Kebijakan Pasar Kebijakan Input

16

2.1.2. Kebijakan Pasar

Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan pemasaran swastaindividu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara lain : 1 untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat menghisap, 2 untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat petani, 3 untuk mengurangi margin pemasaran, 4 untuk meningkatkan kualitas dan memberikan standar minimum, dan 5 untuk meningkatkan ketahanan pangan Ellis, 1992. Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu, pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar.

2.1.3. Kebijakan Input

Variabel kebijakan input memiliki tiga dimensi utama. Pertama, adalah pengendalian tingkat harga pada variabel input, dan kebijakan ini difokuskan untuk mempengaruhi harga yang harus dibayarkan oleh petani untuk keperluan input usahataninya, seperti untuk membeli pupuk dan pestisida. Kedua, adalah mengenai sistem distribusi variabel input, jenis kebijakan ini lebih dikonsentrasikan pada modifikasi sistem aliran distribusi input kepada petani. 17 Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas, dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani. Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi 7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen Urea dan bibit unggul pada peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih tinggi Ellis, 1992. Gambar 3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi Hasil padi tonha Varietas tradisional 8 7 6 2 3 4 5 1 600 500 400 300 200 100 Varietas unggul Pupuk nitrogen kgha 18 Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum didominasi oleh kebijakan masalah pupuk. Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian . Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk, sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat dilakukan. Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengurangi atau bahkan mencabut secara keseluruhan terhadap pupuk maka akan berakibat semakin lemahnya produksi pangan nasional. Hal tersebut disebabkan petani akan mengambil keputusan untuk beralih profesi, karena berusahatani akan semakin tidak menguntungkan. Maka secara tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya produktivias pangan nasional Simatupang, 2004. 19

2.1.4. Kebijakan Perkreditan