Penelitian-Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

2.1.6. Hubungan antara Efisiensi dan Daya Saing

Salah satu pendekatan daya saing adalah berdasarkan ide umum bahwa daya saing berarti keberhasilan dalam meraih tujuan-tujuan ekonomi di pasar, yang diterjemahkan sebagai peningkatan profitabilitas, dan juga kesejahteraan dalam sudut pandang sosial FAO, 1999 dalam Curtiss, 2001. Keuntungan privat dan sosial yang positif menggambarkan daya saing tingkat produksi dalam pasar domestik maupun internasional. Inefisiensi ekonomi dalam memproduksi suatu komoditas akan terjadi jika terdapat ruang untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengalokasian sumberdaya, atau dengan kata lain ada ruang untuk meningkatkan profitabilias dan kesejahteraan Curtiss, 2001. Jika hanya satu faktor, yaitu perbedaan dalam potensi manajemen, diasumsikan menyebabkan inefisiensi ekonomi, maka ada hubungan sempurna antara efisiensi ekonomi efisiensi teknis dan alokatif dan daya saing. Namun, jika ada kegagalan pasar, maka akan ada deviasi dalam hubungan antara efisiensi teknis dan daya saing. Ini diprediksi karena efisiensi skala usaha dan efisiensi alokatif lebih sensitif untuk memfungsikan pasar daripada efisiensi teknis Mathijs and Vranken 1999 dalam Curtiss 2001. Menurut Curtiss 2001, peningkatan efisiensi teknis dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan efisiensi produksi. Realokasi sumberdaya, dari digunakan untuk proteksi menjadi untuk kebijakan peningkatan efisiensi teknis, akan menjamin efek yang sama pada tingkat profitabilitas dan secara simultan meningkatkan keunggulan komparatif suatu komoditas.

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian tentang analisis produksi dan analisis efisiensi telah banyak dilakukan. Untuk menganalisis tingkat efisiensi dapat menggunakan fungsi produksi biasa dan fungsi produksi frontier. Purmiyanti 2002 menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis tingkat efisiensi ekonomis usahatani bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat pendidikan, status garapan dan varietas bibit, berpengaruh terhadap produksi. Pengujian efisiensi ekonomis penggunaan input dilakukan dengan cara membandingkan nilai produk marginal VMP xi dari setiap input terhadap harga input tersebut. Efisiensi alokatif tercapai bila nilai produk marginal VMP xi dari setiap input sama dengan harga input tersebut P xi . Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio nilai produk marginal terhadap harga masing-masing input tidak sama dengan 1, artinya penggunaan input dalam produksi bawang merah masih belum efisien. Purmiyanti 2002 juga melakukan analisis daya saing dengan alat analisis PAM untuk mencari nilai PCR Private Cost Ratio dan DRC Domestic Resources Cost. Nilai PCR dan DRC lebih kecil dari 1 yang berarti bahwa bawang merah layak diusahakan. Ada beberapa kelemahan fungsi produksi biasa dalam menganalisis tingkat efisiensi ini. Diantaranya adalah: 1 fungsi ini tidak mampu menangkap faktor- faktor yang menjadi sumber-smber inefisiensi, baik yang bersifat terkontrol maupun yang tidak terkontrol, seperti: cuaca, pemogokan, serangan hama, dan sebagainya, 2 fungsi produksi biasa menggambarkan tingkat produksi rata-rata, bukan tingkat produksi maksimum yang dapat dicapai, dan 3 dengan fungsi produksi biasa hanya mampu menganalisis efisiensi ekonomis alokatif pada tingkat produksi rata-rata, sedangkan efisiensi teknis tidak bisa. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut maka digunakan fungsi produksi frontier. Penelitian-penelitian yang menggunakan fungsi produksi frontier dalam menganalisis efisiensi telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Daryanto 2000, menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis petani padi yang menggunakan beberapa sistem irigasi pada tiga musim tanam berbeda di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan teridiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis non-netral. Variabel-variabel penjelas yang disertakan di dalam model efek inefisiensi teknis terdiri dari: 1 logaritma luas lahan, 2 rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan 3 partisipasi petani di dalam program intensifikasi. Hasil penelitiannya menunjukkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan, secara signifikan dapat diterima. Dengan kata lain, fungsi produksi rata-rata tidak cukup menggambarkan efisiensi dan inefisiensi teknis yang terjadi di dalam proses produksi. 2. Rata-rata nilai inefisiensi teknis dari petani sampel berada pada kisaran 59 persen hingga 87 persen, dan terdapat pada setiap petani sampel disemua sistem irigasi dan musim tanam. 3. Semua variabel penjelas di dalam model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier, secara signifikan mempengaruhi inefisiensi teknis. 4. Ukuran lahan dan rasio tenaga kerja, memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap inefisiensi teknis petani di setiap sistem irigasi dan musim tanam. Swastika 1996 menggunakan fungsi produksi frontier stochastic translog untuk mengukur perubahan teknologi dan perubahan efisiensi teknis serta kontribusinya terhadap pertumbuhan produktivitas faktor total pada padi sawah irigasi di Jawa Barat. Variabel penjelas yang disertakan dalam model ini adalah vektor input yang terdiri dari benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan penggunaan traktor, serta dummy waktu sebagai proxy dari perubahan teknologi tahun 1988 dan 1992. Pendugaan fungsi produksi frontier dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation MLE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan teknologi dari tahun 1980 sampai 1988 sebesar 42.72 persen. Dalam periode yang sama, efisiensi teknis turun sebesar 2 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan produktivitas faktor totalnya adalah sebesar 40.74 persen. Sebaliknya dari tahun 1988-1992 terjadi penurunan produksi frontier sebesar 51.57 persen dari kenaikan efisiensi teknis sebesar 2.06 persen. Pada periode tersebut, pertumbuhan produktivitas faktor total adalah sebesar -49.51 persen. Kenaikan produktivitas faktor total dari tahun 1980-1988 diduga disebabkan oleh perbaikan tingkat penerapan teknologi dari awal Insus sampai Supra Insus. Setelah Supra Insus, tidak ada lagi terobosan teknologi baru, baik dari segi kultur teknis maupun varietas baru yang berpotensi hasil melebihi varietas-varietas sebelumnya. Selain stagnasi teknologi, juga disebabkan penurunan genetik varietas- varietas yang ada, penurunan kualitas dan kesuburan tanah, dan serangan hama pada musim tanam 1992. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan teknologi selama periode analisis cenderung bias ke arah pengurangan benih dan tenaga kerja serta peningkatan pemakaian pupuk, pestisida, dan traktor. Juga ditemukan adanya hubungan yang negatif antara peningkatan produksi frontier dengan tingkat efisiensi teknis. Myint dan Kyi 2005 melakukan penelitian tentang analisis efisiensi teknis pada sistem produksi padi sawah beririgasi di Myanmar, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas stochastic frontier. Faktor-faktor yang dimasukkan sebagai variabel penjelas adalah: luas areal, tenaga kerja keluarga, jumlah benih, jumlah pupuk, biaya tenaga kerja sewa, dan dummy penggunaan pupuk kandang. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi adalah umur petani, dummy tingkat pendidikan, dan dummy penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga dan pupuk urea secara signifikan mendorong peningkatan tingkat produktivitas pada petani kecil. Tingkat pendidikan petani menengah bernilai negatif dan secara nyata berhubungan dengan inefisiensi teknis. Petani besar memiliki nilai skor efisiensi teknis tertinggi, yaitu 0.77, diikuti oleh petani menengah dan petani kecil. Dengan demikian, pemerintah harus melanjutnya dukungannya terhadap peningkatan investasi publik di bidang infrastruktur dan teknologi untuk memperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Di lain pihak, peningkatan produksi dan efisiensi dapat dicapai dengan peningkatan penggunaan pupuk urea dan tenaga kerja keluarga, dan tingkat pendidikan harus ditingkatkan untuk meningkatkan efisiensi teknis. Penelitian tentang daya saing keunggulan komparatif dan kompetitif pada berbagai komoditas telah banyak dilakukan. Penelitian Siregar dan Sumaryanto 2003 tentang daya saing komoditas kedelai di DAS Brantas, dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa nilai PCR dan DRC sekitar satu yang berarti bahwa kedelai memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lemah di DAS Brantas. Komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial jika harga kedelai dunia naik paling sedikit 8.5 persen, atau nilai tukar dollar terhadap rupiah paling sedikit turun 9.2 persen atau produktivitas kedelai naik paling sedikit 27.4 persen, centeris paribus. Oktaviani 1991 dalam penelitiannya menggunakan Policy Analysis Matrix PAM untuk mengetahui daya saing komoditas pangan dan dampak kebijakan pemerintah pada kurun waktu tahun 1984 dan 1989. PAM digunakan karena memberikan kemudahan dalam menganalisis efisiensi finansial, efisiensi ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah. Penelitian dilakukan terhadap komoditas pangan di Indonesia, yang ternyata efisien secara finansial maupun ekonomi sehingga layak diproduksi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas padi 1984 dan 1989, jagung 1984 dan 1989 dan ubikayu 1984 tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Sebaliknya pada ubikayu 1989 dan kedelai 1984 dan 1989 memberikan insentif kepada produsen untuk berproduksi. Hasil yang hampir sama dengan menggunakan metode yang sama juga diperoleh Hidayani 2004 yang meneliti daya saing tanaman karet di Kalimantan Selatan. Suprihatini et al. 1996 menggunakan pendekatan koefisien BSD Biaya Sumberdaya Domestik untuk mengetahui daya saing teh hitam Indonesia. Keunggulan komparatif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga bayangan BSD b dengan harga bayangan nilai tukar uang SER. Sedangkan keunggulan kompetitif dihitung dengan membagi jumlah biaya sumberdaya domestik atas dasar harga pasar BSD p dengan harga pasar nilai tukar uang OER. Kedua hasil bagi ini disebut koefisien BSD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh hitam yang diproduksi di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera tidak memiliki daya saing karena nilai koefisien BSD kurang dari satu. Artinya Indonesia berada dalam posisi sudah tidak memiliki keuntungan ekonomi untuk memperluas dan memperdagangkan teh hitam. Hasil analisis kepekaan dengan menggunakan elastisitas BSD menunjukkan bahwa kenaikan upah tenaga kerja berdampak paling parah terhadap penurunan daya saing. Penelitian yang dilakukan Rusastra 1996 tentang keunggulan komparatif, struktur proteksi dan perdagangan internasional kedelai Indonesia menyebutkan bahwa keragaman potensi sumberdaya alam dan manusia yang dimiliki Indonesia akan menentukan keunggulan komparatif kedelai. Demikian juga perbedaan tingkat adopsi teknologi, efisiensi pengusaha kedelai, biaya transportasi dan pemasaran. Studi tentang keunggulan komparatif juga dilakukan dengan mengingat adanya perubahan lingkungan strategi di tingkat global. Data yang digunakan adalah data agregatif regional dengan mempertimbangkan pola perdagangan substitusi impor, perdagangan antar daerah maupun promosi ekspor. Secara finansial usahatani kedelai di luar Jawa cukup menguntungkan dibandingkan dengan di Jawa dengan tingkat profitabilitas sebesar 105-121 persen, sedangkan di Jawa hanya 42-40 persen terhadap total biaya. Secara finansial struktur biaya kedelai didominasi oleh biaya lahan hampir 50 persen, baik di Jawa maupun luar Jawa. Berikutnya adalah biaya bibit dan tenaga kerja, sedangkan biaya tradable input adalah sama. Secara ekonomis usahatani kedelai di luar Jawa lebih efisien dibandingkan di Jawa. Koefisien DRCR berkisar antara 1.5302-1.7070 untuk Jawa. Keadaan ini disebabkan rataan biaya ekonomis di luar Jawa lebih rendah daripada Jawa. Dinamika proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap kedelai ditunjukkan oleh adanya peningkatan proteksi nominal NPR sebesar 4.8 persen per tahun selama periode 1985-1994. Besarnya insentif terhadap kedelai yang ditunjukkan oleh nilai EPR dirasa tidak proporsional. Jawa menikmati lebih besar dibanding luar Jawa, padahal tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan dan implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah telah terjadi pengontrolan yang ketat terhadap pasar kedelai domestik sehingga usahatani kedelai secara finansial memberikan keuntungan, meskipun tidak menguntungkan secara ekonomis khususnya di Jawa. Di Jawa usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih besar dari satu. Untuk mencapai titik impas harga output harus lebih tinggi dari harga paritasnya di pasar internasional, atau produktivitasnya perlu ditingkatkan. Kondisi ini dalam waktu dekat tidak realistis, oleh sebab itu upaya pengembangan kedelai dapat dilakukan melalui penciptaan varietas unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit, produktivitasnya tinggi dan cocok dengan agroklimat setempat. Penelitian-penelitian tentang komoditas jagung juga telah banyak dilakukan. Akhir-akhir ini penelitian tentang jagung lebih banyak pada keterkaitan antara pasar jagung dengan pasar produk-produk turunannya Kariyasa et al. 2004 dan Imron 2007 dan kebijakan tarif impor jagung Erwidodo et al. 2003. Penelitian lain tentang jagung adalah penelitian Ramli dan Swastika 2005 tentang keunggulan kompetitif beberapa tanaman palawija di Kalimantan Tengah. Keunggulan kompetitif pada dasarnya analog dengan penentuan tingkat produktivitas minimal dari suatu komoditas agar kompetitif terhadap usahatani komoditas lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, usahatani jagung harus berproduksi minimal 1.06 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kedelai, 1.46 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani kacang tanah, dan 4.28 ton per hektar agar dapat bersaing dengan usahatani ubi jalar. Dengan produksi jagung aktual sekitar 2.01 ton per hektar, maka usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif terhadap usahatani kacang tanah dan kedelai tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif dengan usahatani ubi jalar. Hasil-hasil penelitian di atas hanya melakukan penelitian tentang tingkat efisiensi dan daya saing secara terpisah. Penelitian yang mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing suatu komoditas jagung sampai saat ini belum ada. Penelitian ini akan mencoba mengaitkan antara tingkat efisiensi dan daya saing. Penelitian ini akan mencoba mengukur tingkat efisiensi dan kondisi daya saing komoditas jagung di lahan kering serta bagaimana dengan saing komoditas tersebut bila tingkat efisiensi dinaikkan.

2.3. Kerangka Konseptual