Hukum dan Sifat Jual Beli

macam, yaitu jualbeli yang dikategorikan sah sahih dan jual beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan, baik itu rukun maupun syaratnya. Sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat jual beli, sehingga jual beli dinyatakan fasidrusak atau bisa juga batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak atau batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal, dan rusak. 59 Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama Hanafiyah berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan syara’ berdasarkan hadits : َﻣ ْﻦ َﻋ ِﻤ َﻞ َﻋ َﻤ ًﻼ َﻟ ْﯿ َﺲ َﻋ َﻠْﯿ ِﮫ َأ ْﻣ ُﺮ َﻧ َﻓ ﺎ ُﮭ َﻮ َر َو ﱞد َﻣ ْﻦ َأ ْد َﺧ َﻞ ِﻓ ْﻲ ِد ْﯾ ِﻨ َﻨ َﻣ ﺎ َﻟﺎ ْﯿ َﺲ ِﻣ ﱠﻨ َﻓ ﺎ ُﮭ َﻮ َر ﱞد ﻢﻠﺴﻣ هاور Artinya :“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukan suatu perbuatan kepada agama kita,maka tertolak.” HR. Muslim 60 Berdasarkan hadits di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap, baik itu dalam hal muamalah ataupun hal ibadah. Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannyadari 59 Rachmat Syafei, Op. Cit, hal. 92 60 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Al-Qona’ah, tt, hal. syara’. Sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh penjelasanan jual beli sahih, fasad, dan batal adalah sebagai berikut. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad. Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan aslinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan. Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa batal dan fasad rusak adalah sama.

5. Macam-Macam Jual Beli

Secara garis besar hukum Islam membagi jual beli menjadi tiga macam, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Imam Taqiyyudin, berikut : ُﺰِﺋﺎ َﺠَﻓ ٍةَﺪَھﺎ َﺸُﻣ ٍﻦْﯿ َﻋ ُﻊ ْﯿَﺑ ًءﺎَﯿ ْﺷَأ ٌﺔ َﺛَﻼَﺛ ُعْﻮ ُﯿُﺒْﻟا ٍءْﻲ َﺷ ُﻊ ْﯿَﺑَو ْﺪِھﺎ َﺸُﺗ ْﻢ َﻟ ٍﺔ َﺒِﺋ ﺎ َﻏ ٍﻦْﯿ َﻋ ُﻊ ْﯿَﺑَو ُﺰِﺋﺎ َﺠَﻓ ِﺔ ﱠﻣﱢﺬﻟا ﻲ ِﻓ ٍفْﻮ ُﺻْﻮَﻣ ُزْﻮُﺠَﯾ َﻼَﻓ Artinya : “Jual beli itu terdiri dari tiga macam, yaitu jual beli yang keadaan barangnya dapat dibuktikan atau disaksikan, bentuk jual beli semacam ini diperbolehkan. Jual beli yang keadaan bentuk barangnya masih diperjanjikan atau ditangguhkan, jual beli ini diperbolehkan. Jual beli yang barangnya tidak ada dan tidak dibuktikan keadan barangnya, jual beli yang demikian ini yang tidak diperbolehkan.” 61

a. Jual Beli Benda Terlihat

Jual beli benda yang terlihat atau dapat dibuktikan adalah jual beli yang pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Bentuk jual beli yang demikian ini diperbolehkan, sebagaimana Imam Taqiyyudin menegaskan : ﱞﺢَﺻ ﺎَﮭْﯿِﻓَو ِﮫْﯿِﻓ ُﺮَﺒَﺘْﻌَﯾ ﺎَﻤِﺑ ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ُﺪُﻘُﻌْﻟا َﻊَﻗَو ﱠنِﺈَﻓ Artinya : “Apabila akad terjadi terhadap suatu barang yang dijelaskan, maka jual beli adalah sah”. 62 Bila barang yang diperjualbelikan ternyata ada kekurangan atau cacat dan agar jual beli yang dilakukannya itu tetap diperbolehkan, maka seorang penjual harus menjelaskan barang yang cacat itu. Sebagaimana yang dicontohkan Rasul Saw., dalam sabda Beliau : 61 Imam Taqiyyudin Aby Bakr bin Husain, Op. Cit., hal. 239-240 62 Ibid, hal. 141