Penyusunan model pendugaan dan pemetaan biomassa permukaan pada tegakan jati (Tectona grandis Linn F) menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi kasus: KPH Kebonharjo perhutani unit 1 Jawa Tengah)

(1)

TEGAKAN JATI (

Tectona grandis

Linn.F)

MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR

RESOLUSI 50 M DAN 12,5 M

(

Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah

)

RISA DESIANA SYARIF

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RISA DESIANA SYARIF. Penyusunan Model Pendugaan dan Pemetaan Biomassa Permukaan Pada Tegakan Jati (Tectona grandis Linn. F) Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH.

Hutan sebagai sistem dinamis disusun oleh berbagai komponen salah satunya adalah biomassa. Biomassa memiliki peranan penting dalam pengelolaan ekosistem hutan dan menjadi salah satu parameter yang digunakan dalam mengetahui perubahan struktur hutan, karena jumlah stok biomassa bergantung pada ada atau tidaknya permudaan alam, terganggu atau tidaknya hutan, dan peruntukan hutan (IPCC 1995). Penelitian yang menghasilkan pendekatan untuk mengestimasi biomassa telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah penggunaan informasi dijital pada data SAR (Synthetic Aperture Radar). Pada tahun 2006, diluncurkan sensor baru dengan sistem SAR pada satelit ALOS milik pemerintah Jepang, yaitu sensor PALSAR. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pendugaan biomassa pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) di KPH Kebonharjo perhutani unit I Jawa Tengah, dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m serta pembuatan peta sebaran dengan model terpilih.

Pada citra ALOS PALSAR dilakukan ekstraksi nilai dijital yang kemudian dikalibrasi menggunakan persamaan NRCS (Normalize Radar Cross Section, dB) yang dikembangkan oleh Shimada et al. (2009) untuk menghasilkan nilai backscatter. Nilai backscatter citra ALOS PALSAR kemudian diregresikan mengguanakan kaidah non-linier dengan biomassa dimana perhitungan biomassa dilakukan menggunakan model alometrik untuk tegakan jati dan koefisien BEF (Biomass Expansion Factor). Model terpilih diperoleh dengan memperhatikan nilai R2adj dan Root mean square error (RMSE). Verifikasi pada model terpilih

dilakukan menggunakan uji T berpasangan untuk mengetahui kelayakan model. Pemetaan biomassa dibuat berdasarkan model-model yang telah diverifikasi. Pada peta sebaran biomassa dilakukan perhitungan overall accuracy dan kappa accuracy.

Nilai biomassa minimum pada tegakan jati yang dihitung dengan menggunakan alometrik tegakan jati adalah sebesar 7,52 ton/ha pada KU I dan nilai biomassa maksimum sebesar 328,69 ton/ha pada KU XI. Perhitungan dengan menggunakan BEF cenderung overestimate pada kelas umur tua sehingga pada penelitian ini pembuatan model pendugaan dengan BEF tidak dilakukan. Berdasarkan hasil regresi antara biomassa dan backscatter didapatkan 16 model penduga biomassa. Dari 16 model yang telah dibuat, dipilih 4 model terbaik. Verifikasi dilakukan pada 4 model terpilih menggunakan uji T berpasangan. Verifikasi menunjukan bahwa ke 4 model tersebut memiliki nilai T hitung < T tabel dan signifikansi > 0,05 sehingga model layak digunakan untuk menduga biomassa di daerah penelitian. Model yang menghasilkan peta sebaran biomassa dengan akurasi terbaik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah model 2 sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 adalah model 4.


(3)

RISA DESIANA SYARIF. Above-Ground Biomass Estimation and Mapping in Teak (Tectona grandis Linn. F) Plantation Area using ALOS PALSAR Image with 12,5 m and 50 m Spatial Resolution (Case Study: KPH Kebonharjo, Perhutani Unit I, Central Java). Supervised by NINING PUSPANINGSIH and M. BUCE SALEH.

Forest as a dynamic system is consisted by many components, one of its components is biomass. Biomass can be used to determine the forest structure and condition, since biomass is depend on natural regeneration of the forest, disturbed state of the forest, and the forest use (IPCC 1995). Researchs than estimate biomass has been done using various methods, one of these methods is using SAR data in estimating biomass. In year 2006 Japanese government launched a SAR-based satellite, ALOS satellite. PALSAR sensor in ALOS satellite can produce SAR-based image that can be used in estimating biomass. This research aimed to create biomass estimation model and biomass distribution map for teak plantation area in KPH Kebonharjo Unit I Central Java, using ALOS PALSAR image with 12,5 m and 50 m spatial resolution.

Backscatter value is generated using digital number from ALOS PALSAR image and calibrated using Normalized Radar Cross Section (NRCS), which developed by Shimada et al. (2009). Therefore the backscatter value is then regressed using non-linear rulings with biomass that is estimated from teak allometric equations and Biomass Expansion Factor (BEF) coefficient. Certain model is selected by ranking the R2adj and Root Mean Square Error (RMSE).

Chosen model is then verified using Paired T-test to analyze the appropriateness of the models. Biomass distribution map is constructed based on verified models, and then assessed using two accuracy assessment, Overall Accuracy and Kappa Accuracy.

Minimum estimated biomass value in teak stands area using allometric equation is numbered at 7,52 ton/ha in Age Class (KU) I and maximum estimated biomass value in teak stands area using allometric equation is numbered at 328,69 ton/ha in KU XI. The estimation of biomass that calculated using BEF coefficient are overestimate. This research focused on estimating biomass using Hendri allometric equation.

16 models are generated based on biomass and backscatter regression. From 16 models, 4 models are chosen. Verification using Paired T-test on the 4 models shows that all the models having Tscore < Ttable and significance value > 0,05.

Model that used in construction of biomass distribution map which has the best accuration for 50 m spatial resolution is model 2, meanwhile best accuration for 12,5 spatial resolution is model 4.


(4)

MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR

RESOLUSI 50 M DAN 12,5 M

(Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah)

RISA DESIANA SYARIF

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Pendugaan dan Pemetaan Biomassa Permukaan Pada Tegakan Jati (Tectona grandis Linn. F) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tingga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Risa Desiana Syarif NRP E14052331


(6)

Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah)

Nama Mahasiswa : Risa Desiana Syarif

Nomor Pokok : E14052331

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Nining Puspaningsih, M.Si. Dr. M. Buce Saleh, MS.

NIP. 19630612 199003 2 014 NIP. 19571005 198303 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. NIP. 19630401 199403 1 001 Tanggal Lulus:


(7)

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan jalan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul

Penyusunan Model Pendugaan Biomassa Permukaan pada Tegakan Jati (Tectona grandis Linn. F) menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi yang telah disusun ini menggambarkan pola hubungan antara backscatter citra ALOS PALSAR pada resolusi yang berbeda, yaitu citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dengan biomassa tegakan jati yang dihitung berdasarkan model alometriknya. Dimana kemudian dibuatlah peta sebaran biomassa pada daerah penelitian berdasarkan pola hubungan tersebut.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu saran, kritik, dan masukan guna memperbaiki tulisan ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan, khususnya dunia kehutanan.

Bogor, Juli 2011


(8)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Teknologi Penginderaan Jauh ... 3

2.2 Citra Satelit Sistem RADAR ... 6

2.2.1 Citra Satelit ALOS PALSAR ... 10

2.3 Sistem Informasi Geografi ... 13

2.4 Jati (Tectona grandis Linn F.) ... 15

2.5 Biomassa ... 16

BAB III METODOLOGI ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat ... 21

3.3 Tahapan Pelaksanaan ... 22

3.3.1 Persiapan dan Pengambilan Data Lapangan ... 22

3.3.2 Bentuk dan Ukuran Plot Contoh ... 22

3.3.3 Pengambilan Data Lapangan ... 24

3.3.4 Pengolahan Data ... 25

3.3.5 Pembuatan Citra Pendugaan Biomassa dan Peta Kelas Biomassa ... 28

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 31

4.1 Risalah Umum KPH Kebonharjo ... 31

4.1.1 Letak ... 31

4.1.2 Batas Wilayah ... 31

4.1.3 Topografi ... 33

4.1.4 Enclave ... 33

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Rata-rata Biomassa di KPH Kebonharjo ... 35

5.2 Hasil Pengolahan Data Citra ... 35

5.3 Penyusunan Model Pendugaan Biomassa ... 36

5.3.1 Biomassa Hendri dan Biomassa BEF ... 36

5.3.2 Pola Hubungan Backscatter Citra ALOS PALSAR dengan Biomassa ... 38

5.3.3 Penyusunan Model Hubungan Backscatter dengan Biomassa Alometrik Hendri ... 39

5.3.4 Verifikasi Model ... 42

5.4 Pembuatan Peta Sebaran Biomassa dan Analisis Akurasi ... 45

5.4.1 Peta Sebaran Biomassa ... 46


(9)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... .... 55

6.1 Kesimpulan ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(10)

No. Halaman

1. Spektrum elektromagnetik (Purwadhi 2001)... 5

2. Transmisi dan reflektansi pada radar (NASA 1996)... 7

3. Wahana dan arah tembak sensor (NASA 1996)... 8

4. Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan (NASA 1996)... 9

5. Mekanisme hamburan balik pada tegakan hutan (Dobson et al. 1990).. 10

6. Instrumen PALSAR (JAXA 2010)... 12

7. Prinsip geometri dari PALSAR (JAXA 2010)... 12

8. Lokasi penelitian... 21

9. Diagram Alir Penelitian... 23

10. Sketsa plot pengukuran... 24

11. Perbandingan nilai biomassa alometrik Hendri dan biomassa BEF... 37

12. Scatterplot hubungan antara biomassa Hendri dengan backscatter ALOS PALSAR... 38

13. Peta sebaran biomassa model 1... 48

14. Peta sebaran biomassa model 2... 49

15. Peta sebaran biomassa model 3... 51


(11)

No. Halaman

1. Spektrum elektromagnet. ... 6

2. Keterangan umum ALOS ... 11

3. Karakteristik PALSAR ... 13

4. Beberapa metode untuk menduga biomassa ... 17

5. Model yang digunakan untuk pendugaan biomassa ... 26

6 . Rata-rata biomassa di KPH Kebonharjo per KU dan jumlah plot pengamatan per KU berdasarkan alometrik tegakan jati dan BEF ... 35

7. Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa Hendri dengan backscatter HH citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 40

8. Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa Hendri dengan backscatter HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 40

9. Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa Hendri dengan backscatter HH citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. ... 41

10. Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa Hendri dengan backscatter HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. ... 41

11 . Hasil verifikasi model pendugaan biomassa pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 43

12. Hasil verifikasi model pendugaan biomassa pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 43

13. Model pendugaan biomassa terbaik ALOS PALSAR resolusi 50 m dan ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 46

14 . Selang kelas biomassa yang digunakan untuk membuat peta sebaran biomassa ... 46

15. Rekapitulasi hasil perhitungan overall accuracy dan kappa accuracy pada peta sebaran dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 47

16. Rekapitulasi hasil perhitungan overall accuracy dan kappa accuracy pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m ... 50


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hutan sebagai sistem yang dinamis memiliki peranan yang sangat besar terhadap terjadinya perubahan lingkungan. Biomassa sebagai salah satu komponen yang terdapat dalam sistem dinamis hutan memiliki peranan penting dalam pengelolaan ekosistem hutan. Di negara-negara maju biomassa tegakan antara lain digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi kegiatan pengelolaan hutan lestari, karena jumlah stok biomassa tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan, ada atau tidaknya permudaan alam, dan peruntukan hutan (IPCC 1995).

Informasi keadaan hutan diketahui melalui monitoring yang selalu dilakukan pada luasan hutan tertentu dimana monitoring yang dilakukan tidaklah mudah, monitoring dilakukan untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada komponen hutan seperti volume batang dan biomassa dimana keduanya berhubungan dan bersifat esensial serta kompleks (Kumar 2009).

Di masa lalu informasi mengenai biomassa didapatkan secara manual melalui ground survey (survey lapangan), tetapi saat ini ketika informasi mengenai komponen hutan beserta perubahannya semakin banyak dibutuhkan maka pengambilan informasi dengan ground survey dianggap kurang efisien untuk dilakukan pada daerah pengelolaan yang relatif luas. Pengambilan informasi skala besar dan pada daerah pengelolaan hutan yang relatif luas dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh telah dilakukan dan menunjang kebutuhan informasi yang berkembang dari waktu ke waktu.

Teknologi penginderaan jauh telah digunakan di banyak bidang seperti identifikasi tutupan lahan, pemetaan, pembagian wilayah dan tipe hutan, serta pendugaan parameter tegakan hutan. Saat ini biomassa sebagai parameter yang penting dalam mengukur perubahan struktur hutan dapat diduga dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Schreuder et al. (1997) dalam Husch et al. 2003). Banyak studi telah memberikan pendekatan yang berguna untuk


(13)

mengestimasi biomassa, salah satu diantaranya adalah penggunaan informasi dijital pada data SAR (Synthetic Aperture Radar).

Dalam perkembangan teknologi penginderaan jauh banyak dilakukan penelitian terhadap data SAR dalam mengestimasi biomassa. Sensitifitas SAR terhadap struktur tegakan hutan serta hubungan antara backscatter pada radar dengan biomassa dan parameter tegakan yang lain telah banyak diteliti di berbagai daerah tropis maupun subtropis. Diprediksikan, dengan pengembangan-pengembangan yang terus dilakukan pada data SAR memungkinkan pendugaan biomassa akan memiliki keterwakilan yang lebih baik (Sarker dan Nichol 2010).

Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat dikembangkan dari waktu ke waktu dalam mempermudah pendugaan biomassa, walaupun demikian keberadaan teknologi ini tidak dapat berdiri sendiri, pendekatan-pendekatan alometrik yang telah dikembangkan sebelumnya kemudian mendukung efektifitas penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam melakukan pendugaan biomassa (Brown et al. 1989).

Hutan tanaman Jati merupakan salah satu pemanfaatan kawasan hutan yang produknya memiliki sumbangsih dalam memajukan perekonomian negara. Selain fungsi ekonomi, Hutan tanaman Jati memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan iklim mikro didaerah setempat dan sekaligus memiliki fungsi penyimpanan karbon. Berkaitan dengan upaya pencegahan pemanasan global maka dilakukan studi mengenai kandungan karbon pada tegakan di hutan tropis salah satunya adalah hutan tanaman Jati.

Untuk mengetahui kandungan karbon pada suatu tegakan Jati, dilakukan dengan menggunakan pendekatan biomassa, dimana pendekatan biomassa merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pendugaan biomassa pada hutan tanaman Jati (Tectona grandis) di KPH Kebonharjo Perhutani Unit I, Jawa Tengah, menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m serta pembuatan peta sebaran biomassa dari model yang terpilih.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1979). Fussel et al. (1986) mendefinisikan penginderaan jauh sebagai pengumpulan dan pencatatan informasi tanpa kontak langsung pada julat elektromagnetik ultraviolet, tampak, inframerah, dan mikro dengan menggunakan peralatan seperti penyiam (scanner) dan kamera yang ditempatkan pada wahana bergerak seperti, pesawat udara atau pesawat angkasa, dan menganalisis informasi yang diterima dengan teknik interpretasi foto, citra dan pengolahan citra.

Teknik penginderaan jauh berkembang sangat pesat sejak diluncurkannya satelit penginderaan jauh ERTS (Earth Resources Technology Satellite) pada 1972. Hal itu memungkinkan pengumpulan data permukaan bumi dalam jumlah besar. Perkembangan sistem penginderaan jauh khususnya dalam penggunaan sensor dan cara perekaman data penginderaan, telah diikuti dengan pengembangan dalam cara pengolahan dan analisis data penginderaan jauh. Pengembangan penginderaan jauh yang terjadi tahun 1960-an terbatas pada penelitian serta analisis foto udara multispectral scanner (Perangkat pengindera yang terdiri atas kurang dari sepuluh spectrum elektromagnetik yang berbeda) dan dijitalisasi dari foto udara yang diambil dengan sensor kamera. Semenjak ERTS-1 atau Landsat-1 (Land Satellite) diluncurkan tahun 1972, data citra dijital rekaman satelit menjadi semakin penting, khususnya untuk penggunaan analisis permukaan bumi (Purwadhi 2001).


(15)

Samsuri (2004) menyatakan bahwa dalam penginderaan jauh terdapat beberapa proses melibatkan interaksi antara radiasi dan target yang dituju mencakup tujuh elemen penting yakni:

1. Sumber Energi atau Illumination, merupakan elemen pertama dalam menyediakan energi elektromagnetik ke target interes 2. Radiasi dan Atmosfer, adalah perjalanan energi dari sumber ke

targetnya dan sebaliknya. Energi akan mengalami kontak dengan target dan berinteraksi dengan atmosfer yang dilewatinya.

3. Interaksi dengan Target.

4. Perekaman Energi oleh Sensor setelah energi dipancarkan atau dilepaskan dari target, elemen penting yang dibutuhkan adalah sensor untuk mengumpulkan dan merekam radiasi elektromagnetik.

5. Transmisi, penerimaan dan pemrosesan energi yang terekam oleh sensor harus ditransmisikan untuk diterima oleh stasiun pengolahan, dimana data diolah menjadi citra (hardcopy ataupun digital)

6. Interpretasi dan Analisis, merupakan pengolahan image dengan interpretasi secara visual atau digital untuk mengekstrak informasi tentang target.

7. Aplikasi, elemen terakhir adalah pengaplikasian informasi tentang target untuk memperoleh pengertian yang lebih baik, menerima beberapa informasi baru, dan membantu pemecahan masalah. Sensor adalah alat perekam objek bumi. sensor dipasang pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari objek yang diindera, maka diperlukan tenaga elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek tersebut. sensor elektronik membangkitkan sinyal elektrik yang sesuai dengan variasi tenaga elektromagnetik. Tenaga radiasi yang dipantulkan oleh objek dan ditangkap oleh sensor, dapat menghasilkan citra yang sesuai dengan wujud aslinya. setiap sensor mempunyai kepekaan spektral yang terbatas, batas kemampuan sensor untuk memisahkan objek disebut resolusi. Resolusi suatu citra merupakan indikator tentang kemampuan sensor dan atau kualitas sensor dalam merekam objek. Empat


(16)

resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal (Purwadhi, 2001).

Data penginderaan jauh digital (citra digital) direkam menggunakan sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, spectometer. Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal, dan gelombang mikro (Gambar 1). Citra digital dibentuk dari elemen-elemen gambar atau pixel (picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Citra bersifat digital dapat secara langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Citra digital dapat direkam dalam beberapa spektrum secara sekaligus sehingga disebut citra multispektral.

Gambar 1 Spektrum elektromagnetik (Purwadhi 2001).

Sumber data citra penginderaan jauh digital saat ini mulai berkembang dan bervariasi, yaitu data dapat diperoleh dari rekaman satelit penginderaan jauh komersial, rekaman data satelit meteorologi, rekaman scanner dari pesawat udara, data digital dari kamera foto udara, citra digital dari rekaman sensor mikro densitometer, dan citra digital dari hasil rekaman beberapa sistem dijitasi dengan resolusi tinggi (Purwadhi 2001). Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek dipermukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor Radar (Radio Detection And Ranging).


(17)

Tabel 1 Spektrum elektromagnet. Spektrum/saluran Panjang

gelombang

Keterangan

Gamma ≤ 0,03 nm Diserap oleh atmosfer, benda radioaktif dapat diindera dari pesawat terbang rendah.

X 0.03 – 3 nm Diserap oleh atmosfer, sinar buatan digunakan dalam kedokteran.

Ultraviolet (UV) UV Fotografik

0,03 - 0,4 μm 0,3 –0,4 μm

Radiasi UV diserap oleh ozon. UV Fotografik dapat direkam oleh film fotografi, diperlukan lensa kuarsa dalam kamera.

Tampak Biru Hijau Merah

0,4 –0,7 μm 0,4 –0,5 μm 0,5 –0,6 μm 0,6 –0,7 μm Inframerah (IM) NIR SWIR MWIR LWIR FIR

0,7 –300 μm 0,7 –1,5 μm 1,5 –3 μm 3 –8 μm 8 –15 μm

≥ 15 μm

Jendela atmosfer terpisah oleh saluran absorpsi. Film khusus dapat merekam hingga panjang

gelombang hampir 1,2 μm.

MWIR dan LWIR dikenal dengan sebagai thermal infrared (TIR).

Gelombang Mikro 8 –14 μm Gelombang panjang yang mampu menembus awan, citra dapat dibuat dengan cara aktif. Radar Ka K Ku X C S L P Radio

0,75 – 300 cm 0,75 – 1,1 cm 1,1 – 1,7 cm 1,7 – 2,4 cm 2,4 – 3,8 cm 3,8 – 7,5 cm 7,5 – 15 cm 15 – 30 cm 30 – 100 cm

Penginderaan jauh sistem aktif. Yang paling sering digunakan.

Tidak digunakan dalam penginderaan jauh. Sumber : Prahasta (2009)

2.2Citra Satelit Sistem RADAR

Radar (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan posisi objek tersebut dengan menggunakan radio. Karena penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Purwadhi 2001).

Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik.


(18)

Gambar 2 Transmisi dan reflektansi pada radar (NASA 1996).

Hamburan balik ini dipantulkan kembali pada radar sebagai pantulan gelombang radar yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit).

Biasanya lama waktu sebuah gelombang sampai pada objek digunakan sebagai penghitung jarak ke objek (bandwidth). Semakin besar bandwidth semakin baik resolusi yang dihasilkan pada dimensi objek tersebut. Panjang antena radar menentukan resolusi pada image searah azimuth, semakin panjang antena semakin baik resolusi yang di hasilkan. Synthetic Aperture Radar (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima radar yang bergerak pada jalur terbangnya. Aperture berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar, sebagai contoh, pada kamera pembukaan ini berarti pembukaan lensa kamera, sedangkan pada radar adalah pembukaan antena. Sebuah aperture sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada radar, antena dipasang dibagian bawah pesawat dan diarahkan kesamping, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Aperture Radar (SLAR).

SAR merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan radar image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari, sehingga dapat melakukan peliputan baik di siang hari maupun di malam hari. Dan, karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak


(19)

maupun Infra merah, SAR dapat menembus awan maupun debu dimana kondisi ini tidak memungkinkan untuk sistem optik (NASA 1996). Sinyal radar dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang.

Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan.

Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari objek. Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi intensitas hasil balik sinyal objek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik objek. Efek geometri sensor/objek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar


(20)

tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi objek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand & Kiefer 1979).

Gambar 4 Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan (NASA 1996).

NASA (1996) mengategorikan nilai hamburan balik pada radar ke dalam beberapa kelas, yaitu nilai backscatter sangat tinggi (berkisar -5dB ke atas) biasanya terjadi pada objek lereng menghadap sensor, incident angle kecil, permukaan objek yang sangat kasar, hutan yang tergenang, dan objek buatan. Pada kelas nilai backscatter tinggi (berkisar 0 sampai -10dB) bisanya terjadi pada objek dengan permukaan yang kasar dan vegetasi rapat.

Hamburan balik pada radar merupakan ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang kembali ke antena. Nilai hamburan balik yang dihasilkan pada sebuah sensor radar dipengaruhi beberapa faktor antara lain kedalaman penetrasi dari gelombang radar, kekasaran permukaan objek dan sifat-sifat dielektrik volume objek.

Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) telah dikembangkan untuk memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk (Dobson et al. 1990). Mekanisma hamburan balik ini digambarkan sebagai berikut.


(21)

Gambar 5 Mekanisme hamburan balik pada tegakan hutan (Dobson et al. 1990).

Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk mempenetrasikan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung menduga kuantiti dari struktur tegakan dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar L-band bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. L-band memiliki kemampuan besar untuk menembus daun-daunan hingga ke pokok batang yang paling bawah.

Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard et al. 2009; Sarker & Nichol 2010). Studi-studi tersebut selain menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan backscatter juga menemukan bahwa backscatter SAR meningkat seiring peningkatan biomassa sampai mencapai nilai saturasi tertentu yang mana nilai pendugaan tertinggi akan berada pada frekuensi yang rendah atau memiliki nilai backscatter rendah (Bergen & Dobson 1999).

2.2.1 Citra Satelit ALOS PALSAR

ALOS (Advanced land Observing Sattelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang pada bulan Januari 2006. Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor yaitu PALSAR (Phased Array L-band


(22)

Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi band L. Sensor PALSAR mempunyai kemampuan untuk menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam ataupun siang hari. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain (Rosenqvist et al. 2004).

Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen di atas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Keterangan umum tentang ALOS disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Keterangan umum ALOS

Alat Peluncuran Roket H-IIA

Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima

Berat Satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu Operasional 3-5 Tahun

Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit

Recurrent Period: 46 Hari Sub Cycle 2 hari Tinggi Lintasan: 692 km diatas Ekuator Inklinasi: 98,2°

Sumber: Jaxa 2010

Secara ringkas terdapat lima misi dari satelit ALOS (JAXA 2010), yaitu: 1. Kartografi : Untuk menyediakan peta wilayah Jepang

dan wilayah Asia Pasifik

2. Pemantauan Regional : Melakukan pemantauan regional untuk pengembangan pembangunan yang berkelanjutan dan harmonisasi antara kesediaan sumber daya alam pengembangan pembangunan

3. Monitoring Bencana : Melakukan monitoring bencana alam 4. Survei Sumberdaya : Untuk survei sumber daya alam


(23)

5. Pengembangan Teknologi : Mengembangkan teknologi penginderaan jauh yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang.

PALSAR merupakan salah satu instrumen ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR mempunyai sorotan yang dapat disetir dalam elevasi, disamping mode ScanSAR. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Sedangkan karakter teknik sensor PALSAR disajikan pada Tabel 3.

Gambar 6 Instrumen PALSAR (JAXA 2010).


(24)

Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrument PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik PALSAR

Mode Fine ScanSAR Polarimetric

(Experiment Mode)

Frekuensi 1.270 MHz (L-Band)

Lebar Kanal 28/114 MHz

Polarisasi HH/VV/HH+HV atau VV+VH

HH atau VV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) 30 m

Lebar cakupan 70 km 250-350 km 30 km

Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 <-23 dB (70 km)

<-25 dB (60 km)

<-25 dB <-29 dB Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit

Ukuran AZ:8.9 m x EL :2.9 m

Sumber : Jaxa (2010)

2.3Sistem Informasi Geografi

Johnson (1992) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem yang berguna untuk menangani dan menganalisis data geografi untuk banyak pemakai dan aplikasi. Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis yang terdiri dari data geometrik dan data deskriptif. Data geometrik berhubungan dengan lokasi, bentuk dan hubungan antar kenampakan, misal peta-peta atau data dari penginderaan jauh. Sementara itu, data deskriptif berhubungan dengan sifat-sifat dari kenampakan, misal tabel, grafis dan keterangan lainnya. Data-data tersebut dipakai sebagai visualisasi dan menerangkan keadaan dunia yang sesungguhnya.

SIG adalah informasi yang dibuat untuk berbagai data yang dikumpulkan dengan keruangan atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah sebuah sistem database dengan kemampuan spesifik untuk data keruangan dan juga sebuah perangkat operasi untuk bekerja dengan data.


(25)

Menurut Paryono (1994) SIG memerlukan data masukan agar berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya. Data masukan tersebut dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu : (a) Data lapangan, data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti misalnya pH tanah, salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan sebagainya (b) Data peta, informasi yang lebih terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk digital. Misalnya, peta geologi, peta tanah dan sebagainya. Apabila data sudah terekam dalam bentuk peta, tidak lagi diperlukan data lapangan, kecuali untuk mengecek kebenarannya. (c) Data citra pengideraan jauh, citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sementara itu, citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta fisis, sedangkan data penginderaan jauh juga memerlukan data lapangan untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang diabaikan.

Menurut Jaya (2002) pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau Arc) dan lokasi (point). Data spasial (peta) yang umum digunakan di bidang kehutanan antara lain adalah:

1. Peta Rencana Tata Ruang, 2. Peta Rencana Tata Guna Hutan, 3. Peta Rupa Bumi (Kontur), 4. Peta Jaringan Jalan, 5. Peta Jaringan Sungai, 6. Peta Tata Batas,

7. Peta Batas Unit Pengelolaan Hutan, 8. Peta Batas Administrasi Kehutanan,


(26)

9. Peta Tanah, 10.Peta Iklim, 11.Peta Geologi, 12.Peta Vegetasi,

13.Peta Potensi Sumberdaya Hutan.

2.4Jati (Tectona grandis Linn F.)

Jati (Tectona grandis Linn F.) hingga saat ini masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati masyarakat. Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili verbenaceae, genus tectona, dengan nama species terbanyak di Indonesia adalah Tectona grandis Linn F, dimana jenis ini merupakan jenis terbaik dibandingkan dengn jenis Jati lainnya. Kayu jati memiliki berat jenis antara 0.62 – 0.75. Saat ini budidaya jati banyak dilakukan di daerah-daerah tropis, di Panama lahan tidur yang lama tidak dimanfaatkan kemudia dilakukan penanaman jati dan telah dilakukan reforestasi dari 11.000 hingga 34.600 ha. Jati merupakan kayu terkuat ke tiga di dunia, dan budidaya jati telah di lakukan di banyak daerah tropis untuk menghasilkan kayu kualitas tinggi.

Pertumbuhan jati terbaik biasanya pada daerah-daerah rendah dan panas, di pulau Jawa terutama pada dataran rendah dan berbukit-bukit, kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan megalit. Tanaman jati juga tumbuh pada daerah yang memiliki musim kering 3-5 bulan kering, curah hujan rata-rata 1.250 – 2.500 mm/tahun dengan ketinggian kurang dari 700 mdpl dan temperatur ratarata 22 -26oC (Khaerudin 1994).

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya berlebihan. Seperti halnya daun lain, daun jati juga melakukan fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan kemudian melepaskannya kembali sebagai oksigen dan uap air. Hal ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan di sekitar hutan.

Sejak abad ke-9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun.


(27)

Secara alamiah tanaman jati banyak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pada abad ke-19 jati juga mulai dibudidayakan di Amerika tropik. Keberhasilan permudaan sejak akhir abad 19 telah dapat mengembangkan luas kawasan hutan jati di pulau Jawa. Pada akhir abad 19 luas hutan jati di pulau jawa seluruhnya diperkirakan berkisar 650.000 ha. Dan hingga tahun 1985 luas hutan jati terus bertambah hingga mencapai 1.069.712 ha. Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh PT. Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2.6 juta ha, terdiri dari 54 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rata-rata 800.000 m3/tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log.

2.5Biomassa

Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisma hidup setiap pohon di atas permukaan tanah dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area. Total biomassa yang terdapat pada areal hutan dibagi ke dalam dua bagian yaitu biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan tanah.

Biomassa pada dasarnya terdiri dari bobot organisma hidup di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah, seperti pohon, semak belukar, tumbuhan menjalar, akar dan berat organisma mati dan sampah kasar yang terasosiasi dengan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, BGB), penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu 2006). Tabel 4 menyajikan rangkuman dari beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda berdasarkan (1) pengukuran lapangan, (2) remote sensing, dan (3) GIS. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo & Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran (Lu 2006): (a) teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif (b) teknik sampling non-destruktif (c) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang


(28)

dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, and (d) estimasi menggunakan model.

Tabel 4 Beberapa metode untuk menduga biomassa

Ketegori Metode Data

digunakan

Karakteristik Referensi

Metode Dasar-Pengukuran Lapangan Penarikan contoh Destruktif

Pohon contoh Individu pohon Klinge et al. (1975) Allometric

equations (persamaan allometric)

Pohon contoh Individu pohon Overman et al.(1994), Honzak et al. (1996), Nelson et al. (1999) Konversi dari volume ke biomassa Volume dari pohon contoh atau tegakan

Individu pohon atau tegakan vegetasi

Brown dan Lugo (1984), Brown et al. (1989), Brown dan Lugo (1992), Gillespie et al. (1992), Segura dan Kanninen (2005) Metode Dasar-Penginderaan Jauh Metode berdasarkan fine spatial-resolution data Aerial photographs, IKONOS

Per-pixel level Tiwari dan Singh (1984), Thenkabail et al. (2004)

Metode berdasarkan medium spatial-resolution data Landsat TM/ETM+, SPOT

Per-pixel level Roy dan Ravan (1996), Nelson et al. (2000a), Steininger (2000), Foody et al. (2003), Lu (2005) Metode berdasarkan coarse spatial-resolution data IRS-1C WiFS, AVHRR

Per-pixel level Barbosa et al. (1999), Wylie et al. (2002), Dong et al. (2003)

Metode berdasarkan data Radar

Radar, lidar Per-pixel level Harrel et al. (1997), Lefsky et al. (1999b), Santos et al. (2002, 2003) Metode Dasar-SIG Metode berdasarkan Ancillary data Elevasi, kemiringan, tanah, presipitasi, dll.

Per-pixel level atau per-field level

Brown et al. (1994), Iverson et al. (1994), Brown dan Gaston (1995) Sumber: Lu 2005


(29)

Metode Pendugaan Biomassa dengan Non-Destruktif Sampling

Pendekatan destruktif untuk menduga biomassa memberikan hasil yang paling akurat, tetapi penerapan teknik ini tidak dapat dilakukan pada seluruh areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup besar. Selain kerusakan yang diakibatkan, mahalnya biaya dan banyaknya waktu yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa yang lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Teknik pendugaan biomasa yang banyak dilakukan pada saat ini adalah pendekatan non-destruktif sampling dimana pada pendekatan ini tidak diperlukan pemanenan pohon.

Pendekatan non-destruktif sampling memilik persamaan regresi yang berbeda-beda, dengan parameter penyusunya seperti tinggi pohon, diameter pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa. Berikut merupakan persamaan regresi yang banyak digunakan untuk menduga biomassa menurut Husch et al. (2003);

B = C0 + C1S

B = C0 + C1S + C2S2

B = exp (C1S)

B = exp (C2SC1)

B = C0 + C1logS

Menurut Chave et al. (2005) berdasarkan pengujian yang telah dilakukan didapatkan bahwa diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain berat jenis pohon dan tipe hutan. Teknik estimasi biomassa non-destruktif memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Pada kasus area hutan tropis campuran yang heterogen, survey lapangan tidak mungkin dilakukan untuk mengambil sample pada plot dengan aksesibilitas yang rendah. Untuk memonitoring area hutan tropis campuran yang heterogen maupun hutan tropis homogen, penginderaan jauh menyediakan alat yang paling sesuai dan efektivitas waktu serta biaya jauh lebih baik dibandingkan pengukuran in-situ.

Beberapa tahun terakhir, teknik penginderaan jauh (remote sensing) telah menjadi hal umum dalam menduga AGB (Lu 2005). Penginderaan jauh sistem


(30)

optik pada dasarnya merespon pada struktur kimia daun seperti Normilize Difference Vegetation Index (NDVI) (Dong et al. 2003). Berdasarkan resolusi spasial, Lu (2006) mengategorikan data penginderaan jauh (citra satelit) untuk estimasi AGB ke dalam tiga kategori yaitu fine spatial-resolution data (resolusi spasial kurang dari 5 m), medium spatial-resolution data (resolusi spasial pada kisaran antara 10 m hingga 100 m), dan coarse spatial-resolution data (resolusi spasial lebih dari 100 m). Penggunaan coarse spatial-resolution data memiliki keterbatasan dikarenakan ukuran pixelnya yang besar, dimana berbagai jenis pohon dari bermacam-macam area hutan terdapat di dalam pixel tersebut dan perbedaan yang amat besar antara ukuran pixel dengan plot yang dibuat untuk pengukuran lapangan.

Pendugaan Biomassa Hutan Jati Berdasarkan Model Alometrik

Pada pendugaan nilai biomassa tegakan jati di lokasi peneltian digunakan model alometrik biomassa terukur yang telah dikembangkan oleh Hendri (2001) di daerah KPH Cepu yang merupakan daerah Hutan Tanaman Jati yang berseberangan langsung dengan lokasi peneltian. Dimana R2 pada persamaan alometik dengan destructive sampling ini sebesar 94,1%. Selain itu kondisi umum lapangan baik kondisi tegakan maupun kondisi iklim daerah KPH Cepu memiliki kesamaan dengan kondisi umum lapangan KPH Kebonharjo. Berikut merupakan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh Hendri (2001) (Hendri dalam Tiryana 2011).

W = 0.2759D2.2227 (R2 = 0.941)

Pendugaan Biomassa Hutan Jati Berdasarkan Nilai Biomass Expansion Factor (BEF)

Biomass Expansion Factor (BEF) didefinisikan sebagai rasio total bobot biomassa kering tanur di atas permukaan tanah pada diameter minimum (dbh) 10 cm atau lebih dengan bobot biomassa kering tanur pada volume yang diinventarisasi atau rasio antara AGB total dengan biomassa batang yang dapat dimanfaatkan. BEF pada setiap tegakan hutan di berbagai negara sangat bervariasi, penghitungan BEF yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan dua metode, yaitu perhitungan BEF dari diameter pohon secara


(31)

langsung dan BEF yang dihitung dengan menggunakan Double Sampling. Expansion Factor berdasarkan diameter saja secara konsisten memiliki nilai yang lebih baik dari Expansion Factor yang dicari berdasarkan Double sampling.

Hipotesis yang diuji sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan nilai Expansion Factor pada daerah-daerah yang berbeda disebabkan oleh perbedaan rata-rata ukuran pohon yang diinventarisasi. Biomass Expansion Factor (BEF) pada tegakan jati yang dikembangkan di daerah tropis Panama, di hitung dengan membagi total prororsi biomassa dengan biomassa batang sehingga menghasilkan nilai BEF sebesar 1,53186 (Kraenzel et al. 2003).


(32)

BAB III

METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Meliputi Bagian Hutan (BH) Tuder dan Balo, pada Kelas Perusahaan Jati. Penelitian di lakukan pada bulan November 2010 sampai dengan Maret 2011. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Lokasi penelitian.

3.2Bahan dan Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini berupa seperangkat komputer dengan kelengkapan aplikasi penunjang pengolahan data seperti MS Office, Erdas Imagine, ArcView GIS Ver 3.3, SPSS Ver 17. Sedangkan alat yang menunjang pengambilan data di lapangan antara lain GPS, Phi-Band, galah bantu, meteran, kamera dijital dan tallysheet.

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari:

1. Citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m tahun perekaman/peliputan 2009 dan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 12.5 m tahun


(33)

perekaman/peliputan 2009 daerah Kebonharjo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

2. Data hasil pengukuran dimensi tegakan (Diameter setinggi dada/D dan Tinggi total/Tt) keadaan tapak, jarak antar pohon dan azimut per plot pengamatan.

3. Data informasi petak dan anak petak KPH Kebonharjo.

3.3Tahapan Pelaksanaan

Tahapan dalam kegiatan penelitian ini secara umum terdiri dari persiapan dan pengambilan data lapangan, pengolahan data lapangan, pengolahan data citra, pembuatan model penduga biomassa, dan pemetaan biomassa (Gambar 10).

3.3.1 Persiapan dan Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data lapangan direncanakan di atas peta kerja dan peta administrasi KPH Kebonharjo, Perhutani Unit II Jawa Tengah. Pemilihan titik plot pengukuran lapangan dilakukan berdasarkan sebaran kelas umur di lokasi penelitian dan kenampakan Citra ALOS PALSAR. Penentuan titik dilakukan secara purposive sampling. Titik pengambilan sampel di tentukan sebanyak 64 titik yang menyebar di seluruh lokasi penelitian, berada di dua bagian hutan yaitu Bagian Hutan Balo dan Bagian Hutan Tuder.

3.3.2 Bentuk dan Ukuran Plot Contoh

Pengambilan data lapangan dilakukan di hutan tanaman jati, KPH Kebonharjo Perhutani Unit II Jawa Tengah. Plot contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan luasan plot disesuaikan pada titik dengan KU (kelas umur) tertentu yang akan dikunjungi di lapangan.


(34)

Persiapan dan pengumpulan

data Mulai

Selesai

Peta Petak KPH Kebonharjo

Penghitungan Akurasi Kelas Biomassa Verifikasi Model

&

Pemilihan Model

Peta Sebaran Biomassa

Citra Backscatter

Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Model

Analisis Statistik & Penyusunan

Model

Biomassa BEF Biomassa

Alometrik

Nilai Backscatter Hasil Inventarisasi

Tegakan & Dimensi Tegakan

Ekstraksi Nilai Dijital Setiap plot

Konversi Nilai Dijital ke Backscatter Perhitungan Biomassa

Citra ALOS PALSAR 2009


(35)

Pada KU I – II dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0.02 ha, pada KU III – IV dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0.04 ha,

sedangkan untuk KU ≥ V dilakukan pengukuran dengan plot lingkaran seluas 0.1

ha. Unit contoh yang digunakan merupakan hasil klasifikasi visual pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m berada dalam areal kerja KPH Kebonharjo, Bagian Hutan Tuder dan Bagian Hutan Balo, Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Gambar 10 Sketsa plot pengukuran.

3.3.3 Pengambilan Data Lapangan

3.3.3.1 Pemilihan Titik Pengukuran Lapangan

Pemilihan titik pengukuran lapangan dilakukan berdasarkan peta petak dan anak petak KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pemilihan titik dilakukan dengan metode purposive sampling, dimana kriteria pengambilan titik didasarkan pada sebaran kelas umur pada peta kerja KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pengukuran koordinat titik pengamatan dapat diukur dengan GPS atau menggunakan koordinat peta yang ada. Kemudian, dilakukan perekaman posisi area contoh menggunakan GPS.

3.3.3.2 Pengukuran Parameter Tegakan

Parameter tegakan yang diukur berupa diameter pohon setinggi dada (D), tinggi total (Tt), tinggi bebas cabang (Tbc) dan jenis pohon. Tingkat vegetasi yang diukur berdasarkan kelas umur (KU).


(36)

3.3.4 Pengolahan Data

3.3.4.1 Model Pendugaan Biomassa Lapangan.

Model alometrik pendugaan biomassa yang digunakan pada penelitian ini adalah model alometrik biomassa Hendri (2001) yang diformulasikan kembali oleh Tiryana (2011), dimana parameter penduga biomasa (B) yang diukur adalah diameter setinggi dada (D). Model tersebut secara matematis ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

Biomassa yang diukur dalam penelitian ini merupakan biomassa di atas permukaan tanah (above-ground biomass) dari tegakan jati pada tingkat usia tertentu (KU). Selain menggunakan persamaan alometrik pada daerah penelitian, nilai biomassa dihitung dengan menggunakan BEF (Biomass Expansion Factor), dimana BEF didefinisikan sebagai rasio total bobot biomassa kering tanur diatas permukaan tanah pada diameter (diameter setinggi dada/D) minimum 10 cm atau lebih dengan bobot biomassa kering tanur pada volume yang dapat dimanfaatkan/BEF pada biomassa kering tanur pada volume batang. BEF merupakan faktor koreksi bagi nilai biomassa yang diduga melalui volume (BVakt,

ton/ha). Perhitungan biomassa di atas permukaan dengan menggunakan BEF dilakukan dengan menggunakan rumus :

Volume (V, m3) dihitung dengan menggunakan formulasi :

Bbef = Biomassa diduga menggunakan BEF (ton/ha)

Vb = Volume untuk Bagian Hutan Balo (m3) Vt = Volume untuk Bagian Hutan Tuder (m3)

ρ = Berat jenis rata-rata pohon jati sebesar 0.67 ton/m3

BEF = Biomass Expansion Factor dengan nilai koefisien 1,53186 untuk Jati pada hutan tropis (Kraenzel et al. 2003).


(37)

3.3.4.2 Ekstraksi Nilai Dijital pada Citra ALOS PALSAR

Dengan menggunakan ekstensi square buffer pada ArcView 3.3 dibuat buffer pada titik pengamatan dilapangan dengan ukuran buffer 5 piksel × 5 piksel atau setara dengan 250 m × 250 m yang ditentukan berdasarkan pertimbangan error GPS dan pergeseran citra. Square buffer yang dihasilkan kemudian digunakan sebagai AOI (Area of Interest) sehingga didapat nilai dijital rata-rata pada buffer titik pengamatan. Nilai dijital yang dihasilkan kemudian di konversi menjadi nilai hamburan balik (backscatter) dengan menggunakan formulasi sebagai berikut (Shimada et al. 2009) :

Dimana :

BS = Backscatter (dB) dN = Nilai dijital (degree)

CF = Calibration factor dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2009 sebesar -83 (JAXA Publication)

3.3.4.3 Penyusunan dan Pemilihan Model

Penyusunan model hubungan antara biomassa di atas permukaan tanah dengan nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR menggunakan beberapa model matematika sebagai berikut :

Tabel 5 Model yang digunakan untuk pendugaan biomassa

Jenis Model Bentuk Model

Model linier Y = a + bX

Y = a+(1/b)X Model eksponensial Y = Exp(a + bX)

Y = a*bX

Inverse polynomial Y = X/(a+bX)

Schumacher Y = a*(Exp(b/X))

Keterangan : Y = Biomassa; X = Backscatter ALOS PALSAR

Pemilihan model dilakukan dengan memperhatikan koefisien determinasi terkoreksi R2adj dan Root Mean Square Error (RMSE) yang dihasilkan oleh

masing-masing persamaan. Koefisien determinasi terkoreksi adalah koefisien determinasi yang telah terkoreksi dari derajat bebas sisa dan derajat bebas totalnya. Dimana koefisien determinasi terkoreksi dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut:


(38)

Dimana :

JKS = Jumlah kuadrat sisa JKT = Jumlah kuadrat total (n - p) = Derajat bebas sisa (n - 1) = Derajat bebas total

Sedangkan akar kuadrat eror dihitung berdasarkan formula : MSE =

RMSE = Dimana :

MSE = Kuadrat tengah sisa RMSE = Akar kuadrat tengah sisa yi = Biomassa ke-i

= Rata-rata biomassa ke-i n = Jumlah plot sampel

p = Jumlah parameter yang digunakan

3.3.4.4 Verifikasi Model

Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan antara hasil kandungan biomassa di atas permukaan tanah dengan menggunakan model terpilih dan hasil pengukuran di lapangan menggunakan persamaan alometrik yang diasumsikan sebagai biomassa aktual. Verifikasi model dilakukan dengan cara mengambil piksel secara purposive pada cira sebanyak 26 plot kemudian dilakukan pengukuran di lapangan sesuai dengan prosedur yang dilakukan pada penyusunan model.

Untuk membandingkan hasil pendugaan biomassa pada model terbaik yang dihasilkan dalam penelitian ini dengan hasil pengukuran biomassa di lapangan menggunakan alometrik digunakan uji t-student berpasangan (Mattjik & Sumertajaya 2000).


(39)

Dengan menggunakan hipotesis uji sebagai berikut :

H0 : µ1 - µ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model)

H1 : µ1 - µ2≠ 0 (Biomassa aktual ≠ biomassa model)

Model yang dianggap mewakili data dan layak digunakan didasarkan pada thitung dengan kriteria apabila thitung<t(α/2) pada taraf nyata 5% atau nilai signifikansi

> 0,05 (taraf nyata 5%), maka model pendugaannya layak digunakan dan sebaliknya jika thitung > t(α/2) atau nilai signifikansi <0,05 (taraf nyata 5%), maka

model penduganya kurang layak digunakan.

3.3.5 Pembuatan Citra Pendugaan Biomassa dan Peta Kelas Biomassa

Citra pendugaan biomassa diturunkan dari citra backscatter yang diproses dengan menggunakan Modeler ( ) pada perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 dengan menggunakan model pendugaan terpilih yang telah terverifikasi.

Dari citra pendugaan biomassa dibuat peta sebaran kelas biomassa dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3, kemudian untuk mengetahui tingkat keterwakilan dan akurasi pembuatan peta sebaran dilakukan penghitungan kappa accuracy (K) dan overall accuracy (OA) pada peta sebaran kelas biomassa yang telah dibuat.

Dimana :

Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i Xi+ = jumlah piksel dalam kolom ke-i

X+i = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya titik contoh


(40)

Dalam matrik kontingensi dapat pula dihitung besarnya akurasi pembuat (Producer Accuracy/PA) dan akurasi pengguna (User Accuracy/UA) dari setiap kelas.


(41)

(42)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1Risalah Umum KPH Kebonharjo 4.1.1 Letak

Secara geografis terletak pada 111°20′ - 111°30′ BT dan 6°30′ - 6°60′ LS.

KPH Kebonharjo memiliki luas wilayah ±17.801,30 ha. Berdasarkan pembagian wilayah administratif KPH Kebonharjo berada pada wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meliputi wilayah Kabupaten Rembang Jawa Tengah dengan luas ± 11.946,7 ha yang terdiri dari 9 kecamatan yaitu Kecamatan Gunem, Sale, Sarang, Sedan, Pamotan, Pancur, Kragan, Sluke, dan Kecamatan Lasem (terdapat sekitar 42 desa sekitar hutan).

Wilayah Kabupaten Blora Jawa Tengah, seluas ± 2.140,4 ha yang terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Bogorejo dan Kecamatan Jiken (terdapat sekitar 7 desa sekitar hutan). Wilayah pemerintahan Kabupaten Tuban Jawa Timur, seluas ± 3.714,2 ha yang terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kenduruan dan Kecamatan Jatirogo (terdapat sekitar 11 desa sekitar hutan). Dalam pembagian wilayah kerja Perum Perhutani, KPH Kebonharjo terletak di wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah wilayah Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang.

4.1.2 Batas Wilayah

Batas wilayah KPH Kebonharjo meliputi : 1) Sebelah Utara :

KPH Kebonharjo berbatasan langsung dengan Laut Jawa bermula di Kali Lasem, menyusuri pantai ke arah Timur sampai di Desa Bulu berpotongan tegak lurus dengan perpanjangan jalan Jatirogo – Bulu.

2) Sebelah Timur :

Berbatasan dengan batas KPH Jatirogo bagian Barat, mulai dari pantai Laut Jawa di desa Bulu ke Selatan mengikuti jalan besar Bulu – Jatirogo melalui desa Ngepon / Ketangi sampai Pal DK No. 1 TPK Jatirogo ke Timur mengikuti jalan raya sampai dipertigaan jalan besar dari Blora. Dari sini terus ke Selatan


(43)

mengikuti jalan besar jurusan Blora sampai dukuh Bogel, terus menyusuri kali Kedung Gede sampai desa Sidomukti melintang dengan jalan DK lanjutan Alur D terus ke Selatan berpapasan dengan kali Gunung Wangon Kendik hingga dukuh Gunung Wangon Alur HV.

3) Sebelah Selatan :

Berbatasan dengan wilayah KPH Cepu bagian Utara mulai dukuh Gunung Wangon dari Pal Batas Hutan B 509 (petak 163) Bagian Hutan Merah ke Barat mengikuti Alur HV hingga Pal Batas Hutan B 150 (petak 162) Bagian Hutan Merah terus mengikuti jalan DK sampai Pal Batas Hutan B 526/DK A1 (petak 169) mengikuti batas hutan sampai Pal Batas Hutan B 577 (petak 156) Bagian Hutan Merah terus mengikuti Alur HK sampai pertemuan dengan Alur GL, terus membelok ke Barat mengikuti Alur GL sampai Pal Batas Hutan B 578 (petak 132) Bagian Hutan Merah ( B 86 Bagian Hutan Nanas) ke Barat melalui desa Gempol Ketringan, hingga persimpangan jalan Ketringan dengan Ngaglik terus mengikuti Alur FO sampai Pal Batas Hutan B 1199 ( petak 122) Bagian Hutan Merah terus mengikuti jalan desa Gempol, mengikuti jalan desa sampai Bogorejo, selanjutnya mengikuti jalan besar Jatirogo – Blora sampai di pertigaan pasar desa Karang.

4) Sebelah Barat :

Berbatasan dengan batas KPH Mantingan bagian Timur mulai dari pertigaan pasar desa Karang ke Utara melewati desa Poncosari, desa Juwet, desa Jurangjero sampai Batas Hutan B 1566 (petak 18) Bagian Hutan Merah, mengikuti Batas Hutan sampai di Pal B 10 (petak 16) Bagian Hutan Merah, belok ke Utara mengikuti Kecamatan Pamotan sampai Pal B 1008 (petak 47) Bagian Hutan Tuder, langsung mengikuti Batas Hutan sampai dengan Pal B 1050 dan terus ke Utara menyusuri batas Kecamatan Pamotan sampai desa Ukir terus mengikuti jalan jurusan desa Bamban.

Dari belokan jalan desa Bamban menyeberang ke Utara sampai bertemu jalan jurusan dari desa Bamban ke desa Bedog (Bangunrejo) terus ke Utara sampai bertemu pada pertigaan jalan besar jurusan Kebonharjo – Lasem.


(44)

Dari pertigaan jalan terus ke Barat menyusuri jalan sampai dipertigaan Lasem antara jalan jurusan Bulu – Rembang, belok ke Barat sampai di sungai Lasem sampai Laut Jawa.

Adapun letak kantor KPH Kebonharjo, berkedudukan di Kebonharjo, Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.

Sedangkan KPH – KPH yang berbatasan langsung dengan KPH Kebonharjo :

1. Sebelah Timur : KPH Jatirogo 2. Sebelah Selatan : KPH Cepu 3. Sebelah Barat : KPH Mantingan

4.1.3 Topografi

Secara garis besar KPH Kebonharjo dapat digambarkan terletak pada lereng Gunung Kendeng Utara dengan keadaan topografi landai di bagian utara (kecuali pada kelompok – kelompok Gunung Lasem), dimana semakin menuju arah selatan kelerengan semakin meningkat dan semakin bergelombang. Hal ini disebabkan adanya perbukitan – perbukitan dan lembah – lembah. Perbukitan disebelah utara adalah komplek Gunung Lasem dan disebelah selatan adalah Gunung Butak, sedangkan lembah – lembah terjadi karena adanya aliran Kali Kuning.

4.1.4 Enclave

Enclave hanya terdapat di Bagian Hutan Tuder yang terletak di desa Karas Kecamatan Sedan dengan luas ± 8,0 ha. Tanaman pertanian yang banyak ditemukan adalah kelapa, polowijo (palawija) dan persawahan (padi). Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani yang mengandalkan pada musim (petani musim), terutama musim hujan. Pada musim kering masyarakat sulit bercocok tanam, dan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, mereka banyak yang mengembara ke daerah lain sebagai pekerja bangunan musiman. Sedang sebagian yang lain menetap di desa dengan sesekali mencari rencek di hutan.


(45)

(46)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Rata-rata Biomassa di KPH Kebonharjo

Berdasarkan Tabel 1 rata-rata biomassa yang ditemukan di lapangan dengan menggunakan model alometrik Hendri tidak lebih besar dari rata-rata biomassa lapangan yang dihitung berdasarkan Biomass Expansion Factor (BEF). Nilai biomassa rata-rata pada kelas umur II, III, V, VI, VIII, IX, dan XI pada biomassa Hendri memiliki nilai biomassa yang lebih rendah dari biomassa BEF. Nilai biomassa tertinggi baik pada perhitungan biomassa dengan menggunakan alometrik Hendri maupun dengan menggunakan BEF, yaitu pada kelas umur XI dengan nilai biomassa 328,60 Ton/ha dan 461,17 Ton/ha.

Tabel 6 Rata-rata biomassa di KPH Kebonharjo per KU dan jumlah plot pengamatan per KU berdasarkan alometrik tegakan jati dan BEF Kelas Umur Σ Plot Per KU Rata-rata Biomassa Per KU (Ton/ha)

Alometrik Hendri BEF

I 17 42.72 35.88

II 13 111.76 124.31

III 9 118.42 126.22

IV 5 184.55 155.91

V 5 125.78 274.43

VI 5 140.54 144.99

VII 3 191.74 176.44

VIII 4 211.22 245.83

IX 1 199.07 288.63

XI 1 328.69 461.17

Total 63 1654.49 2033.87

5.2Hasil Pengolahan Data Citra

Nilai hamburan balik (backscatter) pada citra ALOS PALSAR didapat dengan mengekstraksi nilai dijital pada citra. Dilakukan pembuatan square buffer pada titik pengamatan ukuran 5 × 5 piksel setara dengan 250 m × 250 m ukuran sesungguhnya dilapangan pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan square buffer ukuran 20 × 20 piksel setara dengan 250 m × 250 m ukuran sesungguhnya di lapangan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Buffer titik ini dibuat dengan tujuan untuk mempermudah ekstraksi nilai dijital pada citra. Nilai dijital yang diperoleh merupakan rata-rata nilai dijital dari 25 (dua puluh lima) piksel terdekat pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 400 (empat


(47)

ratus) piksel terdekat pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan pusat plot, dimana nilai yang didapatkan adalah nilai tengah dari ekstraksi nilai dijital. Kemudian nilai dijital yang terekstraksi dikonversi menjadi nilai hamburan balik dengan menggunakan persamaan BS (dB) = 10*Log10(DN2) + CF (Shimada et al. 2009). Nilai hamburan balik (backscatter) pada masing-masing plot pengamatan disajikan pada Lampiran 3.

Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa nilai backscatter pada polarisasi HH memiliki nilai yang lebih besar dari backscatter pada polarisasi HV. Ukuran 5 × 5 piksel dan 20 × 20 piksel yang digunakan untuk mendapatkan nilai backscatter ini berfungsi sebagai pereduksi efek dari speckle dan error rektifikasi pada nilai koefisien backscatter (Austin et al. 2003). Selain itu penentuan jumlah piksel yang digunakan juga didasari oleh pertimbangan error GPS di lapangan pada saat ground check.

5.3Penyusunan Model Pendugaan Biomassa 5.3.1 Biomassa Hendri dan Biomassa BEF

Berdasarkan tabel pada Lampiran 1 hasil perhitungan biomassa dengan menggunakan model alometrik Hendri memiliki nilai biomassa terendah sebesar 7.52 ton/ha pada KU I dan nilai biomassa tertinggi sebesar 328.69 ton/ha pada KU XI. Berdasarkan tabel pada Lampiran 2 hasil perhitungan biomassa dengan menggunakan Biomass Expansion Factor memiliki nilai biomassa yang lebih besar dari biomassa alometrik Hendri. Tetapi pada kelas umur I (KU I) dan II (KU II) biomassa hasil perhitungan BEF lebih kecil dari biomassa alometrik Hendri. Nilai biomassa minimum sebesar 4.95 ton/ha pada KU I dan nilai biomassa tertinggi sebesar 461.71 ton/ha pada KU XI.

Gambar 11 pada daerah dengan KU yang tinggi menunjukkan perhitungan biomassa dengan menggunakan BEF menghasilkan nilai biomassa yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai biomassa alometrik Hendri.


(48)

Gambar 11 Perbandingan nilai biomassa alometrik Hendri dan biomassa BEF.

Besarnya nilai pendugaan dengan menggunakan BEF dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah BEF yang digunakan untuk menghitung biomassa tidak dihasilkan dari data pada daerah penelitian. Nilai BEF pada tegakan jati ini dikembangkan oleh Kraenzel et al. (2003) berdasarkan data perhitungan biomassa tegakan jati secara destruktif di daerah Panama. Selain itu penghitungan BEF ini dikonsentrasikan pada pohon jati berusia 0 - 20 tahun (KU I - KU II), sedangkan pada daerah penelitian pohon jati yang diambil sebagai sampel pengukuran memiliki umur yang bervariasi.

Penggunaan koefisien BEF dalam pembuatan model dimaksudkan untuk menghasilkan model pendugaan yang bersifat general sehingga model pendugaan diharapkan dapat digunakan untuk menduga biomassa jati di daerah manapun. Tetapi karena koefisien BEF yang digunakan untuk menghitung biomassa dihasilkan dari data yang tidak mewakili kondisi tegakan jati di KPH Kebonharjo sehingga pada penelitian ini penggunaan koefisien BEF tidak disarankan. Hasil pembuatan model pendugaan dengan koefisien BEF tetap dilampirkan. Berdasarkan analisis terhadap nilai pendugaan biomassa dengan menggunakan BEF maka pembuatan model pendugaan biomassa dikonsentrasikan pada hubungan biomassa alometrik Hendri dengan backscatter citra ALOS PALSAR.


(49)

5.3.2 Pola Hubungan Backscatter Citra ALOS PALSAR dengan Biomassa

Penyusunan model pendugaan biomassa di atas permukaan tanah pada tegakan jati dilakukan dengan menganalisis sebaran data backscatter yang diekstraksi dari citra satelit ALOS PALSAR dengan nilai biomassa lapangan yang dihitung berdasarkan model alometrik Hendri.

Gambar 12 Scatterplot hubungan antara biomassa Hendri dengan backscatter ALOS PALSAR : a) backscatter HV resolusi 50 m, b) backscatter HH resolusi 50 m, c) backscatter HV resolusi 12,5 m, d) backscatter HH resolusi 12,5 m.

Gambar 12 menunjukan pola sebaran pada hubungan backscatter citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dengan biomassa Hendri. Berdasarkan sebaran data pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa data memiliki pola yang tidak linier sehingga pembuatan model dilakukan dengan memperhatikan kaidah regresi nonlinier yaitu membuat jumlah kuadrat galat sekecil mungkin. Lucas et al. (2006) menemukan pola hubungan backscatter pada citra radar dengan nilai biomassa di atas permukaan membentuk pola yang nonlinier. Sehingga model terbaik ditentukan oleh nilai RMSE terkecil, Fhitung terbesar, koefisien determinasi

disesuaikan (R2adj) terbesar, dan nilai signifikansi > 0.05.

a

d c


(50)

Dengan memperhatikan bentuk kurva pada sebaran data (Baker 2006) dimana hubungan variabel respon dan prediktornya mengikuti bentuk fungsional tertentu (Smyth 2002). Pada persamaan yang dibangun dengan kaidah nonlinier, nilai koefisien determinasi disesuaikan dan RMSE menjelaskan keeratan hubungan nonlinier antara biomassa dan nilai tengah backscatter.

Pada plot-plot dengan kelas umur muda, kondisi vegetasi di lapangan yang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter cenderung memiliki nilai yang lebih besar, atau sebaliknya pada plot-plot dengan kelas umur tua dan memiliki kondisi vegetasi di lapangan yang kurang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan hubungan antara biomassa dan backscatter dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah heterogenitas atau homogenitas hutan, topografi, tutupan tajuk, dan salah satunya adalah kerapatan tegakan.

5.3.3 Penyusunan Model Hubungan Backscatter dengan Biomassa Alometrik Hendri

Hasil analisis hubungan antara nilai biomassa Alometrik Hendri dan backscatter citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ditunjukkan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Baik backscatter HH maupun HV menunjukkan terdapat hubungan dengan biomassa walaupun hubungan yang dihasilkan dari regresi antara biomassa dengan backscatter HH maupun HV tidak terlalu besar. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa hubungan backscatter HV dengan biomassa menunjukkan nilai statistik lebih baik dibandingkan dengan hubungan backscatter HH dengan biomassa yang disajikan pada Tabel 7.

Pada studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa polarisasi HV lebih sensitif dalam menduga nilai biomassa di atas permukaan pada kondisi permukaan yang datar dibandingkan di tempat yang bergelombang (Wijaya 2009). Dimana pada lokasi penelitian, daerah-daerah pengambilan sampel relatif memiliki permukaan yang datar. Nilai backscatter HV akan menghasilkan nilai pendugaan biomassa yang lebih baik karena memiliki mekanisma hamburan lebih dominan terhadap hamburan balik tajuk (Franson & Israelsson 1999 dalam Wijaya 2009).


(1)

Hasil pendugaan biomassa dengan menggunakan model hubungan yang disusun berdasarkan biomassa BEF dan backscatter citra ALOS PALSAR 50 m.

No. Plot_ID Backsatter (dB) Biomassa (Ton/ha)

HH HV Aktual Model HH Model HV

1 50001A -5.7388 -11.8862 461.18 129.35 116.21 2 50005A -8.3827 -15.4508 24.25 27.67 18.08 3 50010 -5.3677 -11.9385 99.63 143.62 113.08 4 50013A -5.2092 -11.2963 169.44 149.72 158.11 5 50015 -7.9592 -12.6090 102.94 43.95 79.69 6 50016A -5.9815 -11.9306 299.46 120.02 113.55 7 50025 -4.4660 -11.2386 129.10 178.31 162.96 8 50026A -5.0517 -11.3422 109.50 155.78 154.37 9 50027A -6.9525 -13.2288 116.26 82.67 57.66 10 50029A -8.6641 -14.3032 210.86 16.84 32.91 11 50035 -4.7226 -10.9648 58.95 168.44 187.98 12 50051A -5.9074 -11.4474 397.61 122.87 146.12 13 50053 -5.6531 -11.6405 203.17 132.65 132.12 14 50070 -4.9898 -11.0626 97.92 158.16 178.63 15 50076 -7.0978 -11.8667 64.24 77.08 117.40 16 50081 -6.8439 -13.6271 77.48 86.85 46.83 17 50083 -5.3354 -12.0269 88.06 144.87 107.98 18 50085 -6.5395 -12.8245 32.03 98.56 71.21 19 50086 -4.8573 -12.0135 215.66 163.26 108.74 20 50087 -5.4930 -12.0990 194.34 138.81 103.99 21 50088 -4.7353 -10.7616 85.74 167.95 209.02 22 50091 -5.4657 -11.6476 76.08 139.86 131.62 23 50093 -5.3686 -11.0971 80.54 143.59 175.44 24 50095 -5.9419 -12.3769 51.98 121.54 89.95 25 50097 -5.8782 -11.6884 79.41 123.99 128.85 26 50056A -6.2363 -11.6056 403.65 110.22 134.54


(2)

73

Lampiran 7

Hasil pendugaan biomassa dengan menggunakan model hubungan yang disusun berdasarkan Alometrik Hendri dan backscatter citra ALOS PALSAR 12,5 m. No. Plot_ID Backsatter (dB) Biomassa (Ton/ha)

HH HV Aktual Model HH Model HV

1 50001A -7.23175 -13.6251 328.7 109.34 109.53 2 50005A -8.43285 -17.6619 31.98 78.68 32.37 3 50010 -6.06309 -13.1384 90.89 150.61 126.88 4 50013A -7.77862 -13.7962 151.28 94.13 104.02 5 50015 -7.12956 -12.3777 116.15 112.45 159.64 6 50016A -6.70649 -13.7196 235.04 126.27 106.45 7 50025 -5.41553 -12.5498 129.85 179.85 151.56 8 50026A -5.85515 -12.6032 99.69 159.44 149.13 9 50027A -10.3725 -15.7688 112.95 46.24 57.33 10 50029A -9.22457 -14.5111 197.28 63.34 83.82 11 50035 -7.17405 -13.6954 62.41 111.09 107.23 12 50051A -8.11739 -13.1118 173.17 85.78 127.90 13 50053 -7.84003 -14.2917 153.82 92.56 89.56 14 50070 -6.97592 -13.6338 104.35 117.28 109.24 15 50076 -7.71618 -13.582 67.95 95.75 110.97 16 50081 -8.34602 -15.3627 89.36 80.58 64.81 17 50083 -7.84856 -14.4591 96.76 92.34 85.14 18 50085 -7.48381 -13.6474 40.77 102.05 108.80 19 50086 -7.1108 -13.8922 182.35 113.03 101.04 20 50087 -6.87783 -13.2071 186.56 120.48 124.27 21 50088 -7.71302 -14.1216 88.7 95.84 94.28 22 50091 -7.39711 -13.6356 85.16 104.50 109.19 23 50093 -7.2736 -13.4865 80.49 108.10 114.21 24 50095 -8.64526 -15.2238 62.58 74.23 67.59 25 50097 -7.31446 -13.7024 84.22 106.89 107.01 26 50056A -7.34754 -12.5852 271.64 105.93 149.95


(3)

Hasil pendugaan biomassa dengan menggunakan model hubungan yang disusun berdasarkan biomassa BEF dan backscatter citra ALOS PALSAR 12,5 m. No. Plot_ID Backsatter (dB) Biomassa (Ton/ha)

HH HV Aktual Model HH Model HV

1 50001A -7.23175 -13.6251 461.18 109.66 109.56 2 50005A -8.43285 -17.6619 24.25 75.66 27.77 3 50010 -6.06309 -13.1384 99.63 157.36 129.28 4 50013A -7.77862 -13.7962 169.44 92.61 103.37 5 50015 -7.12956 -12.3777 102.94 113.18 167.44 6 50016A -6.70649 -13.7196 299.46 128.98 106.09 7 50025 -5.41553 -12.5498 129.1 192.21 157.92 8 50026A -5.85515 -12.6032 109.5 167.80 155.07 9 50027A -10.3725 -15.7688 116.26 41.55 52.86 10 50029A -9.22457 -14.5111 210.86 59.24 81.06 11 50035 -7.17405 -13.6954 58.95 111.63 106.97 12 50051A -8.11739 -13.1118 397.61 83.41 130.45 13 50053 -7.84003 -14.2917 203.17 90.87 87.34 14 50070 -6.97592 -13.6338 97.92 118.68 109.23 15 50076 -7.71618 -13.582 64.24 94.42 111.18 16 50081 -8.34602 -15.3627 77.48 77.72 60.68 17 50083 -7.84856 -14.4591 88.06 90.63 82.51 18 50085 -7.48381 -13.6474 32.03 101.44 108.73 19 50086 -7.1108 -13.8922 215.66 113.84 100.05 20 50087 -6.87783 -13.2071 194.34 122.33 126.29 21 50088 -7.71302 -14.1216 85.74 94.51 92.54 22 50091 -7.39711 -13.6356 76.08 104.20 109.17 23 50093 -7.2736 -13.4865 80.54 108.25 114.85 24 50095 -8.64526 -15.2238 51.98 70.85 63.62 25 50097 -7.31446 -13.7024 79.41 106.89 106.72 26 50056A -7.34754 -12.5852 403.65 105.81 156.03


(4)

75

Lampiran 9

Bentuk Titik Total UA Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 %

Model

Kelas 1 10 2 1 13 76.92 Kelas 2 7 21 17 45 46.67 Kelas 3 1 3 1 5 20.00 Total 18 26 19 63

PA % 55.56 80.77 5.26 Overall Accuracy 50.79

Kappa Accuracy 20.93

Bentuk Titik Total UA Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 %

Model

Kelas 1 11 3 1 15 73.33 Kelas 2 7 22 16 45 48.89 Kelas 3 0 1 2 3 66.67 Total 18 26 19 63

PA % 61.11 84.62 10.53 Overall Accuracy (%) 55.56

Kappa Accuracy (%) 28.64

Bentuk Titik Total UA Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 % Model Kelas 1 11 2 1 14 78.57

Kelas 2 6 19 14 39 48.72 Kelas 3 1 5 4 10 40.00 Total 18 26 19 63

PA % 61.11 73.08 21.05 Overall Accuracy (%) 53.97

Kappa Accuracy (%) 27.30

Bentuk Titik Total UA Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 %

Model

Kelas 1 12 3 1 16 75.00 Kelas 2 5 19 14 38 50.00 Kelas 3 1 4 4 9 44.44 Total 18 26 19 63

PA % 66.67 73.08 21.05 Overall Accuracy (%) 55.56


(5)

Citra Alos Palsar Resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH.

Hutan sebagai sistem dinamis disusun oleh berbagai komponen salah satunya adalah biomassa. Biomassa memiliki peranan penting dalam pengelolaan ekosistem hutan dan menjadi salah satu parameter yang digunakan dalam mengetahui perubahan struktur hutan, karena jumlah stok biomassa bergantung pada ada atau tidaknya permudaan alam, terganggu atau tidaknya hutan, dan peruntukan hutan (IPCC 1995). Penelitian yang menghasilkan pendekatan untuk mengestimasi biomassa telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah penggunaan informasi dijital pada data SAR (Synthetic Aperture Radar). Pada tahun 2006, diluncurkan sensor baru dengan sistem SAR pada satelit ALOS milik pemerintah Jepang, yaitu sensor PALSAR. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pendugaan biomassa pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) di KPH Kebonharjo perhutani unit I Jawa Tengah, dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m serta pembuatan peta sebaran dengan model terpilih.

Pada citra ALOS PALSAR dilakukan ekstraksi nilai dijital yang kemudian dikalibrasi menggunakan persamaan NRCS (Normalize Radar Cross Section, dB) yang dikembangkan oleh Shimada et al. (2009) untuk menghasilkan nilai backscatter. Nilai backscatter citra ALOS PALSAR kemudian diregresikan mengguanakan kaidah non-linier dengan biomassa dimana perhitungan biomassa dilakukan menggunakan model alometrik untuk tegakan jati dan koefisien BEF (Biomass Expansion Factor). Model terpilih diperoleh dengan memperhatikan nilai R2adj dan Root mean square error (RMSE). Verifikasi pada model terpilih dilakukan menggunakan uji T berpasangan untuk mengetahui kelayakan model. Pemetaan biomassa dibuat berdasarkan model-model yang telah diverifikasi. Pada peta sebaran biomassa dilakukan perhitungan overall accuracy dan kappa accuracy.

Nilai biomassa minimum pada tegakan jati yang dihitung dengan menggunakan alometrik tegakan jati adalah sebesar 7,52 ton/ha pada KU I dan nilai biomassa maksimum sebesar 328,69 ton/ha pada KU XI. Perhitungan dengan menggunakan BEF cenderung overestimate pada kelas umur tua sehingga pada penelitian ini pembuatan model pendugaan dengan BEF tidak dilakukan. Berdasarkan hasil regresi antara biomassa dan backscatter didapatkan 16 model penduga biomassa. Dari 16 model yang telah dibuat, dipilih 4 model terbaik. Verifikasi dilakukan pada 4 model terpilih menggunakan uji T berpasangan. Verifikasi menunjukan bahwa ke 4 model tersebut memiliki nilai T hitung < T tabel dan signifikansi > 0,05 sehingga model layak digunakan untuk menduga biomassa di daerah penelitian. Model yang menghasilkan peta sebaran biomassa dengan akurasi terbaik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah model 2 sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 adalah model 4.


(6)

SUMMARY

RISA DESIANA SYARIF. Above-Ground Biomass Estimation and Mapping in Teak (Tectona grandis Linn. F) Plantation Area using ALOS PALSAR Image with 12,5 m and 50 m Spatial Resolution (Case Study: KPH Kebonharjo, Perhutani Unit I, Central Java). Supervised by NINING PUSPANINGSIH and M. BUCE SALEH.

Forest as a dynamic system is consisted by many components, one of its components is biomass. Biomass can be used to determine the forest structure and condition, since biomass is depend on natural regeneration of the forest, disturbed state of the forest, and the forest use (IPCC 1995). Researchs than estimate biomass has been done using various methods, one of these methods is using SAR data in estimating biomass. In year 2006 Japanese government launched a SAR-based satellite, ALOS satellite. PALSAR sensor in ALOS satellite can produce SAR-based image that can be used in estimating biomass. This research aimed to create biomass estimation model and biomass distribution map for teak plantation area in KPH Kebonharjo Unit I Central Java, using ALOS PALSAR image with 12,5 m and 50 m spatial resolution.

Backscatter value is generated using digital number from ALOS PALSAR image and calibrated using Normalized Radar Cross Section (NRCS), which developed by Shimada et al. (2009). Therefore the backscatter value is then regressed using non-linear rulings with biomass that is estimated from teak allometric equations and Biomass Expansion Factor (BEF) coefficient. Certain model is selected by ranking the R2adj and Root Mean Square Error (RMSE). Chosen model is then verified using Paired T-test to analyze the appropriateness of the models. Biomass distribution map is constructed based on verified models, and then assessed using two accuracy assessment, Overall Accuracy and Kappa Accuracy.

Minimum estimated biomass value in teak stands area using allometric equation is numbered at 7,52 ton/ha in Age Class (KU) I and maximum estimated biomass value in teak stands area using allometric equation is numbered at 328,69 ton/ha in KU XI. The estimation of biomass that calculated using BEF coefficient are overestimate. This research focused on estimating biomass using Hendri allometric equation.

16 models are generated based on biomass and backscatter regression. From 16 models, 4 models are chosen. Verification using Paired T-test on the 4 models shows that all the models having Tscore < Ttable and significance value > 0,05. Model that used in construction of biomass distribution map which has the best accuration for 50 m spatial resolution is model 2, meanwhile best accuration for 12,5 spatial resolution is model 4.


Dokumen yang terkait

Pendugaan biomassa atas permukaan pada tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) menggunakan citra alos palsar resolusi spasial 50 M dan 12,5 M (studi kasus di KPH Banyumas Barat)

0 3 69

Pendugaan Simpanan Karbon di Atas Permukaan Lahan Pada Tegakan Jati (Tectona grandis) di KPH Blitar, Perhutani Unit II Jawa Timur.

1 17 74

Pendugaan potensi kandungan karbon pada tegakan jati (Tectona grandis Linn. F) di areal KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

1 16 89

Evaluasi manual penafsiran visual citra alos palsar dalam mengidentifikasi penutupan lahan menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M

3 12 72

Penggunaan Citra Resolusi Tinggi untuk Pendugaan Sediaan Tegakan Jati (Tectona grandis, Linn.f) dengan Teknik Double Sampling di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 15 152

Penyusunan Model Penduga Sediaan Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis Linn f) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi

0 10 166

Pendugaan biomassa tegakan jati menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 M dan 50 M dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah

0 2 128

Persamaan Alometrik Biomassa dan Massa Karbon Pohon Jati (Tectona grandis Linn. f.) (KPH Balapulang, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah).

0 8 102

Model Spasial Pendugaan dan Pemetaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12.5 M.

4 19 51

Pendugaan Nilai Tegakan dan Analisis Nilai Tambah Jati (Tectona grandis L.f.) di KPH Pemalang Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah

1 6 33