2.4 Pendugaan Biomassa
Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk ranting, daun, cabang, batang utama dan kulit yang
dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area Brown 1997. Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah above
ground biomass dan biomassa di bawah permukaan tanah bellow ground biomass. Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di
atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buahbiji, dan daun. Biomassa dibawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang
masih hidup kecuali serabut akar diameter 2mm. Biomassa hutan di atas permukaan merupakan komponen penting yang
sangat terkait dengan siklus karbon, alokasi nutrisi hutan, akumulasi bahan bakar fosil dan habitat dalam ekosistem hutan. Ekosisitem hutan juga mempunyai
peranan penting dalam siklus karbon secara global. Hutan menyimpan karbon sekitar 80 IPCC 2001. Tegakan hutan yang masih produktif untuk tumbuh
mampu menyerap gas CO2 yang ada di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa pohon Losi et al. 2003.
Metode pengukuran biomassa pada dasarnya ada empat cara utama yaitu metode sampling dengan pemanenan destructive sampling, metode sampling
tanpa pemanenan non-destructive sampling, metode pendugaan melalui pengindraan jauh, dan metode pembuatan model. Metode sampling dengan
pemanenan destructive sampling merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang pohon untuk selanjutnya dilakukan
pengukuran berat basah di berbagai carbon pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa bawahakar, biomassa kayu mati, biomassa serasah dan biomassa tanah
organik Ostwald 2008. Sedangkan metode sampling tanpa pemanenan non- destructive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak
merusak pohon dan hanya mengukur biomassa atas kemudian mengukur diameter dan tinggi pohon serta serasah yang ada.
Metode sampling dengan pemanenan destructive sampling memberikan hasil yang paling akurat untuk menduga biomassa, tetapi teknik ini tidak dapat
diterapkan pada semua areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup
besar. Selain kerusakan yang cukup besar, mahalnya biaya dan lamanya waktu serta besarnya tenaga yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan
biomassa lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Metode sampling tanpa pemanenan non-destructive sampling merupakan teknik
pendugaan yang saat ini banyak dilakukan karena tidak perlu melakukan pemanenan pohon. Teknik ini memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan
dengan teknik sampling destruktif. Parameter penyusun metode non-destructive sampling yaitu diameter pohon, tinggi pohon, volume batang, dan basal area
untuk menduga biomassa. Menurut Brown 1997 ada dua pendekatan untuk menduga biomassa
pohon, yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi jumlah biomassa tonha dan yang kedua
secara langsung dengan menggunakan regresi biomassa. Seperti dikemukakan oleh Tiryana 2005, potensi biomassa hutan juga dapat diketahui melalui data
hasil inventarisasi baik dengan menggunakan faktor konversi volume ke biomassa maupun persamaan alometrik yang menghubungkan dimensi pohon diameter dan
atau tinggi dengan biomassanya. Diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi
pendugaan biomassa selain kerapatan jenis pohon dan tipe hutan Chave et al. 2001. Sehubungan dengan pernyataan tersebut Ketterings et al. 2001 membuat
model penduga biomassa hutan dengan menggunakan variabel diameter dan kerapatan jenis dalam persamaan sebagai berikut:
W = 0,11 ρ D
2,62
Dimana: W
= biomassa kgpohon ρ
= kerapatan jenis grcm
3
ρ pohon jati sebesar 0,75 tonm
3
Martawijaya 1992. D
= diameter setinggi dada cm Selain menggunakan rumus Ketterings, pendugaan biomassa dapat pula
menggunakan model alometrik Brown. Pada pendugaan nilai biomassa tegakan jati di lokasi penelitian digunakan model alometrik Brown 1997 yang
dikembangkan oleh Hendri 2001 yang diformulasikan kembali oleh Tiryana
2011 di daerah KPH Cepu. Hutan Tanaman jati di KPH Cepu memiliki iklim yang sama dengan hutan jati di KPH Madiun yaitu tipe iklim C sehingga kurang
lebih kondisi umum lapangan baik kondisi tegakannya memiliki kesamaan. Berikut ini adalah persamaan alometrik Brown yang digunakan:
W = 0,2759D
2,2227
R
2
= 0,941 Dimana:
W = biomassa tegakan kgpohon
D = diameter setinggi dada cm
Dapat pula dengan menggunakan metode perhitungan Vademecum Kehutanan 1976 dalam Ginoga et al. 2005 sebagai berikut:
B = 43 V ρ
Dimana: B
= biomassa tegakan tonha V
= volume pohon m
3
ha ρ
= kerapatan jenis kayu tonm
3
Model Vademecum tersebut digunakan karena mudah diaplikasikan serta cukup sederhana.
Menurut IPCC 2003 dalam Janiatri 2012 terdapat dua pendekatan untuk mengestimasi
nilai kandungan
biomassa yaitu,
pendekatan langsung,
menggunakan persamaan allometrik pada sampel plot dan pendekatan tidak langsung menggunakan nilai Biomass Exspansion Factor BEF. Metode ini
termasuk metode non-destructive sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya. Pengkonversian hasil inventarisasi
hutan dalam bentuk volume dilakukan dengan mengalikan nilai tersebut dengan konstanta nilai Biomass Exspansion Factor BEF.
Biomass Expansion Factor BEF didefinisikan sebagai rasio total bobot kering tanur di atas permukaan tanah pada diameter minimum dbh 10 cm atau
lebih dengan bobot biomassa kering tanur pada volume yang diinventarisasi atau rasio antara AGB total dengan biomassa batang yang dapat dimanfaatkan. Pada
penelitian ini nilai Biomass Exspansion Factor BEF yang digunakan adalah Biomass Exspansion Factor BEF pada tegakan Jati yang dikembangkan di
daerah tropis Panama, di hitung dengan membagi total proporsi biomassa dengan biomassa cabang sehingga menghasilkan nilai BEF sebesar 1,53186 Kraenzel et
al. 2003. Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor BEF dilakukan dengan menggunakan rumus :
BAP = V x � x BEF
Dimana: BAP
= Biomassa Atas Permukaan tonha V
= Volume tegakan m
3
ha ρ
= Berat jenis kayu tonm
3
BEF = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 1,53186 untuk Jati pada
hutan tropis Kraenzel et al. 2003.
2.5 Penyusunan Tabel Volume