Laporan praktek ketrampilan

(1)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk koleksi tumbuhan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan Penelitian, Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan juga sebagai fasilitas yang menunjang Budidaya, Budaya, Pariwisata dan Rekreasi. Kriteria penunjukan dan penetapan sebagai kawasan taman hutan raya yaitu: Pertama, merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah. Kedua, memiliki keindahan alam atau gejala alam. Ketiga, mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan atau satwa baik jenis asli atau bukan asli.

Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan terletak di gugusan kawasan hutan Seulawah Agam, berjarak 70 km dari kota Banda Aceh, didominasi vegetasi hutan pegunungan dan Pinus merkusi. Secara geografis Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan terletak pada 05o24′ - 05o28′ LU dan pada 95o38′ - 95o47′ BT. Secara

administratif berada di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, Provinsi NAD (DISHUT Prov Aceh, 2006).

Keadaan topografi Tahura Pocut Meurah Intan pada umumnya berbukit-bukit. Sebagian kecil dari areal tersebut merupakan dataran dengan status sebagai hutan negara bebas dengan ketinggian 0 - 40 meter diatas permukaan laut dan berada di kaki Gunung Seulawah Agam. Keadaan iklim menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (dalam Dishut Prov Aceh, 2006) Tahura Pocut Meurah


(2)

Intan termasuk dalam tipe iklim B dan C. Hasil pencatatan rata-rata curah hujan pertahun sebesar 67 - 101 hari. Curah hujan berkisar antara 1.750 - 2.000 mm pertahun. Temperatur udara rata-rata minimum 22°C dan maksimum 30°C. Kelembaban rata-rata 92,7 persen pertahun dan tekanan udara rata-rata 1212,1 MB pertahun atau 1010,1 MB perbulan.

Dalam melestarikan Taman Hutan Raya dilakukan langkah pemberdayaan kepada masyarakat untuk melidungi kelestarian Tahura Pocut Meurah Intan sebagai daerah konservasi hutan lindung dengan luas 6.300 hektar. Dengan menata ulang arah konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem Tahura untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Selain itu, dikembangkan untuk membangun hutan lindung yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan hutan lain, sehingga dapat menjadi hutan wisata dan hutan pendidikan (DISHUT Prov Aceh, 2006).

Tahura Pocut Meurah Intan memiliki berbagai jenis flora yang didominasi oleh Pinus (Pinus mercusii) dan Akasia (Acasia auriculiformis) seluas 250 Ha, serta padang alang-alang yang luas 5.000 ha atau 20%. Berbagai jenis fauna terdapat di kawasan Tahura yang antara lain: Rusa (Cervus unicolor), Babi (Sus Scrofa), Landak (Hystrik brachyura), Kancil, Kera ekor panjang, Burung sri gunting, Burung sempala, Ayam hutan, dan Lutung. Di samping itu dijumpai juga jenis mamalia besar di antaranya Gajah (Elephas maximus) (DISHUT Prov Aceh, 2006).

Konservasi lahan, khususnya konservasi hutan adalah pengelolaan penggunaan biosfer oleh manusia sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat lestari tertinggi bagi generasi sekarang, sementara itu mempertahankan potensinya


(3)

untuk memenuhi kebutuhan aspirasi generasi mendatang. Upaya konservasi di dunia ini telah di mulai sejak ribuan tahun yang lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam, dilakukan dengan cara berburu yang merupakan suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konservasi berarti penggunaan sumber daya yang optimum (efisien dan teratur) dalam jangka panjang dengan mengurangi pemborosan baik secara ekonomi maupun sosial dan memaksimumkan pendapatan bersih sepanjang waktu. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa konservasi merupakan pemakaian sumber daya dengan bijaksana dan mempertimbangkan unsur waktu.

Salah satu tujuan di bentuknya Tahura pocut Meurah Intan adalah untuk menjaga kelestarian dua gunung yaitu Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong dengan dibuat zona-zona, seperti zona pemanfaatan,yaitu kebun buah, zona lindung, dan daerah-daerah konservasi. Oleh karena itu, mahasiswa perlu mengetahui upaya konservasi apa saja yang dilakukan oleh pihak Tahura untuk menjaga kelesatarian dan keseimbangan Tanam Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar.

I.2. Tujuan

Tujuan dari praktek keterampilan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui upaya konservasi lahan untuk mengaja keseimbangan lingkungan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar. 2. Untuk terciptanya Keseimbangan alam maka perlu kiranya memberikan

informasi pentingnya menjaga kelestarian hutan yang dapat memberikan manfaat bagi ekonomi rakyat dan lingkungan.


(4)

I.3. Manfaat

1. Mendapat informasi tentang upaya-upaya konservasi lahan di Tahura Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar.

2. Menambah wawasan mahasiswa/i tentang konservasi lahan di Tahura Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar.


(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Hutan

Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu. Air merupakan produk penting dari hutan. Tanah di hutan merupakan busa raksasa yang mampu menahan air hutan sehingga air meresap perlahan-lahan ke dalam tanah. Tetapi bila pohon-pohon di hutan ditebang, maka tanah langsung terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan erosi maupun banjir (Suparmoko, 1997).

Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka ragam warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi. Dari sudut pandang ekonomis, hutan merupakan tempat menanam modal dalam jangka panjang yang sangat menguntungkan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dari sudut pandang ekologi hutan merupakan suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan


(6)

dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengurusannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Tujuan pembangunan kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan ke dalam pengelolaan yang terdiri atas, pengelolaan hutan produksi berfungsi ekonomi dan ekologi yang sama kuat atau seimbang, pengelolaan hutan konservasi yang berfungsi ekologi dan pengelolaan hutan kebun kayu sebagai fungsi ekonomi (Arief, 2001).

II.2. Pelestarian Hutan

Perlindungan hutan dan konservasi alam merupakan seluruh upaya untuk melindungi eksistensi kawasan dan sumberdaya hutan, melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya, serta mengembangkan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan, dimana dalam pemanfaatannya harus dilandasi oleh prinsip pemanfaatan secara lestari. Upaya untuk menjaga dan melestarikan fungsi hutan dapat dilakukan dengan melaksanakan strategi konservasi melalui tiga embanan (misi) yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem secara lestari. Upaya lain yang dilaksanakan untuk melindungi kawasan hutan, Departemen Kehutanan telah melaksanakan berbagai kegiatan yang bersifat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta upaya penegakan hukum (Zain, 1996).

Pelestarian dalam pengertian yang luas merupakan salah satu penerapan yang penting dari ekologi. Tujuan dari pelestarian yang sebenarnya adalah memastikan pengawetan kualitas lingkungan yang mengindahkan estitika dan


(7)

kebutuhan maupun hasilnya serta memastikan kelanjutan hasil tanaman, hewan, bahan-bahan yang berguna dengan menciptakan siklus seimbang antara hasil (output) dan pembaharuan. Kesadaran lingkungan harus ditumbuhkembangkan pada masyarakat sejak dini. Misalnya dari pendidikan atau melalui pemberitahuan secara turun temurun. Tekanan sosial dan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam dapat ditumbuhkembangkan melalui upaya pemberian informasi tentang lingkungan sehingga akan meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat (Herwanto dan Didi, 2009).

II.3. Peran Serta Masyarakat

Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu, praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Kepedulian terhadap lingkungan hidup umumnya dan hutan pada khususnya tidak hanya berada dipundak pemerintah. Bagaimanapun usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola dan menata hutan, akan tetapi tidak mendapat dukungan berupa peran serta warga masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, maka usaha yang dilakukan itu mustahil akan berhasil dengan baik.

Menurut Abdullah (1990) peran serta masyarakat disebut sebagai partisipasi, maka sebagian besar yang dimaksud ialah sikap tanggap masyarakat lokal (local response) terhadap anjuran-anjuran, petunjuk-petunjuk tentang


(8)

cara-cara baru, pemakaian teknologi dan kesediaan memberikan pengorbanan (dalam arti investasi) modal, waktu, tenaga dan uang untuk tercapainya tujuan-tujuan yang membangun.

Hardjasoemantri (1995) mengatakan bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan konservasi dan pelestarian lingkungan hidup khususnya hutan perlu dibina dan dikembangkan dalam bidang administratif dengan berbagai cara sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat yang bersangkutan. Adapun pokok pikiran tersebut adalah:

1. Memberi informasi kepada pemerintah

Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memberi masukan kepada pemerintah tentang masalah yang ditimbulkan oleh sesuatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai konsekuensinya, dengan demikian pemerintah akan dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang terkena akibat tindakan tersebut yang perlu diperhatikan.

2. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan

Seorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu fait accompli, akan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut. Pada pihak lain, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan, asal peran serta tersebut dilaksanakan pada saat yang tepat.


(9)

3. Membantu perlindungan hukum

Apabila sebuah keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses pengambilan keputusan berlangsung, maka dalam banyak hal tidak akan ada keperluan untuk mengajukan perkara ke pengadilan.

4. Mendemokratisasikan pengambilan keputusan

Khusus dalam usaha pelestarian fungsi hutan, dukungan warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok sangat dibutuhkan. Karena warga masyarakat dalam kapasitas dan kedudukannya masing-masing berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan hutan. Menyadari hal ini, pemerintah telah memberi landasan hukum terhadap peran serta masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan.

Ketergantungan masrayakat di sekitar Kawasan Tahura Pocut Meurah Intan terhadap sumberdaya hutan selama ini sangat besar. Hal ini dapat dijadikan potensi untuk menjaga kelestarian Kawasan Tahura dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan pelestarian alam, seperti:

1. Perlindungan sumberdaya hutan

Peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati meliputi pencegahan/pelarangan tumbuhan, pengambilan rusa, perdagangan satwa yang dilindungi oleh pihak tidak bertanggungjawab.

2. Pemanfaatan secara alami

Pemanfaatan Tahura yang dapat dilakukan masyarakat berupa manfaat ekonomi antara lain pemanfaatan dibidang keparawisataan, yaitu dengan adanya dampak positif dari penyerapan tenaga kerja dari sektor keparawitaan


(10)

dimana masyarakat dapat ikut serta menjual jasa sebagai pemandu wisata. Menyediakan sarana akomodasi dan konsumsi, cendera mata atau jasa-jasa lainnya. Masyarakat dapat juga ikut dalam kegiatan kehutanan dibidang penyadapan getah pinus dan kegiatan reboisasi (DISHUT Prov Aceh, 2006).

II.4. Kerusakan Hutan

Kerusakan hutan Indonesia tidak pernah mampu dicegah, dikurangi, dan dihentikan sejak rezim Orde Baru memegang tampuk kekuasaan. Sistem pemberian konsesi penebangan hutan atau hak pengelolaan hutan (HPH) merupakan penyebab utama kehancuran hutan. Apalagi pemberian dan pelaksanaan HPH dilaksanakan pada sistem yang kolusif dan korup. Hal ini menyebabkan sistem pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) tidak bekerja. Selama lebih dari 35 tahun yang berlaku justru sistem pengelolaan hutan yang liar, suatu sistem yang menjadi dasar dari terjadinya pembalakan ”liar”. Dikatakan ”liar” karena setiap kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak pernah menjamin terwujudnya prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (Umar, 2009).

Setelah reformasi, kondisi hutan Indonesia pun masih tidak mengalami perbaikan, tetapi justru mengalami penghancuran secara dramatis. Sistem seperti ini merupakan konsekuensi dari sikap Departemen Kehutanan yang pada tahun 1998 menolak melakukan reformasi terbuka, tetapi justru melakukan reformasi pura-pura (pseudo reformasi) yang dilakukan secara internal oleh Litbang Dephut dengan membekukan ”Forum Reformasi Kebijakan Kehutanan” yang melibatkan beragam stakeholders. Sikap ini rupanya menjadi ciri-ciri pengelolaan sektor


(11)

kehutanan di Indonesia yang picik dan tertutup sebagai pemburu rente yang mengutamakan eksploitasi hutan daripada konservasi dan reservasi. Bahkan selama 10 tahun terakhir tidak pernah ada kejelasan sikap Departemen Kehutanan untuk menahan pesatnya laju ekstraksi sumberdaya hutan yang menyebabkan terjadinya kehancuran hutan Indonesia (Umar, 2009).

II.5. Pengertian Taman Hutan Raya

Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam menyebutkan bahwa Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan Penelitian, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, menunjang Budidaya, Budaya, Pariwisata dan Rekreasi.

Adapun kriteria penunjukan dan penetapan sebagai kawasan Taman Hutan Raya :

a. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah.

b. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam.

c. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.

Kawasan Taman Hutan Raya dikelola oleh Pemerintah, dalam hal ini di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kehutanan R.I. dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman hayati dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu


(12)

kawasan Taman Hutan Raya dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya (Wikipedia, 2010).


(13)

III. METODELOGI

III.1. Tempat dan Waktu

Praktek keterampilan dilakasanakan di Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar. Praktek ini berlangsung pada bulan Maret - April 2014.

III.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktek keterampilan ini yaitu: kamera, alat tulis, GPS, Perangkat lunak Arc Gis dan alat pendukung lainnya. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu: data curah hujan, peta administrasi dan peta konservasi.

III.3. Teknik Pengumpulan Data

Pelaksanaan praktek keterampilan ini dilakukan dengan observasi dan survai melalui pengumpulan data di lapangan, yaitu:

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan staf dan karyawan Tahura, pengumpulan data yang diperlukan seperti:

 Peta administrasi Lembah Seulawah

 Peta Lokasi pengamatan

 Peta Konservasi kawasan Tahura


(14)

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang berasal dari kantor administrasi Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar, disertai dengan beberapa literatur, buku-buku, laporan ilmiah yang berhubungan dengan laporan praktek keterampilan.


(15)

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4.1. Letak Geografis dan Administrasi

Secara Geografis Tahura Pocut Meurah Intan terletak pada 05o24′ - 05o28′

LU dan pada 95o38′ - 95o47′ BT. Dengan luas 6.300 ha, secara administrasi

Kawasan Tahura di Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar dan Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie. Tahura Pocut Meurah Intan terletak di Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar.

Kecamatan Lembah Seulawah merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, Ibukota Kecamatan Lembah Seulawah adalah Lamtamot. Dengan luas Kecamatan Lembah Seulawah 322,85 km2 (32,285 Ha).

Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Lembah Seulawah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Seulimum. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kota Jantho. - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Seulimum. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie.

Kecamatan Lembah Seulawah terdiri dari 12 gampong dan 2 kemukiman, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Nama dan luas desa di Kecamatan Lembah Seulawah No Kemukiman/Nama Desa Jarak ke Ibukota

(km) Luas Desa (ha)

1 2 3 4

I. Kemukiman Gunung Biram

1 Lambaro Tunong 6,00 21,01

2 Lon Baroh 2,00 21,00

3 Lon Asan 1,00 18,08

4 Paya Keureuleh 5,00 08,08


(16)

1 2 3 4

6 Lamtamot 1,00 26,00

7 Panca 9,00 32,00

8

9 Panca KubuLam Kubu 10,006,00 06,0015,01 II. Kemukiman Saree

10 Suka Mulia 15,00 67,75

11 Suka Damai 12,00 50,01

12 Saree Aceh 15,00 38,25

Jumla h

309,19 Sumber: BPS Prov Aceh, Banda Aceh (2013).

4.2. Topografi

Keadaan topografi Tahura Pocut Meurah Intan pada umumnya berbukit-bukit dan sebagian kecil dari areal tersebut merupakan dataran dengan status sebagai hutan negara bebas dengan ketinggian 0 – 40 meter dari permukaan laut dan berada di kaki Gunung Seulawah Agam. Kawasan Tahura Pocut Meurah Intan terletak pada ketinggian tempat 500 – 1.800 m dari permukaan laut. Dengan kelerengan 0 – 8% seluas 8%, kelerangan 8 – 15% seluas 14%, kelerengan 15– 25% seluas 44%, kelerengan 25 – 40% seluas 19% dan kelerangan melebihi 40% seluas 15%.

4.3. jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh tahun 2013, diketahui jenis tanah dan geologi di kawasan Tahura Pocut Meurah Intan Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar adalah tanah Podsolik Merah Kuning dengan bahan batuan alluvial dan fisiografi dataran, komplek Podsolik Merah Kuning, dan Latosol dengan bahan induk batuan beku endapan metamorf dan fisiografi pegunungan patahan,


(17)

tanah andosol dengan bahan batuan beku dan fisiografi vulkan dan tanah latosol dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi vulkan.

4.4. Keadaan Iklim

Kondisi curah hujan tahunan pada Tahura Pocut Meurah Intan berkisar dari 1.750 – 2.000 mm/tahun, temperatur udara 22o C – 30o C, kelembaban relatif

rata-rata 92,7% per tahun, tekanan udara rata-rata 1212,1 MB/tahun dan kecepatan angin rata-rata 2,3 – 4,5 knot. Berdasarkan data iklim yang diperoleh dari BPS Provinsi Aceh berupa data rata-rata curah hujan, hari hujan, bulan basah dan bulan kering dalam jangka waktu selama 10 tahun terakhir pada Kawasan Tahura Pocut Meurah Intan di Kabupaten Aceh Besar (2003-2012). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan lampiran 3.

Tabel 2. Jumlah dan rata-rata curah hujan di Kabupaten Aceh Besar selama 10 tahun periode (2003-2012)

Tahun Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari) Bulan Basah (Bulan) Bulan Kering (Bulan)

2003 1537,6 135 8 2

2004 1503,4 135 7 1

2005 1449,1 135 6 3

2006 1501,7 133 7 1

2007 1320,4 116 7 2

2008 1216,0 130 4 4

2009 1760,4 119 9 3

2010 1980.5 138 8 1

2011 1269,3 119 6 4

2012 1157,7 125 3 3

Jumlah 14696,1 1285 65 24

Rata-rata 1496,61 128,5 6,5 2,4

Sumber : BPS, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (2013).

Keadaan iklim menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (dalam Karim dan Zailani, 1986) ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan yaitu bulan


(18)

basah dan bulan kering. Berdasarkan data curah hujan di Tabel 2 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

 Rata-rata curah hujan selama 10 tahun adalah 1469,61 mm/tahun

 Rata-rata hari hujan selama 10 tahun adalah 128,5 hh/tahun

 Rata-rata bulan basah selama 10 tahun adalah 6,5 bulan/tahun

 Rata-rata bulan kering selama 10 tahun adalah 2,4 bulan/tahun.

Maka untuk ratio nilai Q yaitu perbandingan antara rata-rata bulan kering dengan rata-rata bulan basah dikalikan 100 % adalah:

Q = rataratabulan kering ratarata bulanbasah x100 Q = 2,4

6,5x100 Q = 36,923076 %

Berdasarkan perhitungan diatas, maka diperoleh nilai Q yaitu: 36,923076%. Dengan demikian tipe iklim di Kabupaten Aceh Besar menurut Schmidt dan Ferguson (dalam Karim dan Zailani, 1986) digolongkan dalam iklim tipe C (agak basah).


(19)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan konservasi pada akhirnya disadari sebagai sebuah masalah yang tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya memperbaiki kehidupan manusia. Manusia adalah bagian dari penyebab timbulnya permasalahan konservasi juga merupakan bagian dari solusinya. Pada banyak kasus, permasalahan konservasi merupakan contoh rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, yang menggantungkan hidupnya kepada sumberdaya alam, terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, pemecahan permasalahan konservasi tidak akan berhasil maksimal tanpa penguatan kapasitas masyarakat yang hidup di sekitar kawasan. Pendidikan yang bermuatan pengetahuan dan tanggung jawab sebagai modal dasar dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memberi pengaruh positif terhadap lingkungan (Mapayah, 2007).

V.1. Konservasi Lahan

Selain penebangan liar, hal yang ilegal lain adalah konservasi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan lahan hunian. Departemen Kehutanan menyatakan bahwa banyak pengelola perkebunan yang tidak memandang hutan sebagai kesatuan ekosistem yang perlu dijaga kelestariannya (Buletin Environment, 2006). Tidak ada upaya untuk mempertahankan daerah aliran sungai sepanjang perkebunan bahkan tidak terlibat kegiatan penyelamatan satwa dengan mempertahankan kawasan berupa koridor biologis. Banyak hutan alam diubah menjadi hutan tanaman monokultur. Secara teoritis, hutan tanaman monokultur


(20)

rentan terhadap hama dan penyakit tanaman. Akibatnya kondisi fisik dan biologis tanah berubah dan menyebabkan ketidakseimbangan biologis.

Hasil diskusi dengan pekerja lapangan di Tahura Kecamatan Lembah Seulawah diperoleh informasi bahwa laju kerusakan hutan Saree telah mengancam kehidupan penduduk dari segi menurunnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pertanian. Selain itu berkurangnya sumber air telah menyebabkan sulitnya mengatur masa panen karena tidak ada sumber informasi yang bisa didapatkan masyarakat mengenai masa turun hujan (siklus hujan) untuk keperluan masa tanam. Hutan tidak lagi memberi manfaat yang optimal karena komplek hutan dan penyusun sistem ekologisnya tidak lagi utuh.

Upaya konservasi yang di lakukan oleh pihak Tahura adalah penanaman atau reboisasi. Jenis tanaman yang ditanam adalah lokal atau tanaman yang dominan tumbuh pada daerah konservasi tersebut. Pada zona pemanfaatan konservasi yang dilakukan dengan menanam tanaman buah seperti mangga, durian, alpukat, kamiri, dan lain-lain. Pada dasarnya tanaman konservasi di tanam tanaman kayu namun para pekebun menebang tanaman-tanaman yang ditanam oleh pengurus Tahura. Sehingga pihak Tahura menanam tanaman yang bisa dimanfaatkan oleh para pekebun. Para masyarakat mengambil manfaat secara ekonomis sementara pengurus Tahura mengambil manfaat secara ekologis.

V.2. Reboisasi Lahan Hutan

Reboisasi merupakan kegiatan penghutanan kembali kawasan hutan bekas tebangan maupun lahan-lahan kosong yang terdapat di dalam kawasan hutan.


(21)

Reboisasi meliputi kegiatan permudaan pohon, penanaman jenis pohon lainnya di area hutan negara dan area lain sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan. Dengan demikian, membangun hutan baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih, atau pada lahan kosong lain yang terdapat di dalam kawasan hutan termasuk reboisasi. Kegiatan reboisasi hutan bertujuan untuk mengembalikan kembali kawasan hutan yang kritis. Kegiatan utama reboisasi berupa penanaman kawasan hutan dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat penutupan lahan yg optimal sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, sehingga tercipta keharmonisan antara fungsi hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Laju degradasi hutan ternyata lebih cepat dari upaya reboisasi atau penghijauan oleh pemerintah dan sejumlah elemen lain dengan kelestarian hutan. Untuk mencegah kerusakan hutan dan lahan serta memulihkan kembali fungsi lahan yang kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Untuk menutup kawasan yang rusak karena dirambah, Dinas Kehutanan menggencarkan program Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL) dengan luas 500.000 hektar pada tahun 2011, dilokasi Desa Suka Mulia, Suka Damai dan Ie Masen Kecamatan Lembah Seulawah dan Muara Tiga Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Kegiatan RHL pengkayaan dalam Kawasan Konservasi pada tahun 2012 dengan 100 ha di Desa Suka Mulia dan Lamtamot Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Kegiatan RHL dalam Kawasan Tahura pada tahun 2013 dengan luas 65 ha di Desa Suka Damai dan Suka Mulia Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Jenis tanaman yang ditanam adalah pinus, sentang, mahoni, jabon, durian, petai, jengkol, alpokat, nangka dan manggis


(22)

V.3. Kebakaran Hutan

Permasalahan yang dipandang cukup serius adalah kasus kebakaran hutan, yang biasanya terjadi pada musim kemarau. Kasus terakhir adalah terbakarnya puluhan hektar hutan lindung pinus di Desa Suka Damai Aceh Besar pada akhir Agustus 2006, menurut diskusi dengan masyarakat (Mapayah, 2007), masyarakat masih menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian. Kasus kebakaran juga ditimbulkan karena dalam kegiatan berburu masyarakat membakar lahan hutan agar mangsa lebih cepat diperoleh. Selain itu, tindakan membuang putung rokok dengan sengaja atau tidak sengaja terutama di musim kemarau diduga memicu terjadinya kebakaran hutan. Mengenai dampak dan penyebab kebakaran hutan, kasus kebakaran hutan terjadi karena tingan faktor yaitu:

a. Alat, seperti aktivitas penggunaan lahan dan persiapan lahan baik dalam skala kecil maupun skala besar.

b. Senjata, usaha perolehan atau konflik lahan. c. Kecelakaan, tergantung karakteristik lahan.

V.4. Pembalakan Liar

Pembalakan sering terjadi di kawasan Tahura, masyarakat menebang hutan untuk keperluan diri sendiri yaitu untuk dibuka lahan pertanian, meskipun tanpa izin dari pihak Tahura sendiri, masyarakat tetap membuka lahan baru di kawasan Tahura. Menurut wawancara dengan Pembimbing lapangan, sebagian masyarakat


(23)

di bimbing dalam membudidaya tanaman budidaya, agar upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak Tahuran tetap terjaga.

Oleh karena itu, pihak Tahura berkerja sama dengan masyarakat dalam menjaga zona pemanfaatan dan zona lindung. Tanaman konservasi yang ditanam oleh pihak Tahura ditebang oleh masyarakat karena tidak bermanfaat untuk mereka. Oleh sebab itu, pihak Tahura menanam tanaman yang bisa diambil hasil oleh masyarakat.

Kawasan Tahura yang dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat sedang dalam proses pengambilan alih kembali dari para petani, namun pihak Tahura melakukan dengan cara perlahan-lahan dan membina para petani dalam melestarikan sumberdaya hutan, supaya tidak terjadi konflik antara pihak Tahura dan masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat terhadap sumberdaya hutan selama ini dirasakan sangat besar. Hal ini dapat dijadikan potensi untuk menjaga kelestarian kawasan Tahura dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan pelestarian alam.

V.5. Dampak Penebangan Liar

Penebangan liar terus berlangsung di kawasan Tahura Aceh Besar, akibatnya muncul berbagai permasalahan di lingkungan masyarakat, diantaranya adalah fragmentasi habitat satwa yang mengakibatkan konflik satwa dengan manusia, menurunnya produksi panen karena sawah terendam banjir saat musim hujan tiba, kekeringan saat misim kemarau, menurunnyan jumlah dan kualitas sumber daya air bersih, kualitas air sungai menurun karena erosi tanah yang diakibatkan penebangan liar (Mapayah, 2006).


(24)

Kasus terendamnya sawah di musim hujan di desa-desa sekitar kawasan hutan disebabkan karena hutan yang ditebang habis memutuskan siklus hara dalam hutan. Tanah menjadi terbuka dan pukulan air hujan akan melepas partikel tanah dan menutupi pori-pori tanah. Tanah menjadi cepat jenuh air sehingga akhirnya air menjadi limpasan ke sungaisungai. Karena hanya sedikit air yang terserap ke tanah, dan banyak yang mengalir menjadi limpasan, maka akan terjadi banjir pada musim penghujan. Pada musim kemarau, karena tidak adanya cadangan air di dalam sungai maka hanya mengalirkan sedikit air bahkan sungai tersebut dapat kering. Menurut Harini (2000) kondisi ini karena fungsi hutan sebagai pelindung tanah dari erosi menurun seiring meningkatnya aktivitas ilegal dalam hutan. Seharusnya dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung menimpa tanah tapi akan jatuh ke tajuk pohon lalu menetes ke bagian bawahnya atau mengalir melalui ranting, dahan, batang, dan akhirnya sampai ke tanah.

Dampak penebangan liar memiliki spektrum yang luas dan tidak hanya berdampak negatif terhadap sisi ekologi tetapi juga mempengaruhi aspek sosial, aspek perdagangan dan aspek keberlanjutan. Aspek sosial diantaranya adalah suburnya praktik korupsi seperti dalam pengurusan ijin pemungutan kayu dan sebagainya. Aspek perdagangan adalah harga kayu yang dibalak secara liar lebih murah daripada harga produk legal sehingga permintaan kayu ilegal meningkat. Sedangkan aspek keberlanjutan adalah kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik menjadi berkurang akibat menurunnya kemampuan ekosistem hutan untuk memberikan produk dan jasa lingkungan (Buletin Environment, 2006).


(25)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Salah satu tujuan di bentuknya Tahura Pocut Meurah Intan adalah untuk menjaga kelestarian dua gunung yaitu Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong.

2. Dalam melestarikan Taman Hutan Raya Pocut dilakukan langkah pemberdayaan kepada masyarakat untuk melidungi kelestarian Tahura Pocut Meurah Intan sebagai daerah konservasi hutan lindung.

3. Tujuan menata ulang arah konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem Tahura untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

4. Pada Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar banyak terjadi pembakaran, pembalakan liar, penebangan liar untuk pembukaan lahan pertanian oleh masyarakat, karena itu dilakukan konservasi berbasis masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan Tahura.

5. Upaya konservasi lahan yang dilakukan oleh pihak Tahura adalah reboisasi/penanaman tanaman yang bisa dimanfaatkan secara okonomis oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara ekologis untuk Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar.

6. Tanaman konservasi yang ditanam adalah jenis pohon-pohon yang bermanfaat ganda (Multi Purpose Trees Species) yaitu tanaman yang bisa dimanfaatkan secara ekologis dan ekonomis dan cocok/dominan tumbuh pada daerah-daerah konservasi.


(26)

Saran dari penulis ialah diharapkan adanya tindakan-tindakan khusus dalam menjaga hutan agar tidak terjadi penebangan liar, pembakaran hutan dan pembalakan liar oleh masyarakat. Lahan-lahan yang dijadikan lahan pertanian diharapakan bisa dikembalikan menjadi hutan seperti semula, sehingga kelestarian dan keseimbangan lingkungan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan tetap terjaga dan terlindungi.


(27)

Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta.

Buletin Environment. 2006. Illegal Logging. Yayasan Pasir Luhur. Bogor.

Dinas Kehutanan Provinsi Aceh. 2006. Indentifikasi Flora dalam Kawasan Tahura Pocut Meurah Intan. Aceh Besar.

Harini, E.K.S., M. Burhanunndin. 2000. Konservasi Sumberdaya Alam. Jakarta. Herwanto, Didi. 2009. Pelestarian Hutan Sebagai Potensi Ekonomi.

http://PELESTARIANJ/HTAN.alreadyshare.htm. Diakses 13 Maret 2014. Karim, K dan K, Zailani. 1986. Dasar-dasar Klimatologi. Diklat Fakultas

Pertanian Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Banda Aceh.

Mapayah. 2006. Survei Kondisi Awal Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh. Mapayah dan Pena. Banda Aceh.

. 2007. Peranan Pendidikan Konservasi dalam Penyelamatan Hutan di Kawasan Ekosistem Seulawah Aceh Besar. Mapayah. Banda Aceh.

Suparmoko. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Penerbit BPFE-YOGYAKARTA. Yogyakarta.

Umar. 2009. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Dalam Pelestarian Fungsi Hutan Sebagai Daerah Resapan Air. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Wikipedia. 2010. Taman Hutan Raya.http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_hutan_ raya. Diakses 14 Maret 2014.


(1)

V.3. Kebakaran Hutan

Permasalahan yang dipandang cukup serius adalah kasus kebakaran hutan, yang biasanya terjadi pada musim kemarau. Kasus terakhir adalah terbakarnya puluhan hektar hutan lindung pinus di Desa Suka Damai Aceh Besar pada akhir Agustus 2006, menurut diskusi dengan masyarakat (Mapayah, 2007), masyarakat masih menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian. Kasus kebakaran juga ditimbulkan karena dalam kegiatan berburu masyarakat membakar lahan hutan agar mangsa lebih cepat diperoleh. Selain itu, tindakan membuang putung rokok dengan sengaja atau tidak sengaja terutama di musim kemarau diduga memicu terjadinya kebakaran hutan. Mengenai dampak dan penyebab kebakaran hutan, kasus kebakaran hutan terjadi karena tingan faktor yaitu:

a. Alat, seperti aktivitas penggunaan lahan dan persiapan lahan baik dalam skala kecil maupun skala besar.

b. Senjata, usaha perolehan atau konflik lahan. c. Kecelakaan, tergantung karakteristik lahan.

V.4. Pembalakan Liar

Pembalakan sering terjadi di kawasan Tahura, masyarakat menebang hutan untuk keperluan diri sendiri yaitu untuk dibuka lahan pertanian, meskipun tanpa izin dari pihak Tahura sendiri, masyarakat tetap membuka lahan baru di kawasan Tahura. Menurut wawancara dengan Pembimbing lapangan, sebagian masyarakat


(2)

di bimbing dalam membudidaya tanaman budidaya, agar upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak Tahuran tetap terjaga.

Oleh karena itu, pihak Tahura berkerja sama dengan masyarakat dalam menjaga zona pemanfaatan dan zona lindung. Tanaman konservasi yang ditanam oleh pihak Tahura ditebang oleh masyarakat karena tidak bermanfaat untuk mereka. Oleh sebab itu, pihak Tahura menanam tanaman yang bisa diambil hasil oleh masyarakat.

Kawasan Tahura yang dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat sedang dalam proses pengambilan alih kembali dari para petani, namun pihak Tahura melakukan dengan cara perlahan-lahan dan membina para petani dalam melestarikan sumberdaya hutan, supaya tidak terjadi konflik antara pihak Tahura dan masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat terhadap sumberdaya hutan selama ini dirasakan sangat besar. Hal ini dapat dijadikan potensi untuk menjaga kelestarian kawasan Tahura dengan mengikutsertakan masyarakat dalam berbagai kegiatan pelestarian alam.

V.5. Dampak Penebangan Liar

Penebangan liar terus berlangsung di kawasan Tahura Aceh Besar, akibatnya muncul berbagai permasalahan di lingkungan masyarakat, diantaranya adalah fragmentasi habitat satwa yang mengakibatkan konflik satwa dengan manusia, menurunnya produksi panen karena sawah terendam banjir saat musim hujan tiba, kekeringan saat misim kemarau, menurunnyan jumlah dan kualitas sumber daya air bersih, kualitas air sungai menurun karena erosi tanah yang diakibatkan penebangan liar (Mapayah, 2006).


(3)

Kasus terendamnya sawah di musim hujan di desa-desa sekitar kawasan hutan disebabkan karena hutan yang ditebang habis memutuskan siklus hara dalam hutan. Tanah menjadi terbuka dan pukulan air hujan akan melepas partikel tanah dan menutupi pori-pori tanah. Tanah menjadi cepat jenuh air sehingga akhirnya air menjadi limpasan ke sungaisungai. Karena hanya sedikit air yang terserap ke tanah, dan banyak yang mengalir menjadi limpasan, maka akan terjadi banjir pada musim penghujan. Pada musim kemarau, karena tidak adanya cadangan air di dalam sungai maka hanya mengalirkan sedikit air bahkan sungai tersebut dapat kering. Menurut Harini (2000) kondisi ini karena fungsi hutan sebagai pelindung tanah dari erosi menurun seiring meningkatnya aktivitas ilegal dalam hutan. Seharusnya dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung menimpa tanah tapi akan jatuh ke tajuk pohon lalu menetes ke bagian bawahnya atau mengalir melalui ranting, dahan, batang, dan akhirnya sampai ke tanah.

Dampak penebangan liar memiliki spektrum yang luas dan tidak hanya berdampak negatif terhadap sisi ekologi tetapi juga mempengaruhi aspek sosial, aspek perdagangan dan aspek keberlanjutan. Aspek sosial diantaranya adalah suburnya praktik korupsi seperti dalam pengurusan ijin pemungutan kayu dan sebagainya. Aspek perdagangan adalah harga kayu yang dibalak secara liar lebih murah daripada harga produk legal sehingga permintaan kayu ilegal meningkat. Sedangkan aspek keberlanjutan adalah kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik menjadi berkurang akibat menurunnya kemampuan ekosistem hutan untuk memberikan produk dan jasa lingkungan (Buletin Environment, 2006).


(4)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Salah satu tujuan di bentuknya Tahura Pocut Meurah Intan adalah untuk menjaga kelestarian dua gunung yaitu Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong.

2. Dalam melestarikan Taman Hutan Raya Pocut dilakukan langkah pemberdayaan kepada masyarakat untuk melidungi kelestarian Tahura Pocut Meurah Intan sebagai daerah konservasi hutan lindung.

3. Tujuan menata ulang arah konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem Tahura untuk kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

4. Pada Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar banyak terjadi pembakaran, pembalakan liar, penebangan liar untuk pembukaan lahan pertanian oleh masyarakat, karena itu dilakukan konservasi berbasis masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan Tahura.

5. Upaya konservasi lahan yang dilakukan oleh pihak Tahura adalah reboisasi/penanaman tanaman yang bisa dimanfaatkan secara okonomis oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara ekologis untuk Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan Kabupaten Aceh Besar.

6. Tanaman konservasi yang ditanam adalah jenis pohon-pohon yang bermanfaat ganda (Multi Purpose Trees Species) yaitu tanaman yang bisa dimanfaatkan secara ekologis dan ekonomis dan cocok/dominan tumbuh pada daerah-daerah konservasi.


(5)

Saran dari penulis ialah diharapkan adanya tindakan-tindakan khusus dalam menjaga hutan agar tidak terjadi penebangan liar, pembakaran hutan dan pembalakan liar oleh masyarakat. Lahan-lahan yang dijadikan lahan pertanian diharapakan bisa dikembalikan menjadi hutan seperti semula, sehingga kelestarian dan keseimbangan lingkungan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan tetap terjaga dan terlindungi.


(6)

Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta.

Buletin Environment. 2006. Illegal Logging. Yayasan Pasir Luhur. Bogor.

Dinas Kehutanan Provinsi Aceh. 2006. Indentifikasi Flora dalam Kawasan Tahura Pocut Meurah Intan. Aceh Besar.

Harini, E.K.S., M. Burhanunndin. 2000. Konservasi Sumberdaya Alam. Jakarta. Herwanto, Didi. 2009. Pelestarian Hutan Sebagai Potensi Ekonomi.

http://PELESTARIANJ/HTAN.alreadyshare.htm. Diakses 13 Maret 2014. Karim, K dan K, Zailani. 1986. Dasar-dasar Klimatologi. Diklat Fakultas

Pertanian Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Banda Aceh.

Mapayah. 2006. Survei Kondisi Awal Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh. Mapayah dan Pena. Banda Aceh.

. 2007. Peranan Pendidikan Konservasi dalam Penyelamatan Hutan di Kawasan Ekosistem Seulawah Aceh Besar. Mapayah. Banda Aceh.

Suparmoko. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Penerbit BPFE-YOGYAKARTA. Yogyakarta.

Umar. 2009. Persepsi dan Perilaku Masyarakat Dalam Pelestarian Fungsi Hutan Sebagai Daerah Resapan Air. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Undang-undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Wikipedia. 2010. Taman Hutan Raya.http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_hutan_ raya. Diakses 14 Maret 2014.