BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini telah dilakukan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Medan Marelan dan Kecamatan Medan Polonia dengan jumlah responden 284 orang
orangtua. Hasil penelitian diperoleh jenis kelamin responden laki-laki adalah sebanyak 40,5 dan responden perempuan sebanyak 59,5, hal tersebut
membuktikan bahwa di Indonesia ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus anak-anaknya dibandingkan dengan ayah yang pergi bekerja. Usia
responden yang sebagian besar mengisi kuisioner adalah usia 35 sampai 44 tahun sebanyak 58,4, hal tersebut dikarenakan pada kriteria inklusi penelitian ini adalah
orangtua yang memiliki anak dengan gigi permanen berusia 7-9 tahun dan kemungkinan untuk orangtua yang berusia diatas 45 tahun memiliki anak usia 7-9
tahun memang jarang didapat. Diperlukan kesadaran dan perhatian orangtua tentang penanganan darurat avulsi karena kejadian trauma pada anak usia 7-9 tahun sering
terjadi . Kerjasama dan pengetahuan orangtua terhadap trauma avulsi dianggap penting menentukan tercapainya keberhasilan perawatan dikarenakan orangtua
sebagai penolong pertama ketika anak menghadapi trauma avulsi.
6,13
Berdasarkan hasil penelitian tingkat pendidikan responden cukup bervariasi. Tingkat pendidikan responden diperoleh kelompok yang paling banyak adalah yang
berpendidikan sedang SMA 53,1 sedangkan hasil yang paling kecil didapatkan dari yang berpendidikan rendah SD dan SMP 12 serta sisanya yang berpendidikan
tinggi tamat diploma, tamat sarjana perguruan tinggi 34,9. Perbedaan tingkat pendidikan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir,
sudut pandang, dan tindakan-tindakan responden, maka dengan latar belakang pendidikan masyarakat yang berbeda akan mempengaruhi pengetahuan dan sikap
tentang penanganan darurat kasus trauma avulsi gigi permanen ini.
16
53
Sosioekonomi responden pada penelitian ini diukur berdasarkan faktor pekerjaan dan penghasilan. Status kerja responden yang bekerja adalah 70,8
sedangkan yang tidak bekerja 29,2. Penghasilan responden lebih banyak yang berpenghasilan rendah yaitu 70,8 sedangkan responden dengan penghasilan yang
tidak rendah 29,2. Berdasarkan hasil penelitian, kategori sosioekonomi ditemukan bervariasi dengan hasil paling banyak ditemukan adalah kategori sedang 52,8
sedangkan didapatkan persentase yang sama antara kategori baik yaitu 23,6, dan kategori kurang 23,6. Status ekonomi seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan,
pada sosioekonomi menengah keatas umumnya lebih mendukung akses dan fasilitas yang diperlukan untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dan informasi tertentu
kemudian ditambahkan lagi bahwa di daerah penelitian ini ternyata banyak masyarakat yang berkategori sosioekonomi sedang.
16
Penelitian ini menunjukkan responden yang tidak pernah memperoleh informasi tentang trauma gigi lebih banyak dibandingkan dengan yang pernah
mendapatkan informasi sebelumnya. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Abdellatif, dkk yang menunjukkan bahwa hanya 18,9 dari orangtua
dengan pendidikan sedang serta 17,6 orangtua dengan pendidikan tinggi yang pernah memperoleh pengalaman informasi tentang trauma gigi. Penelitian ini juga
menunjukkan gambaran tentang sumber informasi mengenai trauma gigi yang diperoleh orangtua. Penelitian ini mengartikan kurangnya penyebaran informasi
melalui dokter gigi, media cetak, internet, dan yang lainnya. Orangtua dengan keadaan sosioekonomi yang rendah lebih sulit mendapatkan akses informasi langsung
dari dokter gigi dan sebaiknya informasi tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan sebaran brosur ataupun berupa poster khususnya tentang penanganan
darurat kasus trauma gigi avulsi.
41
Penting bagi orangtua maupun orang yang berada didekat anak untuk mengetahui faktor yang dapat menentukan keberhasilan perawatan replantasi gigi
anak yaitu lamanya gigi berada di luar soket alveolar, tempat penyimpanan dan media transportasi gigi avulsi yang adekuat, serta cara membersihkan gigi avulsi tanpa
merusak bagian akar gigi dan jaringan ligamen periodontal.
15
Pengetahuan orangtua
pada penelitian ini dinilai dari tindakan yang pertama sekali dilakukan oleh orangtua pada saat kejadian trauma terjadi dan yang menjawab benar dengan cara
menenangkan anak terlebih dahulu lalu menghentikan perdarahan dengan menggigit kain sambil membawa anak ke pelayanan medis adalah sebesar 39,4. Hasil
penelitian ini lebih rendah sedikit dibandingkan dengan hasil penelitian Santos et.al di Brazil pada tahun 2009 dengan hasil sebesar 49. Orangtua sebagian besar yang
menjawab salah sebesar 59,5, dikarenakan orangtua cenderung fokus terhadap keluhan sakit anak karena yang dilihat pertama sekali adalah wajah anak dipenuhi
darah, setelah dibersihkan luka pada wajah anak maka segera memberikan anak obat anti sakit tanpa dibawa lagi ke pelayanan medis.
15
Penelitian ini menemukan bahwa orangtua yang lebih memilih untuk menyelamatkan gigi permanen pada ilustrasi lebih banyak 61,3 dibandingkan yang
memilih gigi susu 29,5, dan sebanyak 9,2 tidak tahu jenis gigi yang terlepas. Hasil penelitian Abdellatif, dkk berbeda dan ditemukan sejumlah besar dari
responden lebih memilih untuk menyelamatkan gigi susu. Alasan untuk tidak melakukan replantasi gigi avulsi anak dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan,
khawatir mencederai anak atau lebih mengutamakan menghentikan perdarahan anak yang bagi sebagian besar orang dipandang sebagai ancaman hidup. Hal ini juga
dikarenakan orangtua tidak mendapatkan pengetahuan yang adekuat mengenai masa erupsi gigi permanen padahal hal ini penting untuk diketahui sebelum melakukan
penanganan darurat gigi avulsi. Pentingnya pengetahuan orangtua untuk mengetahui jenis gigi anak yang terlepas dikarenakan apabila gigi permanen anak sudah hilang
maka tidak ada lagi pengganti gigi permanen tersebut, maka diharapkan agar orangtua dapat menyelamatkan gigi permanen pada anak yang terlepas sedangkan
gigi susu merupakan tidak dianjurkan untuk dilakukan replantasi diakibatkan dapat merusak benih gigi permanen yang akan erupsi.
29,41
Penelitian ini menemukan hanya sebanyak 5,3 responden orangtua yang mengetahui bahwa setelah gigi anak terlepas maka yang akan dilakukan orangtua
adalah gigi tersebut harus dicari kemudian gigi segera dibersihkan dengan memegang bagian mahkota gigi dan diletakkan ke dalam rongga mulut diantara gusi dan pipi
anak. Hanya sebanyak 34,2 orangtua yang membersihkan gigi terlepas dan kotor dibawah air mengalir selama 10 detik, selainnya sebanyak 50,7 yang membersihkan
gigi dengan menyikat gigi sampai bersih, membersihkan dengan tangan atau tissue, dan membersihkan gigi dengan sabun atau alcohol, sisanya 15,1 orangtua tidak
tahu apa yang harus dilakukan pada gigi tersebut. Penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Santos et.al yaitu 52 dari
orangtua mengetahui memegang gigi yang terlepas pada bagian mahkota dan 59 membersihkan gigi tersebut dibawah air mengalir. Penelitian ini menunjukkan bahwa
orangtua tidak tahu tentang prosedur membersihkan gigi yang benar dan pentingnya menjaga kesehatan jaringan ligamen periodontal gigi avulsi.
15
Penelitian ini menunjukkan bahwa 62,6 orangtua mengetahui waktu kurang dari 60 menit adalah waktu yang paling tepat untuk anak menerima perawatan medis
setelah terjadi trauma gigi avulsi, yang menjawab salah sebanyak 28,9 dan yang menjawab tidak tahu 8,9. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Ozer
et.al yang membuktikan bahwa 68,2 dari responden mengetahui bahwa waktu untuk mencari perawatan medis gigi avulsi adalah kurang dari 30 menit. Ini
membuktikan bahwa orangtua waspada dan segera mungkin membawa anak untuk mendapatkan perawatan. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa hanya sedikit
orangtua yang mengetahui lamanya waktu gigi dapat tetap sehat untuk dapat direplantasi kembali ke soket adalah 30 menit yaitu sebesar 23,2 orangtua,
sedangkan 42,6 salah dan 34,2 tidak tahu. Penelitian menyatakan bahwa semakin lama waktu gigi avulsi untuk dilakukan replantasi gigi dan perawatan avulsi,
kemungkinan risiko terjadinya resorpsi dan inflamasi akar gigi semakin besar.
3
Penelitian ini menemukan bahwa hanya sedikit orangtua yaitu 11,3 yang memilih memasukkan gigi avulsi kedalam susu sebagai cara membawa gigi avulsi ke
dokter gigi dikala orangtua tidak langsung melakukan replantasi sendiri gigi anak, sedangkan 69,4 lagi memilih dengan cara membalut gigi dengan tissue,
memasukkan kedalam kantong berisi es, membungkus gigi kedalam plastik kering, dan 19,3 tidak tahu. Pada penelitian lain menjelaskan bahwa orang awam
cenderung memilih gigi dimasukkan ke dalam kantong berisi es dikarenakan
temperatur es yang rendah mencirikan sesuatu yang dapat mempertahankan kesegaran gigi, orang awam seharusnya diberikan edukasi bahwa air bersifat
hipotonis dan mempercepat kerusakan dari sel-sel ligamen periodontal akar gigi serta memberikan efek yang buruk apabila gigi tersebut direplantasi. Sedangkan,
membungkus gigi avulsi kedalam tissue ataupun membungkus gigi avulsi kedalam plastik kering menyebabkan sel-sel ligamen periodontal mengalami dehidrasi
sehingga mengalami kerusakan. Media tersebut merupakan wadah yang kering yang dipilih oleh orangtua karena lebih gampang didapat, namun orangtua tidak tahu akan
efek langsung merusak ligamen periodontal gigi.
14
Hasil yang tidak jauh berbeda dilihat dari pilihan orangtua tentang media penyimpanan yang paling tepat digunakan,
maka yang menjawab susu hanya sebesar 14,2, sebesar 70,8 menjawab air bersih, alkohol serta air garam, dan 15,1 tidak tahu jenis media penyimpanan apa yang
akan digunakan. Beberapa penelitian sebelumnya juga telah membuktikan bahwa masih kurangnya pengetahuan orangtua tentang pemilihan media penyimpanan yang
baik untuk gigi avulsi. Hasil penelitian Santos et.al menemukan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penelitian ini yaitu sebesar 3 dari orangtua yang
mengetahui susu baik sebagai media penyimpanan gigi avulsi, sedangkan 54 orangtua memilih menyimpan pada wadah kering.
15
Hasil penelitian ini menemukan bahwa 93,7 orangtua mengetahui bahwa klinik dokter gigi merupakan tempat untuk mendapatkan perawatan lanjutan trauma
avulsi gigi anak, sebanyak 4,9 pergi mencari perawatan lanjutan ke dokter umum, bidan atau rumah sakit, dan 1,4 tidak tahu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Loo et.al yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden orangtua mencari perawatan ke klinik dokter gigi dan sisanya mencari perawatan di klinik dokter umum
atau rumah sakit umum.
14
Kategori pengetahuan yang paling banyak ditemukan yaitu pada kategori kurang 227 orang 80, kategori yang paling sedikit yaitu kategori baik 18 orang
6,3, dan kategori cukup adalah 39 orang 13,7. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Gupta et al yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu
tentang prosedur penanganan avulsi gigi permanen anak masih sangat rendah.
Sedikitnya orangtua dengan pengetahuan baik menunjukkan kurangnya pengetahuan kemungkinan disebabkan oleh kurangnya informasi orangtua tentang penanganan
kasus trauma avulsi gigi permanen.
42
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Gupta et al yang menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang
prosedur penanganan avulsi gigi permanen anak masih sangat rendah. Sikap merupakan respon atau kesediaan suatu responden untuk bertindak
terhadap suatu stimulus atau obyek. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lebih dari setengah yaitu 97,1 memberikan tanggapan positif dengan sebanyak 56,6
yang sangat setuju pada pernyataan setiap orangtua harus mengetahui tentang penanganan darurat cedera gigi dan mulut. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Ozer et.al yang menemukan 59,5 menyatakan sangat penting untuk mengetahui informasi mengenai penanganan darurat cedera gigi dan mulut.
3
Penting bagi orangtua untuk mencari dan menyelamatkan gigi yang terlepas agar dapat dilakukan
perawatan untuk mencegah anak mengalami kehilangan gigi anak secara dini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 58,1 orangtua yang memberikan
tanggapan positif pada pernyataan perlunya mencari gigi anak yang hilang dengan 38 menyatakan setuju. Sebaliknya hasil penelitian Loo et.al menunjukkan bahwa
62,5 orangtua tidak mencari gigi yang terlepas tersebut.
14
Selanjutnya hasil penelitian juga menemukan lebih dari setengah 56,4 responden yang memberikan
tanggapan positif dengan menyatakan setuju pada penyataan perlunya dilakukan pengembalian gigi segera setelah gigi anak terlepas sebanyak 38,4. Namun, sikap
responden tentang membersihkan gigi anak yang kotor dengan cara disikat sampai bersih menunjukkan lebih dari setengah responden 65,8 menunjukkan hasil negatif
yaitu 41,9 menyatakan setuju. Orangtua umumnya berpikir bahwa membersihkan gigi dalam keadaaan normal dengan gigi yang terlepas adalah sama. Akan tetapi,
perlakuan tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan ligamen periodontal pada akar gigi. Dengan demikian, sebaiknya gigi yang terlepas dibersihkan dengan air
mengalir dengan memegang pada bagian mahkota gigi sehingga resiko kerusakan ligamen periodontal dapat dihindari.
20
Sikap responden pada pernyataan membawa anak dan gigi yang terlepas ke dokter gigi segera setelah cedera gigi dan mulut terjadi menunjukkan hasil positif
81,4 yaitu sebanyak 47,2 orangtua menyatakan setuju. Sebaliknya, sikap
responden ditemukan hasil negatif karena pada pernyataan cara membawa gigi anak yang terlepas ke dokter gigi dengan dibalut menggunakan tissue terdapat 48,6 yang
setuju dan 13 sangat setuju terhadap pernyataan tersebut. Kemungkinan orang tua menganggap tissue lebih mudah didapatkan dan tidak tahu bahwa media yang kering
menyebabkan kekeringan pada membran periodontal sehingga kegagalan perawatan dapat terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 27,1 responden yang
memberikan tanggapan positif pada pernyataan menyimpan gigi yang terlepas ke dalam kantong berisi susu. Hasil penelitian Gupta et.al ditemukan lebih rendah yaitu
4,4 yang setuju bahwa susu sebagai media penyimpanan.
42
Keuntungan dari susu adalah murah dan mudah didapat sehingga gigi dapat segera ditempatkan di media
susu. Ini menunjukkan kurangnya pengetahuan orangtua tentang media penyimpanan yang sesuai dengan kondisi lingkungan alveolar.
32
Responden memberikan tanggapan positif sebesar 89 untuk yang bersedia menerima penyuluhan lebih lanjut tentang
penanganan darurat cedera gigi dan mulut. Namun hasil tersebut lebih rendah sedikit dibandingkan hasil responden yang tadinya memberikan tanggapan positif dalam
mengetahui informasi tentang penanganan darurat cedera gigi dan mulut. Kemungkinan orangtua tidak memiliki banyak waktu untuk menghadiri penyuluhan.
Kategori sikap orangtua pada penelitian ini yang paling banyak ditemukan adalah kategori baik sebanyak 214 orang 75,4, kategori sangat baik sebanyak 24
orang 8,4 dilanjutkan kategori tidak baik 46 orang 16,2. Penelitian ini menunjukkan hasil sikap responden lebih dari setengah memberikan respon positif.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Loo et.al yang membuktikan responden orangtua memberikan respon sikap yang baik tentang penanganan darurat
kasus trauma avulsi.
14
Dengan demikian, penelitian ini menemukan tingkat pengetahuan orangtua yang rendah tentang penanganan darurat trauma avulsi namun
orangtua masih memberikan respon sikap yang positif untuk meningkatkan pengetahuan tentang penanganan darurat trauma avulsi lebih lanjut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui ada hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan responden tentang penanganan darurat avulsi gigi
permanen anak. Hasil penelitian yang serupa ditemukan oleh Ozer et.al.
3
Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang
maka akan semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi, semakin banyak informasi yang didapat maka sebanyak itu pula pengetahuan yang didapat.
Ditinjau dari sosioekonomi, hasil penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara sosioekonomi orangtua dengan pengetahuan tentang
penanganan darurat avulsi gigi permanen anak. Hasil penelitian ini juga bertentangan dengan teori dimana orangtua dengan sosioekonomi menengah keatas memiliki
fasilitas atau akses yang cenderung memudahkan untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal. Kemungkinan ini terjadi karena sumber informasi tentang
penanganan darurat gigi avulsi masih belum memadai baik melalui media cetak, internet, maupun informasi langsung dari dokter gigi.
16
Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara pendidikan dengan sikap orangtua tentang penanganan darurat avulsi gigi permanen anak. Hal ini sejalan
dengan teori dimana dengan memiliki pendidikan yang baik seseorang memiliki respon positif terhadap suatu informasi baru terutama informasi yang berkaitan
dengan keselamatan dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sosioekonomi dengan sikap orangtua tentang
penanganan darurat kasus trauma avulsi gigi permanen anak.
16
Penelitian Santos et.al dan Ozer et.al menyatakan bahwa masih terdapat rendahnya pengetahuan dan sikap
tentang penanganan darurat avulsi gigi anak dan penelitian tersebut menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pendidikan orangtua,
penghasilan orangtua dan usia.
3,15
Disamping itu penelitian ini menemukan adanya hubungan antara pengetahuan dengan sikap orangtua tentang penanganan darurat
avulsi gigi permanen anak. Pengetahuan orangtua tentang penanganan darurat avulsi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan perawatan avulsi. Sikap dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah pengetahuan. Adanya pengetahuan yang benar
dapat menimbulkan respon yang positif dari seseorang untuk melakukan tindakan yang benar dalam melaksanakan prosedur menyelamatkan gigi avulsi anak.
Metode pengumpulan data penelitian secara angket dilakukan dengan menyebarkan kuisioner melalui anak memampukan peneliti untuk mengumpulkan
data dalam jumlah besar dalam satu satuan waktu kepada orangtua. Kelemahan sistem angket yaitu saat peneliti membagikan informed consent dan kuisioner melalui
anak sekolah, anak sering lupa memberikan langsung kepada orangtua untuk diisi dan tidak semua kuisioner diisi dengan tepat sehingga peneliti kembali harus menambah
jumlah kuisioner, karena dalam hal ini kuisioner tersebut menjadi data eksklusi. Hal tersebut juga menyebabkan jadwal pengumpulan data dapat lebih lama dari yang
ditentukan. Selain itu, pertimbangan dari pihak sekolah yang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan orangtua pada saat bersamaan menyebabkan penyampaian
informasi tentang penanganan darurat avulsi gigi sangat minimal. Penelitian ini masih merupakan penelitian pendahuluan sehingga apabila mau melihat keadaan data
penelitian, masih tidak diperoleh distribusi sampel yang merata.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN