2009. 3 Uji Tantang Uji tantang dilakukan terhadap 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen, 2 kelompok perlakuan vaksin monovalen, dan 4 kelompok kontrol dengan melakukan uji tantang pada minggu ke-3 Li et al. 2006. Kematian ikan diamati untuk melihat proteksi vaksin dengan menghitung Relative Percent Survival RPS. Dosis bakteri untuk uji tantang menggunakan dosis dari hasil LD 50 kedua jenis bakteri uji. LD 50 A. hydrophila infeksi tunggal adalah 10 7 cfumL, LD 50 S. agalactiae infeksi tunggal adalah 10 3 cfumL, sedangkan LD 50 ko-infeksi A. hydrophila+S. agalactiae adalah dengan menggabungkan 50:50 A. hydrophila dalam TSA 24 jam dengan S. agalactiae dalam BHIA 72 jam. Ikan diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mLekor. Ikan yang mati diamati dan dicatat selama 14 hari perlakuan uji tantang. Hasil dan Pembahasan 1 Proteksi Vaksin Monovalen Gambar 33 menunjukkan rata-rata kematian harian ikan Nila yang divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila dan diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tingkat kematiannya rendah 10, sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi 80 dan 90. Pada perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila terbukti hanya dapat memproteksi ikan dari uji tantang terhadap bakteri yang sama, tidak ada proteksi silang untuk bakteri S. agalactiae, hal ini terlihat dari kematian ikan yang tinggi setelah uji tantang dengan bakteri berbeda. Kematian harian perlakuan monovalen A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila berbeda nyata dengan kontrol P0,05. Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14, dimana kematian rata-rata tertinggi kelompok ikan yang divaksin monovalen A. 88 hydrophila terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7 pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae, dan ko-infeksi. Vaksin monovalen A. hydrophila terbentuk dari sediaan sel utuh, sehingga proteksinya relatif lebih spesifik untuk strain homolog dan tidak dapat memproteksi terhadap bakteri di luar kelompok strain A. hydrophila. Hasil ini sama dengan vaksin bakteri A. hydrophila yang dibuat oleh Shieh 1987, bahwa Atlantic salmon yang divaksinasi melalui injeksi intra muskular dengan vaksin sediaan ekstraselular protease dari A. hydrophila dapat melindungi dari uji tantang dengan bakteri yang homolog dan beberapa isolat bakteri yang heterolog dari A. hydrophila. Akan tetapi, tidak ada laporan mengenai kemampuan ekstraselular protease yang dihasilkan dari satu spesies untuk menimbulkan reaksi silang melawan spesies motil Aeromonad yang lainnya. Gambar 33 Kematian harian ikan Nila O. niloticus yang divaksin monovalen secara intraperitoneal dan diuji tantang selama 16 hari. Sama dengan kelompok ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, kelompok ikan yang divaksin dengan vaksin monovalen S. agalactiae juga hanya dapat memproteksi dari kelompok strain yang homolog, tidak menimbulkan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kem atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Monovalen A. hydrophila uji A. hydrophila Monovalen A. hydrophila uji S. agalactiae Monovalen A. hydrophila uji ko-infeksi Monovalen S. agalactiae uji A. hydrophila Monovalen S. agalactiae uji S. agalactiae Monovalen S.agalactiae uji ko-infeksi 89 proteksi ketika diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Rata-rata kematian ikan terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-8 pascauji tantang, dengan tingkat kematian 20 untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, kematian 60 untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, dan kematian 80 untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan ko-infeksi. 2 Proteksi Vaksin Bivalen Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP, crude supernatan, gabungan sel utuh+ECP, maupun broth, relatif lebih tahan terhadap uji tantang dengan bakteri tunggal maupun gabungan. Gambar 34 Kematian harian ikan Nila O. niloticus setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila yang dipelihara selama 16 hari. a perlakuan vaksin bivalen, b kontrol. 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen crude Supernatan Bivalen Broth 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845 Kontrol tanpa injeksi a b 90 Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14. Kematian rata- rata tertinggi terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila Gambar 34, S. agalactiae Gambar 35, dan ko-infeksi Gambar 36. Gambar 35 Kematian harian ikan Nila O. niloticus setelah diuji tantang dengan bakteri S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. a perlakuan vaksin bivalen, b kontrol. Kematian harian perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol P0,05, jika dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh dan ECP tidak berbeda nyata P0,05, dan berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP, crude supernatan, dan broth P0,05. 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan Bivalen Broth 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845 Kontrol tanpa injeksi b a 91 Kelompok ikan yang divaksin dengan sediaan sel utuh dan sediaan sel utuh+ECP rata-rata tingkat kematian 0 setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, 22-32 setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, dan 43 setelah diuji tantang dengan ko-infeksi. Gambar 36 Kematian harian ikan Nila O. niloticus setelah diuji tantang dengan ko-infeksi bakteri A. hydrophila+S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. a perlakuan vaksin bivalen, b kontrol. Sediaan sel utuh dan sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin yang dapat memberi kelangsungan hidup tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, maupun broth. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen crude Supernatan Bivalen Broth 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 k em atian k u m u latif h ar ian uji tantang hari Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845 Kontrol tanpa injeksi a b 92 8 Hematologi dan Respons Imun Ikan Nila Setelah Uji Tantang Vaksinasi aktif merupakan bentuk dari imunisasi aktif menggunakan stimulasi antigen untuk meningkatkan respons imun alami dan respons imun perolehan adaptif dengan menghasilkan spesifik respons imun humoral dan imunitas antara cell-mediated immunity terhadap patogen dan antigen spesifik Skinner 2009. Respons imun spesifik yang diamati dengan melihat titer antibodi, sedangkan respons imun non spesifik diamati dengan melihat perubahan pada kadar hematokrit, hemoglobin, indek fagositik, persentase fagosit, produksi radikal bebas respiratory burst, aktifitas lisosim dan komplemen. Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri homolog maupun heterolog menunjukkan adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indek fagositik, persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT aktifitas respiratory burst, aktifitas lisosim dan komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan bivalen berbeda nyata P0,05 dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun spesifik maupun non spesifik. Tabel 12 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan A. hydrophila Perlakuan He Hb g IP PP Antibodi log 2 NBT Lisosim mm Komplemen Mono. A. hydrophila 27±1,4 8±0,14 2,2±0,15 66±5,29 6 0,725±0,16 3±1,4 74,07±9,16 Mono. S. agalactiae 29±1,4 7,8±0,28 2±0,26 58±5,29 3 0,488±0,03 5±0,7 61,11±1,3 Biv. Sel utuh 27±2,1 7,4±0 1,9±0,25 56±4,16 4 0,538±0,13 4±1,4 59,26±5,23 Biv. ECP 30±0,7 7,4±0,13 2,4±0,17 48±2 4 0,353±0,06 2±0,7 92,59±3,9 Biv. Sel utuh + ECP 29±2,1 9±0,13 2,1±0,28 50±6,42 5 0,447±0,12 5±2,1 85,18±4,3 Biv. Crude Supernatan 26±1,4 7,4±0,14 2,1±0,26 52±7,07 4 0,273±0,08 5±0,7 98,15±2,4 Biv. Broth 28±1,4 7,6±0,28 1,6±0,28 42±4,16 3 0,397±0,09 6±2,1 92,59±4,6 Kontrol 26±2,1 8±0,14 2±0,26 54±5,29 3 0,269±0,11 3±1,4 103,71±7,8 Mono monovalen, Biv bivalen, He hematokrit, Hb hemoglobin, IP indek fagositik, PP persentase fagosit, NBT Uji respiratory burst. Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen A. hydrophila , dan sediaan sel utuh+ECP yang memberikan respons imun terbaik. Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun 93 spesifik menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A. hydrophila hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog, sedangkan parameter respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan Tabel 12. Tabel 13 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan S.agalactiae Perlakuan He Hb g IP PP Antibodi log 2 NBT lisosim mm komplemen Mono. A. hydrophila 26±1,4 8,8±0,56 2,5±0,22 78±3.46 2 0,584±0,004 4±1,7 66,67±9,32 Mono. S. agalactiae 22±1,4 8±0 2,3±0,15 80±3.65 4 0,59±0,006 4±2,08 59,26±2,13 Biv. Sel utuh 29±2,1 8±0,14 2,1±0,11 72±2.51 4 0,599±0,144 7±2,82 77,78±12,04 Biv. ECP 23±0,7 7,8±0,14 1,9±0,19 78±5.03 3 0,395±0,159 3±1,73 101,85±5,65 Biv. Sel utuh + ECP 24±2,1 8±0,70 2,2±0,17 74±4.61 4 0,621±0,16 6±1,52 90,74±3,85 Biv. Crude Supernatan 22±1,4 7±0,42 2±0,20 74±5.65 2 0,394±0,1 3±1,54 98,15±5,23 Biv. Broth 24±1,4 7,6±0,28 2,1±0,21 66±3.22 3 0,536±0,09 5±1,41 96,29±5,25 Kontrol 28±2,8 8±0,14 2,4±0,56 58±4.17 3 0,396±0,042 3±1,2 103,71±9,08 Mono monovalen, Biv bivalen, He hematokrit, Hb hemoglobin, IP indek fagositik, PP persentase fagosit, NBT Uji respiratory burst. Tabel 14 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae Perlakuan He Hb g IP PP Antibodi log 2 NBT lisosim mm komplemen Mono. A. hydrophila 24±0,7 6,8±0,42 1,6±0,21 68±2,83 4 0,431±0,1 3±2,5 79,63±3,88 Mono. S. agalactiae 25±2,1 7,4±0,07 1,4±0,16 64±2,82 3 0,286±0,02 7±1,9 85,12±5,28 Biv. Sel utuh 22±2,8 7,5±1,6 1,4±0,15 60±4,24 4 0,318±0,02 9±2 92,59±7,85 Biv. ECP 26±1,4 9,8±0,63 1,2±1,14 54±5,65 2 0,303±0,09 5±2,5 103,7±5,24 Biv. Sel utuh + ECP 24±1,4 8,9±0,49 1,2±0,17 62±2,82 4 0,439±0,11 9±2,5 96,29±0,92 Biv. Crude Supernatan 22±1,4 9,6±1,41 1±0,21 58±7,07 3 0,285±0,02 6±1,5 101,85±7,84 Biv. Broth 24±2,8 7,6±0,07 1,1±0,20 48±1,42 4 0,318±0,05 3±1,4 90,75±1,82 Kontrol 28±0,7 7,5±0,49 1,4±0,15 46±3,22 3 0,398±0,07 5±1,7 103,71±4,53 Mono monovalen, Biv bivalen, He hematokrit, Hb hemoglobin, IP indek fagositik, PP persentase fagosit, NBT Uji respiratory burst. Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen S. agalactiae, sel utuh, dan sediaan sel utuh+ECP sama-sama memberikan respons imun terbaik. Nilai titer sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog. Nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibanding dengan kelompok vaksin yang diuji 94 tantang dengan A. hydrophila diduga karena tingkat proteksi sediaan vaksin bivalen rendah terhadap respons infeksi S. agalactiae, sedangkan untuk parameter respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan Tabel 13. Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae, bivalen sediaan sel utuh, sel utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun terbaik. Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat meningkatkan respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang hampir sama, namun berbeda nyata P0,05 dalam kemampuannya meningkatkan respons imun spesifik Tabel 14. Pemberian vaksin monovalen dan bivalen dapat mempengaruhi respons imun, diduga dengan adanya antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis Skinner 2009. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan tipe bakteri ekstraselular Burke et al. 1981; Romalde Toranzo 2002. Smith 1977 menerangkan bahwa respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktifasi ini adalah komplemen C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan komplek membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktifasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti interleukin IL-1, IL-6 dan IL-8. 95 Hampir semua vaksin memiliki potensi untuk dibuat dalam bentuk bivalen dan polivalen vaksin dengan kandungan beberapa antigen; bakteri dan virus. Vaksin polivalen dapat melindungi individu ikan terhadap penyakit utama yang mungkin akan menyerang pada saat proses produksi budidaya sampai ukuran siap panen, serta dapat menghindari kebutuhan akan vaksinasi ulang Berg et al. 2006. Anbarasu et al. 1998 menemukan bahwa vaksin A. hydrophila yang diinaktifasi menggunakan bufer formalin lebih baik dibanding dengan vaksin yang diinaktifasi dengan pemanasan, terutama ketika bakterin akan diaplikasikan melalui suntik dan disatukan dengan adjuvan. Akan tetapi, sonikasi sel untuk vaksin menghasilkan respons antibodi yang terbaik. Sonikasi akan memecah sel dan memungkinkan diperolehnya antigen somatik lipopolisakarid bakteri. Tanpa memperhatikan apakah vaksin berbentuk sel utuh, freeze-thawed sel, atau sel hasil sonikasi, Thune dan Plumb 1982 menyatakan bahwa pemberian vaksin A. hydrophila melalui suntik akan memberikan hasil yang lebih baik dalam membentuk respons humoral antibodi dibanding dengan pemberian vaksin melalui rendam atau semprot. Tabel 15 Tingkat RPS ikan Nila yang divaksin monovalen dan bivalen A. hydrophila dan S. agalactiae Perlakuan Relative Percent Survival RPS setelah diuji tantang

A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi

A. hydrophila+S. agalactiae Monovalen A. hydrophila 89,2 b 17,2 e 2,7 d Monovalen S. agalactiae 35,1 e 72,4 b 13,5 c Bivalen Sel utuh 100 a 72,4 b 56,7 a Bivalen ECP 45,9 d 31 d 24,3 b Bivalen Sel utuh+ECP 100 a 86,2 a 56,7 a Bivalen crude Supernatan 45,9 d 31 d 2,7 d Bivalen Broth 67,6 c 44,8 c 24,3 b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji P0,05. Berdasarkan Tabel 15, nilai RPS yang tinggi pada perlakuan vaksin sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP didukung oleh hasil pengamatan karakter protein penyusun sediaan vaksin pada tahap penelitian sebelumnya. Hasil SDS-PAGE dari 96 sediaan vaksin tersebut memiliki karakter protein lebih banyak jika dibandingkan dengan sediaan vaksin ECP, crude supernatan, dan broth. Karakter protein akan mempengaruhi tingkat imunogenisitas dari sediaan vaksin. Stuart 1999 mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi imunogenisitas yaitu : 1 harus dikenali sebagai sel asing dengan memiliki derajat perbedaan genetik antara antigen dan sel inang, 2 kandungan berat molekul yang imunogenik harus 6.000 dalton, berat molekul 1.000 dalton tidak imunogenik, berat molekul 1.000-6.000 dalton tingkat imunogeniknya bervariasi, 3 memiliki kompleksitas kimia penyusun, komponen sederhana walaupun memiliki berat molekul tinggi bersifat tidak imunogenik. Protein memiliki sifat imunogenik yang tinggi, karbohidrat atau polisakarida sifat imunogeniknya rendah, lemak tidak memiliki sifat imunogenik, asam nukleat tunggal memiliki tingkat imunogenik yang rendah namun apabila asam nukleat dikonjugasikan dengan protein maka akan menjadi imunogenik. Busch 1997 menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan, kompetisi antigenik keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen lain, dan terjadi imunodominansi antar antigen setiap sub unit antigen determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi semua faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi antibodi spesifik Abs. Nilai RPS ikan Nila pascauji tantang menunjukkan hasil yang beragam Tabel 15. Perlakuan vaksin monovalen berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen dan keduanya juga berbeda nyata dengan kontrol P0,05. Nilai RPS tertinggi 100 didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh dan ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A. hydrophila. Nilai RPS terkecil 2,7 didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude supernatan yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Akan tetapi, jika diamati nilai RPS pada perlakuan uji tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan maka sediaan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh dan ECP yang memiliki 97 nilai sama 56,7. Penghitungan nilai RPS diperoleh dengan menghitung kematian ikan dan dimasukkan ke dalam rumus yang dibuat oleh Ellis 1988, rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 13. Nilai RPS yang relatif rendah tersebut dari perlakuan vaksin bivalen terhadap ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa vaksin tersebut kurang protektif terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis jika terjadi infeksi secara bersamaan. Sediaan vaksin bivalen yang paling memberikan level proteksi tertinggi adalah vaksin bivalen gabungan sel utuh A. hydrophila+S. agalactiae dan ECP A. hydrophila+S. agalactiae, apabila infeksi yang terjadi merupakan infeksi tunggal. Vaksin monovalen yang hanya dapat memproteksi dari serangan penyakit yang sama dan tidak dapat memproteksi dari infeksi silang maupun infeksi gabungan ko-infeksi. Vaksin monovalen A. hydrophila hanya dapat memproteksi dari infeksi MAS, dan vaksin monovalen S. agalactiae hanya dapat memproteksi dari infeksi Streptococcosis. Vaksin bivalen memiliki proteksi yang rendah terhadap infeksi S. agalactiae, hal ini diduga karena bakteri Streptococcus merupakan bakteri ekstraseluler yang biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit, namun pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar outer capsule yang mengakibatkan adhesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Fungsi kapsul ini untuk menghambat akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri, sehingga respons imun terhadap infeksi dan pembentukan respons imun spesifik yang diperantarai sel-sel limfosit juga menjadi terhambat Samen et al. 2004. Giordano et al. 2010 melakukan vaksinasi ikan Nila dengan inaktifasi bakteri S. agalactiae sel utuh formalin killed dengan dosis 2,0x10 8 cfumL menghasilkan RPS sebesar 83,6 setelah ditantang dengan bakteri S. agalactiae 3,0x10 7 cfumL pada 30 hari setelah vaksinasi. Hal ini membuktikan bahwa 98 vaksin inaktif S. agalactiae dapat memproteksi ikan Nila yang terinfeksi bakteri S. agalactiae homolog. Nilai proteksi vaksin bivalen yang terpresentasikan dengan kelangsungan hidup setelah uji tantang dari sediaan sel utuh maupun sediaan sel utuh+ECP memiliki nilai RPS lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin bivalen sediaan crude supernatan, broth, dan ECP, hal ini diduga bahwa kandungan formaldehid dari bahan inaktifasi bufer formalin yang digunakan untuk menginaktifkan bakteri dan toxin bakteri mempengaruhi kemampuan proteksi respons imun ikan terhadap antigen. Secara umum inaktifasi formaldehid dalam pembuatan vaksin telah terbuki dapat meningkatkan proteksi respons antibodi, akan tetapi formaldehid juga dapat berpengaruh terhadap pengenalan antigen oleh sel-T. Pengenalan sel-T terhadap antigen sebagai ikatan peptida akan membentuk molekul major hystocompability complex MHC, formaldehid dapat mempengaruhi presentasi antigen dengan cara interfensi pada saat degradasi proteolitik menjadi peptida membentuk ikatan peptida jadi MHC atau pengenalan reseptor sel-T terhadap peptida-MHC komplek Tommaso et al. 1994. Tingkat proteksi berupa respons imun maupun kelangsungan hidup pascauji tantang terhadap ikan Nila yang diberi perlakuan vaksin akan terbentuk secara optimal jika didukung dengan kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan ikan Nila. Tabel 16 Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian Pemeliharaan ikan dilakukan pada bak terkontrol, di mana pergantian air dilakukan setiap 2 hari sekali sebanyak 50 dari total volume. Nilai parameter kualitas air media pemeliharaan selama penelitian berada pada kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan ikan Nila Tabel 16. Hal ini menunjukkan bahwa hasil Parameter Kisaran Satuan Temperatur 24 - 26,5 °C pH 6,5 - 7 - TAN 0,016 - 0,69 ppm Oksigen terlarut 6 - 8 mgL 99 penelitian yang diperoleh disebabkan adanya perbedaan perlakuan dan bukan merupakan pengaruh dari kualitas air. Simpulan dan Saran Vaksin dalam bentuk bivalen gabungan sel utuh+ECP lebih mampu memproteksi ikan Nila terhadap infeksi tunggal A. hydrophila RPS 100, infeksi tunggal S. agalactiae RPS 86,2, dan ko-infeksi RPS 56,7 daripada vaksin monovalen. Komposisi sediaan vaksin bivalen yang telah diteliti sebenarnya memiliki kemampuan dalam meningkatkan respons imun, hanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penyusunan komposisi berbeda dari sediaan vaksin bivalen, sehingga level proteksi yang dihasilkan terhadap infeksi tunggal maupun ko- infeksi dari kedua jenis bakteri dapat meningkat. 100 PEMBAHASAN UMUM Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila Oreochromis niloticus di Indonesia. Hasil isolasi bakteri pada organ ginjal, otak, dan luka menunjukkan keberadaan A. hydrophila sebesar 100 dan ko-infeksi Streptococcus sp. sebesar 20 pada budidaya ikan Nila di Karamba Jaring Apung KJA Waduk Cirata. Gejala klinis ikan yang terinfeksi MAS dan Streptococcosis menunjukkan adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan berwarna putih opaque, perut gembung apabila dibedah terdapat cairan berwarna bening pada rongga perut asites, perdarahan hemorrhage, sirip gripis dan pangkal sirip berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran intestin kosong. Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti dan perdarahan hemorrhage, terdapat suatu infiltrasi limfosit diantara tubuli ginjal dan ada sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel, terdapat melano macrofage centre MMC pada organ limpa yang bersifat multifokal. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media agar maupun media cair. Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi diduga bahwa kedua jenis bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat pertumbuhan satu sama lain dan tidak saling berkompetisi dalam pemanfaatan media untuk tumbuh. Perlakuan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Nila dengan perbandingan komposisi cfumL bakteri yang berbeda menunjukkan adanya penurunan jumlah hemosit darah dan peningkatan plasma darah pada setiap perlakuan, jika dibandingkan dengan kontrol terdapat perbedaan yang nyata P0,05, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila dan infeksi tunggal S. agalactiae. Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol. 101 Fluktuasi homeostasis tersebut menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan Nila berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai sel fagosit makrofag yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh ikan. Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri. Hasil ko-infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50 dengan waktu inkubasi 2-12 hari. Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae lebih mematikan daripada ko-infeksi dengan tingkat kematian 13-80. Kematian ikan yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian mencapai 100. Kematian ikan yang cepat disebabkan karena adanya toksin mematikan lethal toxic dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut. Nilai LD 50 ko- infeksi diperoleh dari campuran 50:50 bakteri A. hydrophila dalam TSA 24 jam dengan S. agalactiae dalam BHIA 72 jam. Infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut dengan rata-rata kematian terjadi 3-8 hari pascainfeksi. Infeksi MAS bersifat akut dan kronis, kematian akut terjadi 1-3 hari pascainfeksi dan kematian kronis terjadi 8 hari pascainfeksi dengan jumlah kematian ikan antara 20-100. Jenis antibiotik yang dapat menanggulangi jenis bakteri A. hydrophila adalah Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S. agalactiae adalah Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Kejadian ko-infeksi dari kedua jenis bakteri yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae hanya dapat ditanggulangi dengan menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Kedua jenis bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih dapat ditanggulangi dengan perlakuan antibiotik, akan tetapi dilihat dari hasil uji 102 bahwa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri adalah dari jenis antibiotik yang sudah dilarang penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat keras menurut Komisi Obat Indonesia KOI, maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui imunostimulasi menggunakan imunostimulan maupun vaksin. Pembuatan vaksin bivalen dimulai dengan menginokulasi bakteri A. hydrophila dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 o C. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 o C. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3 vv NBF atau neutral buffer formalin 10 ; dibuat dengan mencampurkan 0,4 g NaH 2 PO 4 +0,65 g Na 2 HPO 4 +10 mL formaldehid 37+90 mL akuades steril kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu 4 o C, pelet endapan sel dipisahkan dari supernatan, kemudian pelet sel diresuspensi dengan salin NaCl 0,845, pH 7. Produk ekstraselular ECP A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 o C. Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S. agalactiae 1:1 vv. Sediaan vaksin bivalen sel utuh, produk ekstraselularECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, broth yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3 aman dan steril untuk digunakan. Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,43 dan 0,53 mgmL, sediaan ECP 1,93 mgmL, sediaan crude supernatan 1,99 mgmL, serta sediaan broth 2,12 mgmL. Pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan 12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa.