LATAR BELAKANG Hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self esteem pada remaja

hubungan antara self-esteem dengan presentasi diri seksual online menggunakan skala Rosenberg Self-Esteem RSE Gordon-Messer et al., 2013; Hudson Fetro, 2015; Scholes-Balog et al., 2016; Ybarra Mitchell, 2014 yang dikembangkan oleh Morris Rosenberg pada tahun 1965. Hal ini tidak mengherankan mengingat RSE memang menjadi skala self-esteem yang paling banyak digunakan Campbell Foddis, 2003. Mengacu pada skala yang dipakai, maka konsep self-esteem yang digunakan dalam penelitian sebelumnya merujuk pada perasaan positif atau negatif seseorang terhadap dirinya Rosenberg, 1965. Self-esteem dipahami sebagai perasaan seseorang tentang seberapa berharga worth dirinya. Berdasakan hal ini, self-esteem menurut Rosenberg menekankan pada aspek harga diri. Mruk 2006 mengungkapkan bahwa memahami self-esteem sebagai harga diri akan membawa kita pada kesimpulan bahwa self-esteem bukanlah atribut psikologis yang signifikan pada suatu perilaku. Jika didapatkan hasil yang signifikan pun, akan sulit mengurai self-esteem untuk mendapatkan hasil yang jelas mengenai hubungan antara self-esteem dengan suatu perilaku. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sifat heterogenitas dalam self-esteem. Self-esteem rendah berkaitan dengan perilaku negatif, sedangkan self-esteem yang tinggi berkaitan dengan konsekuensi perilaku yang negatif maupun positif. Dengan demikian, untuk perilaku-perilaku yang cenderung bersifat negatif, sulit mendapatkan gambaran self-esteem yang konklusif. Dampak ini tampak pula pada penelitian antara self-esteem dengan presentasi diri seksual online yang memberikan hasil bervariasi. Menyadari kelemahan dari definisi yang diungkapkan oleh Rosenberg, banyak peneliti yang kemudian mengembangkan konsep self-esteem. Dengan demikian, muncul berbagai skala yang dianggap mampu mengukur self-esteem dengan lebih baik. Pada penelitian ini, peneliti mempertimbangkan pula temuan-temuan sebelumnya tentang presentasi diri seksual online untuk menentukan konsep self-esteem mana yang akan digunakan. Brown dan Marshall 2013, dalam Racy, 2015 dan Mruk 2006 merekomendasikan pendekatan tipe-tipe self-esteem. Berdasarkan pendekatan ini, self-esteem dianggap sudah mulai terbentuk sejak awal dan selanjutnya akan memengaruhi evaluasi diri dan perasaan harga diri yang dimiliki oleh individu. Salah satu konsep self-esteem yang bertolak dari pendekatan ini dikemukakan oleh Deci dan Ryan 1995. Menurut Deci dan Ryan 1995, self-esteem yang terbentuk merupakan respon atas pengasuhan dari significant others. Jika seorang anak dibesarkan dengan cinta tak bersyarat, maka ia akan cenderung mengembangkan self-esteem yang sehat atau true self-esteem Deci Ryan, 1995. Sebaliknya, jika sejak kecil orangtua dan significant others lainnya menitikberatkan pada pencapaian hasil-hasil tertentu pada anak atau memberikan cinta dengan syarat tertentu, maka anak akan menangkap bahwa kasih sayang, perhatian, dan dukungan akan ia dapatkan jika dirinya berhasil mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan orang lain terhadapnya. Dengan demikian, self-esteem yang dimiliki akan bergantung pada pencapaian-pencapaian yang mampu diraihnya contingent self- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI esteem. Dengan kata lain, seseorang akan merasa berharga apabila dirinya mampu memenuhi syarat atau standar tertentu yang dikenakan padanya. Secara lebih rinci, contingent self-esteem didefinisikan sebagai perasaan keberhargaan diri yang didapatkan, atau bahkan bergantung pada keberhasilan mencapai standar tertentu, atau dengan menjalani kehidupan sesuai dengan harapan orang lain yang ditetapkan bagi dirinya Deci Ryan,1995. Berdasarkan definisi tersebut, penilaian orang lain terhadap individu ikut memengaruhi self-esteem yang ia miliki. Oleh karena itu, seseorang dengan contingent self-esteem akan terus menerus menampakkan perilaku yang kiranya sesuai dengan harapan orang lain dalam rangka melakukan validasi terhadap perasaan keberhargaan dirinya. Dengan demikian, dalam konteks contingent self-esteem, penerimaan sosial menjadi penting untuk meningkatkan atau mempertahankan self-esteem. Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, contingent self- esteem kiranya merupakan konsep self-esteem yang lebih cocok pada perilaku presentasi diri seksual online. Hal ini didukung dengan temuan-temuan berikut. Pertama, presentasi diri seksual online muncul karena adanya eksplorasi seksualitas sebagai salah satu tugas perkembangan pada remaja. Hal ini termanifestasi dalam berbagai aktivitas seksual, termasuk terlibat dalam relasi romantis. Dalam eksplorasinya, remaja mengacu pada standar sexual attractiveness. Hal ini dilakukan karena remaja ingin mendapatkan penerimaan, baik dari teman sebaya, atau dari lawan jenis yang berpotensi menjadi pasangan mereka. Jika penerimaan adalah muaranya, maka contingent self-esteem adalah konsep yang sejalan. Kedua, penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior TPB menemukan bahwa intensitas atau keinginan untuk melakukan suatu perilaku merupakan prediktor yang kuat pada presentasi diri seksual online Kim et al., 2016; Walrave et al., 2015. Dari ketiga komponen anteseden intensitas, norma subjektif ditemukan sebagai prediktor terkuat dari keinginan melakukan presentasi diri seksual online. Ajzen 2011 menjelaskan norma subjektif sebagai tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Norma subjektif berawal dari normative beliefs yang merujuk pada anggapan individu tentang perilaku yang diharapkan padanya untuk dilakukan. Dalam hal ini, normative beliefs bisa muncul dari orangtua, teman, pasangan, atau orang lain yang dianggap penting bagi individu. Kekuatan dari normative beliefs ditentukan oleh seberapa besar motivasi individu untuk mematuhi norma-norma tersebut. Interaksi antara normative beliefs dan motivasi untuk mematuhi motivation to comply inilah yang kemudian memunculkan norma subjektif. Jika dikaitkan dengan contingent self-esteem, keduanya sama-sama terkait dengan pencapaian individu pada standar atau norma yang ditetapkan oleh orang lain pada dirinya. Peneliti berasumsi bahwa individu melakukan presentasi diri seksual online karena adanya tekanan dari orang lain untuk melakukan hal tersebut yang sekaligus sebagai cara untuk meningkatkan atau mempertahankan self-esteem yang dimilikinya karena dengan cara tersebut individu mendapatkan penerimaan sosial. Ketiga, penelitian lain menunjukkan bahwa norma teman sebaya, termasuk tekanan dari pasangan atau teman, juga menjadi prediktor yang kuat dari perilaku presentasi diri seksual online Baumgartner et al., 2015; Englander, 2012; Henderson Morgan, 2011; Jewell Brown, 2013; Welrave et al. 2013. Perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh norma teman sebaya sebab teman sebaya merupakan kelompok referensi terpenting bagi remaja. Dengan demikian, jika teman sebaya melakukan suatu perilaku tertentu, maka remaja akan merasa bahwa dirinya juga perlu untuk melakukan perilaku tersebut. Hal ini juga terkait dengan penerimaan sosial, di mana remaja memiliki kebutuhan untuk diterima di dalam kelompok sebayanya Santrock, 2011. Penerimaan sosial juga menjadi bagian penting dalam konsep contingent self-esteem. Oleh karena itu, contingent self- esteem tampaknya lebih tepat digunakan mengingat sifat remaja yang perilakunya banyak dipengaruhi oleh norma teman sebaya agar mendapatkan penerimaan sosial. Berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan, peneliti berasumsi bahwa contingent self-esteem juga berhubungan dengan presentasi diri seksual. Dengan kata lain, hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antar tingkat presentasi diri seksual online dengan contingent self- esteem. Berlandaskan pada data prevalensi sebelumnya, maka responden yang akan digunakan adalah remaja dengan rentang usia 12 sampai 25 tahun.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem.

C. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang presentasi diri seksual online. Melihat hasil penelitian sebelumnya tentang presentasi diri seksual online dan self-esteem yang masih memberikan hasil yang inkonklusif, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat diketahui apakah tingkat contingent self-esteem dapat berlaku pada perilaku presentasi diri seksual online.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi para orangtua, guru, psikolog, dan pemerhati remaja dalam menanggapi perilaku presentasi diri seksual online yang mulai tumbuh di Indonesia. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini dapat memberikan ide intervensi dengan melibatkan self-esteem bagi individu yang melakukan presentasi diri seksual online. BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. SELF

Self adalah hasil interaksi antara persepsi dan pengalaman yang membentuk keseluruhan properti yang dimiliki individu Novak, Vallacher, Tesser, Borkowski, 2000. Seiring dengan interaksi individu dengan lingkungan yang terjadi sepanjang hidupnya, self juga merupakan proses yang terjadi terus menerus Deci Ryan, 1995. Self memiliki keterkaitan dengan identitas sebagai nilai-nilai mendasar yang dimiliki seseorang yang mengarahkan pilihan-pilihan yang diambil olehnya Leary Tangney, 2012. Individu dapat memilih sendiri identitasnya, misalnya mengadopsi identitas yang dimiliki orangtua atau budaya dan kebiasaan- kebiasaan yang dominan di lingkungannya. Sayangnya, terkadang identitas- identitas ini tidak sejalan dengan true self individu. Sebaliknya, individu yang memiliki identitas-identitas yang sejalan dengan true self-nya mampu menghidupi nilai yang sungguh-sungguh diyakininya sehingga dapat mencapai tujuan yang bermakna bagi dirinya. Studi dalam psikologi membagi self dalam tiga aspek besar yang saling berinteraksi, yaitu: 1 cognitive self, 2 affective self, dan 3 executive self Sedikes Spencer, 2011. Cognitive self atau sering disebut sebagai self-concept terdiri atas segala sesuatu yang diketahui individu tentang dirinya, seperti nama, suku, kesukaan, keyakinan, nilai, dan sifat-sifat kepribadiannya. Affective self berkaitan dengan emosi, yaitu berupa afek dan evaluasi seseorang yang memunculkan reaksi emosi dan memengaruhi pikiran dan perilakunya. Perbedaan individual terkait afek yang muncul atas evaluasi dirinya disebut self-esteem. Executive self adalah aspek self yang berupa kemampuan untuk meregulasi dan mengontrol pikiran dan tindakannya. Executive self seringkali dipahami pula sebagai regulasi diri. Meskipun tampaknya self hanya terdiri atas tiga aspek besar, pada kenyataannya self memiliki mekanisme yang sangat kompleks dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya Myers Twenge, 2010.

B. SELF-ESTEEM 1. Definisi Self-Esteem

Self-esteem merupakan atribut psikologi yang kompleks dan kontroversial Mruk, 2006; Racy, 2015. Selain kompleks, konsep ini juga cukup kontroversial karena belum ada persetujuan antarpeneliti tentang definisinya Mruk, 2013. Munculnya berbagai pandangan terhadap self-esteem tak lain karena perbedaan aspek yang dilihat oleh peneliti dalam mempelajari self-esteem Bosson Swan, 2009. Menurut Rosenberg 1965, self-esteem adalah perasaan positif atau negatif seseorang terhadap dirinya secara keseluruhan. Selanjutnya, Coopersmith dalam Emler, 2001 mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi diri individu. Evaluasi tersebut akan menggambarkan sikap positif atau negatif individu terhadap dirinya sehingga dapat diketahui sejauh mana ia meyakini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bahwa dirinya memiliki kemampuan, sukses, dan berharga. Secara singkat, self- esteem merupakan evaluasi individu mengenai harga dirinya yang tercermin lewat sikap individu tersebut terhadap dirinya. Self-esteem juga dipandang sebagai penilaian individu terhadap dirinya Baumeister, Campbell, Krueger, Vohs, 2003. Berdasarkan pengertian di atas, Rosenberg mendefinisikan self-esteem sebagai aspek afektif, sedangkan Coopersmith dalam Emler, 2001 dan Baumeister dan kawan-kawan 2003 memahami self-esteem sebagai aspek kognitif yaitu berupa evaluasi diri. Mengacu pada pemahaman self-esteem yang digunakan pada penelitian presentasi diri seksual online yang ada, maka penelitian ini menggunakan definisi self-esteem yang diungkapkan oleh Rosenberg. Jadi, self-esteem adalah perasaan positif atau negatif seseorang terhadap dirinya secara keseluruhan. Makin tinggi self-esteem seseorang maka semakin positif perasaannya terhadap dirinya, semakin ia merasa bahwa dirinya berharga, dan sebaliknya.

2. Dampak Self-Esteem

Memiliki self-esteem yang rendah merupakan prediktor dari perilaku seksual beresiko, penggunaan narkoba, pengangguran, prestasi akademik yang buruk, dan tindakan kekerasan Leary, 1999. Self-esteem yang rendah sebagai indikator kesehatan mental yang buruk semakin diperteguh dengan dijadikannya sebagai salah satu kriteria untuk diagnosis klinis Bipolar pada DSM IV dan DSM V Post, 2015, dalam Racy, 2015.