dan sisanya sebesar 10.8 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti pengaruh iklim, cuaca, serangan hama penyakit serta kesalahan pemodelan.
Pada proses produksi komoditas pertanian biasanya lebih dipengaruhi oleh peranan efek stochastic v
i
yang tidak terwakili pada model daripada efek-efek non stochastic seperti efek inefisiensi teknis. Fenomena tersebut membuktikan
bahwa hampir semua variasi dalam keluaran dari produksi batas dianggap sebagai akibat dari tingkat pencapaian teknis efisiensi yang berkaitan dengan
soal manajerial dalam pengelolaan usahatani. Beberapa hasil penelitian yang menggunakan analisis stochastic frontier
memperoleh nilai parameter
γ
yang mendekati satu. Penelitian Daryanto 2000 terhadap petani di Jawa Barat memperoleh nilai parameter
γ
yang berkisar antara 0.8 – 0.99 untuk setiap musim tanam dan jenis irigasi.
6.3. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis
Penggunaan input-input produksi yang efisien pada usahatani jagung akan mengarah pada pertumbuhan tanaman yang optimal sehingga produksi yang
dihasilkan dapat maksimal. Namun pada kenyataannya petani seringkali menggunakan sejumlah input produksi dengan ukuran tertentu berdasarkan
faktor kebiasaan. Petani kurang memperhatikan proporsi penggunaan input dengan harga input dan produk marginal yang dihasilkan.
Efisiensi alokatif dan ekonomis diperoleh melalui analisis dari sisi input produksi yang menggunakan harga input yang berlaku di tingkat petani. Fungsi
produksi yang digunakan sebagai dasar analisis adalah fungsi produksi stochastic frontier. Fungsi produksi stochastic frontier diturunkan dengan
menggunakan persamaan 3.17, sehingga diperoleh fungsi biaya frontier isocost frontier sebagai berikut:
ln C = -3.667 + 0.941 ln Y + 0.421 ln P
1
+ 0.136 ln P
2
+ 0.082 ln P
3
+ 0.003 ln P
4
+ 0.020 ln P
5
+ 0.040 ln P
6
+ 0.298 ln P
7
+ 0.043 D ............................................................................ 6.2 dimana :
C = biaya produksi jagung Rp
Y = hasil produksi jagung kg pipilan kering
P
1
= harga rata-rata sewa lahan, yaitu Rp 400 ribu per hektar P
2
= harga rata-rata benih jagung, yaitu Rp 2789.47 per kg P
3
= harga rata-rata pupuk organik, yaitu Rp 200 per kg P
4
= harga rata-rata pupuk urea dan KCl, yaitu Rp 1965 per kg P
5
= harga pupuk SP-36, yaitu Rp 1967 P
6
= harga rata-rata pestisida, yaitu Rp 42 503.91 per liter P
7
= harga upah tenaga kerja, yaitu Rp 5000 per jam D =
dummy pengolahan tanah, dimana harga pengolahan tanah adalah Rp 325 ribu per hektar
Inefisiensi usahatani diasumsikan akan meningkat dengan kenaikan biaya produksi. Berdasarkan hasil penurunan fungsi biaya dual frontier pada
persamaan 6.2, dapat dihitung nilai efisiensi alokatif dan ekonomis pada penelitian ini. Sebaran nilai efisiensi alokatif dan ekonomis petani responden
disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 4.
Tabel 19.
Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden
Efisiensi Teknis Efisiensi Alokatif Efisiensi
Ekonomi Jumlah
Jumlah Jumlah
0.30 - 0.39 0.00
0.00 1
1.32 0.40 - 0.49
0.00 12
15.79 38
50.00 0.50 - 0.59
0.00 45
59.21 35
46.05 0.60 - 0.69
4 5.26
15 19.74
2 2.63
0.70 - 0.79 4
5.26 4
5.26 0.00
0.80 - 0.89 22
28.95 0.00
0.00 0.90 - 1.00
46 60.53
0.00 0.00
Total 76 100.00
76 100.00 76 100.00
Rata-rata 0.887 0.566 0.498 Minimum 0.614 0.433 0.369
Maksimum 0.970 0.770
0.605 Sumber : Analisis data primer, 2008
Penelitian ini menemukan bahwa nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing sebesar 88.7 persen, 56.6 persen dan 49.8 persen.
Petani yang memiliki nilai efisiensi alokatif lebih besar dari 0.7 adalah masing- masing 5.26 persen. Petani yang memiliki nilai efisiensi alokatif yang lebih kecil
daripada 0.7 jumlahnya cukup besar yaitu 94.74 persen. Tidak ada petani yang memiliki efisiensi ekonomis di atas 0.7. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar
petani belum mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan. Akibatnya keuntungan petani rendah karena terjadi inefisiensi biaya.
Efisiensi alokatif petani responden berada pada kisaran 0.433 sampai 0.770 dengan rata-rata 0.566. Hal ini berarti, jika rata-rata petani responden
dapat mencapai tingkat efisiensi alokatif yang paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 26.50 persen 1 – 0.5660.770, sedangkan pada
petani yang paling tidak efisien, mereka akan dapat menghemat biaya sebesar 43.77 persen 1 – 0.4330.770.
10 20
30 40
50 60
70
0.0 - 0.1 0.1 - 0.2 0.2 - 0.3 0.3 - 0.4 0.4 - 0.5 0.5 - 0.6 0.6 - 0.7 0.7 - 0.8 0.8 - 0.9 0.9 - 1.0
TE AE
EE
Gambar 4.
Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Efek gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif menunjukkan bahwa efisiensi ekonomis petani responden berada pada kisaran 0.369 – 0.605. Hal ini
berarti, jika rata-rata petani responden dapat mencapai tingkat efisiensi ekonomis yang paling tinggi, maka mereka dapat menghemat biaya sebesar 17.69 persen
1 – 0.4980.605, sedangkan pada petani yang tidak efisien, mereka dapat menghemat biaya sebesar 39.01 persen 1 – 0.3690.605. Jadi, berdasarkan
hasil analisis diperoleh bahwa penanganan masalah inefisiensi alokatif lebih utama jika dibandingkan dengan masalah inefisiensi teknis dalam upaya
pencapaian tingkat efisiensi ekonomis yang lebih tinggi.
B
• •
fx
i
; β
X
1
X
2
A
X Y
P
x
P
y
Gambar 5. Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien Secara Alokatif
Fenomena efisiensi teknis yang tinggi namun efisiensi alokatif yang rendah dapat dijelaskan pada Gambar 5. Titik A dan B sama-sama berada pada pada
fungsi produksi frontier nya sehingga di kedua titik ini telah efisensi secara teknis. Namun di titik A belum efisien secara alokatif sedangkan titik B telah efisien
secara alokatif karena di titik B terjadi persinggungan antara kurva fungsi produksi frontier dengan garis rasio harga input-outputnya P
x
P
y
. Keuntungan maksimum tercapai jika produk marginal PM sama dengan rasio harga input-
output P
x
P
y
. Agar tercapai efisiensi alokatif maka penggunaan input X harus dikurangi dari X
1
menjadi X
2
, sehingga akan tercapai keuntungan yang maksimum.
Salah satu penyebab inefisiensi alokatif adalah penggunaan pupuk N pupuk urea yang berlebihan. Petani menggunaan pupuk N pupuk urea secara
berlebihan karena: 1 harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk lainnya. Harga rata-rata pupuk urea adalah Rp 1210 per kg sedangkan
harga SP-36 Rp 1675 dan KCl Rp 2725. Ini menyebabkan petani mengurangi penggunaan SP-36 dan KCl dan menggantinya dengan urea, dan 2 anggapan
petani bahwa tanaman jagung yang subur adalah tanaman yang memiliki pertumbuhan vegetatif yang baik dan daunnya berwarna hijau.
Pupuk urea menyebabkan variabel N dan K tidak berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf
α 15 persen lihat Tabel 15. Penggunaan pupuk N yang berlebihan menyebabkan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih
tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pengalokasian penggunaan pupuk N secara tepat.
Tabel 20. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Responden Setelah Penurunan Penggunaan Pupuk N
Efisiensi Alokatif Efisiensi Ekonomi
Jumlah Jumlah 0.30 - 0.39
0.00 1
1.32 0.40 - 0.49
3 3.95
29 38.16
0.50 - 0.59 52
68.42 46
60.53 0.60 - 0.69
16 21.05
0.00 0.70 - 0.79
4 5.26
0.00 0.80 - 0.89
1 1.32
0.00 0.90 - 1.00
0.00 0.00
Total 76
100.00 76
100.00 Rata-rata 0.581 0.512
Minimum 0.449 0.381 Maksimum 0.804 0.590
Sumber : Analisis data primer, 2008
Penurunan penggunaan pupuk urea dari rata-rata 447.51 kg per hektar menjadi 400 kg per hektar turun 10.62 persen, ternyata mampu meningkatkan
rata-rata tingkat efisiensi alokatif dari 0.566 menjadi 0.581 atau meningkat sebesar 2.65 persen, seperti terlihat pada Tabel 20. Ini berarti terjadi
penghematan sebesar 2.65 persen. Efisiensi ekonomi yang merupakan efek gabungan dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif juga mengalami peningkatan.
Rata-rata efisiensi ekonomis meningkat dari 0.498 menjadi 0.512, atau naik sekitar 2.81 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengalokasikan penggunaan input secara tepat sesuai dengan harga inputnya akan menyebabkan peningkatan
efisiensi alokatif. Peningkatan efisiensi alokatif ini akan menyebabkan penurunan biaya, sehingga keuntungan petani akan meningkat.
Penggunaan input 400 kg per hektar bukanlah alokasi yang optimum secara ekonomi. Keuntungan maksimum tercapai jika nilai produksi marginal
NPM sama dengan harga input Px. Dengan demikian, alokasi penggunaan input yang optimum dapat diketahui. Namun angka yang dihasilkan umumnya
tidak realistis karena kelemahan-kelemahan yang ada pada fungsi produksi Cobb-Douglas.
Penyebab lain dari fenomena efisiensi alokatif yang rendah adalah informasi harga input dan output yang tidak sempurna dan penggunaan harga
rata-rata dalam perhitungan. Menurut Morrison dan Balcombe 1992, informasi harga baik input maupun output di sektor pertanian cenderung tidak sempurna,
sehingga keragaman harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa.
VII. ANALISIS DAYA SAING DAN PENGARUH EFISIENSI TERHADAP DAYA SAING
Efisiensi merupakan salah satu akar penentu daya saing. Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah karena produk tersebut
mampu diproduksi secara efisien. Suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin
meningkat. Dinamika lingkungan strategis menciptakan peluang baru sekaligus
tantangan baru. Karena perubahan pasar sangat cepat maka dalam pengembangan peningkatan produksi jagung harus mampu mengantisipasi
pasar secara cermat dan tepat sehingga dapat memanfaatkan keunggulan komparatif dalam memproduksi dan melihat produk yang mempunyai keunggulan
kompetitif tinggi. Pada bab ini, dengan menggunakan PAM akan dilihat daya saing usahatani jagung per hektar secara umum dan daya saing usahatani
jagung jika nilai efisiensi alokatif dinaikkan. Efisiensi alokatif dinaikkan dengan cara mengubah alokasi penggunaan pupuk urea pupuk N.
7.1. Analisis Daya Saing
Tabel PAM digunakan untuk menganalisis daya saing komoditas jagung. Dari Tabel PAM dapat diketahui nilai PCR dan DRCR yang merupakan
kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas. Hasil penyusunan Tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 21.
PCR Private Cost Ratio adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan ukuran efisiensi secara
finansial. Nilai PCR menggambarkan berapa banyak sistem produksi usahatani jagung dapat dihasilkan untuk membayar semua faktor domestik yang