Penyusunan Model Penduga Sediaan Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis Linn f) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek yang bagus di masa mendatang (Jumani 2009). Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furnitur dan ukir-ukiran. Oleh sebab itu kayu jati sangat diminati oleh konsumen. Tidak hanya konsumen dalam negeri, konsumen luar negeri juga sangat menggemari jati sebagai bahan baku furnitur. Jati Indonesia selain juga dikirim ke Jepara sebagai pusat furnitur jati di Indonesia juga diekspor ke luar negeri seperti di negara-negara Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab dan Italia.

Pulau Jawa adalah penghasil jati terbesar di Indonesia. Sebagian besar pohon jati diproduksi oleh Perhutani. Sekitar 512 ribu m3 kayu jati dihasilkan oleh Perhutani pada tahun 2007 dan sebanyak 200 ribu m3 kayu jati kualitas menengah telah dijual oleh perusahaan ini. Menurut Fauzan (2011) harga kayu jati pada lelang Perhutani terakhir tertanggal Februari 2010 untuk kualitas jati medium adalah Rp 6,5 juta /m3. Kebutuhan jati tiap tahun terus meningkat. Untuk memenuhi permintaan, upaya penanaman kembali sangat diperlukan karena penebangan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali jelas akan berdampak terjadinya kerusakan dan penurunan produksi. Oleh karena itu, tanaman jati perlu mendapat perhatian tersendiri (Sumarna 2005). Sehingga untuk menjaga keberadaan dan keberlanjutannya harus dijaga dan dikelola dengan baik. Sumber daya hutan hanya dapat dikelola dengan baik apabila didukung pula dengan data-data yang akurat yang dapat mendeteksi seluruh persediaan hutan dengan baik. Kegiatan pengelolaan hutan yang baik memerlukan proses dan tahapan perencanaan yang seksama, lengkap, cermat dan terarah guna memperoleh hasil yang optimal dan lestari baik dari segi kelestarian hasil, ekologis maupun sosial. Bagian dari kegiatan perencanaan hutan yang memegang peranan penting adalah


(2)

inventarisasi hutan karena data yang dihimpun akan menjadi dasar bagi usaha pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang akan dilakukan.

Mengingat semakin cepatnya pertumbuhan hutan maka data informasi yang dibutuhkan adalah data terbaru yang diperoleh secara cepat, akurat dan efisien. Penerapan teknik penginderaan jauh melalui citra dijital yang menggabungkan antara metode terestris dan penginderaan jauh lebih mendapatkan hasil yang maksimal.Sebab dapat menekan biaya yang tinggi tetapi tetap mendapatkan data yang akurat dan tepat. Sehingga memberikan kesempatan penelitian dengan menggunakan citra dijital non-metrik tak berawak (unmanned) beresolusi tinggi untuk dapat mengetahui potensi yang tinggi yang ada di wilayah hutan tersebut.

Salah satu alat yang sangat membantu dalam penerapan inventarisasi hutan guna mengetahui sediaan hutan adalah dengan tersedianya tabel volume. Tabel volume dapat dikelompokkan atas tabel volume lokal, tabel volume standar, dan tabel kelas bentuk. Tabel volume lokal adalah tabel yang disusun berdasarkan peubah bebas diameter pohon setinggi dada (Dbh) atau tinggi pohon saja, tetapi pada umumnya yang digunakan adalah diameter pohon setinggi dada (Dbh) sebagai peubah bebasnya. Tabel ini dapat disusun untuk individu spesies maupun kelompok spesies dari berbagai wilayah geografis yang lebih khusus lagi tidak hanya terutama pada spesies maupun tempat, tetapi juga pada kesamaan karakteristik-karakteristik tinggi, diameter, dan bentuk pohon. Sedangkan tabel kelas bentuk disiapkan untuk menunjukkan volume menurut beberapa ukuran bentuk pohon disamping diameter pohon setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon (Husch 1987).

Tabel volume tegakan udara (Aerial Stand Volume Table, TVU) adalah tabel yang memuat tentang nilai taksiran volume tegakan di lapangan yang dinyatakan dalam satuan m3 per hektar, untuk berbagai ukuran dimensi penaksirannya (peubah) yang di ukur pada potret udara. Tabel volume tersebut disusun berdasarkan model sistematis yang menggambarkan hubungan antara peubah potret udara dengan volume tegakan lapangan (Hardjoprajitno et al. 1996). Pada studi ini, peubah-peubah potret yang diujicobakan adalah persentase penutupan tajuk (crown cover) (C), diameter tajuk (D) dan jumlah pohon (N).


(3)

Tabel volume inilah yang nantinya digunakan dalam pembentukan pendugaan volume tegakan, yang gunanya adalah sebagai pembanding volume dugaan hasil penginderaan jauh dengan volume hasil pengukuran di lapangan. Menurut Simon (1993) persamaan volume dan tabel volume semestinya disusun dengan sampel yang cukup dan hanya berlaku di daerah pengambilan sampel tersebut. Berdasarkan pengukuran–pengukuran rinci sejumlah kecil pohon dalam suatu wilayah hutan, tabel volume dapat membantu pendugaan sejumlah besar volume pohon di daerah tersebut. Tabel volume ini nantinya dapat juga digunakan untuk menduga volume total dari suatu wilayah (Pambudhi 1995, dalam Tyas 2009). Menurut Jaya (2006) pembuatan tabel volume pohon udara hanya baik digunakan pada potret-potret berskala besar maka oleh karena itu dengan menggunakan citra dijital non-metrik beresolusi 20 cm ini akan menghasilkan tabel volume yang baik untuk menduga potensi hutan.

Selain penyusunan tabel volume dari pemanfaatan citra dijital non-metrik ini, dapat pula diketahui nilai estimasi biomassa dari sediaan tegakan jati. Sehingga selain pemanfaatan kayunya, jati juga dapat berperan dalam menjaga keseimbangan kapasitas gas rumah kaca di atmosfer dari nilai biomassanya. Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bahan-bahan organik hidup maupun yang sudah mati dan berada di atas permukaan tanah hutan atau di bawah permukaan tanah hutan, seperti: pohon, tumbuhan bawah, semak, serasah, akar dan lain-lain. Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah meliputi batang, tungak, cabang, kulit, buah/biji dan daun. Biomassa dibawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (berdiameter < 2mm).

Sehingga dalam penelitian ini akan dikaji pemanfaatan citra dijital non-metrik beresolusi tinggi dalam penyusunan tabel volume dan estimasi biomassa sediaan tegakan jati.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang muncul yaitu sudah jarang dilakukannya foto udara untuk melakukan kegiatan inventarisasi hutan, dengan menggunakan citra satelit memerlukan biaya yang besar dan juga resolusi yang dimilikinya masih rendah sedangkan dengan menggunakan


(4)

inventarisasi secara terestris biaya yang dikeluarkan relatif mahal dan memerlukan waktu yang lama maka perlunya menggunakan citra dijital resolusi tinggi non metrik dalam penginderaan jauh untuk melakukan kegiatan inventarisasi hutan. 1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun model penduga sediaan tegakan jenis jati (Tectona grandis Linn.f) dan pendugaan biomassanya di areal kerja KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan menggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini berupa model penduga sediaan tegakan jati menggunakan citra dijital non metrik resolusi tinggi yang dapat digunakan untuk menduga potensi di areal kerja KPH Madiun secara cepat, murah, dan akurat dalam rangka pengaturan kelestarian hasil, menambah wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat sebagai alat pemantauan potensi hutan secara cepat. 1.5 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan melalui perencanaan hutan. Perencanaan hutan merupakan proses penetapan tujuan yaitu mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. Pengelolaan hutan yang lestari membutuhkan data dan informasi tentang kondisi fisik kawasan hutan. Data dan informasi tersebut didapat dari salah satu kegiatan perencanaan hutan yaitu inventarisasi. Menurut Hush (1987) inventarisasi hutan merupakan suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Sedangkan menurut Sutarahardja (1976), kegiatan inventarisasi hutan didefinisikan sebagai suatu kegiatan guna menyajikan data atau kebenaran tentang keadaan hutan serta kemungkinan tindakan pengusahaannya. Kegiatan inventarisasi hutan dilakukan dengan tiga cara, yaitu inventarisasi lapangan (terestris), inventarisasi dengan penginderaan jauh (foto udara atau citra dijital resolusi tinggi) dan kombinasi antar keduanya.


(5)

Inventarisasi terestris dalam menduga estimasi volume tegakan dalam luasan kecil akan dapat menghasilkan data yang teliti dan akurat, namun apabila arealnya luas maka akan memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak dan hasilnya cenderung kurang teliti dan akurat. Sedangkan dengan pengukuran penginderan jauh dengan menggunakan citra dijital resolusi tinggi untuk menduga estimasi volume tegakan akan lebih cepat dan relatif akurat, namun memerlukan investasi awal yang mahal meskipun nantinya dari citra dijital tersebut menyebabkan biaya operasional pengelolaan hutan menjadi rendah.

Kombinasi kegiatan inventarisasi hutan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) dan lapangan (terestris) akan menghasilkan data yang akurat dengan waktu yang relatif singkat untuk areal yang luas.

Dari hasil permasalahan-permasalahan yang muncul yaitu sudah jarangnya menggunakan foto udara dalam melakukan inventarisasi hutan, mahalnya harga citra satelit dengan didukung resolusi yang rendah dan inventarisasi secara terestris yang relatif mahal dengan waktu yang lama maka untuk melakukan inventarisasi hutan saat ini tepat dengan memanfaatkan penginderaan jauh dengan citra dijital non-metrik resolusi tinggi.

Menurut Lu (2006) dalam bidang kehutanan, penggunaan teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan dalam kegiatan pemetaan tutupan lahan, evaluasi perubahan tutupan dan penggunaan lahan. Selain itu, penggunaan peubah-peubah biofisik yang dapat ditaksir melalui data citra satelit seperti kerapatan tutupan tajuk dan diameter tajuk untuk menduga tegakan hutan di lapangan seperti volume tegakan dan biomassa tegakan.

Dari hasil estimasi volume tegakan dengan citra resolusi tinggi tersebut maka dapat diketahui juga estimasi biomassa dari suatu pohon berdiri. Penggunaan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan pengukuran lapangan (survey lapangan) dapat digunakan dalam pendugaan biomassa (Foody et al. 2003).

Kerangka pemikiran penelitian ini dikerjakan secara ringkas yang disajikan pada Gambar 1 dengan fokus penelitian pada penyusunan model penduga sediaan tegakan dan biomassa jati.


(6)

Gambar 1 Kerangka pemikiran dalam penelitian. Pengelolaan Hutan Lestari Perencanaan Hutan

Inventarisasi Hutan

Pengukuran Terestris: –Biaya mahal

–Waktu relatif lama –Akurasi relatif tinggi

Pengukuran Remote Sensing: –Biaya relatif murah

–Waktu relatif cepat

–Akurasi relatif lebih rendah –Dimensi tegakan bisa diukur

lebih cermat

Estimasi Volume Tegakan

Korelasi

Verifikasi Tabel Volume Tegakan

Tabel Volume Tegakan Citra Dijital Resolusi Tinggi Estimasi Volume Tegakan dengan Citra Dijital Resolusi

Tinggi

Estimasi Biomassa dengan Citra Dijital Resolusi Tinggi


(7)

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan di BKPH Dungus dan BKPH Dagangan KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Oktober sampai November 2011. Pengolahan data di lakukan di Laboratorium fisik remote sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Desember sampai Maret 2012.

2.2 Data, Software, Hardware dan Alat

a. Data utama yang digunakan adalah sebagai berikut: (1). Peta kawasan kerja KPH Madiun (Gambar 2).


(8)

(2). Citra dijital resolusi sedang Landsat TM KPH Madiun (Gambar 3)

Gambar 3 Citra dijital resolusi sedang (Landsat TM perekaman 18 Juli 2006) KPH Madiun.


(9)

(3). Peta citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi Dungus (Gambar 4)

Gambar 4 Citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi penelitian BKPH Dungus. (4). Peta citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi Dagangan (Gambar 5)

Gambar 5 Citra dijital non-metrik resolusi tinggi lokasi penelitian BKPH Dagangan.


(10)

b. Data Pendukung yang digunakan pada penelitian ini adalah peta kerja di lokasi BKPH Dungus dan lokasi BKPH Dagangan serta koordinat GPSnya pada setiap BKPH yang disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

c. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS map 60CSx (Gambar 6a), kompas brunton (Gambar 6b), meteran, tali tambang, Haga (Gambar 6c), kamera SLR dengan lensa fish eye, kamera digital, dan alat tulis.

(a) (b)

(c)

Gambar 6 (a) GPSmap 60CSx(b) kompas brunton, dan (c) Haga Hipsometer. d. Software yang digunakan dalam pengolahan data adalah software

Arcview 3.2, Microsoft Excel 2007 dan SPSS ver 16.

e. Hardware yang digunakan dalam pengolahan data yaitu seperangkat komputer dan printer.


(11)

2.3 Metode Penelitian

Tahapan dalam kegiatan penelitian adalah sebagai berikut: 2.3.1 Pra Pengolahan Data Citra

Sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut, citra foto udara perlu dilakukan koreksi geometrik. Sedangkan koreksi geometrik adalah koreksi yang dilakukan untuk menghilangkan distorsi geometrik dari suatu citra dan sistem koordinat geometrik. Koreksi yang umum dilakukan adalah koreksi geometrik atau rektifikasi. Citra dijital yang telah terkoreksi dengan menggunakan koreksi geometrik lalu di overlay dengan data citra pada citra Landsat TM. Desain untuk plot contoh di lapangan ditentukan dengan menggunakan extension IHMB dengan menggunakan metode purposive sampling. Agar mewakili keseluruhan area maka untuk setiap kelompok umur, jumlah minimum plot contoh yang diambil adalah 3 sampai 4 plot.

a. Koreksi Geometrik (rektifikasi)

Rektifikasi yang dilakukan adalah rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification). Pada penelitian ini dilakukan koreksi yang digunakan untuk mengoreksi citra digital non-metrik menggunakan citra LANDSAT yang telah terkoreksi sebelumnya, hal ini dilakukan agar koordinat geografis sama. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah Universal Transvers Mercator (UTM), zone 48 selatan (south UTM 1984).

Koreksi geometrik dimulai dengan memilih sejumlah titik-titik control lapangan (GCP). Untuk penelitian ini jumlah total titik GCP (Lampiran 1 dan 2) adalah sebanyak 17 titik, 7 titik GCP di BKPH Dungus dan 10 titik GCP di BKPH Dagangan. GCP adalah suatu titik-titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam lintang bujur meter). Syarat pemilihan GCP adalah tersebar merata di seluruh citra dan relatif permanen atau tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya) (Jaya 2009). Jumlah GCP minimum dihitung dengan menggunakan persamaan :


(12)

dimana,

t : orde dari persamaan transformasi.

RMSE (Root Mean Square Error) yang dihasilkan pada koreksi geometrik ini adalah didapatkan dari GCP yang terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0,5 piksel. Kesalahan rata-rata dari rektifikasi ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:

� �= − 2+ (

�)2 Dimana:

RMSE = Root Mean Square Error

xr, xi dan yr, yi = Kesalahan ke arah x dan y untuk GCP ke-i

b. Desain Sampling

Desain sampling untuk pengambilan plot contoh di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan bantuan extension IHMB. Pemilihan desain sampling pertama-tama dilakukan secara acak. Menurut Jaya et al. (2010) pengacakan pada arah Timur-Barat (sumbu X) dilakukan antara 0-1000 m (karena jarak antar jalur adalah 1000m), sedangkan pengacakan pada sumbu Y (arah Utara-Selatan) pengacakan dilakukan antara 0 sampai dengan jarak antar plot. Pada penelitian ini jarak antar plot yang digunakan sebesar 75 m. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan grid dengan menggunakan ekstensi IHMB-Jaya Versi 6 yang disajikan pada Gambar 7.


(13)

Gambar 7 Peta pembuatan grid plot contoh. c. Pemilihan Plot Contoh

Setelah dilakukannnya desain sampling, maka untuk selanjutnya yaitu tahap pemilihan plot contoh pada peta kerja. Pemilihan plot contoh tersebut didapatkan 38 titik plot di masing-masing lokasi, yaitu di BKPH Dungus (Gambar 8) dan BKPH Dagangan (Gambar 9). Pemilihan plot contoh tersebut tersebar di seluruh areal BKPH dan telah mewakili kelas-kelas umur yang ada.


(14)

Gambar 8 Peta sebaran plot penelitian lokasi BKPH Dungus.


(15)

Gambar 9 Peta sebaran plot penelitian lokasi BKPH Dagangan.


(16)

2.3.2 Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data lapangan dilakukan di atas peta kerja dan peta administrasi KPH Madiun, Perhutani Unit II Jawa Timur. Pemilihan titik plot pengukuran lapangan dilakukan berdasarkan sebaran kelas umur di lokasi penelitian, Bagian Hutan dan kenampakan citra dijital non metrik resolusi tinggi. Terpilih masing-masing 38 titik pada lokasi BKPH Dungus dan pada lokasi BKPH Dagangan. Plot contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan luasan sesuai dengan KU (Kelas Umur) yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas petak ukur pada hutan tanaman jati

Kelas Hutan Petak Ukur

Luas (Ha) Radius (m)

Kelas Umur I - II 0,02 7,92

Kelas Umur III - IV 0,04 11,28

Kelas Umur V ke atas 0,1 17,85

Data yang diambil di lapangan di antaranya adalah : a. nomor plot

b. keliling pohon setinggi dada c. keliling pohon setinggi 0,5 meter d. tinggi total pohon

e. tinggi bebas cabang (tbc). f. diameter tajuk

g. jarak dan sudut azimuth setiap pohon dari titik pusat plot h. koordinat plot contoh

i. koordinat pohon

Untuk data pembantu, diambil juga beberapa foto lapangan dan foto persentase penutupan tajuk (crown cover) menggunakan kamera SLR berlensa fish eye. Semua data tersebut dicatat pada tally sheet yang telah dipersiapkan pada tahapan persiapan.


(17)

2.3.3 Pengolahan Data Lapangan

Sebelum pengolahan data lapangan, data pada citra diolah terlebih dahulu, yaitu dengan mencari persentase penutupan tajuk (crown cover) dari masing-masing plot, menghitung jumlah pohon pada citra dan menghitung diameter tajuk pohon di setiap plot.

a. Teknik mengukur persentase tutupan tajuk pada citra (crown cover) (C) 1) Mengukur persentase tajuk citra

Persentase penutupan tajuk merupakan persentase areal tertutup oleh proyeksi vertikal tajuk-tajuk pohon. Menghitung persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dilakukan secara perhitungan visual dengan menghitung antara areal tutupan tajuk dan gap tajuk. Adapun rumus dalam menghitung persentase penutupan tajuk yaitu :

Persentase penutupan tajuk citra (%) = Luas wilayah bertajuk

Luas plot contoh

x 100%

Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil luasan tajuk tersebut didapatkan dari hasil deliniasi areal tutupan tajuk dan gap tajuk.

Gambar 10 Plot contoh persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra. 2) Memetakan persentase penutupan tajuk hasil pengukuran lapangan

Memetakan hasil pengukuran tajuk di lapangan didapatkan dari persamaan y = 0,173x + 1,443 yaitu yang berasal dari hasil perhitungan setiap kerapatan pohon (jari-jari tajuk) di satu keterwakilan plot pada setiap kelas umur di lapangan dengan nilai dbh-nya. Kemudian dipetakan pada masing-masing plot contoh, sehingga dapat membandingkannya antara

Areal tutupan tajuk Gap tajuk


(18)

hasil di citra dan di lapangan (Gambar 10 dan 11). Terdapat pada plot contoh 105 dengan persentase tajuk di citra sebesar 72% dan persentase tajuk lapangannya 48%.

Gambar 11 Plot contoh persentase penutupan tajuk (crown cover) pada lapangan. b. Teknik mengukur jumlah pohon pada citra (N)

Menghitung jumlah pohon pada citra dilakukan secara visual langsung dengan memberikan tanda pada pohon yang berada dalam luasan tajuk. Kemudian dibandingkan antara pohon citra dengan lapangan seperti pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 12 (a) Plot contoh jumlah pohon pada citra. (b) Plot contoh jumlah pohon di lapangan.

Posisi pohon

Persentase tajuk di lapangan


(19)

c. Menghitung diameter tajuk (crown diameter) (D)

Menghitung diameter tajuk (crown diameter) dilakukan dengan metode interpretasi visual dengan mengukur panjang diameter terpanjangnya dengan arah dari utara ke selatan dan barat ke timur (Gambar 13). Perhitungan tersebut dengan menggunakan icon measure pada software Arc View Gis ver 3.2.

Gambar 13 Plot contoh diameter tajuk. d. Penyusunan model

1). Model-model alternatif

Penyusunan model regresi dan pemilihan parameter tegakan di citra foto udara (citra dijital non-metrik resolusi tinggi) yang akan digunakan sebagai peubah bebas dibuat sesederhana mungkin, tetapi mempunyai ketelitian yang cukup tinggi. Pada penelitian ini model penduga potensi yang dikembangkan antara lain dijelaskan pada Tabel 2.

Arah pengukuran diameter tajuk


(20)

Tabel 2 Bentuk model-model yang diuji cobakan dalam melakukan penyusunan model sediaan tegakan jati

Model Persamaan

1) Linier

a. Sederhana V = a + b.C

V = a + c.D V = a + d.N

b. Berganda V = a + b.C + c.D + d.N 2) Non Linier

a. Sederhana V = a.Cb

V = a.Dc V = a.Nd

b. Berganda V = a.Cb.Dc.Nd

c. Kuadratik V = a + b.C2 + c.D2 + d.N2 d. Polynomial V = a + b.C + c. C2

V = a + b.D + c. D2

V = a + b.C + c. D + d. C. D + e. C2 + f. D2

Selain model-model umum yang biasa digunakan tersebut, ada beberapa model penduga potensi dengan foto udara yang dihasilkan dari penelitian-penelitian terdahulu yang disajikan pada Tabel 3.


(21)

Pada Tabel 3 disajikan beberapa model penduga sediaan tegakan dengan foto udara.

Tabel 3 Model-model penduga potensi sediaan tegakan dengan foto udara

No Persamaan R

2

(%) Penelitian Sumber

1. Log V = 0,06 + 1,11 Log C + 0,133 Log D

69,2 Model penduga volume tegakan dengan foto udara di hutan alam studi kasus di HPH PT. Sura Asia, Propinsi Dati I Riau

Budi 1998

2. V = 1,47.10-4 H1,42D0,35 N2,21

81 Model penduga volume terbaik dengan foto udara skala 1 : 20000 untuk tegakan pinus (Pinus merkusii) di KPH Pekalongan Barat dengan pendekatan stratifikasi dan tanpa stratifikasi

Hidayatullah 1996

3 a). V = 54,2 – 0,469 C untuk SFNAP

b). V = 32,4 – 0,246 C untuk CAP

76,2 69,1

Kajian teknis pemanfaatan potret udara non-metrik format kecil pada bidang kehutanan

Cahyono 2001

4. a). Ln V = -1,65 + 0,798LnC + 1,58 Ln D untuk bonita ≤ 3

b). Ln V = -0,713 + 1,206 LnC + 0,219 Ln D untuk bonita ≥ 4

74,5 64,9

Tabel volume udara (Aerial Volume Tabel)

Hardjoprajitno S. 1996

5. V = 35481338,92 C3,00 79,3 Penyusunan tabel tegakan hutan tanaman dengan potret udara

Prihanto 1996

6. V = -10,2 + 0,169N + 8,20D

53,8 Penduga Volume Tegakan Jati di BKPH

Cikampek KPH

Purwakarta melalui foto udara

Suar 1993

7. Ln V = -5,577 + 0,427 Ln N + 2,591Ln H

67,4 Hubungan Antara Volume Tegakan Dengan Peubah Potret Udara Sebagai Alat Inventarisasi Hutan

Atmosoemarto 1993


(22)

2). Penduga regresi

Tahap selanjutnya berkaitan dengan pembangunan model di atas adalah penyusunan persamaan regresi. Penduga regresi bagi nilai tengah (rata-rata) populasi dapat diperoleh sebagai berikut:

(a). Penyusunan model dengan peubah tunggal y = a + b. x

Dimana: y = V dalam m3 /ha x = dapat berupa C, D, N

Kemiringan (slope) garis regresi dapat dihitung dengan rumus:

x xy JK JHK

b dan a - b

JHKxy =

�−1 JKx =

22/ �−1

Dimana: = Rata-rata peubah tak bebas (y berupa V dalam m3 /ha) = Rata-rata peubah bebas (x berupa C, D, N)

JHK = Jumlah hasil kuadrat JK = Jumlah kuadrat a = Koefisien elevasi b = Koefisien regresi n = Banyaknya plot

(b). Penyusunan model dengan peubah ganda y = a + b.x1 + c.x2

Dimana: y = V dalam m3 /ha x = x berupa C, D, N a, b, c= Konstanta

Maka kemiringan (slope) garis regresi antar pasangan data dapat dihitung dengan rumus: � 1� 2� 1� 12� 1� 2�

2� 1� 2�

12�

=

1� � 2� �


(23)

(c). Korelasi Antar Peubah

Penyusunan model pendugaan sediaan tegakan ini masing-masing menggunakan metode persamaan regresi terbaik. Namun, sebelumnya dilakukan terlebih dahulu perhitungan koefisien korelasi menggunakan pendekatan korelasi product moment (r) yang menyatakan tingkat keeratan hubungan antar peubah yang akan digunakan dalam pendugaan tegakan. Nilai r dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

r =

Dimana:

xi = Dimensi pohon ke – i

yj = Dimensi pohon lainnya ke – j

n = Jumlah pohon

Besarnya nilai r berkisar antara -1 sampai +1. Jika nilai r = -1 maka hubungan antara dua peubah adalah korelasi negatif sempurna. Artinya, apabila salah satu peubah nilainya menurun, maka peubah lainnya akan meningkat. Sebaliknya jika nilai r = 1 maka hubungan antara dua peubah merupakan korelasi positif sempurna. Artinya, apabila salah satu peubah meningkat, maka peubah lainnya akan meningkat pula. Bila r mendekati -1 atau +1 maka hubungan antara peubah itu kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara kedua peubah itu (Walpole 1995). Hipotesisnya: H0 : p = 0, artinya tidak ada korelasi antara 2

peubah H1 : p ≠ 0, artinya ada korelasi antara 2 peubah H0 diterima apabila p > α

dan H1 diterima apabila p < α.

Untuk menguji apakah nilai koefisien korelasi memiliki nilai yang signifikan (nilai r > 0,7071 dalam hubungannya terhadap tegakan), perlu dilakukan perhitungan Uji-Z pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,005).

Hipotesis yang digunakan dalam pengujian keeratan koefisien korelasi adalah H0 : ρ ≥ 0,7071 dan H1 : ρ < 0,7071. Rumus yang digunakan dalam Uji Z

yaitu:

n



n

n j

i ( x ) / y ( y ) / x / ) y )( x ( y x 2 j 2 2 i 2 j i j i          

)

(

Z

Zr


(24)

Dimana:

Z = Sebaran normal Z

σ = Pendekatan simpangan baku tranformasi Z

ρ = Nilai koefisien korelasi yang diharapkan pada populasi r = Nilai koefisien korelasi

n = Jumlah data

Jika hasil Z-hitung ≤ 1,96, maka H0 diterima, yang berarti bahwa

hubungan antara peubah bebas dengan volume cukup erat dengan r ≥ 0,7071. Sedangkan jika Z-hitung > 1,96, maka H1 diterima, yang berarti bahwa hubungan

antara peubah bebas dalam model dengan volume adalah kurang erat.

3) Uji Koefisien regresi

Pengujian hipotesis dilakukan terhadap model guna mengetahui keberartian hubungan peubah pada citra dengan volume tegakan di lapangan. Analisis yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah analisis ragam sebagai berikut:

Tabel 4 Analisis ragam untuk regresi sederhana Sumber

Keragaman

db JK KT F Hit

Regresi Dbr = p-1 JKR =b.JHKxy KTR =JKR/dbr KTR/KTS Sisa Dbs = n-p JKS = JKy - JKR KTS = JKS/dbs

Total n-1 JKT = JKy

Keterangan: p = banyaknya peubah regresi

n = banyaknya plot contoh yang diamati

Tabel 5 Analisis ragam untuk regresi berganda

Keragaman db JK KT F Hit

Regresi Dbr = p-1 JKR = b.JHKxy KTR = JKR/dbr KTR/KTS Sisa Dbs = (m-1)–(p-1) JKS = JKy - JKR KTS = JKS/dbs

Total m-1 JKT = JKy

Keterangan: p = banyaknya parameter m = banyaknya plot contoh

Hipotesis yang diuji adalah: H0: βi = 0, i = 1,2,3,…,p


(25)

Bila hasil analisis keragaman tersebut diperoleh F-hit > F-tab maka terima H1, yang berarti minimal ada satu peubah yang bebas yang berpengaruh nyata

terhadap peubah tak bebas dan sebaliknya (Walpole 1995).

Jika H1 diterima melalui Uji –F, maka selanjutnya dilakukan uji signifikansi

koefisien masing-masing peubah bebas dengan menggunakan perhitungan Uji-t. Rumus yang digunakan dalam perhitungan Uji-t adalah:

 

n s thitung

/

  

Dimana:

X = Pengamatan μ = Nilai tengah

= Standar deviasi n = Jumlah sampel

Dengan hipotesis sebagai berikut: H0: μ = μ0,

H1: μ ≠ μ0.

Selanjutnya kriteria uji bagi hipotesis dengan menggunakan t-hitung, yaitu jika thitung > ttabel maka terima H1, yang berarti pengukuran di lapangan dan di

citra berbeda nyata. Sedangkan jika thitung < ttabel maka terima H0, yang berarti

pengukuran di lapangan dan di citra tidak berbeda nyata. 4) Uji Verifikasi Model

Setelah model terbangun dan secara statistik dapat diterima, maka perlu dilakukan uji verifikasi terhadap model tersebut. Uji verifikasi model terbangun dengan menggunakan perhitungan Uji-χ2 ,

е

(Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata-rata) dan RMSE (Root Mean Square Error) (Spurr 1952 dalam Divayana 2011). Pada penelitian ini, perhitungan Uji-χ2 menunjukkan besarnya kecocokan antara hasil perhitungan menggunakan model (nilai harapan) dengan perhitungan data lapangan (nilai observasi/nilai aktual). Jika nilai χ²-hitung lebih kecil dari nilai χ²-tabel, maka dapat dinyatakan bahwa hasil dugaan menggunakan model terbangun tidak berbeda dengan perhitungan data lapangan (nilai aktual).


(26)

Dimana:

χ2 = Nilai Chi-square �� = Nilai ekspetasi/ dugaan

�� = Nilai observasi/ aktual

RMSE digunakan untuk mengetahui seberapa besar error yang terjadi pada hasil perhitungan model jika dibandingkan dengan nilai aktual. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi pada penggunaan model. Perhitungan RMSE menggunakan rumus sebagai berikut:

% 100 ] [ 1 2   

n Ha Ha Ht RMSE n i i i i Dimana:

RMSE = Root Mean Square Error Hti = Nilai dugaan

Hai = Nilai aktual

n = Jumlah pengamatan

Bias (℮) adalah kesalahan sistematis yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, baik kesalahan teknis pengukuran maupun kesalahan karena alat ukur. Nilai

yang dapat diterima adalah jika nilainya mendekati nol. Perhitungan ℮ (Bias) dapat dirumuskan sebagai berikut:

n

Y

Y

Y

n i Ai Ai

Ti

)

100

%

}

{(

e

1

Dimana: ℮ = Bias

YT = Nilai dugaan

YA = Nilai aktual

N = Jumlah pengamatan

   k i i i i hitung E E O 1 2

2 ( )


(27)

Simpangan Agregat (SA) adalah perbedaan antara jumlah nilai aktual dan jumlah nilai dugaan (Spur 1952). Nilai SA diharapkan berkisar antara -1 sampai +1.

Nilai SA dapat dihitung dengan rumus:

        

Ti A Ti Y Y Y SA i Dimana:

SA = Simpangan Agregat YT = Nilai dugaan

YA = Nilai aktual

Nilai SR menunjukkan suatu model dapat dikatakan baik jika nilainya tidak lebih dari 10%. Perhitungan SR yaitu dengan rumus sebagai berikut:

n Y Y Y SR n i Ti Ai Ti

    1 %} 100 | {| Dimana:

SR = Simpangan Rata-rata YT = Nilai dugaan

YA = Nilai aktual

n = Jumlah pengamatan

Untuk mendapatkan model yang akurat dan valid, perlu adanya penyusunan peringkat terhadap model dengan acuan kriteria-kriteria uji yang dilakukan. Penyusunan peringkat dilakukan dengan memberikan skor pada model-model yang diperoleh. Kemudian akan terbentuk model terbaik yang dapat digunakan sesuai kriteria yang ada yaitu model yang memuat sedikit peubah penduga, kemudahan mengukur peubah bebas dan potensial kesalahannya rendah. Pemberian skor dilakukan berdasarkan nilai SA, SR, RMSE, dan

е

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

1 4 max min max          SA SA

Skor 4 1

max min

max

e 

        e Skor 1 4 max min max           SR SR

Skor 4 1

max min max           RMSE RMSE Skor


(28)

2.4 Pendugaan Biomassa

Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk ranting, daun, cabang, batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (bellow ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buah/biji, dan daun. Biomassa dibawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (diameter < 2mm).

Biomassa hutan di atas permukaan merupakan komponen penting yang sangat terkait dengan siklus karbon, alokasi nutrisi hutan, akumulasi bahan bakar fosil dan habitat dalam ekosistem hutan. Ekosisitem hutan juga mempunyai peranan penting dalam siklus karbon secara global. Hutan menyimpan karbon sekitar 80% (IPCC 2001). Tegakan hutan yang masih produktif untuk tumbuh mampu menyerap gas CO2 yang ada di atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa pohon (Losi et al. 2003).

Metode pengukuran biomassa pada dasarnya ada empat cara utama yaitu metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling), metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling), metode pendugaan melalui pengindraan jauh, dan metode pembuatan model. Metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling) merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa bawah/akar, biomassa kayu mati, biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008). Sedangkan metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak merusak pohon dan hanya mengukur biomassa atas kemudian mengukur diameter dan tinggi pohon serta serasah yang ada.

Metode sampling dengan pemanenan (destructive sampling) memberikan hasil yang paling akurat untuk menduga biomassa, tetapi teknik ini tidak dapat diterapkan pada semua areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup


(29)

besar. Selain kerusakan yang cukup besar, mahalnya biaya dan lamanya waktu serta besarnya tenaga yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) merupakan teknik pendugaan yang saat ini banyak dilakukan karena tidak perlu melakukan pemanenan pohon. Teknik ini memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Parameter penyusun metode non-destructive sampling yaitu diameter pohon, tinggi pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa.

Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa pohon, yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha) dan yang kedua secara langsung dengan menggunakan regresi biomassa. Seperti dikemukakan oleh Tiryana (2005), potensi biomassa hutan juga dapat diketahui melalui data hasil inventarisasi baik dengan menggunakan faktor konversi volume ke biomassa maupun persamaan alometrik yang menghubungkan dimensi pohon (diameter dan atau tinggi) dengan biomassanya.

Diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain kerapatan jenis pohon dan tipe hutan (Chave et al. 2001). Sehubungan dengan pernyataan tersebut Ketterings et al. (2001) membuat model penduga biomassa hutan dengan menggunakan variabel diameter dan kerapatan jenis dalam persamaan sebagai berikut:

W = 0,11 ρ D2,62 Dimana:

W = biomassa (kg/pohon)

ρ = kerapatan jenis (gr/cm3) ρ pohon jati sebesar 0,75 ton/m3 (Martawijaya 1992).

D = diameter setinggi dada (cm)

Selain menggunakan rumus Ketterings, pendugaan biomassa dapat pula menggunakan model alometrik Brown. Pada pendugaan nilai biomassa tegakan jati di lokasi penelitian digunakan model alometrik Brown (1997) yang dikembangkan oleh Hendri (2001) yang diformulasikan kembali oleh Tiryana


(30)

(2011) di daerah KPH Cepu. Hutan Tanaman jati di KPH Cepu memiliki iklim yang sama dengan hutan jati di KPH Madiun yaitu tipe iklim C sehingga kurang lebih kondisi umum lapangan baik kondisi tegakannya memiliki kesamaan. Berikut ini adalah persamaan alometrik Brown yang digunakan:

W = 0,2759D2,2227 (R2 = 0,941) Dimana:

W = biomassa tegakan (kg/pohon) D = diameter setinggi dada (cm)

Dapat pula dengan menggunakan metode perhitungan Vademecum Kehutanan (1976) dalam Ginoga et al. (2005) sebagai berikut:

B = (4/3) V ρ Dimana:

B = biomassa tegakan (ton/ha) V = volume pohon (m3 /ha)

ρ = kerapatan jenis kayu (ton/m3 )

Model Vademecum tersebut digunakan karena mudah diaplikasikan serta cukup sederhana.

Menurut IPCC (2003) dalam Janiatri 2012 terdapat dua pendekatan untuk mengestimasi nilai kandungan biomassa yaitu, pendekatan langsung, menggunakan persamaan allometrik pada sampel plot dan pendekatan tidak langsung menggunakan nilai Biomass Exspansion Factor (BEF). Metode ini termasuk metode non-destructive sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya. Pengkonversian hasil inventarisasi hutan dalam bentuk volume dilakukan dengan mengalikan nilai tersebut dengan konstanta nilai Biomass Exspansion Factor (BEF).

Biomass Expansion Factor (BEF) didefinisikan sebagai rasio total bobot kering tanur di atas permukaan tanah pada diameter minimum (dbh) 10 cm atau lebih dengan bobot biomassa kering tanur pada volume yang diinventarisasi atau rasio antara AGB total dengan biomassa batang yang dapat dimanfaatkan. Pada penelitian ini nilai Biomass Exspansion Factor (BEF) yang digunakan adalah Biomass Exspansion Factor (BEF) pada tegakan Jati yang dikembangkan di


(31)

daerah tropis Panama, di hitung dengan membagi total proporsi biomassa dengan biomassa cabang sehingga menghasilkan nilai BEF sebesar 1,53186 (Kraenzel et al. 2003). Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dilakukan dengan menggunakan rumus :

BAP = V x � x BEF Dimana:

BAP = Biomassa Atas Permukaan (ton/ha) V = Volume tegakan (m3 /ha)

ρ = Berat jenis kayu (ton/m3)

BEF = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 1,53186 untuk Jati pada hutan tropis (Kraenzel et al. 2003).

2.5 Penyusunan Tabel Volume

Penyusunan tabel volume berasal dari model penduga yang terpilih berdasarkan hasil penentuan peringkat gabungan tersebut diatas. Dari model penduga volume yang terpilih akan didapatkan nilai volume untuk nilai tertentu yang diukur atau diamati dilapangan. Kemudian terakhir dapat disusun dalam bentuk tabel volume lokal atau standar untuk jenis tegakan jati (Tectona grandis Linn f.) di KPH Madiun Unit II Jawa Timur pada BKPH Dungus dan BKPH Dagangan.

2.6 Monogram

Monogram adalah suatu tema atau bentuk yang dibuat untuk melengkapi atau mengkombinasikan dua bentuk citra atau beberapa grafik kedalam satu simbol. Jenis objek yang ditaksir dalam menyusun monogram ini adalah kelas potensi penutupan tajuk, kelas diameter tajuk dan jumlah pohon pada citra dijital resolusi tinggi. Penyusunan monogram digunakan sebagai penyajian gambar dari hasil analisis atau interpretasi citra sehingga dapat dilihat perbandingan kelas potensi di lapangan dengan di citra.


(32)

2.7 Pelaporan

Tahapan terakhir dari serangkaian kegiatan penelitian ini adalah pembuatan laporan. Secara keseluruhan tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir berikut.


(33)

Gambar 14 Diagram alir kegiatan. Ya

Analisis Statistik dan Penyusunan Model Tabel Volume Tegakan

Model Penduga Sediaan Mulai

Persiapan Data

Pendukung Citra

Dijital

Rektifikasi

Pra Pengolahan Citra Desain Penarikan Contoh Pengambilan Data Lapangan

Model Penduga Sediaan Diterima

Verifikasi Model Terbaik Peubah

Lapangan

Citra Terkoreksi

Selesai Pembuatan Monogram Tabel Volume Estimasi Biomassa Tidak


(34)

BAB III

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak dan Luas

Letak Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun secara administratif berada di daerah tingkat II dalam tiga wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun (16.075,4 Ha), Kabupaten Ponorogo (12.511,2 Ha) dan Kabupaten Magetan (1.642,6 Ha). Dari ketiga kabupaten tersebut, wilayah hutan KPH Madiun terbagi ke dalam beberapa distrik yaitu Madiun, Caruban dan Kanigoro yang berada dalam wilayah Kabupaten Madiun; Ponorogo, Arjowinangum dan Sumoroto dalam wilayah Ponorogo; serta Gorang-gareng dan Magetan berada dalam wilayah Kabupaten Magetan.

Secara geografis KPH Madiun terletak diantara garis lintang selatan 70 30” –7050” dan 4030” – 4050” BT dengan baris batas sebagai berikut:

1). Sebelah Utara : KPH Saradan

2). Sebelah Timur : KPH Saradan dan Lawu Ds 3). Sebelah selatan : KPH Lawu Ds.

4). Sebelah Barat : KPH Lawu Ds dan Ngawi

Luas Kawasan Hutan KPH Madiun adalah 31.221,62 Ha dengan Kelas Perusahaan Jati 29.063 Ha dan Kelas Perusahaan Kayu Putih 3.137,7 Ha yang dibagi menjadi empat bagian hutan, termasuk didalamnya alur dan sungai. Empat bagian hutan tersebut adalah sebagai berikut:

(a) Bagian Hutan Caruban yang terletak di Kabupaten Madiun dengan luas 11.955,72 Ha.

(b) Bagian Hutan Pagotan di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo dengan luas 4.076 Ha.

(c) Bagian Hutan Ponorogo Timur terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 5.193,7 Ha untuk kelas perusahaan jati dan Bagian Hutan Ponorogo Timur/Sukun untuk kelas perusahaan kayu putih terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 3.736,1 Ha.

(d) Bagian Hutan Ponorogo Barat yang terletk di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Magetan dengan luas 6.260,3 Ha.


(35)

Keempat bagian hutan kelas perusahaan jati tersebut terbagi lagi menjadi 11 BKPH dan 34 RPH.

Secara struktural, KPH Madiun terbagi menjadi dua SKPH, yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH Madiun Selatan, masing-masing dibagi menjadi beberapa BKPH dengan pembagian sebagai berikut:

1. SKPH Madiun Utara, membawahi enam BKPH: a. BKPH Brumbun : 1.756,2 Ha

b. BKPH Caruban : 3.316,8 Ha c. BKPH Dagangan : 2.240,4 Ha d. BKPH Dungus : 3.456,9 Ha e. BKPH Mojorayung : 2.833,5 Ha f. BKPH Ngadirejo : 2.238,5 Ha

2. SKPH Madiun Selatan, membawahi lima BKPH: a. BPKH Bondrang : 2.925,5 Ha

b. BKPH Pulung : 2.207,4 Ha c. BKPH Sampung : 3.613,5 Ha d. BKPH Sukun : 3.701,1 Ha e. BKPH Somoroto : 2.538,6 Ha

3.2 Topografi, Daerah Aliran Sungai, Tanah, dan Iklim

Wilayah kawasan hutan KPH Madiun mempunyai kemiringan lereng, landai, bergelombang, sampai dengan bergunung-gunung. Sungai yang ada yaitu anak sungai madiun yang membentang dari arah selatan ke utara. Wilayah kawasan hutan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada Sub DAS Solo Hulu.

Gambaran secara lebih terinci kondisi setiap bagian hutan adalah sebagai berikut :

1. Bagian Hutan Caruban

Keadaan lapangan rata-rata bergelombang sebelah tenggara curam, secara keseluruhan miring kearah barat laut (daerah kecamatan Balerejo). 2. Bagian Hutan Pagotan

Keadaan lapangan rata, bergelombang, lapangan pada umumnya miring ke barat.

3. Bagian Hutan Ponorogo Barat

Sebelah utara Kali Galah lapangan bergelombang miring ke tenggara, sungai di areal miring ke arah tenggara mengalir ke kali Galali menuju ke


(36)

Madiun, sedangkan sebelah selatan Kali Galah bergunung-gunung sampai dengan curam dengan aliran sungai ke arah timur merupakan hulu Kali Madiun.

4. Bagian Hutan Ponorogo Timur

Keadaan lapangan bergunung-gunung sampai dengan curam. dengan gunung-gunung antara lain; Gunung Rayang Kaki dan Gunung Tumpak Pring. Pada lereng sebelah utara dan barat laut miring ke utara//barat sehingga aliran sungai di daerah ini menuju ke arah barat, di bagian barat aliran sungai menuju ke arah barat, sedangkan di bagian barat laut bertemu dengan Kali Madiun.

Wilayah kawasan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada sub DAS Solo Hulu. Sungai yang ada di Wilayah KPH Madiun yaitu sungai Catur yang melintasi Bagian Hutan Caruban dan Bagian Hutan Pagotan yang bermuara di Kali Madiun terus ke Bengawan Solo.

Sebagian besar jenis tanah di kawasan hutan KPH Madiun untuk SKPH Madiun Utara terdiri dari Mediteran Cokelat Kemerahan dan Litosol Coklat Kemerahan, sedangkan di wilayah KPH Madiun Selatan terdiri dari jenis Aluvial Kelabu Tua, Glei humus dan Mediteran Coklat Kemerahan.

Wilayah hutan KPH Madiun terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering selama empat tahun yaitu tahun 1996-1999 maka menurut klasifikasi type iklim Schmidt dan Ferguson (1951), KPH Madiun termasuk ke dalam tipe curah hujan C dimana mempunyai nilai Q = 57% (33,3% - 60%) dengan rata-rata bulan basah adalah 7 bulan dan rata-rata bulan kering 4 bulan selama setahun. Dengan tipe iklim C. KPH Madiun cocok untuk tempat tumbuh jati.

Berdasarkan peta hutan RPKH KPH Madiunjangka 2001-2010, tipe ilkim C untuk sebagian wilayah Bagian Hutan Ponorogo Timur dan Pagotan dan tipe iklim D untuk Bagian Hutan Caruban, sebagian besar Pagotan, Ponorogo Barat dan sebagian Ponorogo Timur.


(37)

3.3 Kondisi Sosial Ekonomi 1. Pengembangan Desa Hutan

Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan sosial ekonomi, dinyatakan pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya dan swasembada. Desa-desa dilingkungan kawasan hutan KPH Madiun pada urnumnya mempunyai kategori Desa Swasembada. 2. Kependudukan

Jumlah penduduk dalarn kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Madiun adalah ; 804.789 orang, terdiri dan ; 393.121 laki-laki dan 411.667 perempuan.

3. Mata Pencaharian

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar bervariasi yaitu petani, pedagang, buruh, pegawai negeri/ABRI, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada Tabel 6 berikut:

Tabel 6 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun

Mata pencaharian

(orang)

Kabupaten

Jumlah

Madiun Magetan Ponorogo

Petani 324.041 219.333 108.463 651.463

Pedagang 47.809 93.491 5.912 1.928

Pensiunan 534 45 1.349 1.928

Buruh 37.185 81.779 85.147 204.111

Peg/TNI 58.443 63.772 8.884 131.099

Lain-lain 10.624 52.009 49.043 111.676

Jumlah 478.636 510.429 258.424 1.247.489


(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Korelasi antar peubah

Besarnya kekuatan hubungan antar peubah dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya (r). Nilai koefisien korelasi memberikan pengertian seberapa saling berhubungannya bila secara positif atau negatif. Nilai koefisien korelasi ini tidak dapat menggambarkan hubungan kausal atau sebab akibat antara nilai dua peubah tersebut. Matrik hubungan korelasi antar peubah bebas C (persentase penutupan tajuk (crown cover)), D (diameter tajuk), dan N (jumlah pohon) yang diukur di lapangan dan hasil pengamatan pada citra dijital resolusi tinggi dengan volume bebas cabang (Vbc) di lapangan. Hubungan keeratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

Peubah Vbc-Lap Cc Dc Nc C-Lap D-Lap

Cc 0,784 (0,000**)

Dc 0,585 0,301

(0,000**) (0,066tn)

Nc -0,115 0,097 -0,647 (0,491tn) (0,562tn) (0,000**)

C-Lap 0,500 0,72 -0,169 0,59 (0,001**) (0,000**) (0,310tn) (0,000**)

D-Lap 0,830 0,577 0,813 -0,547 0,114 (0,000**) (0,000**) (0,000**) (0,000**) (0,496tn)

N-Lap -0,303 -0,075 -0,786 0,883 0,494 -0,747 (0,064tn) (0,656tn) (0,000**) (0,000**) (0,002**) (0,000**) Keterangan: Angka yang diatas menunjukkan nilai koefisien korelasi

Angka dalam kurung adalah nilai P-valuenya.

Nilai-p {** = sangat nyata (α = 0,01); * = nyata (α = 0,05); tn = tidak nyata } Pada Tabel 7 dijelaskan tentang besarnya korelasi antar peubah-peubah C (persentase penutupan tajuk (crown cover)), D (diameter tajuk) dan N (jumlah tajuk) baik pada citra dijital non-metrik ataupun pada pengukuran di lapangan. Pada lokasi BKPH Dungus, nilai korelasi yang tinggi ditunjukkan pada hubungan antara diameter tajuk lapangan (D-Lap) dengan nilai volume bebas cabang di lapangan (Vbc-Lap). Korelasi antara Vbc-lap dengan D-lap adalah sebesar 0,830


(39)

dengan (ρ = 0,000) pada taraf nyata 1%. Nilai korelasi positif dan p-value yang sangat nyata memiliki arti bahwa antara dua peubah apabila terjadi kenaikan satu satuan diameter tajuk maka akan diikuti dengan kenaikan volume pohon sebesar 0,830 satuan dan sebaliknya. Selanjutnya nilai koefisien korelasi antara Vbc-lap dengan N-lap adalah sebesar -0,303 (ρ = 0,064) tidak nyata. Nilai negatif dari koefisien korelasi tersebut memiliki arti bahwa jika jumlah pohonnya banyak maka volume perpohon akan bernilai kecil dan sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhannya yang tidak normal dan juga belum dilakukannya penjarangan pada kelas umur kecil sehingga mengakibatkan hubungannya negatif. Untuk hubungan korelasi antara Vbc-lap dengan C-lap memiliki nilai sebesar 0,500 (ρ = 0,001) sangat nyata. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila nilai C-lap meningkat maka akan selalu diikuti oleh nilai Vbc-lap nya.

Hubungan antara peubah citra dengan sediaan tegakan di lapangan yang memiliki korelasi tinggi adalah antara Vbc-lap dengan Cc (persentase penutupan tajuk (crown cover) citra). Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,784 (ρ = 0,000) sangat nyata. Demikian pula hubungan antara Vbc-lap dengan Dc (diameter tajuk citra). Nilai korelasinya sebesar 0,585 (ρ = 0,000) sangat nyata. Hal tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi kenaikan satu satuan pada persentase penutupan tajuk (crown cover) dan diameter tajuknya maka diikuti pula kenaikan pada satu satuan volumenya. Lain halnya dengan jumlah pohon yang memiliki nilai korelasi yang negatif. Korelasi antara Vbc-lap dengan Nc (jumlah pohon citra) bernilai sebesar -0,115 (ρ = 0,491) seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Untuk lokasi BKPH Dagangan hubungan matrik korelasi dapat dilihat pada Tabel 8.


(40)

Tabel 8 Hubungan matrik korelasi antar peubah pada lokasi BKPH Dagangan

Peubah Vbc-Lap Cc Dc Nc C-Lap D-Lap

Cc 0,655 (0,000**)

Dc 0,494 0,222

(0,002**) (0,181tn)

Nc 0,786 0,615 -0,022

(0,000**) (0,000**) (0,895tn)

C-Lap 0,334 0,69 -0,091 0,388

(0,041*) (0,000**) (0,588tn) (0,016*)

D-Lap 0,180 0,125 0,777 -0,317 0,009 (0,280tn) (0,454tn) (0,000**) (0,052*) (0,959tn)

N-Lap 0,773 0,644 0,027 0,942 0,52 -0,295

(0,000**) (0,000**) (0,871tn) (0,000**) (0,001**) (0,073tn) Keterangan: Angka yang diatas menunjukkan nilai koefisien korelasi

Angka dalam kurung adalah nilai P-valuenya.

Nilai-p {** = sangat nyata (α = 0,01); * = nyata (α = 0,05); tn = tidak nyata } Korelasi tertinggi pada BKPH Dagangan adalah antara Vbc-Lap dengan N-lap dengan nilai korelasi sebesar 0,773 (ρ = 0,000). Ini berarti bahwa semakin besar pohon maka semakin besar pula volumenya. Hubungan terendah adalah antara diameter tajuk lapangan (D-Lap ) dengan Vbc-lap sebesar 0,180 (ρ = 0,280). Hal itu disebabkan pada saat dilakukannya penelitian ini pada saat musim kemarau yang menyebabkan tegakan jati meranggas yang mempengaruhi interpretasi visual di lapangan terganggu dan hasilnya menjadi kecil. Korelasi antara volume lapangan (Vbc-lap) dengan jumlah pohon citra (Nc) memiliki korelasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,786 (ρ = 0,000) sehingga memiliki hubungan yang positif dan erat. Sedangkan untuk hubungan terendahnya yaitu hubungan antara Vbc-lap dengan Dc (diameter tajuk citra) yaitu sebesar 0,494 (ρ = 0,002) sangat nyata.

4.2 Konsistensi Dimensi Tegakan

Hasil pengukuran dimensi tegakan di lapangan dan di citra didapatkan beberapa peubah, diantaranya persentase penutupan tajuk (crown cover)(C), diameter tajuk (D), dan jumlah pohon (N). Masing-masing peubah dibandingkan antara di citra dan dilapangan yang selanjutnya dikaji korelasi antara hasil pengukuran antara dilapangan dan dicitra guna mengetahui konsistensinya. Pada


(41)

Tabel 9 dijelaskan tentang nilai kisaran rata-rata antara peubah berdasarkan data hasil pengamatan pada citra dan lapangan yang dilampirkan pada Lampiran 3 dan 4.

Tabel 9 Kisaran dan rata-rata hasil pengukuran

BKPH Peubah Kisaran

Dungus C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) citra 45% - 87% C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) lapang 29% - 86%

D (Diameter tajuk) citra 3,57 m- 8,5 m

D (Diameter tajuk) lapang 4,48 m – 11,57 m

N (Jumlah pohon) citra 5 - 22

N (Jumlah pohon) lapang 6 - 25

Dagangan C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) citra 62% - 94% C (Persentase penutupan tajuk (crown cover)) lapang 40% - 85%

D (Diameter tajuk) citra 6 m - 10,49 m

D (Diameter tajuk) lapang 7,49 m – 12,21m

N (Jumlah pohon) citra 5 – 17

N (Jumlah pohon) lapang 4 - 17

Berdasarkan rata-rata konsistensi tersebut, maka dapat digambarkan pada diagram pencar dari hasil pengamatan di citra dijital non-metrik dengan hasil pengukuran dilapangan (Gambar 15 sampai dengan Gambar 17) untuk BKPH Dungus. Sedangkan data hasil lapangan dan citra dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Gambar 15 Diagram pencar hubungan antara diameter tajuk pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.

y = 1,203x + 0,416 R² = 66,1%

0 2 4 6 8 10 12 14

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00

D iam e te r l ap an g (m )

Diameter citra (m)


(42)

Gambar 16 Diagram pencar hubungan antara persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.

Gambar 17 Diagram pencar hubungan antara jumlah pohon pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dungus.

Berdasarkan hasil diagram pencar tersebut diketahui bahwa ada konsistensi yang tinggi antara hasil pengukuran peubah tegakan pada citra dan lapangan. Nilai koefisien determinasi jumlah pohon, diameter tajuk dan persentase penutupan tajuk (crown cover), adalah sebesar 78%; 66,1%; dan 51,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran jumlah pohon memiliki keberagaman yang tinggi.

y = 0,938x - 7,565 R² = 51,8%

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 50 100

C l ap an gan (% )

C citra (%)

Persentase penutupan tajuk citra & lapangan (C)

y = 1,079x - 1,148 R² = 78%

0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25

N

Lap

an

gan

N citra


(43)

Diagram pencar pada BKPH Dagangan disajikan pada Gambar 18 sampai dengan Gambar 20.

Gambar 18 Diagram pencar hubungan antara diameter tajuk pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dagangan.

Gambar 19 Diagram pencar hubungan antara persentase penutupan tajuk (crown cover) pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH

Dagangan.

y = 4,537e0,086x R² = 59,8% 0 2 4 6 8 10 12 14

0 5 10 15

D l ap an gan (m )

D Citra (m)

Diameter tajuk citra & lapangan (D)

y = 16,80e0,015x R² = 52,7%

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 50 100

C La p an ga n (% )

C Citra (%)


(44)

Gambar 20 Diagram pencar hubungan antara jumlah pohon pada citra dijital non-metrik dan di lapangan BKPH Dagangan.

Diagram pencar pada BKPH Dagangan yang memiliki koefisien determinasi yang tinggi yaitu antara jumlah pohon adalah sebesar 88,7%. Sedangkan persentase penutupan tajuk (crown cover) memiliki hasil koefisien determinasi yang relatif kecil yaitu 52,7%.

Berdasarkan hasil perbandingan tersebut diketahui bahwa konsistensi yang tinggi yaitu perbandingan antara jumlah pohon citra dan jumlah pohon lapangan untuk di kedua BKPH. Sedangkan konsistensi yang rendah baik di BKPH Dungus maupun di BKPH Dagangan yaitu antara persentase penutupan tajuk citra dengan persentase penutupan tajuk lapangan. Hal tersebut disebabkan oleh pengamatan persen penutupan tajuk yang sangat subyektif, yaitu tergantung kepada keahlian dan ketrampilan interpreter. Sehingga menyebabkan hasil yang berbeda antara interpreter satu dengan yang lain.Salah satu sifat jati yang meranggas pada musim kemarau juga menjadi salah satu penyebab nilai konsistensi antara penutupan tajuk citra dengan lapangan kecil. Sebab adanya perbedaan musim saat pengambilan sampel dengan pemotretan foto udara yang dapat menyebabkan nilai konsistensinya kecil.

4.3 Pemilihan Model Persamaan Regresi Antar Peubah

Dalam pemilihan model yang digunakan pertama yaitu pertimbangan besarnya nilai koefisien determinasi. Koefisien determinasi (R2 ) merupakan suatu ukuran dari besarnya keragaman peubah tidak bebas yang dapat diterangkan oleh

y = 1,007x - 0,100 R² = 88,7% 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 5 10 15 20

N l ap an gan N citra


(45)

keragaman bebasnya. Dimana koefisien ini digunakan untuk mengetahui tingkat ketelitian dan keeratan hubungan antar peubah yang digunakan pada model terpilih. Namun dalam pemilihan model tidak hanya di titik beratkan pada nilai koefisien determinasi yang terbesar. Sebab masih harus dilakukan uji verifikasi model berdasarkan peringkat hasil skor uji verifikasi dari masing-masing nilai Uji-χ2 ,

е

(Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata-rata) dan RMSE (Root Mean Square Error) untuk dapat menentukan hasil pemilihan model terbaik.

Model-model yang memenuhi syarat untuk pendugaan volume tegakan disajikan pada Tabel 10.Berdasarkan hasil analisis korelasi, model-model tersebut memiliki nilai r yang relatif tinggi. Seperti pada lokasi BKPH Dungus nilai r berkisar antara 0,77 sampai 0,89 sedangkan pada BKPH Dagangan kisaran nilai r relatif tinggi yaitu sebesar 0,75 sampai 0,93.

Berdasarkan analisis uji Z, diketahui bahwa peubah bebas pada keseluruhan model yang terbangun memiliki hubungan yang cukup erat terhadap nilai volumenya. Hal tersebut diketahui dari nilai Z-hitung yang lebih kecil dari nilai Z-tabelnya. Demikian pula dengan nilai koefisien determinasinya (R2 ). Baik di BKPH Dungus dan BKPH Dagangan memiliki nilai R2 yang lebih dari 50%. Rata-rata di BKPH Dungus sebesar 57,2% - 79,3% dan di BKPH Dagangan sebesar 56% - 85,7% sehingga model terbangun pada BKPH Dungus dan Dagangan layak untuk digunakan.


(46)

Tabel 10 Model penduga volume tegakan

BKPH No Model R2(%) R

2 -adj (%)

F- tabel

F- hit r Z-hitung

α= 0.05 α= 0.01

Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 75,4 72,6 2,98 4,64 26,59 0,87 -0,298

2 Vbc = -62,221+1,266C 57,2 55,7 4,20 7,64 37,48 0,76 -0,216

3 Vbc = -36,72+0,008C2

+0,422D2+0,015N2 74,6 69,3 2,98 4,64 80,56 0,86 -0,381

4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 60 51,6 4,20 7,64 49,64 0,77 -0,463

5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0,004CD+0,022C2

-1,323D2 79,3 75 2,51 3,67 99,96 0,89 -0,195

6 Vbc = 1,735E-5C3,336 59,6 51,1 4,18 7,6 49,10 0,77 -0,339

7 Vbc = 1,499E-5C2,693

D1,159 N0,267 73,7 68,1 2,93 4,54 77,57 0,86 -0,36 8 Vbc = -32,512 + 0,008C2

+ 0,359D2 74 68,5 3,35 5,49 78,58 0,86 -1,08

Dagangan

1 Vbc=10,361+1,169N 56,4 54,8 4,20 7,64 36,18 0,75 -0,24

2 Vbc=-10,164+1,027N+1,752D+0,081C 85,7 84 2,98 4,64 51,78 0,93 -0,15

3 Vbc=6,909N0,507 56 50,9 4,20 7,64 588,88 0,75 -0,22

4 Vbc=0,461 C0,278 D0,744 N0,449 85,5 83,85 2,98 4,64 1800,89 0,93 -0,22 5 Vbc=3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 85,1 83,4 2,98 4,64 1752,96 0,92 -4,47 6 Vbc=-28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 71,5 65,6 2,51 3,67 560,57 0,84 -3,96 Keterangan: Z-tabel = 1,96


(47)

4.4 Verifikasi Model

Berdasarkan peringkat hasil skor uji verifikasi dari masing-masing nilai Uji-χ2 ,

е

(Bias), SA (Simpangan Agregat), SR (Simpangan Rata-rata) dan RMSE (Root Mean Square Error) (Tabel 12), maka dapat diketahui bahwa model terbaik untuk menduga sediaan tegakan jati pada lokasi BKPH Dungus yaitu Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 dengan R2 = 73,7% dan skor total sebesar 18,99 sedangkan model terbaik untuk menduga sediaan tegakan jati pada lokasi BKPH Dagangan yaitu Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C dengan R2 =85,7% dan skor totalnya sebesar 22,79. Hal ini dapat diketahui berdasarkan nilai uji koefisien regresi, nilai koefisien determinasi serta nilai uji verifikasi seperti pada Tabel 10, 11, dan 12.

Berikut ini akan disajikan Tabel 11 dan 12 yang akan menjelaskan model mana yang terpilih serta data penyusunan model yang terlampir pada Lampiran 5 sampai 8.


(48)

Tabel 11 Uji verifikasi model

BKPH No Model SA SR

e

RMSE t- hit t- tabel χ2

-hit

χ2 -tabel (0.05) Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 0,04 51,57 54,71 33,54 0,343 1,895 56 66,34

2 Vbc = -62,221+1,266C 0,01 51,76 66,88 3,53 -0,091 1,895 56 66,34

3 Vbc = -36,72+0,008C2+0,422D2+0,015N2 0,02 37,50 39,82 26,02 0,208 1,895 56 66,34 4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 0,12 28,82 64,70 36,55 -1,322 1,895 56 66,34 5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0,004CD+0,022C2-1,323D2 0,01 48,17 35,91 21,54 0,111 1,895 56 66,34

6 Vbc = 1,735E-5C3,336 0,05 25,75 48,78 29,52 -0,53 1,895 56 66,34

7 Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 0,05 20,65 30,77 16,29 -0,667 1,895 56 66,34 8 Vbc = -32,512 + 0,008C2 + 0,359D2 0,11 77,00 48,30 28,15 0,986 1,895 56 66,34 Dagangan

1 Vbc= 10,361+1,169N 0,05 13,58 15,76 8,62 0,872 1,895 48 58,12

2 Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C 0,04 7,60 7,44 2,91 1,33 1,895 56 66,34

3 Vbc= 6,909N0,507 0,05 13,74 15,78 8,34 1,028 1,895 48 58,12

4 Vbc= 0,461 C0,278 D0,744 N0,449 0,04 8,54 8,44 3,42 1,367 1,895 56 66,34 5 Vbc= 3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 0,05 8,61 10,00 4,86 -1,763 1,895 56 66,34 6 Vbc= -28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 0,02 9,99 9,93 4,55 0,333 1,895 56 66,34


(49)

Tabel 12 Peringkat hasil verifikasi model terbaik

BKPH No Model SA SR

е

RMSE Skor

R2 Total Peringkat Dungus 1 Vbc = -93,741+1,107C+5,451D+0,419N 3,72 2,80 2,35 1,36 1,71 11,94 7

2 Vbc = -62,221+1,266C 4,92 2,79 1,00 5,00 5,00 18,71 2

3 Vbc = -36,72+0,008C2+0,422D2+0,015N2 4,63 3,80 4,00 2,28 1,85 16,56 4

4 Vbc = 90,582-3,033C+0,03C2 1,00 4,42 1,24 1,00 4,49 12,15 6

5 Vbc = -16,190-2,068C+21,02D-0.004CD+0,022C2-1,323D2 5,00 3,05 4,43 2,82 1,00 16,30 5

6 Vbc = 1,735E-5C3,336 3,49 4,64 3,01 1,85 4,57 17,55 3

7 Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 3,52 5,00 5,00 3,45 2,01 18,99 1

8 Vbc = -32,512 + 0,008C2 + 0,359D2 1,18 1,00 3,06 2,02 1,96 9,22 8 Dagangan

1 Vbc= 10,361+1,169N 1,71 1,11 1,00 1,00 1,05 5,87 5

2 Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C 2,79 5,00 5,00 5,00 5,00 22,79 1

3 Vbc= 6,909N0,507 1,00 1,00 0,99 1,19 1,00 5,18 6

4 Vbc= 0,461 C0,278 D0,744 N0,449 2,20 4,39 4,52 4,64 4,97 20,72 2 5 Vbc= 3,945+0,001C2+0,102D2+0,05N2 1,06 4,34 3,77 3,63 4,92 17,72 4 6 Vbc= -28,279-0,595C+14,229D+0,045CD+0,003C2-0,989D2 5,00 3,45 3,80 3,85 3,09 19,19 3


(50)

4.5 Pendugaan Biomassa

Setelah mendapatkan volume dari hasil model pendugaan sediaan tegakan kemudian dapat pula menentukan nilai biomassanya. Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisme hidup setiap pohon di atas permukaan tanah yang dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area.

Pada penelitian ini nilai estimasi biomasa dibedakan dalam KU (Kelas Umur) pada kedua BKPH. Pada BKPH Dungus kelas umur yang ada yaitu kelas umur III, VI, VII, dan VIII. Sedangkan pada BKPH Dagangan dibedakan dalam kelas umur IV, V, VI, VII, dan VIII. Pada penelitian ini menggunakan rumus alometrik Brown (1997), Ketterings, Vademecum Kehutanan (1976) dan menggunakan rumus biomassa menggunakan BEF. Berdasarkan Gambar 21 dan perhitungan biomassa pada Lampiran 9 total nilai biomassa pada BKPH Dungus dengan menggunakan BEF (Biomassa Expantion Factor ) memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pendugaan biomassa Brown, Ketterings, dan Vademecum.

Gambar 21 Grafik total biomassa alometrik Brown, Ketterings, Vademecum, dan BEF pada BKPH Dungus.

Nilai biomassa total terendah yang disajikan pada Tabel 13 pada lokasi BKPH Dungus terdapat pada kelas umur III dengan nilai sebesar 451,17ton/ha

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

III VI VII VIII

B iom a ss a ( ton /h a)

KU (Kelas Umur)

Brown Ketterings Vademecum BEF


(51)

untuk persamaan Brown, 452,05 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 1.291,35 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 1.483,63 ton/ha untuk persamaan menggunakan BEF. Sedangkan nilai total biomassa tertinggi pada kelas umur VII sebesar 2.988,09 ton/ha untuk persamaan Brown, 4.310,8 ton/ha pada persamaan Ketterings, 5.503,57 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 6.323,03 ton/ha dengan menggunakan BEF.

Tabel 13 Total biomassa di BKPH Dungus

KU ∑ Plot per

KU

Total Biomassa per KU(ton/ha)

Brown Ketterings Vademecum BEF

III 4 451,17 452,05 1291,36 1483,63

VI 7 930,07 1226,77 2201,81 2529,65

VII 16 2988,09 4310,80 5503,57 6323,03

VIII 3 478,03 685,86 1028,31 1181,43

Sedangkan pada lokasi BKPH Dagangan seperti yang disajikan pada Gambar 22, kelas umur V memiliki nilai total biomassa yang rendah untuk keempat persamaan pendugaan biomassa dan pada kelas umur VII memiliki nilai biomassa total tertinggi.

Gambar 22 Grafik total biomassa alometrik Brown, Ketterings, Vademecum, dan BEF pada BKPH Dagangan.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

IV V VI VII VIII

B iom a ss a ( ton /h a )

KU (Kelas Umur)

Brown Ketterings Vademecum BEF


(52)

Berdasarkan Tabel 14 dan hasil perhitungan total (Lampiran 10) nilai estimasi biomassa terendah terdapat pada kelas umur V yaitu sebesar 633,68 ton/ha untuk persamaan Brown, 750,74 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 887,51 ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 1.019,65 ton/ha dengan menggunakan BEF.

Tabel 14 Total biomassa di BKPH Dagangan

KU ∑ Plot per

KU

Total Biomassa per KU(ton/ha)

Brown Ketterings Vademecum BEF

IV 4 916,36 1068,12 1384,64 1590,80

V 4 633,68 750,74 887,51 1019,65

VI 4 713,90 1061,60 1043,36 1042,76

VII 14 2134,05 3056,13 3110,50 3573,64

VIII 4 749,21 1069,08 987,82 1134,91

Sedangkan untuk nilai estimasi total tertinggi terdapat pada kelas umur VII yaitu sebesar 2.134,05 ton/ha untuk persamaan Brown, 3.056,13 ton/ha untuk persamaan Ketterings, 3.110,50ton/ha untuk persamaan Vademecum dan 3.573,64 ton/ha dengan menggunakan formula BEF.

Perhitungan biomassa dengan menggunakan BEF menghasilkan nilai biomassa yang lebih tinggi baik di lokasi BKPH Dungus dan BKPH Dagangan sedangakan menggunakan alometrik Brown cenderung underestimate sehingga lebih tepat menggunakan persamaan Ketterings dan Vedemecum. Pada alometrik Ketterings peubah yang digunakan yaitu diameter untuk mencari estimasi biomassanya. Sedangkan pada persamaan Vedemecum peubah yang digunakan adalah volume. Volume tersebut didapatkan dari hasil pemilihan persamaan model terbaik yang memiliki unsur peubah C-c(persentase penutupan tajuk citra), D-c (diameter tajuk citra), N-c (jumlah pohon citra), sehingga dapat dihubungkan bahwa dengan menggunakan pemanfaatan citra dijital non-metrik dapat pula diduga nilai estimasi biomassanya.

Besarnya nilai pendugaan dengan menggunakan BEF dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah BEF yang digunakan untuk menghitung biomassa tidak dihasilkan dari data pada daerah penelitian. Nilai BEF pada tegakan jati ini dikembangkan oleh Kraenzel et al. (2003) berdasarkan data perhitungan biomassa


(1)

Lampiran 6 Data Penyusunan Model Penduga Potensi Tegakan BKPH Dagangan No No

plot N citra

N-lap D citra D-lap C

citra C-lap

Vbc-lap (m3 )

Vbc-citra

1 8 10 8 8,47 9,39 89 50 20,77 22,19

2 9 10 9 8,99 9,52 82 53 20,17 22,40

3 17 9 9 8,69 9,51 80 52 18,69 21,90

4 18 12 10 8,24 9,41 83 58 23,69 21,51

5 19 8 9 9,85 9,91 79 61 21,02 23,71

6 38 9 9 6,70 8,35 79 63 15,61 17,73

7 42 14 15 9,30 10,52 92 81 27,99 25,26

8 50 6 5 6,50 8,40 65 55 13,69 16,48

9 51 8 10 6,39 7,98 85 80 15,54 17,27

10 64 10 10 6,90 8,21 85 85 20,14 18,20

11 70 14 14 8,86 9,62 91 73 25,58 23,15

12 101 9 9 9,72 8,87 73 46 20,28 21,28

13 112 9 10 8,56 9,60 82 64 19,34 22,09

14 129 11 10 8,67 10,01 83 56 24,87 23,00

15 143 8 7 9,65 12,21 81 60 21,63 27,70

16 168 12 11 8,83 8,43 85 62 23,79 20,56

17 177 5 4 9,40 11,81 62 40 17,96 25,21

18 184 11 10 9,35 9,77 85 62 26,41 23,44

19 188 6 6 9,85 11,63 82 54 18,10 26,96

20 194 13 13 7,52 8,34 76 55 22,14 18,33

21 201 10 10 8,60 9,21 81 58 22,43 21,37

22 220 9 10 10,09 11,54 85 80 23,76 27,29

23 225 6 6 9,70 10,18 65 45 18,69 22,91

24 231 10 11 8,96 8,86 83 55 22,28 21,28

25 244 9 9 9,72 11,16 88 70 24,80 26,51

26 245 10 11 8,66 9,26 86 63 25,17 21,91

27 257 12 12 8,56 9,68 92 69 25,95 23,04

28 276 10 10 8,63 10,09 94 68 23,11 23,99

29 282 11 10 9,56 10,56 94 67 25,80 25,77


(2)

71

Lampiran 7 Data Validasi Model Penduga Potensi Tegakan BKPH Dungus No No

plot

D-c (m)

D-lap (m)

C-c (%)

C-lap(%) N-c N-lap

Vbc_lap (m3 )

Vbc-c (m3 )

1 16 7,50 9,81 74 60 8 9 30,38 29,17

2 27 7,14 8,59 75 68 15 15 34,71 33,79

3 36 5,00 4,97 45 29 15 19 7,02 5,65

4 52 5,50 6,1 71 75 19 20 12,91 22,95

5 176 3,67 4,48 60 60 22 22 4,78 9,49

6 213 7,72 8,7 80 62 12 14 33,1 41,47

7 263 8,00 10,21 70 57 10 11 30,89 28,73

8 271 7,00 9,89 87 78 17 17 57,54 50,92

Lampiran 8 Data Validasi Model Penduga Potensi Tegakan BKPH Dagangan No No

plot

D-lap (m)

D-c (m)

C -c (%)

C-lap

(%) N-c N-lap

V_lap (m3 )

Vbc-c (m3 )

1 27 7,49 6,00 65 50 6 5 10,60 11,78

2 43 8,99 8,81 91 69 13 5 27,07 25,99

3 136 8,95 9,48 82 59 11 12 26,64 24,39

4 152 8,26 8,37 83 62 17 17 30,57 28,68

5 175 11,73 10,49 84 66 7 8 20,09 22,21

6 216 9,6 8,93 77 60 9 9 23,71 20,97

7 250 11,03 9,82 84 65 9 10 23,31 23,09


(3)

Lampiran 9 Data Perhitungan Biomassa BKPH Dungus

KU No

Plot

Nilai Biomassa Berdasarkan Persamaan (ton/ha) Alometrik Brown Ketterings Vademecum BEF

III 175 132,86 133,31 283,81 326,07

241 99,97 97,75 275,72 316,77

259 117,78 117,91 361,00 414,75

275 100,56 103,08 370,83 426,04

total 451,17 452,05 1.291,36 1.483,63

VI 38 176,54 237,00 454,02 521,62

51 104,33 131,08 236,08 271,23

66 163,85 216,85 390,23 448,33

83 160,67 210,14 428,97 492,84

100 81,71 99,20 166,55 191,35

192 115,57 151,88 279,12 320,68

234 127,39 180,62 246,85 283,60

total 930,07 1.226,77 2.201,81 2.529,65

VII 7 90,43 127,86 133,33 153,18

8 111,85 155,95 159,58 183,34

23 167,43 242,52 258,04 296,46

33 248,38 379,57 421,37 484,11

34 151,68 224,69 252,00 289,52

58 160,78 242,65 466,85 536,36

73 258,73 388,79 352,53 405,02

88 161,21 220,19 242,20 278,26

105 96,48 119,98 310,86 357,14

123 310,10 455,85 453,00 520,45

141 284,46 387,27 456,28 524,22

215 218,90 327,28 425,96 489,38

235 205,55 289,44 429,13 493,03

236 132,81 179,70 265,75 305,31

253 215,34 326,78 523,14 601,03

254 173,96 242,29 353,55 406,19

total 2.988,09 4.310,80 5.503,57 6.323,03

VIII 246 104,10 139,08 228,79 262,86

289 150,71 211,04 376,40 432,45

294 223,22 335,73 423,12 486,12


(4)

73

Lampiran 10 Data Perhitungan Biomassa BKPH Dagangan

KU No Plot Nilai Biomassa Berdasarkan Persamaan (ton/ha) Alometrik Brown Ketterings Vademecum BEF

IV 38 206,97 264,77 430,19 494,24

50 189,43 266,38 316,13 363,20

51 232,97 383,54 161,32 185,34

64 286,99 153,42 477,00 548,02

total 916,36 1.068,12 1.384,64 1.590,80

V 8 123,81 173,93 221,47 254,45

9 132,05 185,33 224,98 258,48

17 133,93 189,38 207,78 238,72

18 143,90 202,11 233,27 268,00

total 533,68 750,74 887,51 1.019,65

VI 184 156,23 221,59 243,94 280,27

188 143,86 218,59 198,97 228,60

220 241,84 372,10 372,10 271,55

276 171,97 249,32 228,35 262,34

total 713,90 1.061,60 1.043,36 1.042,76

VII 112 148,75 208,87 207,24 238,10

129 166,10 238,11 230,41 264,72

143 193,28 303,10 215,20 247,24

168 136,69 184,26 245,15 281,65

177 101,50 156,66 164,62 189,13

194 135,19 178,93 225,13 258,65

201 131,83 180,28 217,31 249,66

225 104,12 150,37 182,57 209,76

231 131,68 177,60 225,34 258,89

244 203,33 310,79 232,38 266,98

245 152,00 212,56 222,43 255,54

257 184,45 261,61 246,05 282,68

282 193,34 285,79 254,95 292,91

292 151,79 207,20 241,74 277,73

total 2.134,05 3.056,13 3.110,50 3.573,64

VIII 19 153,70 225,37 217,08 249,40

42 279,64 407,13 279,60 321,23

70 208,57 292,60 270,99 311,34

101 107,30 143,98 220,16 252,94


(5)

Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis linn.f) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA.

Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan hutan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan lestari. Kegiatan inventarisasi hutan dilakukan guna mengumpulkan data dan informasi tentang potensi sumberdaya hutan yang dapat dilakukan dengan metode terestris, metode teknologi penginderaan jauh atau dengan mengkombinasikan metode terestris dan teknologi penginderaan jauh. Dalam kegiatan inventarisasi hutan umumnya diperlukan alat bantu, yang diantaranya dapat berupa tabel volume pohon, tabel volume tegakan dan atau tabel volume udara tegakan. Lebih lanjut penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan model penduga sediaan dan biomassa tegakan dengan menggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi. Biomasa menjadi salah satu parameter yang digunakan dalam mengetahui perubahan struktur hutan, karena stok biomassa bergantung pada kondisi tegakan seperti kondisi permudaan alam, kondisi gangguan dan peruntukan hutan (IPCC 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model penduga sediaan dan biomassa tegakan jenis jati (Tectona grandis Linn.f) di areal kerja KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan menggunakan citra dijital non-metrik resolusi tinggi. Data citra dijital non-metrik resolusi tinggi KPH Madiun yang digunakan direkam pada April 2011. Dalam proses analisis data, pada penelitian ini digunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak

ArcView GIS 3.2, Erdas Imagine, Microsoft Excel 2007 dan SPSS ver. 16. Alat-alat bantu yang digunakan selama pengambilan data di lapangan mencakup GPS, kompas brunton, meteran, phi-band, suunto clinometers, haga hypsometer, alat tulis, kamera digital dan kamera SLR dengan lensa fish eye. Rangkaian penelitian ini mencakup pra pengolahan citra, pengambilan contoh di lapangan dan pengolahan data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penutupan tajuk (crown cover) citra (C-citra) memiliki korelasi yang erat dengan volume lapangan (Vbc) dengan nilai r sebesar 0,784 untuk lokasi BKPH Dungus, sedangkan untuk BKPH Dagangan ditemukan korelasi yang erat antara jumlah pohon citra (N-citra) dengan Vbc dengan nilai r sebesar 0,786. Berdasarkan analisis statistik, evaluasi, dan verifikasi model maka model penduga terbaik untuk lokasi BKPH Dungus adalah Vbc = 1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 dengan R2 = 73,7% sedangkan untuk lokasi BKPH Dagangan adalah Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C dengan R2 = 85,7% . Model yang nilai estimasi biomassanya paling rendah adalah menggunakan persamaan Brown sedangkan estimasi paling tinggi adalah menggunakan formula BEF. Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa volume biomassa tegakan di BKPH Dungus dan BKPH Dagangan cenderung mengalami penurunan setelah KU VII.

Kata kunci : Remote sensing technology, standing stock, biomass, high resolution non metric digital imagery, unmanned aircraft, aerial volume table.


(6)

SUMMARY

ERI SEPTYAWARDANI. E14070022. Developing Estimation Model of Standing Stock and Biomass Stock for Teak (Tectona grandis, Linn.F) Forest Using High Resolution Non-metric Digital Imagery. Report Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA.

Forest inventory is part of the forest planning that holds an important role in sustainable forest management. Forest inventory activities are usually conducted to collect data and information related to forest resource potential. It can be done either by terrestrial method, remote sensing method or by combining both the remote sensing technology and terrestrial method. To facilitate forest survey, forest inventory usually uses an aid tools such as stand volume table, tree volume table or aerial stand volume table. In this research the author focused on the establishment of standing stock estimation model using digital a high resolution non-metric imagery. Furthermore, the estimated standing stock can be converted into biomass volume. Biomass is one of the several parameter that can be used to determine the forest structure and condition. The volume of stand biomass is depended on forest condition, such as natural regeneration, disturbed state of the forest and the forest use (IPCC 2001).

The objective of this study is to establish the standing stock and biomass estimation model of teak forest (Tectona grandis Linn.f) in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur using digital a high resolution non-metric imagery. Digital high resolution non-metric imagery data used were recoded on April 2011. The softwares used were ArcView GIS 3.2, Erdas Imagine 9.1, Microsoft Excel 2007 and SPSS ver. 16 . For ground surveys, the equipments included GPS, brunton compass, phi-band, haga hypsometer, suunto clinometers, digital camera and SLR camera with fish eye lens. The study encompasses the following steps, i.e., images pre-processing, ground sampling and data analysis.

This study shows that crown density derived from the image ( C-Image) has close correlation with field volume (Vbc) having correlation coefficient of 0,784 for BKPH Dungus. For the BKPH Dagangan the close correlation was also found between number of tree from the image (N-Image) and field volume (Vbc) providing 0,786 of correlation coefficient. Based on statistical analysis, evaluation and verification of the model, the best model for BKPH Dungus is Vbc =

1,499E-5C2,693 D1,159 N0,267 which have a coefficient of determination (R2) of 73,7%, while

for BKPH Dagangan the best model is Vbc= -10,164+1,027N+1,752D+0,081C with R2 = 85,7%. Models having the lowest biomass estimation was obtained by using Brown equation while highest biomass estimation was obtained from BEF equation. The forest biomass estimation in both the BKPH Dungus and BKPH Dagangan decreased after the stand having use older then 70 years (KU VII).

Keywords: Remote sensing technology, standing stock, biomass, digital high resolution non metric imagery, unmanned aircraft, aerial volume table.