Konteks ETNOGRAFI KOMUNIKASI: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi

Bab 4 Konteks

Kompetensi dan Pengantar Setelah mempelajari bab ini dengan baik, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:  Memahami peran konteks dalam penggunaan bahasa  Memahami masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi tuturan  Memahami peristiwa tutur sebagai bagian dari konteks  Memahami berbagai macam tindak tutur sebagai bagian dari konteks Dalam analisis linguistik formal, konteks biasanya terjadi ketika kesulitan atau keraguan muncul berkenaan dengan interpretasi atau akseptabilitas pengungkapan linguistik tertentu, walaupun kenyataannya konteks merupakan hal yang sangat penting dalam membayangkan interpretasi alternatif yang mungkin terjadi dari kalimat yang bermakna ganda, akan tetapi penggunaan dan perannya secara resmi tidak dikenal dalam model-model kompetensi linguistik formal. Di sisi lain, pekerjaan ahli etnografi sangat bergantung pada kemampuan yang baik dan eksplisit untuk menghubungkan bentuk-bentuk tingkah laku, termasuk kemampuan berbicara, dengan konteks sosio-budaya mereka yang lebih luas. Malinowski, bapak ernografi moderen, yang pertama kali menekankan perlunya menginterpretasikan kemampuan berbicara dalam konteks situasi context of situation suatu ungkapan, yang pada sisi lain mengindikasikan bahwa konsepsi konteks harus diperluas dan pada sisi yang lain situasi, di mana kata-kata diujarkan tidak pernah dapat melampaui sesuatu yang tidak relevan dengan ungkapan linguistik Duranti, 1988. Walaupun sebenarnya Malinowski mengira bahwa perlunya terus menjaga kemampuan berbicara dan konteks untuk terus dikaitkan antara yang satu dengan yang lainnya dibatasi pada penelitian masyarakat primitif, di mana bagi mereka bahasa merupakan cara bertindak dan bukannya alat refleksi, namun dia kemudian memformulasikan pandangannya untuk memasukkan perlunya konteks dalam interpretasi semua bahasa, semua jenis penggunaan, termasuk masalah keberaksaraan Duranti, 1988. Definisi tentang makna, memaksa kita pada jenis observasi yang baru dan lebih luas, agar dapat menunjukkan makna kata-kata. Kita tidak 44 hanya harus memberikan suara ujaran dan persamaan signifikansi. Yang terpenting, kita harus memberikan konteks pragmatik di mana kata-kata tersebut diucapkan, korelasi suara dengan konteks, dengan tindakan dan dengan peralatan; dan sambil lalu, dalam deskripsi linguistik yang lengkap akan menjadi penting juga untuk menunjukkan jenis-jenis latihan atau pengkondisian atau pembelajaran dimana kata-kata memerlukan interpretasi makna. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya konteks di mana suatu kata, ujaran, kalimat dan bahkan wacana itu berlangsung. Dengan kata lain konteks dapat menentukan makna kata, makna ujaran, makna kalimat dilihat dari konteks pragmatiknya dan topik suatu wacana. Dalam dua puluh tahun terakhir atau lebih, istilah konteks didefinisikan kembali ke dalam bermacam-macam versi untuk memasukkan cakupan penggunaan bahasa yang potensial dan sebenarnya, yaitu dimensi ruang dan waktu dari interaksi tersebut serta tujuan partisipan. Tiga gagasan yang telah diadopsi dan dibahas dalam etnografi komunikasi, yaitu: masyarakat tutur speech community, peristiwa tutur speech event, dan tindak tutur speech act. Masyarakat Tutur Speech Community Masyarakat tutur Speech Community didefinisikan sebagai sekelompok masyarakat yang menggunakan aturan yang sama dalam menginterpretasi dan menggunakan paling tidak satu bahasa Gumperz, 1972: 16 atau variasi linguistik Hymes 1972a: 54. Salah satu alasan untuk menggunakan speech community sebagai titik awal dalam penelitian linguistik adalah untuk menghindari asumsi bahwa pemakaian secara bersama-sama terhadap bahasa yang sama menunjukkan adanya pemahaman yang sama atas penggunaan dan maknanya dalam konteks yang berbeda-beda Hymes, 1972 a,b. Para linguis secara umum menyetujui bahwa masyarakat tutur tidak bisa disamakan secara persis dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang sama, karena para penutur bahasa Spanyol di Texas dan Argentina merupakan anggota masyarakat tutur yang berbeda meskipun mereka memiliki kode bahasa yang sama. Apakah fokus kita dalam mendefinisikan masyarakat sebagai kajian harus berada dalam bentuk dan penggunaan bahasa yang sama, atau pada batas-batas geografis dan politis umum, ciri-ciri kebudayaan, dan bahkan mungkin karakteristik fisik. Oleh karena itu, penggunaan dan interpretasi bahasa, kaidah berbicara, dan sikap mengenahi bahasa merupakan bagian dari produk penelitian etnografi. Dengan demikian semakin jelaslah untuk mendefinisikan kelompok yang akan diteliti speech community. 45 Dalam mendifinisikan masyarakat tutur seharusnya diarahkan pada perbedaan ruang lingkup yang dimiliki ‘masyarakat’ menurut kriteria yang berbeda: 1. Merupakan kelompok manapun dalam masyarakat yang memiliki sesuatu yang signifikan secara umum termasuk agama, etnik, ras, usia, tuli tidaknya, orientasi jenis kelamin, atau jabatan, tetapi bukan warna mata atau tinggi badan. 2. Merupakan unit batasan fisik manusia yang memiliki kesempatan peran sepenuhnya suku atau bangsa yang terorganisir secara politis, tetapi bukan satu jenis kelamin, satu usia, atau satu kelas saja seperti rumah jompo atau kelompok sejenisnya. 3. Merupakan kumpulan etnisitas yang berada pada tempat yang sama yang memiliki sesuatu yang bersifat umum seperti dunia barat, negara- negara berkembang, pasar umum Eropa, atau PBB Ibrahim, 1994: 21 Pengertian speech community seharusnya tidak sekedar disamakan dengan homogenitas linguistik dari sekelompok masyarakat tutur tertentu Hudson, 1980: 20. Dalam masyarakat Norwegia yang diteliti oleh Bloom dan Gumperz 1972, misalnya, pemakai bahasa yang secara individu dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat tutur menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam bentuk penggunaan pengalihan kode, interpretasi, dan nilainya. Salah satu cara untuk menerangkan perbedaan semacam itu adalah dengan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan karakteristik penggunaan linguistik dalam kehidupan sosial: “Ketika menyelidiki segala seluk-beluknya secara rinci dengan metode lapangan yang dirancang untuk memperoleh kemampuan berbicara dalam konteks yang sesuai, maka semua masyarakat pengguna bahasa secara linguistik berbeda dan hal ini dapat ditunjukkan bahwa perbedaan ini memberikan fungsi komunikatif yang penting dalam menandai sikap-sikap antarpengguna bahasa dan dalam memberikan informasi tentang identitas sosial pengguna bahasa tersebut” Gumperz 1972: 13. Cara lain dalam menghadapi berbagai perbedaan yang kebenarannya dibuktikan oleh Gumperz 1968 adalah dengan cara berasumsi bahwa pada hakikatnya masyarakat pengguna bahasa tidak ada kecuali sebagai prototipe yang ada dalam pikiran manusia Hudson, 1980: 30. Untuk menguji asumsi tersebut, menjadi penting untuk dikemukakan bahwa ada realitas psikologis dari segi penggunaan bahasa yang ídeal atau prototipikal dalam kelompok masyarakat tertentu. Beberapa temuan Labovs 1972 terhadap keseragaman jenis tingkah laku evaluatif yang sangat jelas dapat digunakan dalam argumen seperti itu. Pada saat yang sama, hasil kerjanya yang rinci terhadap pola- pola variasi dalam ranah fonologis dan leksikal menunjukkan adanya 46 hipotesis yang berbeda, atau sebaliknya, yaitu gagasan bahwa jenis atau keteraturan yang ditemukan tidak ada dalam pikiran seseorang melainkan berada nun jauh di luar sana, yaitu di dalam dunia nyata periksa Duranti, 1998: 219 Oleh karena itu, segala gagasan tentang masyarakat bahasa dan hal ini juga akan menjadi benar dalam mendefinisikan dialek atau logat asli akan bergantung pada dua fenomena: 1 pola-pola variasi dalam kelompok pengguna bahasa juga dapat ditetapkan di tempat tertentu, di luar homogenitas linguistik dan 2 aspek-aspek yang dicapai secara kooperatif dalam tingkah laku manusia sebagai strategi untuk membentuk keanggotaan dalam tingkah laku kehidupan sosial. Kemampuan menerangkan 1 pada akhirnya bergantung pada keberhasilan kita dalam memahami 2. Bahasa sering berfungsi mempertahankan pemisahan identitas masyarakat tutur di dalam masyarakat yang lebih besar, yang anggota masyarakat tutur itu juga merupakan anggota dari masyarakat yang lebih besar tersebut. Dalam kasus-kasus di mana individu dan kelompok menjadi milik lebih dari satu masyarakat tutur, berguna sekali untuk membedakan keanggotaan primer dan sekunder. Dengan demikian, individu, khususnya dalam masyarakat yang kompleks, bisa berpartisipasi dalam sejumlah masyarakat tutur yang diskrit terpisah maupun yang overlap, seperti halnya mereka berpartisipasi dalam setting sosial yang bervariasi yang dipilih oleh seseorang sebagai orientasi dirinya sendiri pada saat tertentu dengan mengatur kaidah yang digunakan―merupakan bagian dari strategi komunikasi. Peristiwa Tutur Speech Event Asumsi dasar tentang analisis speech event penggunaan bahasa adalah bahwa suatu pemahaman tentang bentuk dan isi percakapan sehari- hari dalam manifestasinya yang beraneka ragam menunjukkan adanya suatu pemahaman tentang kegiatan sosial, di mana percakapan tersebut terjadi Duranti, 1988: 220. Namun demikian, aktivitas seperti itu tidak hanya dibarengi oleh interaksi verbal, akan tetapi juga harus dibentuk berbagai cara untuk untuk mendorong kemampuan berbicara yang memiliki peran dalam konstitusi kegiatan sosial. Barangkali kasus yang paling jelas adalah percakapan melalui telepon, yang tidak akan terjadi jika tidak ada tukar-menukar percakapan. Bahkan kegiatan yang sangat mengandalkan fisik seperti kegiatan olah raga atau ekspedisi perburuan, sangat bergantung pada komunikasi verbal. Bagaimanakah seseorang harus menghadapi tugas berat dalam mengisolasi dan menggambarkan unit-unit peristiwa? Hymes 1972b: 56 47 mengemukakan beberapa komponen peristiwa komunikatif dengan akronim SPEAKING yang dirinci menjadi: 1 S: SituationSetting situasi tempat dan suasana tuturan; 2 P: Partisipan peserta tutur pembicara, yang dituju, pendengar penerima; 3 E: Ends akhir hasil, tujuan tutur; 4 A: act sequence urutan bertindak bentuk pesan dan isi pesan; 5 K: key kunci: Nada tutur; 6 I: instrumentalities sarana tutur; 7 N: norms norma-norma norma interaksi dan interpretasi; 8G: genres jenis tuturan. periksa juga Saville- Troike, 2003: 110. Seiring dengan pendapat Hymes di atas, Poedjosoedarmo 1978 mengembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tutur di Indonesia, khususnya masyarakat tutur Jawa. Komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan luas dari versi Hymes yang dijadikan dasar. Menurut versi Poedjosoedarmo terdapat sedikitnya tiga belas komponen tutur yang dapat mempengaruhi peristiwa tutur. Ketiga belas komponen tutur tersebut adalah sebagai berikut: 1 Pribadi si penutur atau orang pertama, 2 anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara, 3 kehadiran orang ketiga, 4 maksud dan kehendak si penutur, 5 warna emosi si penutur, 6 nada suasana bicara, 7 pokok pembicaraan, 8 urutan bicara, 9 bentuk wacana, 10 sarana tutur, 11 adegan tutur, 12 lingkungan tutur, 13 norma kebahasaan lainnya periksa Rahardi, 2001: 35-50. Didasarkan pada kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaanya, bahasa Jawa memiliki kesamaan dengan bahasa Madura, sehingga komponen turtur menurut versinya juga dapat dijadikan pembanding dan referansi dalam analisis komponen tutur Hymes tersebut Dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, unit speech-event dengan analisis komponen tutur telah menjadi alat yang berguna untuk menganalisis penggunaan bahasa di dalam dan antarmasyarakat. Banyaknya sumbangan terhadap pemahaman peran pertuturan speaking dalam arena politik, cara membesarkan anak, kegiatan membaca, dan penyuluhan, baik eksplisit maupun tidak, telah membuat peran speech event sangat berguna Duranti 1988: 221; Scollon Scollon 1981; Heath 1983; Brennies Myers 1984;. Speech event masih merepresentasikan tingkat analisis yang dapat memiliki keunggulan dalam mempertahankan informasi tentang sistem sosial secara keseluruhan. Sementara itu, pada saat yang sama memungkinkan peneliti melihat secara mendalam seluk-beluk tindakan orang per orang. Model pertuturan juga merepresentasikan perbedaan yang mendasar antara EK dan cabang linguistik lain dalam bermacam-macam versi. Cabang tersebut telah selalu mempertahankan status etic phonetic 48 tertentu dan tanpa dibarengi dengan teori umum yang berkaitan dengan komponen yang beraneka ragam. Dalam program Hymes 1972a, pembahasan teori seperti itu tampaknya hanya memungkinkan pada level lokal yaitu berkenaan dengan masyarakat tertentu dan bukan dalam kerangka yang lebih global dan komparatif. Dalam EK hal ini diperlukan, di mana tidak pernah ada usaha dalam memformulasikan fonemik umum dari peristiwa komunikasi. Hubungan antara komponen-komponen model tersebut terbukti sangat berarti dalam masyarakat tertentu, akan tetapi tidak perlu menunjukkan prinsip yang universal dari hubungan antara kemampuan bertutur dan konteks dalam masyarakat pada umumnya. Sedikit usaha, seperti yang dilakukan Irvine 1979, terbukti merupakan pembahasan tentang bagaimana seseorang seharusnya tidak berkesimpulan tentang segi universal dari kelompok masyarakat tertentu; yaitu apa yang dianggap formal dalam satu konteks tidak harus formal dalam konteks yang lain. Beberapa perkecualian di sini berlaku pada beberapa usaha dalam menjelaskan bentuk areal secara umum, di mana ada studi lokal yang dapat mencakup kemungkinan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Roberts Forman, 1972; Abrahams, 1983. Jika beberapa jenis tuntutan universal diterima oleh EK, maka hal ini akan menjadi sama dengan apa yang disebut Merlau-Ponty sebagai lateral universal, yaitu universalitas usaha intersubjektif ketimbang struktur. Untuk memahaminya, kita harus merefleksikan kembali tujuan- tujuan yang ingin dicapai EK. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan lain dalam linguistik, EK sangat peduli dengan penggunaan bahasa sebagai perekat dan alat dalam kehidupan sosial. Ini berarti bahwa ahli etnografi objektif dan intersubjektif yaitu, intuisi, audio-recording, transkripsi, wawancara, partisipasi dalam kehidupan subjek terlibat dalam mempelajari objek yang lebih kompleks dan lebih multi bentuk daripada yang diteliti dalam cabang linguistik lain. Salah satu tujuan EK adalah untuk mempertahankan kompleksitas languange as praxis daripada menguranginya menjadi pokok-pokok yang abstrak dan independen Duranti, 1988: 223. Kritik yang memungkinkan terhadap kelemahan analisis speech event adalah bahwa ia cenderung menyeleksi bidang-bidang interaksi yang dilabeli oleh suatu budaya, akan tetapi ia dapat mengabaikan interaksi- interaksi yang tidak dikenal oleh anggota-anggotanya sebagai bagian- bagian. Hal yang perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun keberadaan istilah leksikal bagi bidang interaksi hanya merupakan pendukung dari pengorganisasian pengalaman lapangan, akan tetapi istilah tersebut merupakan kata kunci yang menarik bagi pekerja lapangan. 49 Tindak Tutur Speech act Bahasa memiliki banyak fungsi untuk memenuhi kebutuhan para penggunanya. Fungsi utama bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau maksud dari penutur kepada petutur mitra tutur. Maksud yang terkandung dalam komunikasi tersebut diungkapkan dengan kalimat. Kailmat-kalimat yang komunikatif terbagi menjadi dua kategori berdasarkan maknanya, yakni 1 kalimat perlakuan performative dan 2 kalimat pernyataan constative. Tujuan speech act menurut Austin, 1962: 98-99 adalah menekankan pada fungsi pragmatik dari kemampuan berbicara, yang tidak hanya menggambarkan pandangan dunia, akan tetapi juga mengubahnya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat pada umumnya. Penerimaan tujuan speech act tidak perlu disampaikan secara tidak langsung akan diterimanya landasan epistimologi atau ideologi yang mendasari teori tindakan komunikasi Pratt, 1981. Secara khusus, teori seperti itu dikatakan telah banyak memberi keunggulan bagi perhatian pengguna bahasa sebagai definisi makna pengucapan. Akhir-akhir ini sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa peran yang diberikan atas perhatian pengguna bahasa dalam menginterpretasi cara berbicara sebenarnya berbeda antarbudaya dan konteksnya Streeck, 1980; Duranti, 1988: 225. Kalimat-kalimat perlakuan relatif tidak begitu banyak jumlahnya dalam suatu bahasa; yang jauh lebih banyak adalah kalimat pernyataan. Austin 1962 mengatakan bahwa makna atau juga disebut nilai kalimat adalah tindakan membuat janji itu. Jadi mengucapkan kalimat adalah ‘perlakuan berjanji’ dan kalimat itu disebut kalimat perlakuan. Di sini tidak dipermasalahkan ‘benar’ atau ‘tidak benar’, baik apa yang dikatakan dalam kali mat “saya datang besok”, maupun kalimat induknya “saya berjanji”. Dengan kata lain berjanji itu adalah pengucapan kalimat: “saya berjanji datang besok pagi”. Selanjutnya, teori sebagai hasil pengkajian kalimat-kalimat sebagai ungkapan disebut teori tindak tutur speech act theory. Menurut Searle 1985: 16, dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, petanyaan, dan perintah Yule, 1996. 50 Wijana 2010: 92-94 mengemukakan, tindak tutur speech act adalah berbagai bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh penutur termasuk juga penulis dalam menggunakan bahasanya. Menurutnya, sekurang-kurangnya ada 7 jenis tindak tutur yang mungkin dilakukan oleh penutur. Ketujuh jenis tindak tutur itu adalah tindak tutur asertif, performatif, verdikatif, ekspresif, direktif, komisif, dan fatis. Pembagian tersebut didasarkan pada fungsi-fungsi yang dimainkan dalam setiap tuturan pada peristiwa komunikasi. Sudut pandang fungsional dalam hal ini harus dibedakan dengan sudut pandang formal yang selama ini digunakan oleh ilmu tata bahasa di dalam menggolong-golongkan kalimat. Penggolongan kalimat menjadi kalimat berita deklaratif, kalimat tanya introgatif, dan kalimat perintah imperatif didasrakan atas kriteria yang bersifat formal, yakni lagu akhir terminal counter masing-masing kalimat itu. Selanjutnya Wijana memmberi contoh sebagai barikut: 1 Udaranya dingin sekali. 2 Apakah pohon-pohon yang sudah susah payah kita tanam ini harus ditebang? 3 Pergi lagi sana Ketiga kalimat tersebut dari sudut pandang struktural masing- masing adalah: 1 kalimat berita, 2 kalimat tanya, dan 3 kalimat perintah. Namun dari sudut pandang fungsional, ketiga kalimat di atas dapat memerankan fungsi-fungsi yang mungkin saja sama atau berbeda bergantung pada konteks tuturannya yang berkaitkan dengan siapa yang berbicara, kepada siapa, dimana, dan untuk apa pembicaraan itu. Misalnya, dalam konteks tuturan 1 bukan kalimat berita, tetapi perintah tidak langsung kepada seseorang untuk menutup pintu atau mematikan AC. Demikian juga tuturan 2 bukanlah pertanyaan yang sebenarnya, boleh jadi merupakan strategi tidak langsung untuk mempengaruhi lawan tutur agar mendukung usulan penutur untuk tidak menebang pohon. Adapun tuturan 3 mungkin juga merupakan larangan yang diutarakan secara tidak literal agar lawan bicara tidak pergi. Dengan demikian, kalimat yang secara formal sudah memiliki bentuk yang relatif tetap, ternyata memungkinkan memiliki fungsi yang berbeda-beda, sehingga dimungkinkan lawan tutur dapat menangkap sesuatu yang diungkapkan secara langsung atau tidak langsung, secara literal atau tidak literal, dan berbagai maksud yang lain adalah karena penutur dan lawan tutur memiliki asumsi dan penfsiran yang sama terhadap kaidah-kaidah pertuturan beserta berbagai prinsip yang mengatur berlangsungnya pertuturan yang wajar, termasuk berbagai macam penyimpangannya. Dalam pertuturan yang wajar, penutur lazimnya ingin mengemukakan 51 sesuatu dan berharap lawan tutur dapat menagkap atau memahami apa yang diungkapkannya secara rasional. Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun makna kalimat tidak ditentukan hanya oleh tindak tutur seperti dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, mungkin juga dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Dalam pegertian seperti itu, studi tentang makna kalimat dan studi tentang tindak tutur bukanlah dua studi yang terpisah, melainkan satu studi dengan dua paradigma yang berbeda. Dengan demikian, teori tindak tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti tentang makna kalimat dan bukannya teori yang lebih cenderung berusaha menganalisis struktur kalimat Rani, 2004: 159 Oleh karenanya, tuturan yang sama dapat digunakan pada tujuan yang berbeda, berdasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang peristiwa sosial dimana konteks percakapan tersebut berlangsung. Tugas penganalisis adalah menerangkan hubungan antara realitas subjektif pengguna bahasa, bentuk linguistik yang dipilih dan respon dari audien: Level tindakan komunikasi segera menjembatani antara tingkat tata bahasa biasa dan situasi, sehingga ia mengimplikasikan bentuk linguistik dan norma-norma sosial Hymes, 1972 a: 7. Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud suatu kalimat. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur harus menuangkan dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan disampaikannya tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: dengan media bahasa apa dia harus bertutur, kepada siapa dia akan menyampaikan ujarannya, dalam situasi bagaimana ujaran itu disampaikan, dan kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang dipergunakannya. Dengan demikian, untuk satu maksud, perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu. Posisi penutur dan situasi ujaran yang berbeda akan menyebabkan perbedaan tindak tuturnya. Tindak tutur untuk menyampaikan maksud seperti itu dalam suatu bahasa tertentu akan berbeda lagi apabila yang dipergunakan bahasa yang lain. Bahasa Madura misalnya, akan segera nampak perbedaan tindak tuturnya jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kemungkinan memilih tidak tutur sangat ditentukan oleh bahasa itu untuk menyampaikan ujarannya Hymes, 1972a: 8 52 Yule 1996: 48-49 menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu: 1 tindak lokusi locutinary act 2 tindak ilokusi illocutionary act 3 tindak perlokusi perlocutionary act. Tindak lokusi menurut Searle disebut tindak proposisi propotional act mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi seorang penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Lyons 1977 menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Selanjutnya Austin menyatakan: “Tindak tutur itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi” periksa Rani, 2004: 160. Tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan, menasbihkan nama sebuah kapal, dan lain-lain Lyons, 1977: 730. Kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu of saying berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu in saying. Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu, sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut tindak ilokusi, sedangkan tindak mengatakan sesuatu lebih dekat hubungannya dengan tindak lokusi. Dalam tindak ilokusi didapatkan suatu daya atau kekuatan force yang mewajibkan si penutur untuk melaksanakan sesuatu tindak tertentu Rani, 2004: 161. Secara khusus, searle mendeskripsikan tindak ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: 1 Asertif atau representatif ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan, dan sebagainya; 2 Komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu, misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; 3 Direkstif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, menasehati; 4 Ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan bela sungkawa, mengkritik. Tindakan ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap 53 psikologis penutur terhadap mitra tutur; dan 5 Deklarasi, yakni tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya, misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya Rani, 2004: 162. Kategori yang terakhir 5 itu menurut Searle, merupakan kategori tindak ilokusi yang sangat spesifik. Tindak deklarasi dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai tugas khusus untuk melakukannya dalam kerangka kerja institusional. Misalnya, seorang hakim, yang bertugas menjatuhkan hukuman, seorang wali yang menikahkan anaknya, dan seorang pejabat yang meresmikan dimulainya sebuah acara seminar. Sebagai tindak institusional, kata-kata tersebut jarang diucapkan secara spontan. Sebagai contoh, pernyataan seorang hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa pada umumnya berbentuk klise, tidak berubah dari satu terdakwa ke terdakwa lainnya dan dinyatakan dengan tegas periksa Leech, 1993: 316-317. Jika kita cermati, dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih ditujukan pada diri si penuturnya. Dalam tindak perlokusi, isi ujaran itu lebih ditujukan pada diri si pendengar. Austin mengemukakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, misalnya: menjadikan orang marah, dan membuat seseorang tertawa. Dengan kata lain untuk membuat orang lain bereaksi. Tujuan tertentu yang dirancang oleh si penutur dalam isi ujarannya merupakan ciri khas tindak tutur perlokusi Leech, 1993: 316-317. Dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan ‘predikasi’ tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’ Rani, 2004: 163. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat, ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, permintaan, ejekan, keluhan, pujian, dan lain sebagainya; dan perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya. Pendalaman Materi 1. Jelaskan peran konteks dalam penggunaan bahasa 2. Jelaskan pengertian masyarakat tutur sebagai konteks tempat terjadi tuturan 3. Mengapa peristiwa tutur dikatakan sebagai bagian dari konteks? 4. Sebutkan macam-macam tindak tutur dan berilah contoh-contoh dari masing-tindak tutur 54 5. Dengan menggunakan media ICT carilah pengetahuan lebih luas tentang konteks, dan buatlah rangkuman

Bab 5 Desain dan Metode Penelitian