Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Kewarganegaraan

Di sisi lain, Bonds dan Horiuti 2013 melakukan penelitian antara hubungan esterogen dengan penyakit atopi. Bonds dan Horiuti 2013 menyatakan paparan esterogen lingkungan xenoestrogens termasuk bisphenol A dan phthalates dapat merangsang sensitisasi alergi pada percobaan model hewan dan merangsang perkembangan kelainan atopi pada manusia. Selain dapat merangsang produksi sitokin Th2 dan eosinofil, estrogen juga berperan penting dalam proses diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi Immunoglobulin E IgE. Hal ini diawali dengan terjadinya interaksi antara IL-4 terhadap reseptornya dan penempelan CD40 pada sel B. setelah sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan IgE, IL-4 dan IgE akan meningkatkan ekspresi dari rantai α dari FcεRI dalam sel mast nasal. Selain itu, faktor makanan juga berpengaruh terhadap kejadian rinitis alergi. Pengeluaran IgE spesifik oleh sel-sel splenosit akibat rangsangan isoflavon yang terkandung dalam kacang kedelai dapat dibuktikan pada percobaan dengan menggunakan hewan coba.

5.2.4. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Kewarganegaraan

Walaupun penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor suku dan ras dari mahasiswa Indonesia maupun Malaysia,dapat disimpulkan jumlah prevalensi mahasiswa Indonesia adalah sebesar 41.3. sedangkan pada Malaysia adalah 42. Dari data tersebut dapat dilihat perbedaan yang tidak jauh antara prevalensi Rinitis Alergi pada mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Malaysia. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong 2013 pada anak berumur 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC fase 1 dan 3.Wong melaporkan bahwa prevalensi rinitis alergi di Indonesia adalah sebesar 4,8 dan di Malaysia adalah sebesar 16,2. Perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan kuesioner penelitian. Tamay 2013 menyatakan bahwa sulit menjelaskan perbedaan antara prevalensi dari suatu daerah dengan yang lainnya dikarenakan setiap daerah memiliki keadaan sosial, ekonomi, gambaran geografis yang berbeda, dan pola makan dan hidup yang berbeda. Penyakit alergi seperti asma, rhinitis dan sensitisasi lebih umum pada kelompok tingkat sosioekonomi rendah daripada kelompok dengan tingkat sosioekonomi tinggi. Selain keadaan sosioekonomi adanya faktor paparan alergen di lingkungan juga sangat berperan untuk menimbulkan suatu penyakit alergi. Pola makan tiap daerah yang bervariasi berperan penting dalam resiko penyakit alergi. Pada penelitian ini perbedaan prevalensi yang tidak begitu jauh antara mahasiswa Indonesia dan Malaysia bisa diakibatkan karena cuaca ataupun iklim daerah Indonesia dan Malaysia tidak berbeda jauh. Namun yang membedakan adalah tingkat sosioekonomi mahasiswa Malaysia dan keadaan gaya hidup perkuliahan di Indonesia menyebabkan prevalensi Rinitis Alergi pada mahasiswa Malaysia sedikit lebih tinggi. Pada survey singkat yang dilakukan peneliti, mahasiswa Malaysia yang aktif kuliah di Indonesia memiliki sosioekonomi yang lebih rendah daripada mahasiswa Indonesia sendiri. Pola makan yang tidak teratur pada mahasiswa Malaysia di Indonesia dan kurangnya kebersihan pada tempat tinggal dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia local berpengaruh terhadap kesehatan Mahasiswa Malaysia sendiri yang dapat memicu perkembangan Rinitis Alergi. 5.2.3. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Riwayat Keluarga yang Memiliki Penyakit Atopi Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Riwayat keluarga sangat berpengaruh terhadap prevalensi Rinitis Alergi. Hubungan herediter terhadap penyakit atopi seperti Rinitis Alergi belum sepenuhnya diketahui. Namun hal ini dijelaskan oleh Davila 2009 dalam penelitian genomnya yang memperlihatkan hubungan antara beberapa kromosom yang terkait antara lain kromosom 2, 3, 4 dan 9. Penelitian juga menunjukkan bahwa polimorfisme nukleotida tunggal terlibat dalam gen yang mengkode molekul yang terkait dalam patogenesis Rinitis Alergi. Molekul tersebut meliputi kemokin dan receptornya, interleukin dan reseptornya, eosinofil peroksidase dan leukotriens, dan yang lainnya. Selain itu Davila 2009, Wang 2005 juga menyatakan bawha patogenesis dari penyakit alergi sangat kompleks dan mungkin disebabkan oleh kontribusi dari faktor genetik dan lingkungan, terutama pada fase sensitisasi alergi. Wang 2005 menjelaskan adanya hubungan antara fenotipe dari penyakit alergi rinitis danatau Asma dengan marker lebih dari 14 pasang kromosom terdiri dari kromosom 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 19, dan yang lainnya. Beberapa dari gen ini terlibat dalam respon imun spesifik terdiri dari HLA-D, TCR, CD14, toll-like receptors, STAT6 dan diferensiasi sel Th1Th2; yang lainnya bekerja dalam gen pengkode respon IgE dan fungsi dari reseptor IgE IL-4, IL-4R, FcεRIβ,FcеpsilonRI dan gen terkait dalam proses inflamasi TNF-γ, IFN- γ, IL-3.

5.2.4. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Komorbid Penyakit Atopi Lain