BAB III HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
3.1.Efektifitas Penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko Batam pada Masa Otonomi Daerah
Pada awal pembentukan Pemkot Batam terjadi kelambanan pemerintah pusat mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang
nomor 53 tahun 1999. Kelambanan tesebut yang memicu hubungan dua insitutis tersebut masih tumpang tindih. Dalam ayat 3 UU tersebut ditegaskan, hubungan
kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Saat ini BP Batam mendapatkan kewenangan dari pemerintah pusat khususnya yang menjadi kewenangan Departemen Perdagangan untuk
mengeluarkan perijinan lalu lintas keluar masuk barang. Perijinan tersebut diantaranya Perijinan IP Plastik dan Scrap Plastik, Perijinan IT-PT, Perijinan IT
Cakram, Perijinan IT Alat Pertanian, Perijinan IT Garam Perijinan, Mesin Fotocopy dan printer berwarna, Perijinan Pemasukan Barang Modal Bukan Baru,
Perijinan Bongkar Muat, Pelabuhan Khusus, Perijinan Pelepasan Kapal Laut.
1. Periode Sebelum Otonomi Daerah
Pembangunan industri dan perekonomian yang sangat pesat di wilayah Batam terkait sangat erat dengan peran dari Otorita Pengembangan Industi Batam,
yang biasa dikenal dengan sebutan Otorita Batam. Melalui badan ini pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pengelolaan wilayah Batam, tetapi juga
melakukan berbagai investasi langsung dalam pengadaan sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam pembangunan industrial. Disamping itu, badan tersebut juga
mempunyai kewenangan untuk menciptakan iklim investasi dan usaha yang mendukung aktifitas ekonomi dan industri.
Posisi Otorita Batam dalam pengelolaan wilayah Batam merupakan fenomena yang hanya terjadi di wilayah tersebut. Pembentukan badan tersebut
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 1977 berada langsung dibawah kewenangan Presiden RI dengan dilaksanakan oleh Dr. B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita Batam.
48
Badan ini merupakan suatu institusi otonom yang terpisah dari sistem pemerintahan yang berlaku. Pada awalnya badan ini lebih dimaksudkan untuk
pengelolaan pembangunan industri di wilayah tersebut. Tetapi pada perkembangan berikutnya, badan ini juga memperoleh hak pengelolaan dan
pengaturan wilayah, termasuk aspek administratif layaknya pemerintahan daerah Hal ini agak berbeda dengan aturan yang berlaku pada saat itu. Dalam UU No. 5
tahun 1974 pemerintahan daerah Indonesia didasari atas sistem pemerintahan dua lapisan two-tier system. Dalam sistem ini terdapat berbagai fungsi pemerintahan
otonom yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tetapi disamping itu ada kantor wilayah dari berbagai institusi pemerintah pusat
yang berada di daerah dan bekerja dengan pemerintah daerah jalur dekonsentrasi. Menurut peraturan tersebut, perencanaan dan pelaksanaan proyek-
proyek pembangunan daerah merupakan tanggung jawab dari pemerintahan daerah itu sendiri dengan bantuan pemerintah pusat beserta dengan kelengkapan
di daerah. Dalam kasus Batam, terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan
wilayah ini mengambil bentuk “top-down”, dimana pemerintah pusat menciptakan suatu wilayah yang dikelola secara penuh dalam proses
pengembangannya. Sebelum tahun 1983, hampir seluruh proses pemerintahan dan pelayanan publik, disamping aktifitas pembangunan sarana ekonomi, berada di
tangan Otorita Batam.
48
B.J. Habibie pada waktu itu juga menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, dan mempunyai cita-cita untuk membangun Batam sebagai daerah tujuan investasi kedua di daerah
Selat Malaka, setelah Singapura, 1990
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Subhilhar 1996
Gambar 1. Struktur Pemerintahan dan Administrasi di Batam Sebelum Otonomi Daerah
Secara praktis tidak terdapat unsur pemerintahan daerah dalam pengelolaan wilayah Batam. Walaupun terdapat kantor representasi pemerintahan
Provinsi Riau di Pulau Batam, kantor ini tidak memberikan pelayanan publik. Kedudukan administratif.
Batam, yang pada saat dimulainya pembangunan hanyalah bagian dari satu kecamatan, memungkinkan proses pembangunan wilayah Batam dikelola secara
penuh oleh pihak Otorita, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayah tersebut. Lebih jauh lagi, peran dari berbagai institusi pemerintah pusat
yang biasanya didekonsentrasikan, banyak yang dialihkan kepada pihak Otorita Batam. Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam pengurusan
investasi, misalnya, diambil alih oleh badan ini untuk mempermudah prosedur pengurusan investasi di wilayah tersebut. Juga terdapat pengaturan khusus
mengenai pengelolaan keimigrasian dan pembangunan pariwisata yang juga dikelola oleh pihak Otorita, serta pengelolaan lahan.
Dengan pendekatan tersebut, wilayah Batam berkembang pesat terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini menjadikan Batam sebagai satu wilayah yang
mempunyai pertumbuhan penduduk sangat tinggi, dibarengi dengan segala permasalahan publik untuk suatu kota yang berkembang pesat. Akibatnya
Universitas Sumatera Utara
dirasakan perlu adanya suatu institusi pemerintahan dalam mengelola pemasalahan publik di wilayah tersebut. Untuk itu dibentuklah pemerintahan Kota
Administratif Batam sebagai pemerintah daerah di wilayah tersebut pada tahun 1983.
Pemerintahan daerah pada prinsipnya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah tersebut. Sehingga pemerintah daerah seharusnya
memiliki kewenangan dalam menjalankan aktifitas pemerintahan secara umum dan tugas-tugas yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
provinsi. Selain itu pemerintah daerah mempunyai tugas untuk mengelola arah pembangunan ekonomi dan sosial daerah, termasuk perkembangan industri di
daerah tersebut, selain bertanggung jawab atas penyediaan berbagai sarana pembangunan dan sarana publik.
Tetapi untuk wilayah Batam, pemerintah daerah lebih berfungsi sebagai institusi penunjang tugas Otorita dalam pengelolaan wilayah Batam. Peran
pemerintah daerah terbatas pada urusan administratif kependudukan, pengelolaan limbah rumah tangga dan area publik seperti pasar tradisional dan perparkiran.
Berbagai pernyataan dari pejabat pemerintah RI menegaskan posisi dari pemerintah daerah di wilayah Batam serta kekhususan kondisinya dalam struktur
kepemerintahan RI
49
Sekali lagi tugas pemerintah daerah yang diatur dalam Keppres tersebut sangat terbatas pada beberapa bidang pemerintahan dan layanan masyarakat.
Salah satu argumen yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah tidak tersedianya kapasitas yang cukup dari pemerintah daerah untuk menjalankan berbagai
Untuk memperjelas kedudukan pemerintah daerah dan Otorita Batam, pada tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 7. Peraturan ini
dimaksudkan untuk meminimalisir potensi dualisme dalam kepemimpinan dan pengelolaan wilayah Batam. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa
pemerintah Kota Administratif Batam adalah elemen dekonsentrasi pemerintah pusat, bukan institusi otonomi lokal, yang merupakan elemen desentralisasi,
seperti pemerintahan daerah lainnya.
49
Undang-Undang No. 74 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
kewenangan lebih yang saat ini dipegang oleh Otorita Batam. Ini berkaitan dengan rendahnya kapasitas keuangan pemerintah daerah yang tergantung dari
alokasi APBN, dan kapasitas sumber daya manusia untuk melakukan pengelolaan sarana yang telah dibangun oleh pihak Otorita. Sementara itu, dalam pembahasan
mengenai rencana jangka panjang wilayah Batam seringpula mengemuka pemikiran mengenai pengalihan kewenangan pengelolaan dan penyediaan
prasarana secara berangsur-angsur, sehingga pada akhir rencana pembangunan jangka panjang 2006, pemerintahan daerah dapat menjalankan roda
pemerintahan tanpa adanya gangguan atas aktifitas industri dan ekonomi di Batam.
Masalah kewenangan antara pemerintah daerah dan Otorita Batam seringkali mengemuka dalam berbagai kesempatan. Pemerintah Kota Batam,
misalnya, pernah mempertanyakan pengelolaan kawasan-kawasan yang bukan merupakan wilayah dibawah pengelolaan pihak Otorita Batam. Ini menyebabkan
adanya ketidakpastian dalam penyediaan prasarana dan pelayanan publik di wilayah tersebut. Pemerintah provinsi Riau juga mempermasalahkan kebijakan
perluasan wilayah dibawah kewenangan Otorita Batam yang mencakup juga kepulauan di sekitar pulau Batam, termasuk pulau Rempang dan Galang, pada
tahun 1993. Perluasan wilayah tersebut dimaksudkan untuk mendukung perkembangan investasi dan industrialisasi di pulauBatam, yang dianggap sudah
hampir mencapai titik optimal. Meskipun beberapa peran dari pemerintah pusat telah didelegasikan
kepada BP. Batam sebagai pemegang kendali wilayah, berbagai peranan pemerintahan lain masih berada di tangan kantor wilayah departemen yang berada
di Batam. Hal ini juga sering menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan yang sering mengemuka dalam masalah penyediaan pelayanan dan infrastruktur.
Berbagai kantor wilayah departemen dan instansi pemerintah pusat lain yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur, sering tidak dapat mengikuti
rencana pembangunan yang dijalankan oleh Otorita Batam. Di banyak daerah di Batam, yang izin pembangunannya telah diberikan oleh pihak Otorita,
infrastruktur seperti listrik dan jalan tidak tersedia dengan baik karena berada di bawah wewenang instansi pemerintah pusat yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Sistem pemerintahan tiga lapisan inilah yang terus dijalankan di wilayah kota Batam, dengan BP. Batam sebagai institusi pemerintahan yang dominan,
dibantu oleh pemerintahan daerah dan instansi pemerintah pusat lainnya. Walaupun sistem ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, ini terus dapat
berjalan hingga pemberlakuan Undang-undang mengenai pemerintahan daerah.
2. Periode Setelah Otonomi Daerah
Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengenai
pemerintahan daerah, UU No. 5 tahun 1974, tidak lagi berlaku. Pemberlakuan Undang-undang baru ini membawa implikasi yang cukup besar kepada sistem
hubungan antara berbagai level pemerintahan di Indonesia. Dalam sistem yang baru ini, pemerintahan di Indonesia menjadi jauh lebih terdesentralisasi, yang
ditandai dengan pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah, terutama pemerintah tingkat II kabupaten dan kota,
memiliki wewenang untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta pertahanan dan
keamanan. Kota Batam, yang mempunyai wilayah sama dengan kota administratif
Batam, ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 53 tahun 1999 mengenai pembentukan kota Batam, dan mempunyai kewenangan yang sama dengan
berbagai kota dan kabupaten lainnya. Kewenangan tersebut juga meliputi berbagai kewenangan yang sebelumnya lebih banyak dipegang oleh pihak Otorita Batam,
seperti pembangunan ekonomi dan investasi. Peran pemerintah kota Batam tidak lagi terbatas sebagai pelengkap dari kewenangan yang dimiliki oleh Otorita.
Disinilah mulai timbul permasalahan dalam penentuan siapa yang memiliki kewenangan dalam pemerintahan di Batam.
Di satu sisi, Otorita Batam, sebagai wakil pemerintah pusat di di Kota Batam, tidaklah direpresentasikan di dalam UU No.32 Tahun 2004, sehingga
menurut peraturan tersebutkewenangannya juga dialihkan kepada pemerintah daerah kota Batam. Tetapi di sisi lain, UU No. 53 juga menyebutkan bahwa
pemerintah kota Batam menjalankan tugasnya dengan mengikutsertakan Otorita
Universitas Sumatera Utara
Batam. Kerancuan antara kewenangan kedua badan pemerintahan tersebut menjadi semakin berlarut karena peraturan pemerintah yang seyogyanya
menggantikan Keppres No.7 tahun 1983, yang mengatur pembagian tugas antara pemerintah kota dan Otorita, tidak kunjung diterbitkan Akibatnya ada kesan yang
kuat terjadinya dualisme kewenangan dan kepemimpinan di daerah ini. Dualisme kewenangan di Kota Batam membawa berbagai dampak yang
tidak menguntungkan. Pada periode awal otonomi daerah, pemerintah kota Batam mengeluhkan tata pemerintahan yang ditetapkan, karena dianggap tidak
memberikan kesempatan pada pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan yang ada, sementara pihak Otorita Batam juga dianggap tidak mempunyai dasar
hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi pelayanannya. Lemahnya peran pemerintah kota dalam menjalankan kewenangannya
sebagian disebabkan karena berbagai infrastruktur dan kelengkapan pemerintahan tidak berada di bawah kendali pemerintah kota. Setelah selama hampir 30 tahun
mengelola Batam, Otorita merupakan pihak yang memiliki dan bertanggung jawab atas penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur dan kelengkapan yang ada.
Dalam aturan perundangan yang ada belum dijelaskan bagaimana status kepemilikan dan tanggung jawab berbagai properti dan hak yang sebelumnya
dipegang oleh pihak Otorita Batam, apakah sebagian akan dialihkan kepada pemerintah kota dan bagaimana mekanismenya.
Selain itu pemerintah kota juga masih belum mempunyai kemampuan yang cukup, baik secara finansial maupun kapasitas personal, untuk memberikan
pelayanan publik yang setara dengan yang selama ini diberikan oleh pihak Otorita. Selama hampir 20 tahun sejak berdirinya pemerintahan kota ini, praktis
pemerintah daerah tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam memberikan pelayanan dan menjalankan kewenangan yang diberikan.
Dualisme tersebut telah membuat kondisi pembangunan di Batam menjadi tidak kondusif untuk pembangunan ekonomi dan pengembangan industri. Salah
satu permasalahan yang mengemuka adalah masalah kewenangan dalam pemberian perizinan. Pada masa awal desentralisasi, pemerintah kota menganggap
bahwa berbagai perijinan, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan industri, dapat diberikan oleh pihak mereka.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, Otorita Batam juga menganggap bahwa pengelolaan Batam berada di tangan pihak Otorita. Walaupun pada akhirnya berbagai perijinan dan
rekomendasi yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak diakui dan dapat diterima, adanya dua pihak yang memberikan pelayanan yang sama menimbulkan
kebingungan di kalangan masyarakat. Bagi kalangan usaha ini meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan berbagai prosedur yang diperlukan, dan
kerancuan mengenai instansi mana yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan diakui secara hukum.
Masalah lain juga timbul berkaitan dengan kewenangan dalam pembentukan tata ruang wilayah. Sementara kewenangan perencanaan tata ruang,
sebagaimana diatur dalam perundangan, berada di tangan pemerintah kota, tata ruang yang digunakan selama ini masih mengikuti rencana yang dibuat oleh pihak
Otorita. Hal ini terutama terlihat dalam perencanaan pembangunan di kawasan Pulau Rempang dan Galang. Dalam hal perencanaan pembangunan kedua instansi
tersebut juga tidak terlihat adanya koordinasi yang cukup untuk menghasilkan sinergi yang menunjang satu sama lain.
Dalam perkembangan berikutnya telah diusahakan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam berbagai aspek pelayanan pemerintahan dan
pembangunan. Pada tahun 2003, misalnya, kedua badan yang bertanggung jawab atas permasalahan Batam ini sepakat untuk membagi kewenangan dalam
pemberian pelayanan kepemerintahan untuk mengurangi kerancuan yang timbul di masyarakat. Otorita Batam sepakat untuk menyerahkan sebagian
kewenangannya kepada pemerintah kota Batam. Beberapa kewenangan itu antara lain, tentang hak mengeluarkan izin
prinsip bangunan, izin usaha dan perdagangan, alokasi mobil dan minuman keras, dan izin mendirikan bangunan IMB, sementara pihak Otorita masih mempunyai
kewenangan mengenai alokasi lahan dan pengembangan infrastruktur perekonomian dan industri.Pembagian kewenangan tersebut makin
disempurnakan setelah pada Desember 2005, kedua pihak membuat sebuah
Universitas Sumatera Utara
Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab.
50
Koordinasi yang lemah antara pihak Otorita Batam dan instansi pemerintah lain juga terlihat pada berbagai prosedur yang terkait dengan
perdagangan dan investasi. Sementara Otorita berusaha mengedepankan prosedur pelayanan yang mendukung aktifitas perdagangan dengan memberikan berbagai
insentif, prosedur perdagangan internasional, yang dipegang oleh instansi terkait lainnya, dirasakan masih menyulitkan para pelaku ekonomi. Status Batam yang
ditetapkan sebagai Kawasan Berikat juga memberikan kesulitan dalam koordinasi dengan instansi pemerintah terkait, khususnya perpajakan dan bea cukai. Sesuai
dengan Undang-undang Bea Cukai, fasilitas yang diberikan kepada daerah kawasan berikat hanya diperuntukan untuk proses pengolahan, bukan untuk
Walaupun sudah tercapai kesepakatan, dalam implementasi sehari-hari masih sering timbul berbagai kerancuan dan permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Pembagian kewenangan ini juga memberikan beban tambahan bagi berbagai pihak yang memerlukan perijinan dari kedua instansi tersebut. Dalam
masalah perijinan pedirian bangunan misalnya. Masyarakat yang mendapatkan lahan dari Otorita Batam, harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah kota
terlebih dahulu sebelum mendapatkan sertifikat lahan yang dibeli. Selanjutnya untuk pendirian bangunan mereka masih harus kembali mengurus perijinannya
kepada pihak pemerintah kota. Selain itu kesepakatan ini masih merupakan perjanjian antara kedua pihak,
bukan merupakan suatu ketetapan hukum mengenai status pengelolaan kota Batam, berikut segala perangkatnya. Pemerintah pusat masih dirasa perlu untuk
menetapkan pembagian kewenangan antara kedua instansi tersebut dan menyederhanakan sistempemerintahan di Batam. Lebih penting lagi adalah
kejelasan mengenai status Otorita Batam. Walaupun selama ini Otorita merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, dalam era otonomi daerah sekarang
ini, dirasakan perlu adanya definisi ulang kedudukan dan kewenangan Otorita selaku pihak pengelola dan penanggung jawab pembangunan di Batam
50
Wawancara dengan Dwi Joko Wiwoho Direktur PTSP dan Humas BP.Batam
Universitas Sumatera Utara
aktifitas konsumsi. Tetapi di Batam, fasilitas penundaan PPN dan bea masuk juga diberikan untuk barang konsumsi akhir yang ada di daerah tersebut.
Untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang aturan hubungan kerja antara Pemkot dan BP. Batam ini diberi waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak
Pemkot dinyatakan sebagai kota otonom. Pemerintah mengeluarkan UU nomor 44 tahun 2007, yang melahirkan PP nomor 46 junto PP nomor 5.
Persoalan tumpang tindih kewenangan dalam proses pelayanan publik merupakan gejala umum yang terjadi atau berlokasi di banyak daerah
kabupatenkota karena luasnya kewenangan yang dimiliki daerah otonom tersebut. Jenis dan bentuk kewenangan yang “diperebutkan” berbeda-beda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, namun secara umum sengketa kewenangan terjadi terutama di daerah yang mempunyai potensi ekonomi sangat tinggi seperti
daerah perkotaan dan daerah otonom yang di dalamnya ada kawasan industri atau kegiatan ekonomi lain yang sangat potensial menghasilkan sumber pendapatan.
51
Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan luas, maka kepala daerah merupakan pemimpin pemerintahan tertinggi di daerahnya dan bukan yang
lain. Soal legitimasi kepemimpinannya juga sangat kuat karena ia dipilih langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Hak-hak dan kewenangan
pemerintah pusat dan daerah provinsi juga sudah jelas tergambar karena disebutkan secara limitatif dalam UU Nomor 32 tahun 2004. Hanya saja ketika
kewenangan tersebut dijabarkan dan diaplikasikan di lapangan sering multiinterpretatif dan terjadi pertarungan yang hebat diantara para pemangku
kepentingan stakeholders. Dalam pertarungan itu masing-masing lebih condong Di sejumlah daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam dan
sumber-sumber potensial lainnya kemungkinan sengketa kewenangan sulit dihindarkan. Tumpang tindih kewenangan terjadi bukan semata karena belum
jelasnya pembagian kewenangan antar daerah otonom. Tumpang tindih kewenangan juga didorong oleh motivasi lain, dengan memanfaatkan celah yang
masih ada dan terbuka untuk dimanipulasi atau direkayasa. Kasus konflik kewenanganyang terjadi di sejumlah daerah otonom adalah contohnya.
51
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengedepankan kepentingan dengan mengacu pada dasar hukum dan landasan berpihak lain, seperti aspek sejarah dan ekonomi untuk memperkuat daya
tawarnya. Inilah awal terjadinya tumpah tindih kewenangan yang seharusnya tidak perlu terjadi jika ada ketegasan rincian wewenang termasuk alasan dan
pertimbangan obyektif ini tentu harus mengacu pada tujuan utama organissi pemerintahan daerah khususnya, yaitu memberikan pelayanan publik terbaik bagi
warga masyarakatnya.
Dualisme wewenang antara BP. Batam dan Pemerintah Kota Batam. Pada prinsipnya, dengan adanya otonomi daerah, pengelolaan Batam merupakan
tanggung jawab bersama antara pemeritah pusat dan pemerintah daerah kota Batam sesuai Undang-Undang yang berlaku.
Bila pengelolaan Batam hanya dilakukan oleh pemerintah pusat akan menimbulkan konflik. Pendekatan yang selama ini diadopsi, rekonsiliasi antara
BP. Batam dan Pemerintah Kota, bukanlah merupakan solusi yang tepat. BP. Batam adalah institusi yang dibuat oleh pemerintah pusat dalam konteks sebelum
adanya otonomi daerah, legitimasi badan tersebut pada saat ini tidak terlalu kuat. Semestinya Pemerintah Pusat mendudukan soal pengelolaan Batam dengan
Pemerintah Daerah dan bersama-sama menentukan arah Batam selanjutnya
Proses Perubahan Otorita Batam OB menjadi BP Kawasan Batam, memang sudah berlalu dan berjalan beberapa tahun . Namun suara sumbang
terkait banyaknya kejanggalan dalam proses, bahkan pasca perubahan “ganti baju” OB menjadi BP Kawasan Batam, terus saja terdengar hingga kini.
Peralihan aset dan kewenangan OB menjadi BP Kawasan yang disebut- sebut sudah sesuai dengan amanat UU No 44 Tahun 2007 tentang BP Kawasan
Batam, tidak menyurutkan banyak kalangan yang menyoroti dan mengindikasi ada pelanggaran hukum terkait keberadaan BP Kawasan sebagai metamorfosa
BP. Batam.
52
Bagi masyarakat yang kontra dengan eksistensi BP Kawasan Batam berpendapat, Batam sudah tidak sesuai dikelola oleh BP Kawasan Batam. Hal ini
52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
didasari pada UU Otonomi Daerah yang memberikan hak kepada daerah untuk mengatur dan mengelola segala potensi daerah.
Namun masyarakat yang pro terhadap BP Kawasan, menilai BP Kawasan yang sebelumnya ada Otorita Batam, tetaplah sebagai institusi yang pertama kali
membuka daerah industri Batam. Yang hingga kini tetap memberikan sumbangsing untuk membganung kota Batam.
Sebagai masyarakat yang hidup di alam demokrasi, berbeda pendapat tentu ha yang biasa. Namun pendapat masyarakat yang mendukung eksistensi BP
Kawasan memang tidak disampaikan secara tegas. Berbeda dengan masyarakat yang menilai ada kejanggalan dan indikasi pelanggaran hukum yang sedang
berlangsung diarea lingkungan BP Kawasan Batam. Ada beberapa kejanggalan BP Kawasan Batam, utamanya dalam hal
kewenangan dan aset yang sebelumnya dikelola Otorita Batam dan beralih dikelola BP Kawasan Batam, yang menurutnya sangat berpotensi merugikan
masyarakat Batam.
53
Salah satu kejanggalan yang banyak disoroti yakni dari faktur tagihan UWTO yang mengharuskan pembayaran disetor ke rekening Otorita Batam.
Sementara seperti diketahui bersama, saat ini Otorita Batam sudah tidak ada, melainkan yang ada hanya BP Kawasan Batam. Insya Fauzi mempertanyakan,
bagaimana bisa ? membayar tagihan kepada instansi yang sudah tidak ada? Menghadapi kejanggalan yang menurut pengusaha ternama ini, sangat
berpotensi menjadi permasalahan dikemudian hari. Insya mengaku sudah dua kali menyurati Ketua BP Kawasan Batam terkait kejanggalanyang dimaksud.
Namun tidak ada tanggapan dari BP Kawasan Batam.
54
Permasalahan pecatatan rekening Otorita Batam yang dipakai BP kawasan Batam akan semakin runyam, jika pembayar UWTO bukan dari
individu, melainkan dari perusahaan atau institusi. Perusahaan pembayar UWTO akan dibingungkan dengan legalitas audit atau bukti pajak. Bahkan sangat
berpotensi mendapat membayar tagihan kepada instansi fiktif. Karena yang tertulis tagihan UWTO disetor ke rekening OB yang sudah tidak ada.
53
Ibid.
54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tanggal 26 Oktober BP Kawasan Batam selalu menggelar hari bakti yang merupakan hari terbentuknya Otorita Batam yang kini berganti nama
menjadi BP Kawasan Batam. Dan seiring dengan usianya, masyarakat Batam kini semakin banyak yang mempertanyakan legalitas hukum dari proses alih
kewenangan Otorita Batam menjadi BP Kawasan Batam, yang dipandang tidak tuntas dan menyisakan beragam kejanggalan hukum.
55
Ketua LSM Kodat 86, Tain Komari yang juga penulis buku Batam tergadai 70 tahun berpendapat, secara substansi tidak ada perubahan
bergantinya nama Otorita Batam menjadi BP Kawasan Batam. Aktivis LSM KODAT 86 tersebut menjelaskan Otorita Batam dibentuk berdasarkan Keppres
sementara BP Kawasan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah PP. Asas perangkat hukum terbentuknya BP kawasan Batam lebih tinggi dari asas
perangkat hukum terbentuknya Otorita Batam Sementara menanggapi isu dualisme kepemimpinan Batam Tain menjawab, posisi BP Kawasan lebih kuat
dari Pemko Batam, meski keduanya dibentuk berdasarkan undang-undang UU. Namun menurut Tain, UU yang menaungi Pemko Batam tidak ada turunannya.
Sementara UU BP Kawasan Batam dalam pandangan hukumnya masuk dalam perangkat hukum les spesialis.
56
Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan pandangan salah satu pengusaha Batam tokoh masyarakat ini berpendatap rekening Otorita Batam
yang masih digunakan oleh BP Kawasan Batam, sangat berpotensi menjadi masalah dikemudian hari. Hingga saat ini kehadiran pemko Batam dan BP
Kawasan Batam secara bijak selalu dipandang sebagai kapal dengan dua mesin, Dalam hal rencana tata ruangkota, BP Kawasan Batam Bintan Karimun
yang dipakai BP Kawasan Batam, dinilai lebih kuat karena berdasarkan PP No 87 tahun 2011. Sementara rencana tata ruang yang dipakai pemko Batam hanya
berdasarkan Peraturan daerah perda Menjawab tagihan UWTO yang dijalankan BP Kawasan yang masih menggunakan rekening Otorita Batam. Tain
menjawab seharusnya diganti, mesti menurutnya hal tersebut hanya bersifat administratif.
55
Wawancara dengan Ardy Winata, Ka.Bagian Humas Setdako Batam
56
Ketua LSM Kodat 86, Tain Komari
Universitas Sumatera Utara
yang secara idela akan memacu laju pembangunan di kota Batam. Namun gerakan cinta satu kepemimpinan Batam yang sempat mencuat. Memliki
pandangan tersendiri atas pilihan kepemimpinan pemko Batam ataukah BP Kawasan Batam.
Diantara pendapat pro dan kontra terhadap BP Kawasan dan Pemko Batam, muncul isu lain yang menyebutkan kejanggalan-kejanggalan yang ada
pada BP Kawasan Batam, mengundang pihak-pihak tidak bertanggung jawab, yang melancarkan aksi dengan tujuan kepentingan pribadi. Dan akhirnya
menjadikan BP Kawasan Batam hanya sebagai objek yang dikritisi kemudian kembali terdiam setelah mencapai maksud yang diinginkan. Pada awal
pembentukan Pemkot Batam terjadi kelambanan pemerintah pusat mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang nomor 531999.
Kelambanan tesebut yang memicu hubungan dua insitutis tersebut masih tumpang tindih.
Dalam ayat 3 UU tersebut ditegaskan, hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.Untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Aturan Hubungan Kerja antara Pemko dan OB ini diberi waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak
Pemkot dinyatakan sebagai kota otonom. “UU sudah mengamanatkan, dalam satu tahun, paling lambat akan ada aturan mengenai hubungan antara Pemko Batam
dan Otorita Batam. Persoalan semakin bertambah, karena pusat, malah mengeluarkan UU
Nomor 44 tahun 2007, yang melahirkan PP nomor 46 junto PP nomor 5. Ini diakui menjadi penyebab munculnya makelar di Batam. Pemerintah pusat menjadi
akar permasalahan saat tidak adanya hubungan kerja itu menimbulkan masing- masing institusi merasa berhak mengeluarkan ijin pengelolaan lahan sesuai
kewenangannya. BP Kawasan mengeluarkan izin pengelolaan lahan diwilayah darat,
sementara pemerintah kota juga mengeluarkan ijin pengelolaan lahan sekitar wilayah pantai, hingga 4 mil, yang menjadi kewenangannya. Dengan
diterbitkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah, UU No. 5 tahun 1974, tidak lagi berlaku. Pemberlakuan Undang-undang
Universitas Sumatera Utara
baru ini membawa implikasi yang cukup besar kepada sistem hubungan antara berbagai level pemerintahan di Indonesia. Dalam sistem yang baru ini,
pemerintahan di Indonesia menjadi jauh lebih terdesentralisasi, yang ditandai dengan pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
Pemerintah daerah, terutama pemerintah tingkat II kabupaten dan kota, memiliki wewenang untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar
negeri, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta pertahanan dan keamanan. Konsekuensi dari penetapan UU tersebut adalah hilangnya kewenangan
dari berbagai elemen dekonsentrasi pemerintahan pusat di tingkat daerah. Berbagai kewenangan dekonsentrasi tersebut dilebur menjadi kewenangan yang
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Ini ditandai dengan dihilangkannya berbagai kantor wilayah kementerian teknis, terkecuali untuk berbagai bidang
yang masih ditangani oleh pemerintah pusat, seperti perpajakan, bea cukai dan otoritas moneter. Pemerintahan kabupaten dan kota, menurut UU tersebut,
menjadi pemerintahan otonom dalam mengelola berbagai bidang kepemerintahan termasuk dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Pelaksanaan UU tersebut
tentunya membawa perubahan yang sangat besar terhadap posisi lembaga pemerintahan di kota Batam.
Di satu sisi, Otorita Batam, sebagai wakil pemerintah pusat di di Kota Batam, tidaklah direpresentasikan di dalam UU No.22 Tahun 1999, sehingga
menurut peraturan tersebut kewenangannya juga dialihkan kepada pemerintah daerah kota Batam. Tetapi di sisi lain, UU No. 53 Tahun 1999 juga menyebutkan
bahwa pemerintah kota Batam menjalankan tugasnya dengan mengikutsertakan Otorita Batam. Kerancuan antara kewenangan kedua badan pemerintahan tersebut
menjadi semakin berlarut karena peraturan pemerintah yang seyogyanya menggantikan Keppres No.7 tahun 1983, yang mengatur pembagian tugas antara
pemerintah kota dan Otorita, tidak kunjung diterbitkan. Akibatnya ada kesan yang kuat terjadinya dualisme kewenangan dan kepemimpinan di daerah ini.
Dualisme kewenangan di Kota Batam membawa berbagai dampak yang tidak menguntungkan. Pada periode awal otonomi daerah, pemerintah kota Batam
mengeluhkan tata pemerintahan yang ditetapkan, karena dianggap tidak memberikan kesempatan pada pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan
Universitas Sumatera Utara
yang ada, sementara pihak Otorita Batam juga dianggap tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi pelayanannya.
Lemahnya peran pemerintah kota dalam menjalankan kewenangannya sebagian disebabkan karena berbagai infrastruktur dan kelengkapan pemerintahan
tidak berada di bawah kendali pemerintah kota. Setelah selama hampir 30 tahun mengelola Batam, Otorita merupakan pihak yang memiliki dan bertanggung
jawab atas penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur dan kelengkapan yang ada. Dalam aturan perundangan yang ada belum dijelaskan bagaimana status
kepemilikan dan tanggung jawab berbagai properti dan hak yang sebelumnya dipegang oleh pihak Otorita Batam, apakah sebagian akan dialihkan kepada
pemerintah kota dan bagaimana mekanismenya. Selain itu pemerintah kota juga masih belum mempunyai kemampuan yang cukup, baik secara finansial maupun
kapasitas personal, untuk memberikan pelayanan publik yang setara dengan yang selama ini diberikan oleh pihak Otorita. Selama hampir 20 tahun sejak berdirinya
pemerintahan kota ini, praktis pemerintah daerah tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam memberikan pelayanan dan menjalankan kewenangan yang
diberikan. Dualisme tersebut telah membuat kondisi pembangunan di Batam menjadi
tidak kondusif untuk pembangunan ekonomi dan pengembangan industri. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah masalah kewenangan dalam
pemberian perizinan. Pada masa awal desentralisasi, pemerintah kota menganggap bahwa berbagai perijinan, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan
industri, dapat diberikan oleh pihak mereka. Sementara itu, BP. Batam juga menganggap bahwa pengelolaan Batam berada di tangan pihak Otorita. Walaupun
pada akhirnya berbagai perijinan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak diakui dan dapat diterima, adanya dua pihak yang memberikan
pelayanan yang sama menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Bagi kalangan usaha ini meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan berbagai
prosedur yang diperlukan, dan kerancuan mengenai instansi mana yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan diakui secara hukum.
Masalah lain juga timbul berkaitan dengan kewenangan dalam pembentukan tata ruang wilayah. Sementara kewenangan perencanaan tata ruang,
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diatur dalam perundangan, berada di tangan pemerintah kota, tata ruang yang digunakan selama ini masih mengikuti rencana yang dibuat oleh pihak
Otorita. Hal ini terutama terlihat dalam perencanaan pembangunan di kawasan Pulau Rempang dan Galang. Dalam hal perencanaan pembangunan kedua instansi
tersebut juga tidak terlihat adanya koordinasi yang cukup untuk menghasilkan sinergi yang menunjang satu sama lain.
Dalam perkembangan berikutnya telah diusahakan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam berbagai aspek pelayanan pemerintahan dan
pembangunan. Pada tahun 2003, misalnya, kedua badan yang bertanggung jawab atas permasalahan Batam ini sepakat untuk membagi kewenangan dalam
pemberian pelayanan kepemerintahan untuk mengurangi kerancuan yang timbul di masyarakat. BP. Batam sepakat untuk menyerahkan sebagian kewenangannya
kepada pemerintah kota Batam. Beberapa kewenangan itu antara lain, tentang hak mengeluarkan izin prinsip bangunan, izin usaha dan perdagangan, alokasi mobil
dan minuman keras, dan izin mendirikan bangunan IMB, sementara pihak Otorita masih mempunyai kewenangan mengenai alokasi lahan dan
pengembangan infrastruktur perekonomian dan industri. Pembagian kewenangan tersebut makin disempurnakan setelah pada Desember 2005, kedua pihak
membuat sebuah Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab. Walaupun sudah tercapai kesepakatan, dalam implementasi
sehari-hari masih sering timbul berbagai kerancuan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pembagian kewenangan ini juga memberikan beban
tambahan bagi berbagai pihak yang memerlukan perijinan dari kedua instansi tersebut.
57
Dalam masalah perijinan pedirian bangunan misalnya. Masyarakat yang mendapatkan lahan dari BP. Batam, harus mendapatkan rekomendasi dari
pemerintah kota terlebih dahulu sebelum mendapatkan sertifikat lahan yang dibeli. Selanjutnya untuk pendirian bangunan mereka masih harus kembali
mengurus perijinannya kepada pihak pemerintah kota. Selain itu kesepakatan ini masih merupakan perjanjian antara kedua pihak, bukan merupakan suatu
57
Wawancara dengan Ardy Winata, Ka.Bagian Humas Setdako Batam
Universitas Sumatera Utara
ketetapan hukum mengenai status pengelolaan kota Batam, berikut segala perangkatnya. Pemerintah pusat masih dirasa perlu untuk menetapkan pembagian
kewenangan antara kedua instansi tersebut dan menyederhanakan system pemerintahan di Batam. Lebih penting lagi adalah kejelasan mengenai status BP.
Batam. Walaupun selama ini Otorita merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, dalam era otonomi daerah sekarang ini, dirasakan perlu adanya
definisi ulang kedudukan dan kewenangan Otorita selaku pihak pengelola dan penanggung jawab pembangunan di Batam.
3.2.Kewenangan BP. Batam didelegasikan Kepada Pemerintah Kota Batam
Pada awalnya Batam dikembangkan oleh pihak BP. Batam dan telah berkembang menjadi pusat industri, perdagangan dan alih kapal transshipment
dan pariwisata di kawasan Asia Tenggara. Seluruh proses perizinan investasi telah dilakukan dibawah satu atap yaitu Batam Industrial Development Authority
BIDA atau Badan Otorita Pengembangan Industri Batam. Tetapi dengan diberlakukannya Otonomi Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Batam dikelola oleh Pemerintah Kotamadya yang
menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 tahun 1999, yaitu dengan penetapan Kota Batam serta pembentukan Kabupaten dan
kecamatan dan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau kemudian sebagai pemekeran dari Provinsi Riau sebelumnya mengingat pada saat wewenang ada
pada pihak BP. Batam, maka dalam rangka mendudukan tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diperlukan
pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota dan BP. Batam untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kekuasaan dan kewenangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Batam. Wilayah kota Batam berasal dari Wilayah Kotamadya Batam yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dan sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu sebagian Kecamatan Galang dan
sebagian Kecamatan Bintan Utara. Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 menyatakan bahwa keikutsertaan BP. Batam adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
kesinambungan berbagai pembangunan di kawasan Batam, yaitu sebagai kawasan industri, alih kapal, perdagangan dan pariwisata yang selama ini dilakukan oleh
BP. Batam. Selanjutnya ayat 3 menyebutkan bahwa pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan BP. Batam dimaksudkan untuk menghindari
tumpang tindih tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antara BP. Batam dan Pemko Batam.
Pemberian otonomi daerah yang lebih luas sejak tahun 2001, memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk menetapkan rencana tata ruang di
wilayah Batam. Wewenang tersebut saat ini berada pada tangan pemerintah kota Batam. Dalam rangka pembangunan wilayah, maka pihak pemerintah kota Batam
telah mempersiapkan rencana tata ruang daerah kerja mereka. Dilain pihak, BP, sebagai pengelola wilayah ini pada periode sebelumnya, juga memiliki rencana
tata ruang dan rencana pengembangan wilayah yang masih digunakan terutama untuk pembangunan industri.
Kondisi dualisme dalam perencanaan tata ruang wilayah ini menyebabkanpengembangan wilayah tersebut sering tidak dapat dilaksanakan
dengan baik. Sering terjadi wilayah yang masuk dalam rencana pengembangan dari satu pihak, tidak merupakan bagian dari rencana pengembangan pihak yang
lain. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam pengalokasian dan peruntukan lahan, serta menghambat pembangunan fasilitas publik yang dibutuhkan.
Selain permasalahan tata ruang, dualisme kewenangan antara pihak pemerintah kota dan BP. Batam juga menimbulkan kerancuan dalam pemberian
izin dan penerbitan sertifikat penggunaan lahan. Hak pengelolaan lahan yang dimiliki oleh BP. Batam memberikan kewenangan bagi BP. Batam untuk
mengalihkan lahan yang selama ini masukdalam pengelolaan mereka. Pada periode sebelum otonomi daerah diperluas pada tahun 2001, pengalihan hak
penggunaan lahan dari BP. Batam dapat berjalan dengan baik, karena pengalihan tersebut menjadi dasar untuk pengurusan sertifikat penggunaan dan penyewaan
tanah oleh pihak ketiga. Setelah kotamadya Batam mendapat kewenangan yang lebih luas,
penebitan sertifikat penggunaan lahan tidak hanya memerlukan pengesahan dari pihak BP. Batam. Pihak ketiga juga harus mendapat pengesahan dan rekomendasi
Universitas Sumatera Utara
dari pihak pemerintah kota untuk mengurus penerbitan sertifikat serta perizinan dalam penggunaan dan pemanfaatan lahan tersebut. Akibatnya, proses pengurusan
pengalihan menjadi semakin panjang dan berpotensi untuk menimbulkan beban biaya tambahan kepada dunia usaha.
Hubungan antara Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Batam BP.Batam dengan Pemko Batam. Sejak 10 tahun
belakangan atau sejak resmi terbentuknya Pemko Batam hingga sekarang hubungan antara kedua instansi plat merah ini tak pernah akur. Masing-masing
saling serang, merasa paling berhak, paling berwenang dan paling berkuasa di Kota Batam, khususnya di Pulau Batam.
58
Sampai saat ini rivalitas antara BP-Batam dan Pemko Batam masih saja terjadi. Kedua instansi plat merah ini tak pernah singkron. Beberapa orang kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD Pemko Batam juga merupakan mantan pejabat di BP-Kawasan.
Pemko Batam merasa paling berhak mengatur segala sesuatunya di Pulau Batam, berdasar kepada Undang-Undang Otonomi Daerah. Sedangkan BP-Batam
juga merasa paling berwenang di Pulau Batam, karena Keppres yang mengamanahkan BP. Batam membangun dan mengembangkan Pulau Batam
sampai saat ini belum dicabut. Orang-orang BP-Batam juga merasa paling berjasa membangun Pulau Batam, karena pulau ini dibuka BP. Batam dari keterisoliran
tahun 1971, ketika jumlah penduduk yang menghuni pulau ini baru sekitar enam ribu orang saja.
59
Seperti dalam kasus kenaikan tarif air PT Adhya Tirta Batam ATB. BP Kawasan menetapkan kenaikan tarif air PT ATB sebesar 6,5 persen.
Begitu pula sebaliknya, para petinggi BP-Batam juga adalah yang mantan jajaran petinggi di Pemko Batam, seperti Deputi Operasi Manan Sasmita yang
mantan Sekda Kota Batam dan pejabat Walikota Batam serta Asyari Abbas Deputi Pelayanan BP-Batam yang merupakan mantan Asisten I Pemko Batam.
Meski begitu, hubungan antara Pemko Batam dan BP-Batam tak pernah mencair. Yang ada hanya perang dingin dan peragaan egosentris masing-masing.
58
Ibid
59
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Alasan Pemko Batam menolak, karena agenda kenaikan tarif air ATB tersebut tidak pernah dibicarakan secara resmi oleh BP-Batam dengan Pemko Batam.
Padahal di dalam UU tegas dinyatakan bahwa pengelolaan air merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Pemko Batam. Sementara dalam
konsesi antara BP-Batam dengan ATB tidak ada berbunyi bahwa kenaikan tarif air harus sepengetahuan atau seizin Pemko Batam.
Karena masyarakat menolak keras kenaikan tarif air ATB, akhirnya BP- Batam pun meninjau ulang besaran angka kenaikan tarif air tersebut. Kepala BP
Batam Mustofa Widjaja merevisi angka kenaikan tarif dari 6,5 persen menjadi 5 persen. Sedangkan kenaikan tarif biaya perawatan meteran batal naik. Begitu pula
dengan kenaikan tarif pencetakan bukti pembayaran rekening air juga tidak jadi dinaikkan.
Meski angka kenaikan tarif air ATB telah direvisi oleh kepala BP-Batam, karena Pemko Batam belum pernah diajak bicara secara khusus membahas
rencana kenaikan tarif air.
60
Jadi sebenarnya Pemerintah Pusat sudah menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Batam terjadi dualism kekuasaan, yaitu antara
Pemko yang menyelenggarakan pemerintahan dengan seluruh jajaran aparat dan BP. Batam yang berhak mengundang para investor ke Batam dan melakukan
fungsi sebagai pengaturan permasalahan lahan investasi atau Hak Penggunaan Lahan HPL. Dualisme pelaksanaan pemerintahan inilah yang belum diselesaikan
antara BP. Batam dan Pemko Batam oleh pemerintah pusat sampai sekarang. Seringnya terjadi tarik ulur mengenai pemprosesan perizinan dan penjualan lahan
kepada para investor merupakan hal yang sangat membingungkan para investor asing.
61
Wilayah kota Batam berasal dari Wilayah Kotamadya Batam yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dan sebagian
wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu sebagian Kecamatan Galang dan sebagian Kecamatan Bintan Utara. Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 53
Tahun 1999 menyatakan bahwa keikutsertaan BP. Batam adalah untuk
60
Ibid
61
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kesinambungan berbagai pembangunan di kawasan Batam, yaitu sebagai kawasan industri, alih kapal, perdagangan dan pariwisata yang selama ini dilakukan oleh
BP. Batam. Selanjutnya ayat 3 menyebutkan bahwa pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan BP. Batam dimaksudkan untuk menghindari
tumpang tindih tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antara BP. Batam dan Pemko Batam.
Jadi sebenarnya Pemerintah Pusat sudah menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Batam terjadi dualism kekuasaan, yaitu antara
Pemko yang menyelenggarakan pemerintahan dengan seluruh jajaran aparat dan BP. Batam yang berhak mengundang para investor ke Batam dan melakukan
fungsi sebagai pengaturan permasalahan lahan investasi atau Hak Penggunaan Lahan HPL. Dualisme pelaksanaan pemerintahan inilah yang belum diselesaikan
antara BP. Batam dan Pemko Batam oleh pemerintah pusat sampai sekarang. Seringnya terjadi tarik ulur mengenai pemprosesan perizinan dan penjualan lahan
kepada para investor merupakan hal yang sangat membingungkan para investor asing.
Perbedaan Otorita Batam dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam? apakah otorita batam masih ada sekarang? atau sudah digantikan keseluruhan
tugas dan wewenangnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan. Secara fungsi, tidak ada perbedaan antara Otorita Batam OB dengan Badan Pengusahaan Kawasan
Batam BP Batam. Kedua lembaga itu bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pembangunan pulau ini. Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas
berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya
Keppres No.651970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam.
Kemudian, pada 26 Oktober 1971 keluar Keppres No.74 tahun 1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir,
sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan
prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri. Selanjutnya berdasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
kajian Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang dan Pacific Bethel Inc. dari Amerika merekomendasikan Batam sebagai pusat industri petroleum dan petrokimia
dengan pertimbangan pada awal dasawarsa 70-an, minyak dan gas adalah komoditi unggulan ekonomi Indonesia. Kajian dua lembaga asing itu diperkuat
dengan Keppres No.41 tahun 1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam BP.
Batam. Tugas yang diemban BP. Batam antara lain mengembangkan dan
mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan
fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus
investasi asing di Batam. Sejalan dengan keluarnya PP No.20 tahun 1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33 tahun 1974 tentang
penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.
Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu
penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai
penguasa pulau ini sejak 1977. Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan
keluarnya Keppres No.41 tahun 1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang
dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew. Semangat teori Balon itu adalah menjadikan Batam sebagai basis
pertumbuhan ekonomi baru dengan memanfaatkan tumpahan industri dari Singapura. Diibaratkan Singapura sebagai sebuah balon besar yang terus
menggelembung maka di siapkan daerah-daerah di sekitarnya sebagai balon-balon kecil yang mendapatkan suntikan angin dari balon induk.
Keppres 41 tahun 1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No561981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima
Universitas Sumatera Utara
pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias.
Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi
utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata.
Sekian banyak Keppres itu, Keppres No.411973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit
pada 2005 untuk memperpanjang keberadaan lembaga OB di Batam. Apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun
2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan
menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.
62
Pemberlakuan PP itu hanya akan memberatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan, sementara peruntukkannya
tidak jelas, dimana tidak sesuai dengan asas kesederhanaan yang diamanatkan dalam pendaftaran tanah, meskipun demikian PP tersebut tetap harus dipatuhi dan
dilaksanakan karena sudah merupakan keputusan pemerintah sebagai peraturan yang harus ditaati.
Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46 tahun 2007 tentang FTZ Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini
adalah Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam. Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Pemko Batam sangat jarang
untuk melakukan komunikasi, hal ini disebabkan karena kesibukan di luar jabatan lebih penting dibandingkan wewenang dan tanggung jawab sesuai tugas dan
fungsinya dalam pemerintahan Kota Batam.
63
62
Ibid
63
Ibid
Diberlakukannya peraturan ini tidak menimbulkan dampak positif pada masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi lemah. Ini
menyebabkan kurangnya partisispasi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, meskipun sadar akan pentingnya sertifikat guna memberikan jaminan kepastian
Universitas Sumatera Utara
dan perlindungan hokum sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun 1997.
Menurut PP No. 13 Tahun 2010 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tidak mendaftarkan tanahnya dikarenakan biaya yang cukup mahal,
tariff yang ditetapkan dalam PP No. 13 Tahun 2010 tersebut sebenarnya seimbang dengan nilai ekonomi Negara pada saat ini, mana mungkin sama nilai ekonomi
pada saat ini dengan nilai ekonomi pada belasan tahun yang lalu, dan tidak ada yang namanya pendaftaran tanah itu menyulitkan masyarakat karena berbelit-belit
dan lama. Pendaftaran tanah itu membutuhkan proses, dari permohonan, pengukuran, pemetaan, sampai diterbitkannya sertifikat, dengan adanya
pemberlakuan tarif secara resmi yang secara nasional tersebut dapat membuat standarisasi dan aturan baku yang jelas dalam pelayanan dibidang pertanahan.
Peningkatan tersebut diharapkan juga berakibat langsung dengan peningkatan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan
64
Apakah OB masih ada? Apakah tugasnya sudah diambil alih oleh BP Batam? Berdasarkan PP No. 462007 tentang FTZ Batam, batas waktu
pembentukan BP Batam adalah 31 Desember 2008 atau kurang lebih setahun yang lalu walaupun pembentukan kepala dan deputi BP Batam lebih cepat dari batas
waktu yang ada. Mestinya, dengan terbentuknya BP Batam itu maka seluruh aset dan pegawai OB menjadi milik BP Batam, tapi kenyataannya yang menjadi
karyawan BP Batam baru 5 orang yaitu Kepala BP Batam plus empat deputi. Sedangkan pegawainya masih berstatus pegawai OB.
Dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam,
walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut. Jadi, secara hukum kelembagaan,
maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya juga berbeda. OB dibentuk oleh
Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.
65
64
Ibid
65
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan
panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya Keppres No.65 tahun 1970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an
diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam. Kemudian, pada 26 Oktober 1971 keluar Keppres No.741971 yang
menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang
bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan
ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri. Keppres No.41 tahun 1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai
daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam BP. Batam.
Tugas yang diemban BP. Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan
alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin
kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.
66
66
Ibid
Sejalan dengan keluarnya PP No.20 tahun 1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33 tahun 1974 tentang penetapan
kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.
Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41 tahun 1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai
bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan
Yew.
Universitas Sumatera Utara
Keppres 41 tahun 1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56 tahun 1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan
lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias. Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah
master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal,
dan pariwisata. Undang-undang juga mempengaruhi tumpang tindih antara BP. Batam
dengan Pemko Batam, seharus apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat? Ya undang-undang juga ikut mempengaruhi tumpang tindih antara BP. Batam
dengan Pemko Batam, Pemerintah Pusat untuk segera memperjelas pembagian wewenang antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam, sebab
praktiknya selama ini dinilai tidak jelas. Kondisi itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi yang dikuatirkan berdampak buruk pada iklim investas,
sehingga saat ini masih tumbuh persepsi ditengah masyarakat dan pengusaha Batam bahwa ada dualisme kepemimpinan, satu dipegang oleh Walikota Batam
atau Pemerintah Kota Batam dan satu lagi Ketua Badan Pengusahaan Batam yang dulu bernama Otorita Batam. Kedua lembaga itu, dalam mengimplementasikan
kebijakannya sering tidak sejalan sehingga menimbulkan kebingunan bagi masyarakat dan pengusaha.
67
67
Ibid
Keppres No.41 tahun 1973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit pada 2005 untuk
memperpanjang keberadaan lembaga BP. di Batam apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No.
44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga
bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas. Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46 tahun 2007 tentang FTZ Batam,
maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam,
walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut.
Jadi, secara hukum kelembagaan, maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar
pembentukannya juga berbeda. BP. Batam dibentuk oleh Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.
Selain soal tumpang tindih kewenangan, sebab lain terjadinya tumpang tindih RTRW antara pemprov dan pemkabpemkot adalah tidak adanya
koordinasi perencanaan. Lemahnya koordinasi ini terkaiat dengan kuatnya ego- sektoral sehingga pemprov memiliki perencanaan tersendiri, demikian juga
kabupatenkota. Akibat kondisi tumpang tindih RTRW antara pemprov dan kabupatenkota hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok yang
mengail di air keruh. Sementara masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan disamping pemprov maupun pemerintah kabupatenkota yang bersangkutan.
Fenomena tumpang tindih kewenangan itu begitu nyata dimana-mana ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 masih berlaku, dan meskipun sekarang telah diperbarui
oleh UU Nomor 32 tahun 2004 namun perbaikan yang dapat dilakukan tidak banyak.
Fenomena tumpang tindih kewenangan masih saja mencuat dan memakan waktu lama untuk mengatasinya, lagi-lagi karena masing-masing daerah otonom
sama-sama merasa berwenang dan tidak ada ketegasan siapa yang paling berwenang atas yang lain dan harus diikuti. Akibatnya pelaksanaan rencana tindak
setiap daerah tidak menghasilkan pola dan struktur tata ruang kawasanyang optimal, sehingga keberadaannya tidak mampu mengantisipasi kebutuhan
masyarakat yang berkembang secara dimanis. Untuk kondisi tersebut, peran Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di
daerah diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi pengendalian dalam rangka pemanfaatan tata ruang yang telah disepakati. Namun lagi-lagi dalam
implementasinya tidak mudah untuk memadukan dengan kepentingan pemerintah kabupatenkota.
Universitas Sumatera Utara
Dengan mempelajari beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme pemerintahan di Kota Batam, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini
Departemen Dalam Negeri perlu segera membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu
menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang
menjadi wewenang masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik.
Sebagai lembaga yang berpengalaman selama ± 35 tahun dalam mengelola kota, Otorita Batam seharusnya mempertimbangkan fakta atas kewenangan
otonomi yang dimiliki oleh Pemko Batam, sehingga dengan kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran yang benar-benar spesifik yang belum mampu
ditangani oleh Pemko Batam. Dan untuk mewujudkan kepastian hukum di Kota Batam, BP Batam untuk
sadar diri dan sadar posisi, dan kami memberikan 2 opsi kepada BP Batam, yaitu : 1. Melompat dengan indah, atau
2. Dilompatkan dengan indah Adanya otonomi daerah pada tahun 1999 menimbulkan masalah baru yaitu
dualism kewenangan pengelolaan Batam dan pelayanan publik. Pada masa sebelum otonomi dareah, wewenang pengembangan Batam dipegang oleh Otorita
Batam dimana hampir seluruh proses pemerintahan dan pelayanan publik disamping pembangunan sarana ekonomi berada di tangan Otorita Batam. Dengan
adanya otonomi daerah, ada insitusi otonomi baru yang memiliki kewenangan untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri,
peradilan, moneter dan fiskal, agama dan pertahanan keamanan, yaitu pemerintah kota Batam. Otorita Batam, sebagai wakil pemerintah pusat di di Kota Batam,
tidak direpresentasikan di dalam UU No.22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, sehingga menurut peraturan tersebut kewenangannya juga dialihkan kepada
pemerintah daerah kota Batam. Tetapi di sisi lain, UU No. 53 tahun 1999 tentang pembentukan kota
Batam menyebutkan bahwa pemerintah kota Batam menjalankan tugasnya dengan
Universitas Sumatera Utara
mengikutsertakan Otorita Batam. Dualisme kewenangan di Kota Batam membawa berbagai dampak buruk terhadap iklim usaha di Batam.
Adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa kewenangan yang berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam pengembangan kota,
maka kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota Batam menimbulkan konflik vertical dan horizontal, seperti :
1. Konflik dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang
dikarenakan Izin Prinsip atau Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan IMB
diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi ini, maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam pengendalian
pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena Pemko hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja
2. Konflik dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk
menyusun Rencana Penataan Ruang di wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah RTRW namun sekali lagi Pemko tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam karena
hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik
kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang
notabene sangat terbatas. 3.
Konflik dalam Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang tegas serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di
dalam penetapan jenis sarana dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk menjamin kepentingan
masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut 4.
Konflik dalam Pengendalian lingkungan hidup dapat terjadi karena aturan yang memuat kewajiban investor untuk melaksanakan analisi dampak
Universitas Sumatera Utara
lingkungan akibat pembangunan yang direncanakannya melekat pada perizinan prinsipfatwa planologi yang diterbitkan oleh pihak Otorita.
Dengan demikian Pemko tidak memiliki otoritas untuk mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali kegiatan pemotongan
bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan.
5. Konflik dalam Pelayanan pertanahan. Salah satu masalah yang muncul
akibat konflik ini adalah adanya dua jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu berupa pembayaran Pajak Bumu dan Banguna
PBB dan Uang Wajib Tahunan Otorita UWTO. 6.
Konflik dalam Pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang
menyangkut investasi, baik untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada di pihak Otorita, yang merupakan
perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di
Kota Batam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi
hak dari Pemko.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP