SLB B Karnnamanohara Yogyakarta adalah suatu lembaga pendidikan yang melayani anak
– anak tunarungu dengan menggunakan Metode
Maternal Reflektif
MMR sebagai
metode pengajarannya. Sekolah ini mendidik anak tunarungu sejak usia dini
mulai usia 1,8 tahun. Pendidikan pada usia 1,8 tahun diharapkan agar mereka dapat segera diperkenalkan dan diajarkan dengan aturan
– aturan bahasa sehingga kemampuan berbahasa mereka dapat berkembang dan
mampu berkomunikasi dengan lain. SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan satu
– satunya sekolah khusus bagi anak tunarungu di Yogyakarta yang masih
mempertahankan penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR sebagai metode pengajaran pada murid
– murid di kelas. Menurut hasil wawancara awal, hal tersebut dilakukan agar murid
– murid tunarungu dapat beradaptasi dan berkomunikasi seperti anak
– anak yang mendengar. Pada kenyataannya, telah banyak metode
– metode pengajaran lain yang makin berkembang, misalnya dengan metode komunikasi total atau dengan
menggunakan metode bahasa isyarat. Hampir seluruh sekolah – sekolah
khusus untuk anak tunarungu di Yogyakarta menggunakan metode komunikasi total sebagai metode pengajarannya. Namun, penggunaan
Metode Maternal Reflektif MMR di SLB B Karnnamanohara Yogyakarta dapat berperan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa
dengan mengenalkan aturan – aturan bahasa, khususnya dalam
penggunaan bahasa oral ketika pelajaran Bahasa.
Pelajaran Bahasa sangat penting diajarkan karena pelajaran tersebut dapat membuat murid
– muridnya memperoleh, menguasai, dan menggunakan bahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan orang
– orang di sekitarnya, terutama pada murid kelas VI. Hal tersebut karena murid
kelas VI merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar. Murid – murid
kelas VI seharusnya telah memperoleh bahasa sehingga dapat melakukan komunikasi menggunakan bahasa oral, baik pada guru, teman
– teman, maupun orang
– orang di sekitarnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Setiana 2011 dan Astutik
2010, penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR telah memberikan dampak positif terhadap kemampuan berbicara dan berkomunikasi pada
murid tunarungu. Murid tunarungu yang menjadi subjek penelitian mereka dapat berbicara dan berkomunikasi seperti anak yang mendengar. Selain
itu, pengajaran dengan menggunakan Metode Maternal Reflektif MMR telah dapat meningkatkan membuat konsentrasi dan prestasi murid
– murid. Meskipun demikian, penelitian
– penelitian tersebut belum menjelaskan mengenai pencapaian setiap tahapan perkembangan bahasa
dan komunikasi pada murid tunarungu dengan guru maupun teman - temannya. Di samping itu, setiap murid akan berbeda tahap pencapaian
dalam perkembangan berbahasanya sehingga tidak semua murid memiliki kemampuan yang sama dalam berkomunikasi secara oral. Berdasarkan
fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk mendeskripsikan dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR terhadap perkembangan
bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana dampak
penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR terhadap perkembangan
bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi,
khususnya Psikologi Pendidikan pada Anak Luar Biasa, khususnya
pada anak tunarungu dan Psikologi Perkembangan mengenai dampak yang terjadi pada perkembangan kemampuan berbahasa dan
komunikasi melalui penggunaan Metode Maternal Reflektif MMR pada murid tunarungu sebagai metode pengajarannya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan mengenai gambaran secara langsung mengenai
pelaksanaan Metode Maternal Reflektif MMR di kelas pada murid tunarungu serta dijadikan referensi untuk mengembangkan Metode
Maternal Reflektif MMR sebagai metode pengajaran sehingga dapat lebih meningkatkan kemampuan berbahasa dan komunikasi pada
murid tunarungu.
9
BAB II LANDASAN TEORI
A. ANAK TUNARUNGU
1. Pengertian Anak Tunarungu
Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera
pendengaran. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai pengertian anak tunarungu.
Dwidjosumarto dalam Somantri, 1996 : 74 mengemukakan bahwa “Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara
dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu, tuli deaf dan kurang dengar hard of hearing
.” Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf
berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sementara itu, kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar hearing aid. Selain itu, Somad dan Hernawati 1996 : 27 menyatakan
bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengarannya sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari
– hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar suara yang disebabkan adanya
kerusakan pada
indera pendengaran
sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi atau masih dapat berfungsi
mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar hearing aid.
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Menurut Mangunsong 2009 : 83, klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut :
a. Hilangnya pendengaran yang ringan 20 – 30 dB
Anak dengan gangguan pendengaran ini mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan
ambang batas
borderline antara
anak yang
sulit mendengar dengan anak normal.
b. Hilangnya pendengaran yang marginal 30 – 40 dB
Anak dengan gangguan pendengaran ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti suatu pembicaraan pada jarak beberapa
meter. Pada kelompok ini, anak – anak masih dapat menggunakan
telinganya untuk mendengar, tetapi harus dilatih. c.
Hilangnya pendengaran yang sedang 40 – 60 dB Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, anak
– anak ini masih dapat belajar berbicara dengan mengandalkan alat
– alat pendengarannya.
d. Hilangnya pendengaran yang berat 60 – 75 dB
Anak – anak ini tidak dapat belajar berbicara tanpa menggunakan
teknik – teknik khusus. Pada gangguan ini, mereka sudah dianggap
sebagai tuli secara edukatif. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan tuli.
e. Hilangnya pendengaran yang parah 75 dB
Anak – anak dalam kelompok ini tidak dapat belajar bahasa hanya
semata – mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung
dengan alat bantu dengar.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Somad dan Hernawati 1996, karakteristik anak tunarungu sebagai berikut:
a. Karakteristik dalam segi intelegensi
Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata
– rata, tetapi anak tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah karena mereka kesulitan dalam mengikuti pelajaran