ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi

(1)

Buku Ajar

Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian

Pola Komunikasi

Oleh:


(2)

ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep,

Metode, dan Contoh Penelitian

Pola Komunikasi

Diterbitkan oleh UPT Penerbitan UNEJ

Jl. Kalimantan 37 Jember 68121

Telp. 0331-330224, Psw. 0319, Fax. 0331-339029 E-mail: [email protected]

Hak Cipta @ 2015

Cover/layout: Noerkoentjoro W.D. Akbar Suyunus

Perpustakaan Nasional RI – Katalog Dalam Terbitan 380.072

AK Akhmad Haryono

e Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi/oleh Akhmad Haryono.--Jember: Jember University Press, 2015.

x, 136 hlm. ; 23 cm.

ISBN:

1. METODE KOMUNIKASI I. Judul

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa ijin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, maupun microfilm.


(3)

PRAKATA

Etnografi Komunikasi sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang masih relatif baru, merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara disiplin linguistik dan antropologi. Etnografi komunikasi melengkapi kehadiran cabang-cabang linguistik yang lain seperti, Pragmatik, semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. Kini di berbagai perguruan tinggi, khususnya pada jurursan-jurusan ilmu humaiora, disiplin iilmu etnografi komunikasi mulai diminati bahkan sudah menjadi mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa yang mendalami ilmu linguistik dan juga ilmu komunikasi. Hal ini seiring dengan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang multietnik. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan etnik, bahasa, dan budayanya tentu semakin menarik perhatian para ilmuwan. Kontribusi penelitian etnografi komunikasi semakin nyata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan / konflik-konflik intra- dan antaretnik di masyarakat yang disebabkan kegagalan komunikasi. Selain itu, kajian Etnografi Komunikasi dapat sebagai alternatif upaya pemertahanan bahasa-bahasa etnik yang semakin hari terancam kepunahannya. Secara teoritis penelitian etnografi komunikasi telah membantu memperkaya teori-teori etnografi komunikasi, ilmu linguistik, dan ilmu komunikasi.

Buku ini disusun karena keprihatinan penulis terhadap keterbatasan bahan ajar dan bacaan yang berkaitan dengan pernik-pernik bahasa dan budaya yang merupakan bagian etnografi komunikasi. Buku ajar etnografi komunikasi ini diharapkan memperkaya bahan ajar dan bacaan di kalangan mahasiswa dan generasi muda dalam mengarungi cita-citanya. Buku yang terdiri atas tujuh bab ini memuat konsep-konsep, metode penelitian, dan contoh penelitian pola komunikasi. Semoga dapat dipahami agar dapat menjadi pegangan baik dalam menunjang keilmuan, maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kebahasaan yang sering terjadi di masyarakat.

Buku ini memiliki paling tidak dua tujuan pokok, yaitu: (1) memberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu etnografi komunikasi yang didasarkan pada hasil penelitian-penelitian dalam negeri dan teori-teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan dalam dan luar negeri; dan (2) memberikan bekal pengetahun teoritis dan praktis bagi pembelajar/mahasiswa untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi, khususnya para mahasiswa yang menekuni disiplin ilmu etnografi komunikasi dan disiplin keilmuan lain yang berdekatan dan saling menunjang seperti sosiolinguistik, prakmatik, dan ilmu komunikasi.


(4)

Oleh karena itu, konsep-konsep etnografi komunikasi, prosedur dan langkah-langkah penelitian disusun dan diskusikan secara berimbang. Untuk mempermudah daya cerna pembelajar/mahasiswa terhadap teori-teori dan aplikasinya, dalam buku ini juga disajikan contoh-contoh yang relevan. Pertimbangan lain penambahan penekanan pada` kegiatan praktek penelitian, juga sebagai jawaban adanya kenyataan bahwa beberapa perguruan tinggi sudah mencanangkan dirinya sebagai universitas riset, sementara kini mahasiswa masih dijejali materi kuliah yang hanya berfokus pada teori dan masih kurang dibekali pengetahuan praktis tentang langkah-langkah dan prosedur kegiatan penelitian. Buku ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 memaparkan tentang pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, Karakteristik lokasi penelitian beserta kontribusi buku ini; Bab 2 menjelaskan tentang konsep-konsep dan teori serta sejarah singkat etnografi komunikasi; Bab 3 memaparkan prinsip kerjasama dan kesantunan, serta kode dan alih kode bagian dari pola dan strategi komunikasi; Bab 4 memaparkan tentang konteks tuturan mencakup masyarakat tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur; Bab 5 menjelaskan tentang desain dan metode penelitian etnografi komunikasi; Bab 6 menyajikan contoh penyajian dan analisis data dalam penelitian etnografi komunikasi; Bab 7 menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola komunikasi.

Buku ini diharapkan disajikan selama satu semester dengan jumlah minimal 14 tatap muka aktif dengan beban 2-3 SKS. Dua tatap muka dialokasikan untuk pelaksanaan ujian tengah dan akhir semester. Dengan demikian, total tatap muka sebanyak 16 kali pertemuan. Perkuliahan diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Pada setiap pembelajaran diharapkan baik dosen maupun mahasiswa telah membaca materi yang akan dibahas dan dianjurakan membaca referensi lain yang sesuai dengan topik. Peserta kuliah juga dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota 4 sampai 5 orang setiap kelompok. Sebaiknya, dosen menyiapkan tayangan berbentuk pawer point untuk memberi gambaran tentang topik yang akan dipelajarai kurang lebih 15-30 menit. Selanjutnya waktu digunakan untuk diskusi dan mengerjakan tugas yang sudah disiapkan oleh dosen dan akan lebih baik kalau sudah dikirim via e-learning yang tentunya mengacu pada bab dan pokok bahasan terkait secara berkelompok. Tugas-tugas dapat berupa soal berdasarkan kompetensi dan pendalaman materi yang disediakan pada masing-masing bab, informasi pada bacaan, komentar, topik untuk diskusi, perbandingan bahasa dan buadaya antaretnik, ataupun dengan menggali dari sumber-sumber lain seperti internet. Dalam pembelajaran ini, dosen diharapkan benar-benar bisa menjadi fasilitator


(5)

dan pendamping yang cakap dan konstruktif serta memiliki kemampuan dalam bidang yang dipelajari. Evaluasi harian terhadap kerja kelompok dengan mendasarkan pada salah dan benar secara kaku bisa dikurangi dan dicari alternatifnya. Misalnya, hasil satu kelompok kurang sempurna dan kelompok lain lebih sempurna agar setiap warga belajar dalam kelompok masing-masing dapat bertambah pengetahuan dan keterampilannya serta mengenal dan belajar tentang kelebihan dan kekurangannya tanpa merasa dihakimi dihadapan peserta didik yang lain.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadiat Allah Swt. Sebab, hanya atas berkat dan rahmat-Nyalah penulisan buku ajar Etnografi Komunikasi ini dapat diselesaikan. Penulisan buku ini tidak akan dapat terlaksana tanpa bantuan dan fasilitas dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Prof. Dr. I. Dewa Putu Wijana, Prof. Dr. F.X. Nadar, Dr. Suhandono, Dr. Yos Inyo Fernandes yang telah memberikan bimbingan dan ilham kepada penulis selama menjadi mahasiswa S3 di FIB UGM. Rektor Universitas Jember dan Ketua UPT Penerbitan Universitas Jember yang telah memberikan bantuan berupa fasilitas dalam penulisan dan penerbitan buku ajar ini; Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Lemlit Universitas Jember yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan penulisan buku ini; Teman Sejawat dan para Guru prof. Dr. Akhmad Sofyan, Prof. Dr. Samuji; Prof. Dr. Ayu Sutarto, Prof. Dr. Bambang Wibisono, M.Pd., dan Dr. Agus Sariono, M.Hum. yang telah memberikan inspirasi, dorongan, dan semangat penulis untuk menyiapkan dan menyelesaikan naskah ini. Sahabat-sahabat seperjuangan di Fakultas Sastra yang karena keterbatasan tidak bisa disebutkan satu persatu yang juga telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan buku ajar ini. Para Kiai, budayawan, dan pemerhati bahasa dan budaya Madura serta ke-NU-an yang senantiasa memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan memberikan dorongan moril kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan buku ini. Berbagai pihak yang telah banyak membantu penulisan buku ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Teristimewa kepada istriku tercinta yang dalam keadaan suka dan duka telah menemani dan memberi semangat kepada penulis, terima kasih atas pengertiannya dan telah membangkitkan semangatku untuk menyelesaikan tulisan ini. Untuk anak-anakku tercinta Shabrina Izzata Afiayati Akhmad, savinah Ilmi Frohlicha Akhmad, dan Nugraha Fahmi Akhmad, yang terkurangi limapahan kasih sayangnya demi menyelesaikan penulisan ini, tetapi percayalah bahwa semua ini dilakukan demi menyongsong masa depan ananda semua.


(6)

Akhirnya, penulis menyadari bahwa naskah buku ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis akan menerima kritik dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan naskah buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, Nopember 2015


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

Kompetensi dan Pengantar ... 1

Bahasa Sebagai Alat Komunikasi ... 1

Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas Sosial Berbeda ... 4

Kontribusi pada Bidang Ilmu ... 11

Pendalaman Materi ... 12

BAB 2. MENGENAL KONSEP DAN TEORI ETNOGRAFI KOMUNIKASI ... 13

Kompetensi dan Kajian Sebelumnya ... 15

Konsep Etnografi Komunikasi ... 16

Pola Komunikasi ... 18

Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi ... 20

Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa ... 22

Kompetensi Komunikatif ... 23

Bahasa dan Kebudayaan ... 26

Pendalaman Materi ... 28

BAB 3. PRINSIP KERJASAMA DAN KESANTUNAN, KODE DAN LAIH KODE SEBAGAI POLA DAN STRATEGI KOMUNIKASI ... 29

Kompetensi dan Pengantar ... 29

Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi ... 30

Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level)... 32

Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura ... 33

Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa ... 35

Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding) ... 36

Kode, Alih Kode, dan Campur Kode ... 38


(8)

BAB 4. KONTEKS ... 43

Kompetensi dan Pengantar ... 43

Masyarakat tutur(Speech Community) ... 44

Peristiwa Tutur (Speech Event) ... 46

Tindak Tutur (Speech act) ... 49

Pendalaman Materi ... 53

BAB 5. DESAIN DAN METODE PENELITIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI ... 55

Kompetensi dan Pengantar ... 55

Mendesain Latar Belakang Masalah ... 55

Identifikasi, Pemilihan, dan Perumusan Masalah Penelitian ... 57

Merumuskan Tujuan Penelitian ... 60

Manfaat Penelitian ... 61

Tinjauan Pustaka ... 61

Metode Penelitian Etnografi Komunikasi ... 62

Pendalaman Materi ... 71

BAB 6. CONTOH PENYAJIAN ANALISIS POLA KOMUNIKASI ... 73

Kompetensi dan Pengantar ... 73

Pola Komunikasi KP-UNUEM ... 74

Ringkasan ... 97

Pendalaman Materi ... 99

BAB 7. MENGAPA TERJADI POLA KOMUNIKASI ... 101

Kompetensi dan Pengantar ... 101

Faktor Komponen Tutur ... 103

Faktor Kompetensi Komunikatif ... 112

Pendalaman Materi ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

GLOSARIUM ... 123


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Tingkat Tutur BM ... 34 Tabel 3.2 Tingkat Tutur Bahasa Jawa ... 36 Tabel 5.1 Quantitative and Qualitative Research : Alternative

Labels ... 63 Tabel 6.1 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Berpredikat

Guru-Santri ... 79 Tabel 6.2 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang berstatus

Sosial Tinggi ... 85 Tabel 6.3 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang Dipengaruhi

Tingkat Keeratan hubungan ... 90 Tabel 6.4 Pola Komunikasi KP-UNUEM yang dipengaruhi


(10)

(11)

Bab 1

Pendahuluan

Kompetensi dan Pengantar

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:

 Memahami peran bahasa dalam komunikasi

 Memahami dan bisa menempatkan bahasa pada status dan kelas sosial yang berbeda

 Mampu memahami kontribusi penelitian ini terhadap bidang Ilmu Etnografi Komunikasi

Bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara bersama-sama. Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh Sebab itu, bahasa selain memiliki fungsi komunakatif, juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif. Dengan kata lain, bahasa selain memiliki fungsi instrumental, regulatori, interaksional, personal, dan informatif, juga mempunyai fungsi hauristik dan imajinatif (Aminuddin, 2001: 136).

Bahasa tidak hanya dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain atau mentransfer ide-ide seseorang kepada orang lain, akan tetapi bahasa juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berpikir secara logis dan benar. Kebenenaran dan kelogisan suatu bahasa tidak hanya dilihat dari struktur dan ketatabahasaannya, tetapi keterkaitan dan hubungan makna antara kata, frase, dan kalimat yang satu dengan yang lainnya serta hubungannya dengan realitas yang ada di dunia ini serta konteks penggunaannya.

Bahasa Sebagai Alat Komunikasi

Hampir semua manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia, agar mereka tidak terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Pesan-pesan itu tercermin dalam perilaku manusia. Ketika seseorang sedang berbicara,


(12)

melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, manganggukkan kepala, atau memberikan suatu isyarat, maka dia juga sedang berperilaku. Perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, dan perilaku-perilaku tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk komunikasi apabila bermakna. Bahasa merupakan suatu produk sosial dan budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial dan budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Sudah barang tentu, bahasa sebagai hasil budaya megandung nilai-nilai masyarakat penuturnya (Sumarsono & Partana, 2002: 20-21). Oleh karena itu, bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: Bahasa daerah sebagai alat identitas suku. Ada pula pandangan akan adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan suatu bahasa atau variasi bahasa tertentu.

Bahasa sering dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, namun fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Lyons (1972) dalam Brown dan Yule (1996) mengemukakan bahwa suatu bangsa dapat berkomunikasi dengan menggunakan perasaan, suasana hati, dan sikap, tetapi dia lebih menyarankan bahwa komunikasi lebih pada penyampaian informasi faktual atau proporsional yang disengaja. Jadi komunikasi terutama merupakan usaha pembicara/penulis untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar/pembaca atau menyuruhnya melakukan sesuatu.

Peran bahasa tidak sama dalam lingkungan masyarakat tertentu. Bahasa bisa berperan sebagai identifikasi kategori sosial, pemeliharaan, dan pengaturan hubungan dan jaringan sosial individu dengan yang lainnya serta bisa juga digunakan untuk melakukan kontrol sosial. Kategori sosial merupakan bagian dari sistem sosial yang juga menjadi tambahan dalam sisitem bahasa yang dapat digunakan untuk menandai kategori-kategori itu.

Dalam melaksanakan pembangunan bangsa, kita tidak dapat mengabaikan keberadaan bahasa dan budaya sekelompok masyarakat tertentu sebagai alat komunikasi. Sebab, keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukung bahasa dan kebudayaan tersebut. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa bahasa dan budaya tidak selalu berdampak positif terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa. Bahasa dan budaya dapat berdampak positif, jika masyarakat yang terlibat dalam pemakaian bahasa tersebut tidak salah dalam memahami dan menggunakan bahasa dan


(13)

budaya suatu masyarakat dan kelompok tertentu. Akan tetapi, sebaliknya jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna bahasa dan budaya yang merupakan alat dan bagian komunikasi, maka bahasa dan budaya akan menjadi sumber persoalan dan konflik di masyarakat.

Bahasa dan budaya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi dalam pemakaian bahasa yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan. Kesalahan dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat tertentu dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi, bahkan akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (sepele) telah menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan komunikasi.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi manusia untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk pikiran.

Masalah utama yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa suatu etnik adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang dilakukan orang lain. Pemberian makna suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim maupun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan pemakaian bahasa. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar belakang berbeda budaya sehingga tidak dapat memahami bentuk-bentuk komunikasi satu dengan lainnya dengan akurat. Pemahaman atas perbedaan-perbedaan budaya ini akan membantu mengetahui sumber-sember masalah yang potensial dalam pemakaian bahasa, sedangkan pemahaman seseorang atas persamaan-persamaannya akan membantunya lebih mendekatkan kepada pihak lain yang berbeda budaya dan pihak lainpun akan merasa lebih dekat kepadanya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya mempengaruhi pola-pola komunikasi. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal


(14)

peristiwa tutur antarperson, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang penutur dengan petutur (partisipan tutur), nada suara yang sesuai untuk pembicaraan topik dan partisipan tertentu. Budaya juga melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh tradisi masyarakat tertentu, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antar apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan sesuai konteksnya, seperti kata “silakan” yang maksudnya bisa ‛perintah’ atau ‛larangan’.

Bagaimana memperlakukan Bahasa pada Status dan Kelas Sosial Berbeda

Perbedaan status dan kelas sosial bisa menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam even diskusi dan perdebatan. Seseorang yang berstatus lebih rendah (bawahan) harus menyatakan rasa hormat kepada orang yang berstatus lebih tinggi (atasannya). Status dan kelas sosial juga menentukan apakah suatu bisnis akan terjadi antara individu dan antara kelompok (Whyte & Hall, Schrope,1974; Mulyana & Rakhmat, 2003). Oleh karena itu, pola komunikasi masyarakat tertentu cenderung dipengaruhi keseluruhan pola budaya termasuk pemberlakuan status dan kelas sosial sebagai unsur yang mempengaruhi pola-pola komunikasi. Perubahan utama dalam kategori-kategori struktur sosial biasanya juga membawa perubahan pola-pola komunikasi.

Kaitannya dengan bagaimana memperlakukan bahasa pada status dan kelas sosial yang berbeda kita bisa menimba pola komunikasi warga Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki variasi sesuai status dan kelas sosial yang ditentukan oleh peran dan jabatannya dalam masyarakat. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan NU mampu mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa barbudaya melalui etika yang tercermin dalam perilaku berbahasanya.

Warga NU yang jumlahnya cukup besar memiliki tradisi dan budaya yang sangat unik, khususnya yang berada di Jember yang sebagian besar berlatar belakang etnik Madura. Menurut pendapat Sutarto (2005) NU dikenal sebagai kekuatan Islam yang sangat menghormati tradisi dan budaya lokal, bahkan ada yang menyebut NU sebagai kelompok Islam tradisional, Islam kultural, kelompok sarungan, dan entah apa lagi. Mereka (warga NU) hidup di tengah perpaduan antara tradisi dan syari’at Islam.

Warga NU sebagian besar dilahirkan dari embrio kehidupan pesantren salaf dengan kultur paternalistik yang sudah mengakar. Yang dimaksud pesantren salaf disini adalah pesantren yang memfokuskan pengkajiannya hanya pada ilmu–ilmu keagamaan (diniah) yang dikelola


(15)

secara tradisional. Adapun kultur paternalistik adalah kepatuhan santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten dan terus menerus baik selama di pesantren maupun setelah kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan taradisi dan budaya masyarakat NU cenderung mengikuti pola-pola tradisi dan budaya pesantren.

Fenomena-fenomena di atas jika dikaitkan dengan hasil temuan di lapangan mengindikasikan bahwa pola komunikasi yang terjadi dalam masyarakat NU merupakan cerminan penggunaan variasi bahasa yang didasarkan pada status dan kelas sosial yang berbeda. Hal tersebut merupakan implikasi dari kultur paternalistik yang sudah mengakar di kalangan NU, yang dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Stratifikasi sosial kiai di kalangan warga NU ditempatkan pada posisi yang paling terhormat sehingga tercermin dalam pola-pola pemakaian bahasanya. Dalam pandangan warga NU kiai diposisikan sebagai kelompok yang sangat di-ta’dzim-kan (amat dihormati). Dalam struktur sosial maupun politik kiai juga menempati posisi yang amat penting dan paling terhormat, karena pengaruhnya di masyarakat berbasis NU peran kiai sangat menentukan pola dan warna kehidupan di masyarakat. Hal tersebut ditemukan dalam fakta kebahasaan sebagai berikut:

Konteks tuturan 1: Di rumah seorang kiyai pengasuh pesantren NU pada jam 15.30. seorang wali santri (ummat NU)

memasrahkan anaknya kepada kiai selaku

pengasuh pesantren. Wali santri: “Cabis pamator, ka’dinto.”

‘Maaf, apa bisa saya mengatakan sesuatu ?’ Kiai : “èngghi” (ya) ‘ya, silakan!’

Wali santri: “Abdinaterro mangabdiya budu’ è ka’dinto.” ‘Hamba ingin mengabdikan anak di pesantren ini’ Kiai : “mandhâr perna’a” (semoga krasan)

‘Semoga anak ini kerasan di pesantren ini’


(16)

Frase “cabis pamator” yang memiliki pengertian mohon ijin untuk menyampaikan sesuatu dihadapan kiai sebagai cerminan rasa hormat yang amat tinggi ummat NU etnik Madura (UNUEM) kepada kiai. Bahkan dibarengi dengan frase “terro mangabdiyâ budhu’’ yang berarti ingin anaknya dijadikan abdi (pesuruh) kiai. Kata abdi (pesuruh) dalam konteks warga NU di Jember juga berarti bahwa mereka merendahkan diri dihadapan kiai yang sekaligus harus patuh selama berada di pesantren. Begitu pula, kata ‘budhu’ yang bisanya dalam bahasa Madura (BM) digunakan untuk panggilan anak binatang sengaja digunakan UNUEM untuk merendahkan diri sebagai abdi dihadapan seorang kiai. Hal tersebut dilakukan karena UNUEM menganggap bahwa kedudukan atau strata sosial kiai jauh lebih tinggi. Bagi UNUEM pengabdian kepada seorang kiai lebih dari hanya sekadar menimba ilmu karena menjadi abdi sekaligus memiliki pengertian mempelajari ilmu agama maupun ilmu tèngka (segala tindakan dan perilaku yang dapat diterapkan kelak kalau santri sudah pulang ke masyarakat).

Lebih lanjut (Haryono, 2011) mengemukakan bahwa tingginya strata sosial kiai juga dapat dilihat dari perilaku berbahasa UNUEM ketika berkomunikasi dengan kiai yang selalu menundukkan kepala seraya merendahkan suaranya. Suara kiai biasanya cenderung lebih tinggi dari UNUEM. Begitu pula dalam penggunaan tingkat tutur (ondaghân bhâsa/Speech level) – UNUEM menggunakan tingkat tutur yang paling tinggi yaitu èngghi bhunten, sedangkan kiai menggunakan speech level madya (èngghi-enten) atau ngoko (enja’-iyâ) seperti pada konteks tuturan 1 di atas.

2. Ketaatan UNUEM kepada kiai yang sekaligus dianggap guru dan pembimbing spiritual merupakan kewajiban nomor wahid dalam kultur pesantren. Hal tersebut tercermin dalam komunikasi antara alumni yang sudah lama pulang di masyarakat dengan Kiai (gurunya).

Konteks tuturan 2: komunikasi via telpon pada malam hari antara kiai dengan seorang mantan santrinya.

Kiai : “Ji, tada ’ acara?” (Jih, dak ada acara ?) ‘Jih, apakah tidak ada acara ?’

Santri : “abdina è pakon ngirèng ummi pokol sanga’, gella’ pokol pètto’ sè makon, tergantung ka padhâna ka’dinto.”


(17)

‘Hamba disuruh mengantarkan ummi pada jam sembilan, tadi pada jam tujuh telah menyuruh saya, tapi hal ini semua saya pasrahkan kepada kiai.’

Kiai: “mon dâento ngèrèng umminah kada’, mon marè nèlpon ka bulâ, pola ami’ gi’ ta’ jhalan.”

‘Kalau begitu antarkan umminya saja dulu, kalau sudah di rumah telpon saya, siapa tahu saya belum berangkat.’

(Haryono, 2011) Pada tuturan di atas alumni (santri) sebagai UNUEM yang pernah mengabdi di pesantren merasa berat untuk menolak ajakan guru, tetapi juga merasa berat untuk mengabaikan kewajiban kepada orang tua. Santri berpandangan bahwa “kedudukan orèng seppo sami sareng guru, orèng seppo sè ngalaèraghi tor maraja, sedangkan guru sematao sapa orèng seppo” ‘Kedudukan guru itu sama dengan orang tua – orang tua yang melahirkan dan membesarkan, sedangkan guru orang yang berjasa mengenalkan siapa orang tua.’ Orang tua yang telah merawat dan mengasihi kita semenjak kecil, sedangkan guru telah berjasa mentransfer ilmu, sehingga seseorang tahu bagaimana berbakti kepada Allah, Rasul, dan kedua orang tuanya, bahkan bisa berguna bagi lingkungannya.

Pandangan ini menyebabkan UNUEM begitu patuh kepada kiai yang dianggap sebagai guru yang jasanya disamakan dengan orang tua. Kepatuhan tersebut tercermin dalam tuturannya pada data (2) yang menyatakan bahwa “abdina è pakon ngirèng ummi” ‘Saya disuruh menemani ummi’. Tuturan tersebut sebenarnya sebagai bentuk penolakan yang sangat halus dan tidak langsung kepada kiai, karena dengan mengatakan disuruh orang tua, kiai akan menyuruh untuk mendahulukan apa yang diinginkan orang tua seperti pada tuturan kiai data (2) “mon dâ’ento ngèrèng ummina kada’” ‘Kalau begitu antarkan ummi saja dulu.’ Dengan demikian, pola komunikasi yang merupakan bagian dari strategi komunikasi yang disampaikan santri sebagai partisipan tutur telah berhasil menyatakan penolakannya tanpa menyinggung perasaan kiai sebagai guru. Figur kiai yang tentunya menginginkan santrinya bisa “birrul walidain” ‘berbuat baik kepada orang tua’ juga tampak dalam tuturan tersebut. Untuk tidak mengurangi rasa patuhnya kepada kiai, santri menyerahkan sepenuhnya apa yang seharusnya dilakukannya berkaitan dengan dua fenomena yang kedua-duanya amat penting dengan meneruskan tuturan


(18)

tergantung ka padhâna ka’dinto” ‘tapi semua saya pasrahkan pada paduka.’ Tuturan ini mengindikasikan bahwa kepatuhan UNUEM kepada kiai yang dianggap sebagai guru amat tinggi.

3. Tidak adanya kiai sebagai seorang yang disegani, karena dianggap memiliki status dan kelas sosial yang lebih tinggi dan dita’dzimkan, telah menyebabkan ditinggalkannya prinsip-prinsip kesantunan dalam komunikasi. Fenomena ini dapat memicu terjadinya konflik dalam komunikasi, seperti terlihat pada percakapan berikut:

Data 6: Percakapan di rumah salah satu pengurus ta’mir masjid.

HT:“Cara jhuâl belli ghânika tak saya sè bân H. Anak menurut syara’, karna ghi’ bermasalah. Ta’mir jhâ’ bân sarobân mellè. Kèng ghulâ yakin Ta’mir masjid nèka tak bhâkal sambhârângan.”

‘Cara jual beli tanah dengan H. Anak itu tidak sah menurut syara’, karena masih bermasalah. Ta’mir jangan tergesa-gesa membeli. Tapi saya yakin bahwa ta’mir Masjid tidak akan sembarangan membeli tanah itu’

HM:“Saporanah, mungghu aghâmah bân pamarènta ampon syah. Kaangguy lebbi jelas saè adabu dibi’ sareng jhi Hèrus.”

‘Maaf, menurut hukum agama dan pemerintah sudah sah, untuk lebih jelasnya, sebaiknya bapak berbicara sendiri dengan pak Haji Herus.’

HT : “Kabâlâ ka ta’mir, soro jhâ’ terros aghi.” ‘Sampaikan kepada ta’mir, jangan diteruskan’

HH: “Ghulâh sè lebbi onèng persoalan nèka.” saya yang lebih mengetahui permasalahan ini

(Haryono, 2011) Pernyataan HT “Cara jhuâl belli ghânika tak sya” ‘Cara jual beli itu tidak sah’ telah membuat ta’mir masjid tersinggung, karena pernyataan ‘tidak sah’ pada tuturan tersebut diterima partisipan tutur (pengurus ta’mir masjid) sebagai ejekan bahwa ta’mir masjid tidak


(19)

memahami secara mendalam hukum syar’i. Oleh karena itu, HM kemudian menjawab dengan kelimat penegasan “mungghu aghâma bân pamarènta ampon saya” ‘menurut hukum agama dan pemerintah sudah sah.’ Pernyataan tersebut tidak lain sebagai kalimat bantahan bahwa ta’mir juga paham ilmu agama secara mendalam dan transaksi jual beli itu tidak salah. Kondisi yang sudah memanas semakin diperparah dengan pernyataan HT “Kabâlâ ka ta’mir soro jhâ’ terros aghi” ‘katakan kepada ta’mir jangan diteruskan’. Tuturan ini telah memperpanas suasana karena kalimat larangan ‘jangan diteruskan’ mempertegas pernyataan ‘tidak sah’ pada tuturan sebelumnya. Yang lebih membuat emosi pengurus ta’mir yang lain adalah keberadaan HT yang masih baru telah berani melarang orang yang sudah lama di keta’miran masjid tersebut. Oleh karena itu, pernyataan HH “Ghulâh sè lebbi onèng persoalan nèka” ‘saya yang lebih paham terhadap permasalahan ini’ tak lain sebagai kalimat sanggahan bahwa orang yang lama akan lebih tahu dan memahami persoalan yang terjadi dan juga sekaligus sebagai penegasan bahwa orang baru tidak boleh merasa lebih tahu dan otoriter.

4. Dalam sistuasi tidak formal komunikasi antara UNUEM biasanya menggunakan referens para ulama’ yang dikagumi sebagai bagian strategi komunikasi. Partisipan tutur akan lebih antusias mendengarkan apa yang disampaikan petutur, jika di sela-sela percakapannya menceritakan ulama’ yang dikagumi sebagai bumbu dari apa yang menjadi tujuan tutur. Hal ini sebagaimana tercermin dalam tuturan berikut:

Konteks tuturan: Percakapan anggota Forsa sebelum acara formal dimulai pada sore hari

Syt :“Kè Basyir merehap jembatan, itu masih dalam keadaan è totop, tapi sudah bisa dilalui, Cuma dalam beberapa bulan ditutup. Ketika sopirnya mau berangkat jemput Kè Waris, Kè Basyir telepon sopirnya “dagghi’ lebât Latè (nama dusun), Engghi. Ketika Kè Waris ongghâ ka kendaraan “badâ dabu dari Kè Basyir è pakon lèbât Latè. Kan jembatannya masih diperbaiki? Abdina namung tarèma dabu, saka’dinto”. Ketika Kè →aris dalam perjalanan sampè’ di Berpènang ternyata sudah dipersiapkan jembatan itu untuk Kè Waris. Katika Kè Waris sampè dekat dalem, Kè Waris acabis dimèn ka Kè Basyir. Dua hari kemudian Kè Basyir acabis ka Kè waris. Lho ènga’ nèkah terharu,


(20)

sobung ponapah mon ènga’ nèkah, dâ’ napah, dâ’ tokaran.”

‘Kiai Basyir merehab jembatan. Jembatan itu masih dalam keadaan ditutup – walaupun sebenarnya sudah bisa dilalui, namun dalam beberapa bulan jembatan itu ditutup. Ketika sopir Kiai Waris akan berangkat jemput Kiai Waris, Kiai Basyir telpon sopirnya ‘nanti Kiai Waris dibawa lewat Latè (nama dusun)!’ Saya pak Kiai. Ketika Kiai Waris menaiki kendaraan sopirnya mengatakan kalau ada pesan dari Kiai Basyir disuruh lewat Latè” Kan jembatannya masih diperbaiki? Saya hanya menyampaikan pesan seperti itu. Ketika Kiai Waris sampai di Sumberpinang ternyata jembatan itu sudah dipersiapkan untuk Kiai Waris. Ketika Kiai waris sampai di dekat kediaman Kiai Basyir, Kiai Waris bersalaman dulu ke Kiai Basyir. Dua hari kemudian Kiai Basyir datang ke Kiai Waris. Melihat seperti itu saya terharu. Keharmonisan hubungan akan terjaga kalau seperti itu, tidak akan ada konflik.’

Tuturan Syt pada data di atas tentang kerendahan hati seorang kiai yang ingin ikram (memuliakan) sesama pengasuh pesantren sebagai upaya memberikan pemahaman kepada partisipan tutur tentang akhlak seorang kiai pengasuh pesantren yang saling memuliakan satu sama lain. Kiai Basyir yang diceritakan sengaja tidak membuka jembatan yang direhabnya, tidak lain hanya agar Kiai Waris melewati jembatan tersebut pertama kali. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai Waris. Kiai Waris juga begitu, setelah sampai di depan Kiai Basyir beliau “nyabis” ‘berjabatan tangan’ duluan kepada Kiai Basyir. Besok harinya Ki Basyir “nyabis” ‘datang’ kekediaman Kiai Waris. Perilaku ini menunjukkan bahwa antara kiai pengasuh pesantren saling memuliakan dan saling bersilaturrahim‘menyambung tali kasih sayang’. Pada tuturan tersebut syt menyatakan “Lho ènga’ nèka terharu, sobung ponapa mon ènga’ nèka, dâ’ napa, dâ’ tokaran.” ‘Melihat seperti itu saya terharu, keharmonisan akan terjaga kalau seperti itu – tidak akan ada konflik.’ Perilaku kedua kiai tersebut mengharukan, karena akan menimbulkan keharmonisan hubungan dan akan terjaga dari konflik. Strategi komunikasi tersebut bertujuan agar apa yang dilakukan oleh kedua kiai pengasuh pesantren tersebut dicontoh oleh para santrinya khususnya dan ummat NU pada umumnya.


(21)

Contoh-contoh data tersebut menggambarkan adanya keunikan dan kekhasan kultur dalam kelompok warga NU di Jember yang tercermin dalam fakta-fakta kebahasaannya. Pola-pola komunikasi yang digunakan warga NU di Jember tidak terlepas dari kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, bahasa dan pilihan bahasa yang digunakan, tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), alih giliran tutur, serta simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language), dan intonasi (tone) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur.

Pola-pola komunikasi tersebut tercermin ketika seorang yang status sosialnya lebih rendah kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai peran kepada orang yang memiliki peran dalam masyarakat dan sebaliknya; orang yang tidak mempunyai jabatan kepada orang yang mempunyai jabatan baik dalam instansi ataupun dalam masyarakat dan sebaliknya; bawahan kepada atasannya dan sebaliknya; dan Guru/Kiai kepada murid/santri dan sebaliknya, orang muda berbahasa kepada yang lebih tua dan sebaliknya;, serta bagaimana warga NU berkomunikasi dengan kelompok sosial yang lain.

Kesalahan dalam penggunaan pola-pola komunikasi tersebut dalam konteks warga NU merupakan masalah yang dapat menyebabkan interpretasi yang negatif terhadap pemakainya. Mereka telah dianggap melanggar konvensi dalam pemakaian bahasa yang berlaku di lingkungan masyarakat tersebut sehingga dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari pergaulan dan bahkan akan menuai cercaan dan cacian di masyarakat.

Oleh karena itu, topik ini menarik dan amat penting untuk diskusikan sebagai upaya menggali lebih mendalam fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam kelompok warga NU di Jember yang sekaligus dapat memahami pola-pola pemakaian bahasanya. Melalui penjelasan ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan khasanah baru bagi kajian linguistik yang berhubungan dengan konteks sosial dan budaya komunitas tertentu (etnografi komunikasi), khususnya komunitas warga NU. Rekomendasi penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi warga NU dan kelompok lainnya dalam berkomunikasi sehingga dapat mencegah terjadinya kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan kesenjangan hubungan dan konflik.

Kontribusi pada Bidang Ilmu

Buku ini diharapkan dapat memberikan dua kontribusi positif, yakni kontribusi teoritis dan kontribusi praktis.


(22)

Dari segi teoritis buku ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori dalam bidang sosiolinguistik khususnya dalam kajian etnografi komunikasi yang berkaitan dengan pola komunikasi yang digunakan oleh komunitas tertentu. Keunikan dan kekhasan penggunaan kode-kode bahasa yang merupakan refleksi dari kultur pada kelompok masyarakat tertentu telah membentuk keunikan dan kekhasan bahasa yang digunakan. Hal ini perlu dideskripsikan agar dapat memperkaya teori-teori dalam kajian etnografi komunikasi.

Dari segi praktis buku hasil penelitian ini diharapkan dapat memperakaya bahan ajar etnografi komunikasi yang kini masih langka. Selain itu rekomendasi hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak terkait dengan organisasi Nahdlatul Ulama’ untuk mengidentifikasi akar masalah yang berkaitan dengan kegagalan komunikasi yang mungkin bisa terjadi baik antarwarga NU sendiri, maupun antarwarga NU dengan mitra tutur yang lain (di luar warga NU) yang berbeda kultur

.

Pendalaman Materi

1. Dengan menggunakan media ICT, carilah informasi lebih detail tentang fungsi dan peran bahasa sebagai alat komunikasi.

2. Berilah contoh-contoh data lain berikut penjelasannya tentang bahasa yang digunakan oleh orang-orang berstatus sosial berbeda.

3. Mengapa orang-orang yang memiliki status dan kelas sosial berbeda cenderung menggunakan variasi bahasa berbda ? Apakah itu bagian dari strategi komunikasi ?

4. Jika anda seorang pimpinan suatu perusahaan, secara kebetulan di perusahaan tersebut paman mertua anda menjadi bawahan. Bagaimana anda seharusnya berbahasa dengan orang yang dihormati, sementara anda menjadi atasan. Berilah contoh percakapan dengan menggunakan bahasa etnik yang anda ketahui.


(23)

Bab 2

Mengenal Konsep dan Teori

Etnografi Komunikasi

Kompetensi dan Kajian Sebelumnya

Setelah belajar bab ini denagan baik, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:

 Memahami konsep etnografi komunikasi  Memahami pengertian pola komunikasi

 Memahami penggunaan bahasa dalam komunikasi

 Memahami fungsi-fungsi komunikatif bahasa

 Memahami unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif  Memahami keterkaitan bahasa dan kebudayaan

Keunikan kultur komunitas masyarakat EM di Jember menjadi salah satu alasan banyaknya para ahli tertarik untuk meneliti dan menulis tantang warga masyarakat tersebut dengan kajian masalah dan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun demikian, penelitian yang objeknya melibatkan warga NU dan menekankan pada kajian etnografi komunikasi atau kajian yang menelaah penggunaan bahasa yang dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya, sepengetahuan penulis belum banyak dilakukan. Adapun penelitian-penelitian dengan topik yang memiliki kemiripan dalam hal objek atau kajiannya dengan topik penelitian dalam buku ini adalah sebagai berikut:

Wahyuningsih dkk. (2004) meneliti dengan judul “Sistem Komunikasi di Pesantren Salaf Tempurejo”. Penelitian ini menekankan pada sistem komunikasi yang digunakan di dalam pesantren yang berlatar belakang etnik Madura (EM), berbasis warga NU, dan tata cara pengamalan keagamaannya menganut paradigma yang diberlakukan oleh organisasi NU. Komunitas pesantren tersebut berasal dari EM, sehingga bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi baik dalam situasi formal maupun informal adalah bahasa Madura (BM). Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa sistem komunikasi yang digunakan di lingkungan pesantren merupakan refleksi dari sistem komunikasi yang berlaku di kalangan NU.

Wibisono (2005) penelitian desertasi berjudul “Perilaku Berbahasa Warga Kelompok Etnis Madura di Jember dalam Obrolan dengan Mitra


(24)

penggunaan tingkat tutur (speech level) ketika EM berbahasa dengan sesama etnis, dan lain etnis. Penelitian tersebut juga mencari faktor-faktor yang menyebabkan penggunaan kode dan ragam bahasanya, baik dalam berbahasa dengan sesama etnis maupun lain etnis. Namun, penelitian tersebut tidak dihubungkan dengan kultur dalam organisasi keagamaan khususnya NU, sehingga belum menyentuh karakteristik NU dan warga NU secara khusus.

Setyowati (2005), kajiannya tentang pola komunikasi berjudul “Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa)”. Kajian tersebut menghasilkan temuan penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap proses perkembangan emosi anak. Pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural pada akhirnya akan menentukan keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Proses sosialisasi menjadi penting karena dalam proses tersebut akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak. Sistem nilai dalam budaya Jawa yang disosialiasikan kepada anak, banyak memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan emosi anak.

Haryono (2006) penelitian tesisnya berjudul “Pola Komunikasi di Pesantren Salaf ‘A’ di Jember”. Penelitian ini menghasilkan temuan model komunikasi yang diperagakan oleh komunitas salah satu pesantren salaf di Jember. Namun, model-model komunikasi di pesantren salaf tersebut hanya merupakan bagian kecil dari tradisi dan budaya NU yang ada di masyarakat.

Sariono (2006) penelitiannya berjudul “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di Kelurahan

Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi”.

Penelitian dengan kajian etnografi tersebut menghasilkan temuan pilihan bahasa yang berupa alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor penentu pilihan kode dan alih kode yang digunakan oleh masyarakat tutur Using Kelurahan Singotrunan.

Wibisono dan Haryono (2009) meneliti dengan judul “Pola-Pola Komunikasi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi)”. Penelitian kajian etnografi komunikasi tersebut menghasilkan temuan penjelasan ilmiah/akademis tentang pola-pola komunikasi, faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan komunikasi, dan penggunaan tingkat tutur EM pelaku perkawinan usia dini di Jember.

Budhiono (2010) kajiaannya (dalam artikel ilmiah Saweri Gading) berjudul “Orang Kaso: Sekelebat Tinjauan Etnografi Komunikasi


(25)

Terhadap Sebuah Komunitas Tutur”. Kajian Etnografi tersebut menyimpulkan bahwa orang Kaso merupakan sebuah komunitas unik yang mempunyai paradigma tersendiri mengenahi bahasa, ujaran, dan makna yang terkandung di dalamnya. Mereka berpendapat bahwa ujaran adalah apa yang terdengar saja tanpa memperhitungkan anasir lain di belakangnya.

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian dan kajian lain sebelumnya ada tiga hal yakni:

Pertama, penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang dilakukan Sariono (2006) lebih menekankan pada pilihan bahasa, kode dan alih kode pada masyarakat Using di Keluarahan Singotrunan Banyuwangi; Budhiono (2010) menekankan pada bahasa ujaran dan maknanya yang berlaku di masyarakat tutur orang Kaso. Kedua penelitian tersebut objeknya bahasa etnik lain dan belum menyentuh pola komunikasi secara komprehensif yang meliputi penggunaan tingkat tutur, kode dan alih kode sebagai bentuk pilihan bahasa, tone (nada suara), body language, dan alih giliran tutur yang merupakan perpaduan perilaku budaya warga etnik Madura dan kultur pesantren berhaluan NU;

Kedua, kajian etnografi komunikasi Wibisono (2005) hanya berobjek EM secara umum, artinya EM dari berbagai latar belakang, baik dari segi tingkatan strata sosial, umur, maupun pendidikan, namun belum menyentuh warga EM yang berlatar belakang warga NU. Begitu pula kajian etnografi Wibisono dan Haryono (2009) hanya berobjek bahasa komunitas EM pelaku perkawinan usia dini. Adapun penelitian ini lebih menekankan pada bahasa kelompok WNUEM di Jember;

Ketiga, Pola Komunikasi yang diteliti Haryono (2006) dan sistem komunikasi yang diteliti Wahyuningsih dkk. (2004) hanya menekankan pada komunitas pesantren sementara kajian pola komunikasi yang ditulis setyowati (2005) menekankan pada kajian ilmu komunikasi dengan objek penelitian etnik Jawa. Adapun pada penelitian ini lebih menekankan pada pola-pola yang tercermin dalam bahasa dan budaya WNUEM yang merupakan akulturasi kultur pesantren yang berhaluan NU dan EM yang hidup di masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa sampai saat ini belum ada penelitian dengan kajian etnografi komunikasi yang secara khusus menelaah tentang pola komunikasi yang digunakan WNUEM di Jember. Inilah yang menjadi alasan, penelitian ini menarik dan perlu dilakukan.


(26)

Konsep Etnografi Komunikasi

Konsep dapat dijadikan sebagai dasar acuan awal dalam proses suatu penelitian. Menurut KBBI konsep adalah rancangan dasar, ide, pengertian, dan gambaran awal dari objek yang diabstrakkan dari peristiwa konkret dan digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kridalaksana (2008: 117) bahwa konsep adalah gambaran awal dari objek penelitian yang digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu penelitian. Paparan konsep-konsep bisa bersumber dari pendapat para ahli, pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Untuk memahami konsep etnografi komunikasi, baik sebagai dasar teori (ilmu) maupun sebagai studi riset, sebaiknya diawali dengan pemahaman tentang aspek-aspek dasar yang mempengaruhi lahirnya cabang ilmu linguistik tersebut. Aspek-aspek tersebut adalah bahasa, komunikasi, dan kebudayaan, karena ketiga aspek tersebut yang tergambar dalam kajian etnografi komunikasi.

Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif (paradigma interpretatif dan alamiah), yang mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur (Saville-Troike, 2003: 2-3). Tentu saja penemuan berbagai pola komunkasi tersebut didasarkan pada analisis komponen tutur yang dipengaruhi tiga aspek penting yang mendasari pemolaan komunikasi yaitu: linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan.

Memahami pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi, akan memberikan gambaran umum regularitas dari perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola tersebut juga dapat diketahui bagaimana unit-unit komunikatif dari suatu masyarakat tutur diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai ‘cara-cara berbicara’, dan bersama dengan makna, menurunkan makna dari aspek-aspek kebudayaan yang lain.

Ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan rekan kerjanya akan spontan mengubah gaya komunikasinya lantaran seorang atasannya menghampirinya. Kita sering tidak menyadari, suara (tone), lafal maupun gerak-gerik telah berubah-ubah, ketika menghadapi bayi, anak kecil, orang sebaya, orang tua, dan bahkan kekasih kita. Seseorang tentu tidak menggunakan kalimat perintah, ketika yang dihadapi orang lebih tua dan dihormati. Misalnya, Ibu sudah punya buku ini? Seraya menunjukkan buku yang diharapkan dibelinya. Kalimat tersebut bentuknya kalimat tanya, namun fungsinya kalimat perintah atau permintaan agar ibu tersebut


(27)

membeli buku itu. Hubungan bentuk dan fungsi komunikasi inilah yang dalam kajian etnografi komunikasi disebut sebagai contoh pemolaan komunikasi (communication patterning).

Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi linguistik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini diperkenalkan pertama kali oleh Hymes pada tahun 1964, sebagai kritik terhadap ilmu linguistik yang terlalu menfokuskan diri pada fisik bahasa saja (Kuswarno, 2008: 11).

Etnografi komunikasi juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi, khususnya turunan dari etnografi berbahasa (ethnography of speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes (1964a: 1-2) beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada penggunaan bahasa dalam komunikasi, bukan hanya pada internal bahasa itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan, bahasa bisa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan bermakna jika tidak digunakan dalam komunikasi.

Hymes (1964a: 4) mendefinisikan ethnography of speaking sebagai gabungan dari etnologi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas

tersendiri. Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah

pendekatannya itu dari ethnography of speaking menjadi ethnography of communication. Semenjak itu pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan diakui sebagai suatu kajian yang penting dalam memandang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008: 13).

Secara singkat dapat dikatakan, etnografi komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural. Dengan demikian, tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan pemahaman global mengenai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya. Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis interaksional dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan pengguna bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi, atau ketika bahasa itu dipertukarkan.

Hymes (1964a); Saville-Troike (2003: 1-3) mengemukakan bahwa ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut: (1) Pola dan fungsi komunikasi (Patterns and function of communication); (2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community); (3) Cara-cara berkomunikasi (means of communication); (4)


(28)

Komponen-komponen kompetensi komunikatif (components of communicative competence); (5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and social organization); dan (6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial (linguistic and social universals and inqualities) (periksa juga Kuswarno, 2008: 14).

Pola Komunikasi

Telah diakui bahwa perilaku linguistik ditentukan oleh ‘kaidah’ (rules) yaitu, mengikuti pola-pola dan kaidah-kaidah yang diformulasikan secara deskriptif sebagai aturan (Sapir, 1994; Savielle-Troike, 2003: 10). Dengan demikian, bunyi-bunyi (sounds) harus dihasilkan dalam bahasa yang spesifik (language specific), tetapi urutan kaidah jika diinterpretasikan sebagai kehendak penutur; pesan dan bentuk kata yang mungkin dalam suatu kalimat ditentukan oleh kaidah grammatika; dan bahkan definisi wacana yang tersusun dengan baik (well-constructed discourse) ditentukan oleh kaidah retorika budaya yang spesifik ( culture-sopesific rules of rhetoric) (Hymes, 2000: 314; Saville-Troike, 2003: 10).

Didasarkan pada pendapat di atas, konsep pola komunikasi dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural. Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur.

Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pemolaan komunikatif (communicative patterning) dalam dimensi yang berbeda-beda. Misalnya, bertanya kepada seseorang ‘apakah seseorang mempunyai rokok’ segera disadari sebagai permintaan daripada sekedar pertanyaan yang memerlukan informasi. Begitu pula, ketika seseorang bertanya: ”Punya uang?” yang disampaikan dengan nada landai dan santun, maka segera direspon oleh partisipan tutur dengan jawaban ”butuh berapa?” atau untuk beli apa?” ini berarti bahwa seseorang akan pinjam atau meminta uang. Dalam kelompok masyarakat NU di Jember pemakaian dan fungsi bahasa, penggunaan tingkat tutur, alih giliran berbicara, intonasi (tone), bentuk-bentuk pilihan bahasa serta penggunaan gaya bahasa dalam konteks tuturan tertentu merupakan bentuk pola komunikasi.


(29)

Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi: masyarakat, kelompok, dan individu (periksa, Hymes, 1961: 59). Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia, status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok, serta organisasi sosial yang lain (Saville-Troike, 2003: 11).

Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu, pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-faktor emosional seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada mekanisme vokal, faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang merupakan bagian dari komunikasi terpola.

Persepsi individu sebagai ’lancar bicara atau grogi’ (voluble or taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural (Saville-Troike, 2003: 12). Seperti, ketika seorang santri menghadap kiai yang terjadi adalah kegrogian yang disebabkan status sosial berbeda, rasa hormat, dan patuh yang amat mendalam kepada seorang guru, tetapi hubungan sesama santri menjadi lancar berbicara lantaran mereka memiliki status sosial yang sama dan penuh keakraban dalam hubungan personal.

Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat, kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam berkomunikasi. Namun demikian, terdapat benang merah keterkaitan hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga antarsemua pola kebudayaan. Sebaiknya ada topik umum yang menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai. Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan batasan-batasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan organisasi sosial (Saville-Troike, 2003: 12).

Perhatian terhadap pola merupakan dasar antropologi dengan interpretasi makna dasar yang tergantung pada temuan dan diskripsi struktur serta desain normatif. Penekanan yang lebih pada proses interaksi


(30)

dalam menghasilkan pola-pola perilaku memperluas perhatian kajian etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik, aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.

Penggunaan Bahasa dalam Komunikasi

Para ahli tata bahasa formal, ahli sejarah linguistik, dan bahkan para ahli sosiolinguistik seringkali menginterpretasikan "penggunaan bahasa" dalam pemahaman yang sempit, seperti tindakan yang sebenarnya merupakan refleksi dari pengujaran-pengujaran tertentu―kata-kata ataupun suara yang dilakukan oleh penutur tertentu pada waktu dan tempat tertentu (Lyons, 1972). Oleh karena itu, tujuan para ahli sosiolinguistik untuk barasumsi bahwa pola-pola variasi berdasarkan contoh yang sistematis dari "penggunaan" yang lebih atau kurang terkontrol (atau actes de parole), merupakan pengaruh dari pemahaman yang sempit (periksa Duranti, 1998: 212).

Maksud penggunaan bahasa ini secara tegas dikaitkan dengan sudut pandang sosiolinguistik yang hanya sebagai suatu metodologi yang berbeda―suatu cara yang berbeda dalam memperoleh data daripada yang biasa dilakukan oleh para ahli tata bahasa formal (Labov, 1972: 259). Dalam pandangan ini, ahli sosiolinguistik digambarkan sebagai seseorang yang menolak untuk menerima atau menguji intuisi-intuisi linguistik dan mereka lebih menyukai tape-recorder sebagai alat untuk mengumpulkan data daripada tuturan yang sebenarnya. Walaupun para ahli tata bahasa formal telah menerima signifikansi sosial dari penelitian sosiolinguistik, namun banyak di antara mereka yang belum mampu melihat signifikansinya dari sudut pandang teori gramatikal (Chomsky, 1977: 55). Apa yang tidak tampak di sini adalah realisasi oleh para ahli tata bahasa, dan kemampuan para ahli tata-sosiolinguistik untuk meyakinkan bahwa deskripsi struktural dari bentuk-bentuk linguistik hanya berguna dan menarik tetapi secara konsisten kurang ada beberapa segi yang sangat penting, yaitu tentang apa yang membuat bahasa itu begitu berharga bagi manusia, yaitu kemampuan bahasa untuk memfungsikan "dalam konteks" sebagai alat refleksi dan aksi atas dunia. Apa yang disebut "model-model kognitif" terletak pada asumsi bahwa mungkin—dan kenyataannya dianjurkan agar memiliki sebuah teori untuk menjelaskan tingkah laku manusia melalui aturan-aturan konteks-independen. Akan tetapi, sekarang kita akan tahu bahwa segi-segi yang dikontekstualisasikan menemukan objek-objek dan memberikan analisis-analisis yang secara kualitatif berbeda dengan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial. Penggunaan intuisi-intuisi dalam linguistik serta dalam tingkah laku metalinguistik


(31)

dapat dipandang sebagai kemampuan individu untuk merekonstruksi informasi kontekstual (Duranti, 1998: 213).

Jadi, bagi ahli Ethnografi Komunikasi (EK), serta para peneliti lain dalam bidang ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, penggunaan bahasa harus diinterpretasikan sebagai penggunaan kode-kode (symbol) linguistik dalam tingkah laku kehidupan sosial. EK adalah penyatuan "suatu bahasa", yang merupakan sebuah ilusi―dan seseorang harus lebih melihat pada konteks khusus dari penggunaan bahasa, agar dapat menerangkan bagaimana simbol-simbol linguistik dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Melihat begitu pentingnya interaksi antara kemampuan bertutur dan tindakan sosial, sehingga metodologi dan cara menulis yang dikembangkan untuk mempelajari penggunaan referensial (atau denotasi) dari kemampuan berbicara belum mencakup aspek fungsi sosialnya (Silverstein, 1977). Istilah pertuturan diperkenalkan oleh Hymes (1961) untuk menekankan aspek yang berorientasi pada praktis (kebiasaan yang dapat diterima) dari kode linguistik. Oleh karena itu, pertuturan harus dianggap sebagai suatu bentuk tugas manusia yang secara filogenitis dan ontogenitis merupakan bentuk yang paling kuat dari tingkah laku kooperatif (Duranti, 1998: 213).

Oleh karena itu, kepedulian terhadap penggunaan bahasa tidak hanya berupa komitmen metodologi dalam mendapatkan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam berbagai macam konteks, akan tetapi juga konsekuensi ketertarikan terhadap sesuatu yang dilakukan oleh penutur dengan bahasa tersebut, baik dengan suka maupun tidak suka, sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung. Pada khususnya, para ahli EK peduli dengan karya yang dilakukan oleh dan melalui bahasa dalam (1) membentuk, menentang, dan menciptakan kembali identitas sosial dan hubungan sosial; (2) menjelaskan pada yang lainnya termasuk kita sendiri mengapa dunia seperti ini dan apa yang dapat dan seharusnya dilakukan untuk mengubahnya; (3) memberikan kerangka bagi peristiwa-peristiwa pada tingkat sosial maupun individual; dan (4) membuka penghalang-penghalang fisik, politik, dan budaya. Di antara beberapa bidang penelitian ini juga diteliti dalam pragmatik (Levinson, 1983: 1-4).

Yang biasanya membedakan pendekatan etnografi komunikasi dengan analisis pragmatik sebagai dua pendekatan yang berusaha menelaah bahasa yang digunakan dalam konteks tertentu adalah Etnografi komunikasi memiliki kepedulian yang lebih kuat terhadap konteks sosial-budaya penggunaan bahasa, dengan hubungan khusus antara bahasa dan sistem-sistem lokal ilmu pengetahuan dan tatanan sosial (antropologi), dan kurangnya komitmen terhadap relevansi cara penulisannya terhadap


(32)

penggunaan kemampuan bertutur yang strategis dalam interaksi sosial dan digunakannya analisis komponen tutur yang diformulasikan dalam SPEAKING-gird. Adapun Pragmatik lebih menekankan pada studi tentang makna yang dikehendaki oleh penutur dan yang diterima (diinterpretasi) oleh petutur (partisipan tutur, lawan tutur, mitra tutur) dengan memperhatikan hubungan dengan situasi ujar (speech situations) dan menggunakan perangkat analisis PK ( Grice, 1975: 45-46) yang dirinci ke dalam 4 maksim (Quality, Quantity, Relation/Relevance, Manner) dan PS (Prinsip kesantunan dalam berbahasa) sehingga dalam kajian pragmatik fokus pengkajian sering mengaitkan implikatur, presupposisi, dan inferensi.

Namun demikian, kita tidak perlu terlalu jauh mempersoalkan perbedaan kedua pendekatan tersebut, karena keduanya saling mendukung dan mimilki keterkaitan satu sama lain sebagai pendekatan yang mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya masyarakat tutur tertentu.

Fungsi-fungsi Komunkatif Bahasa

Pada tingkat masyarakat, bahasa banyak memerankan banyak fungsi. Fungsi bahasa yang paling utama di antaranya adalah mencipatakan batasan, menyatukan para penuturnya sebagai anggota sebuah masyarakat tutur, dan mengesampingkan outsider dari komunikasi intrakelompok. Banyak bahasa juga berfungsi sebagai identifikasi sosial di dalam suatu masyarakat dengan memberikan indikator-indikator linguistik yang bisa digunakan untuk mendorong adanya stratifikasi sosial (Ibrahim 1994: 15).

Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi dengan pihak lain, fungsi-fungsi komunikasi secara langsung berkaitan dengan tujuan dan kebutuhan partisipan (Hymes; 1972). Hal ini menyangkut kategori fungsi ekspresif (menyampaikan perasaan atau emosi), fungsi direktif (memohon atau memerintah), referensi (isi proposisi benar atau salah), poetik (estetika), fatik (empati dan solidaritas), dan metalinguistik (referensi pada bahasa itu sendiri) (periksa Ibrahim, 1994: 15).

Kategori fungsi tersebut sama dengan kelas illocutionary act Searly (1985: 54) (representatif, direktif, komisif, ekspresif, deklarasi), tetapi terdapat perbedaan dalam perspektif dan skop yang memisahkan bidang etnografi komunikasi (ethnography of communication) dengan teori tindak tutur (speech act theory) dalam pragmatik―diantaranya adalah berfokus pada bentuk, dengan tindak tutur hampir selalu bersifat koterminus dengan kalimat-kalimat dalam analisis. Bagi etnografer, perspektif fungsional memiliki prioritas dalam deskripsi, sementara fungsi bisa bertepatan (coincide) dengan urutan gramatikal tunggal, atau sebuah kalimat dapat


(33)

memerankan beberapa fungsi secara simultan. Lebih lanjut, kalau para teoris tindak tutur dan para pragmatisi secara umum menyisihkan penggunaan bahasa metaforis dan fatik sebagai pertimbangan dasar, hal ini menjadi fokus utama deskripsi etnografi. Komunikasi fatik menyampaikan pesan, tetapi tidak menyampaikan makna (Saville-Troike, 2003: 13)

Perbedaan antara maksud fungsional penutur dan pengaruh aktual yang dimiliki para pendengar merupakan bagian konsep relativitas fungsional (fungtional relativity) (Hymes 1972b: 271). Keduanya relevan untuk deskripsi dan analisis peristiwa komunikasi. Sementara banyak fungsi bahasa bersifat universal, cara bagamana komunikasi beroperasi dalam satu masyarakat untuk memerankan fungsi-fungsi yang bersifat spesifik bahasa. Status relatif penutur bisa dipandang melalui pilihan bentuk pronominal dalam satu bahasa; dalam bahasa yang lain dengan jarak mereka berdiri atau posisi tubuh mereka pada saat berbicara; dan antara bilingual, bahkan dengan pilihan bahasa mana yang akan digunakan dalam menyapa satu sama lain (Ibrahim 1994: 17).

Fungsi-fungsi bahasa memberikan dimensi primer untuk

mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk dalam masyarakat―tanpa memahami penggunaan bahasa dalam masyarakat sebagaimana mestinya, dan konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan bahasa itu, sulit kiranya untuk dapat memahami maknanya dalam konteks interaksi sosial.

Kompetensi Komunikatif

Kompetensi Komunikatif (KK) merupakan istilah Hymes (1972b: 276) bahwa penutur yang bisa menghasilkan kalimat gramatikal suatu bahasa yang didasarkan pada definisi kompetensi linguistik Chomsky (1965) akan terinstitusionalisasi apabila mereka mencoba melakukannya (periksa Duranti, 2000: 215).

Kompetensi komunikatif melibatkan pengetahuan tidak saja mengenahi kode bahasa, tetapi juga apa yang akan dikatakan kepada siapa, dan bagaimana mengatakannya secara benar dalam situasi tertentu. Kompetensi komunikatif berkenaan dengan pengetahuan sosial dan kebudayaan yang dimiliki penutur untuk membantu mereka menggunakan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.

Kenyataan bahwa seorang anak yang normal belajar tentang susunan kalimat, tidak hanya tata bahasanya, tetapi juga belajar tentang kesesuaian pemakaiannya dalam konteks tertentu. Dia belajar kompetensi tentang kapan dia berbicara dan kapan tidak berbicara, dan apa yang dibicarakan, dengan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana caranya. Pendek kata, seorang anak dengan kemampuan bertuturnya menjadi mampu


(34)

mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain, menirukan lagu-lagu, bermain peran (roleplay) dengan menirukan seseorang yang berperan sebagai dokter dan pasien, pembeli dan penjual, dan sebagainya.

Di samping itu, KK merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan sikap, nilai, dan motivasi yang berkenaan dengan bahasa, sisi-sisi, dan penggunaannya, serta tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi untuk menentukan sikap terhadap interrelasi bahasa dengan kode-kode dan simbol-simbol lain dari tindakan komunikatif (Hymes, 1972b: 277-278).

Pembahasan tentang kompetensi komunikatif dan kompetensi linguistik (gramatikal) biasanya berkisar di antara dua pokok persoalan, yaitu: (1) perlunya menyertakan deskripsi gramatikal dengan kondisi-kondisi yang sesuai, (2) perimbangan antara kode gramatikal (atau linguistik) dengan aspek-aspek lain seperti gerakan tubuh, tatapan mata, dan sebagainya (Duranti, 2000: 215).

Kompetensi komunikatif meliputi baik pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu, kapan mengatakannya dan bilamana harus tetap diam, siapa yang diajak bicara, bagaimana seseorang berbicara kepada orang yang status perannya berbeda, perilaku non verbal apakah yang sesuai untuk berbagai konteks, rutin apakah yang terjadi untuk alih giliran dalam percakapan, bagaimana menawarkan bantuan dan kerjasama, bagaimana meminta dan memberi informasi, bagaimana menegakkan disiplin dan sebagainya (Saville-Troike, 2003: 18)

Ternyata, perbedaan utama antara pemikiran Chomsky dan Hymes tentang kompetensi adalah: Chomsky mengandalkan asumsi yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat dipelajari secara terpisah dengan tindakan, yang diartikan sebagai implementasi dari ilmu pengetahuan tersebut dalam penggunaan bahasa, sedangkan bagi Hymes, partisipasi, penampilan, dan ilmu pengetahuan intersubjektif secara keseluruhan merupakan segi-segi yang sangat penting sebagai kemampuan untuk "mengetahui sebuah bahasa" (Saville-Troike, 2003: 18).

Kita semua tahu bahwa sebagian besar dari hasil karya yang dilakukan oleh Chomsky dan murid-muridnya didasarkan pada kemampuannya untuk menemukan (yaitu membayangkan) konteks yang sesuai dalam mengujarkan jenis-jenis ujaran tertentu. Walaupun ada asumsi teoritis tentang aspek-aspek tertentu dalam tata bahasa yang dianggap sebagai kognitif murni, akan tetapi definisi yang sebenarnya dari aspek-aspek semacam itu terletak pada kemungkinan dalam memadukan kalimat-kalimat dengan dunia yang sebenarnya, yang pada gilirannya disusun berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh para ahli bahasa tentang dunia di mana mereka tinggal (Duranti, 1998: 216).


(35)

KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, KK mengacu pada pengetahuan dan ketrampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok tertentu (seperti aspek-aspek lain dalam suatu kebudayaan), meskipun hal ini sangat bervariasi dalam anggota-anggota kelompok yang melibatkan individu-individu yang berbeda. Hakekat kompetensi individu itu merefleksikan hakekat bahasa itu sendiri. (Saville-Troike, 2003: 14)

Perbedaan lintas budaya bisa dan memang menghasilkan konflik-konflik atau menyebabkan kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan dan interpretasi.

Oleh karena itu, KK seharusnya dimasukkan dalam konsep kompetensi kebudayaan (cultural competence), atau keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang dibawa dalam suatu situasi. Pandangan ini konsisten dengan pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai makna, dan memandang semua etnografer berhubungan dengan simbol (periksa Geertz, 1973;). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan pola simbol, dan bahasa merupakan salah satu sistem simbol dalam kerangka ini. Interpretasi makna linguistik menghendaki pengetahuan makna di mana perilaku linguistik itu ditempatkan (periksa juga Ibrahim, 1994: 28).

Outline berikut ini meringkas rentang pengetahuan yang harus dimiliki penutur untuk bisa berkomunikasi secara tepat. Dari perspektif etnografer, ini juga menunjukkan rentang fenomena linguistik, interaksional, dan kultural yang harus diberi perhatian dalam suatu deskripsi dan penjelasan komunikasi yang memadai. Berikut ini merupakan komponen-komponen kompetensi komunikasi:

1. Pengetahuan Linguistik (

linguistik knowledge

)

a. Elemen-elemen verbal; b. Elemen-elemen nonverbal;

c. Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu;

d. Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan

pengorganisasian elemen-elemen itu) e. Makna varian-varian dalam situasi tertentu.

2. Keterampilan interaksi (

interaction skills

)

a. Persepsi ciri-ciri penting dalam situasi komunikatif;

b. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi, peran dan hubungan tertentu (kaidah untuk penguna ujaran);


(36)

d. Strategi untuk mencapai tujuan.

3. Pengetahuan kebudayaan (

cultural knowledge

)

a. Struktur sosial b. Nilai dan sikap; c. Peta/skema kognitif

d. Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan) (Saville-Troike, 2003: 20) Dari Outline di atas, dapat disarikan bahwa kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan untuk penggunaan dan interpretasi bahasa yang tepat secara kontekstual dalam suatu masyarakat, maka kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, meskipun hal ini bervariasi dalam anggota-anggotanya secara individual.

Bahasa dan Kebudayaan

Keunikan tradisi dan budaya masyarakat suatu etnik berakibat terbentuknya keunikan bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Menurut Kramsch (2009: 3) ada tiga hal mengapa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain: pertama, language expreses cultural reality (bahasa mengekspresikan realitas budaya); kedua, language embodies cultural reality (bahasa sebagai penjelmaan realitas budaya); dan Ketiga, language Symbolizes cultural reality (bahasa sebagai simbol realitas budaya).

Sebagai ekspresi realitas budaya para penuturnya, bahasa seseorang diucapkan mengacu pada pengalaman yang pernah mereka lalui. Mereka menyatakan fakta, gagasan, atau peristiwa yang dapat disampaikan, sebab mereka mengacu pada pengetahuan tentang dunia (world view) yang orang lain juga memahami. Kata-kata juga mencerminkan kepercayaan dan sikap mereka, sisi pandangan mereka. Pandangan ini dipertegas pernyataan Wijana (2004) yang menyatakan bahwa setiap bahasa merupakan medium ekspresi kolektif yang unik dan khas. Sejumlah elemennya yang terlihat khas merefleksikan budaya masyarakat penuturnya.

Berkaitan dengan budaya sebagai penjelmaan realitas budaya para penuturnya menunjukkan bahwa jarang sekali anggota masyarakat atau kelompok sosial tidak menyatakan pengalamannya―mereka juga menuliskan dan mengungkapkan pengalamannya melalui media bahasa. Mereka menyatakan maksud dan tujuannya melalui medium itu, yang


(37)

mereka pilih untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hofstede (1994) bahwa setiap orang dalam dirinya membawa pola pikir, perasaan, dan perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mereka.

Bahasa itu menyimbolkan kenyataan budaya. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda, yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya. Para pembicara mengidentifikasi diri mereka dan orang lain dengan menggunakan bahasa mereka―mereka memandang bahasa mereka sebagai sebuah simbol identitas sosial mereka.

Hubungan intrinsik bahasa dan kebudayaan (language & culture) sudah diketahui secara mendalam. Hal tersebut dilihat dari pemolaan perilaku komunikatif dan sistem kebudayaan yang merupakan hubungan yang amat penting dalam pengembangan teori umum komunikasi, dan deskripsi serta analisis komunikasi di dalam masyarakat tutur yang spesifik. Konsep evolusi kebudayaan tergantung pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa untuk tujuan pengorganisasian kerjasama sosial (Saville-Troike, 2003: 27-28).

Terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan, nilai, dan kebutuhan saat ini dalam kebudayaan para penuturnya. Kosa kata bahasa memberi kita suatu katalog mengenahi hal-hal yang penting bagi masyarakat, yang merupakan suatu indeks bagi para penutur untuk mengkategorikan pengalaman-pengalaman yang pernah mereka lalui―dan seringkali merupakan catatan yang berhubungan dengan masa lalu dan kebudayaan yang dimiliki. Gramatika bisa menunjukkan bagaimana waktu disegmentasikan dan diorganisasikan menurut kepercayaan tentang kekuatan makhluk hidup dan kategori-kategori sosial yang penting dalam kebudayaan (culture) (Saville-Troike, 2003: 28)

Hymes (1966b: 116) mengemukakan bahwa tipe kedua relativitas linguistik yang memandang bukti garammatika tidak saja merupakan kategori sosial yang statis, tetapi juga asumsi sosial para penutur mengenahi dinamika hubungan peran, dan mengenahi hak-hak dan tanggung jawab yang dipersepsi dalam masyarakat. Sementara tipe-tipe relativitas linguistik pertama mengklaim bahwa realitas kebudayaan sebagian merupakan hasil dari faktor-faktor linguistik. Lebih lanjut Hymes mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman kebudayaan yang berbeda cenderung akan melakukakan sistem dan pola komunikasi yang berbeda, karena nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan merupakan bagian dari relativitas linguistik.

Keterkaitan pola dalam berbagai aspek kebudayaan terlalu luas untuk bisa disebut tema (themes), atau prinsip-prinsip organisasi sentral


(38)

yang mengontrol perilaku. mencontohkan konsep ini dengan tema ‘Apache’ mengenahi superioritas pria, yang juga direalisasikan dalam pola komunikasi maupun domain religius dan politik. Dalam pertemuan-pertemuan suku, misalnya hanya beberapa wanita tua saja yang diperkenankan berbicara sebelum kesemua pria terdengar suaranya, dan merupakan hal yang tidak biasa bagi wanita untuk berdo’a keras di muka umum (Saville-Troike, 2003: 28).

Jika directness dan indirectness (langsung atau tidak langsung) merupakan tema kebudayaan―tema-tema itu selalu berhubungan dengan bahasa. Sebagaimana didefiniskan dalam teori tindak tutur, tindak langsung merupakan tindak yang mencerminkan bentuk lahir cocok dengan fungsi interaksi, seperti ‘diam’ yang digunakan sebagai perintah atau larangan, versus yang tidak langsung ‘kok makin gaduh ya disini’ atau ‘sampai saya tidak bisa mendengarkan pikiran saya’. Padahal dalam konteks tersebut seseorang meminta orang lain diam atau tidak ramai. Penggunaan metafor dan peribahasa merupakan strategi komunikatif yang umum untuk mendepersonalisasi apa yang dikatakan dan memberikan ketidaklangsungan.

Meskipun bahasa tidak dipertanyakan lagi merupakan bagian integral dari kebudayaan, mengasumsikan pengalaman kebudayaan yang spesifik dan kaidah-kaidah perilaku sebagai koordinat keterampilan linguistik spesifik, merupakan penyederhanaan yang naif terhadap hubungan bahasa dan kebudayaan.

Pendalaman Materi

1. Dengan memanfaatkan media ICT, carilah perbandingan tentang pengertian, definisi, dan sejarah kajian etnografi komunikasi!

2. Jelaskan pengertian pola komunikasi, dan pada tingkatan apa pola komunikasi terjadi?

3. Berilah penjelasan tentang fungsi-fungsi komunikatif bahasa

4. Sebutkan unsur-unsur yang mendukung kompetensi komunikatif beserta penjelasannya!

5. Mengapa bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, jelaskan!


(1)

(2)

INDEKS

A

abstrak, 49 alamiah, 17, 71

antropologi, 17, 18, 21, 23 artikel ilmiah, 15

asumsi, 22, 26, 29, 31, 44, 46, 51, 56, 61, 62, 69 B

bahasa daerah, 33, 39

bahasa lisan, 38, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95 bahasa verbal, 19, 29, 57, 67, 108

bahasa, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 56, 57, 60, 62, 65, 67, 68, 70, 74, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 115, 116

E

etnik, 2, 3, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 28, 34, 36, 37, 45, 55, 56, 57, 58, 60, 68, 85 etnografer, 24, 27, 116

etnografi komunikasi, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 24, 30, 44, 55, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 65, 67, 69, 70, 73

F

fenomena, 5, 9, 12, 27, 42, 46, 58, 59, 112 fonologi, 36, 70

fungsi komunikasi, 2, 17, 18, 24 G

gaya bahasa, 20, 40, 41, 42 gaya komunikasi, 17 gramatika, 21, 24, 25, 114 H


(3)

134 I

idiom, 42, 43 ilmu komunikasi, 16 informan penelitian, 70

informasi, 2, 13, 19, 22, 26, 31, 32, 46, 48, 56, 65, 67, 69, 73, 82, 101, 106, 108, 115

interaksi sosial, 17, 19, 23, 25, 29, 34

interpretasi, 12, 20, 21, 26, 27, 28, 37, 43, 44, 45, 47, 57, 70, 77, 79, 83, 85, 88, 91, 95, 97, 107, 109, 114, 115

intonasi, 12, 19, 20, 29, 57 introspeksi, 67, 68, 69 isi pesan, 47

K

kata kunci, 49 kategori ujaran, 20

kebudayaan, 2, 3, 13, 16, 17, 18, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 45, 56, 68, 101, 114, 115, 116

kiai, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 20, 35, 42, 60, 61, 66, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 113, 114

kode linguistik, 22, 103

kompetensi komunikatif, 13, 19, 25, 28, 31, 73, 101, 114, 115, 116

komponen tutur, 17, 23, 30, 47, 48, 55, 57, 67, 70, 71, 73, 74, 76, 101, 101, 104, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 113

komunikasi, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 37, 38, 40, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 57, 58, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 88, 89, 90, 93, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115

konsep, 13, 16, 19, 24, 27, 30, 39, 55, 63, 70, 71, 116 konteks tuturan, 7, 20, 51, 77, 79, 82, 84, 88, 90, 94, 97, 104

kultur, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 60, 62, 66, 72, 74, 80, 101, 102, 103, 105, 106, 111, 114, 115

M

makna varian, 114

masyarakat tutur, 15, 17, 18, 23, 29, 32, 39, 40, 43, 44, 45, 46, 47, 54, 58, 59, 65, 67, 68, 69, 81, 101, 108, 109, 110, 111, 112, 113

masyarakat tutur


(4)

N

norma interaksi, 27, 47, 70, 107, 109, 114 norma interpretasi, 109

outsider, 24, 109 P

partisipan tutur, 4, 8, 10, 11, 19, 23, 30, 40, 41, 42, 73, 74, 77, 84, 85, 87, 88, 89, 91, 92, 95, 96, 97, 98, 100, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115

penafsiran, 38 penanda fatis, 76, 81

penelitian kualitatif, 17, 55, 64, 67 perilaku komunikasi, 17, 18, 69 perilaku non verbal, 26

peristiwa tutur, 4, 27, 30, 40, 42, 43, 44, 47, 54, 60, 103, 104, 106, 110, 111, 113, 114

persepsi, 3, 56

perspektif, 24, 27, 31, 57, 65, 69

pesantren, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 16, 39, 41, 72, 74, 75, 78, 79, 85, 102, 103, 105, 106, 107, 113, 115

pola komunikasi, 4, 5, 8, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 29, 30, 31, 55, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 80, 81, 83, 85, 92, 93, 98, 101, 103, 104, 105, 106, 110, 111, 112, 113, 114, 116

proses komunikasi, 66, 68, 69 S

santri, 5, 6, 7, 8, 12, 20, 57, 66, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 82, 86, 88, 90, 95, 97, 99, 102, 105, 106, 108, 110, 113, 114, 115

semantik, 30

setting komunikasi, 69

simbol, 12, 19, 20, 22, 25, 27, 28, 29, 33, 57, 71, 76, 102, 115, 116 situasi tuturan, 39, 40, 92

sosialisasi, 14

sosiokultural, 65, 101

sosiolinguistik, 13, 18, 21, 30, 62

speech, 7, 12, 18, 19, 23, 24, 29, 34, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 57, 99, 100, 112 T

tindak tutur, 12, 19, 24, , 29, 30, 43, 44, 50, 51, 52, 53, 54, 57, 67, 69 tingkat tutur (speech level), 14, 33, 60


(5)

136 U

ujaran, 15, 26, 27, 44, 51, 52, 54 W

wahid, 7, 103


(6)

Tentang Penulis

Dr. Akhmad Haryono, M.Pd. Lahir di Jember 03 Oktober 1967. Setelah Lulus dari MAN Jember 1, dia melanjutakan kuliah S1 bahasa Jerman di Universitas Pattimura lulus tahun 1993, kemudian memperdalam Ilmu Sosiolinguistik (kajian Etnografi Komunikasi) pada program Pasca sarjana Universitas Negeri Surabaya lulus tahun 2006. Pada tahun 2013 dia meraih gelar Dr. Ilmu-Ilmu Humaniora di FIB UGM dengan Fokus kajian etnografi Komunikasi. Dia adalah Staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember Sejak tahun 1998-sampai sekarang pngampu mata kuliah Bahasa Jerman, Compataive Linguistic, & Public Relation pada Jurusan Sastra Inggris dan pengampu mata kuliah Etnografi Komunikasi dan Komunikasi Lintas Budaya pada Program Magister Linguistik Fakultas Sastra Universitas Jember. Dia juga peneliti bidang sosial humaniora khususnya kajian bahasa dan budaya etnik (Madura dan Using). Dia juga aktif sebagai pemerhati budaya pesantren. Hasil-hasil penelitiannya dikontribusikan dalam bentuk artikel di berbagai jurnal ilmiah terkemuka dan terakreditasi. Dia juga aktif dalam seminar-seminar nasional dan internasional berkaitan dengan topik-topik bahasa dan budaya etnik serta pembelajaran bahasa.