Berdasarkan faktor Teknologi terdapat dua kriteria yang menentukan yaitu :

kapasitas potensi air tersebut. Dengan demikian, diperlukan pendekatan pemanfaatan air yang efisien dan tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep pendekatan ini disebut juga dengan konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development, yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang Rustiadi et al. 2009. Pembangunan berkelanjutan dapat dilihat melalui tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi yang membentuk segitiga kerangka kerja “a triangular framework”, sebagaimana dikemukakan oleh Serageldin dalam Rustiadi 2009. Dalam konteks keberlanjutan pemanfaatan air, selain tiga dimensi tersebut diatas, terdapat dua dimensi lain yang dianggap cukup mempengaruhi yaitu dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. Kelembagaan penting untuk dibentuk sebagai dukungan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan pemanfaatan air antara lain negara, sektor swasta, dan masyarakat sipil, sedangkan teknologi yang diterjemahkan sebagai infrastruktur juga berperan dalam tata pengaturan ketika ketersediaan air berlimpah di musim hujan maupun ketika terjadi kelangkaan air di musim kemarau Sanim 2011. Kegiatan pemanfaatan air di Indonesia pertama kali diatur oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dengan pertimbangan bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang dan sebagai salah satu upaya menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan peningkatan kebutuhan air, maka diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air. Dalam undang-undang tersebut, kegiatan pemanfaatan air diistilahkan dengan “pendayagunaan sumber daya air”, dimana kegiatan ini mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan dikecualikan untuk kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pada kenyataannya, terdapat kawasan pelestarian alam yang menjadi lokasi kegiatan pemanfaatan air untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat di sekitarnya, diantaranya yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP yang telah dimanfaatkan sejak tahun 1998 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Keseluruhan pengguna air di kawasan TNGGP merupakan pengguna air secara langsung yaitu pengguna yang menggunakan sarana dan prasarana secara langsung yang terhubung dengan sumber air yang berada di dalam kawasan dengan menggunakan pipa atau paralon. Kawasan Pelestarian Alam KPA adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Undang- Undang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun dalam UU No.72004 tidak mengatur kegiatan pemanfaatan air untuk KPA, namun kegiatan pemanfaatan air yang telah berjalan di TNGGP tetap mengacu pada undang- undang tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU No.411999 belum mengatur jenis kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam KPA. TNGGP merupakan salah satu KPA yang diketahui memiliki potensi air berlimpah yaitu berupa surplus sebesar 548,960,480 m 3 tahun Rushayati 2006, dan menjadi penyedia kebutuhan air untuk tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2009, pengguna air secara langsung dari kawasan ini telah meningkat sebanyak hampir 37 kali lipat. Pengguna air yang semula hanya berjumlah 3 tiga pengguna yang tersebar pada 2 dua kabupaten yaitu Cianjur dan Sukabumi Sumarto 2008, hingga saat ini sudah mencapai 113 pengguna yang tersebar pada 3 tiga kabupaten yaitu 39 pengguna di Bogor, 21 pengguna di Sukabumi, dan 53 pengguna di Cianjur FORPELA 2009. Balai Besar TNGGP selaku pengelola kawasan telah mengelompokkan pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP menjadi 2 dua jenis pengguna, yaitu pengguna air non komersial dan pengguna air non komersial. Pengguna air non komersial merupakan masyarakat desa di sekitar kawasan TNGGP yang memanfaatkan air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih atau kegiatan rumah tangga, sedangkan pengguna air komersial merupakan pihak perorangan atau kelompok di sekitar kawasan TNGGP yang memanfaatkan air untuk tujuan usaha. Sumber air yang digunakan berasal dari mata air, sungai, dan kali yang terdapat di dalam kawasan TNGGP. Data FORPELA 2009 menyebutkan bahwa dari 113 pengguna air di kawasan TNGGP, 91 diantaranya merupakan pengguna komersial. Meningkatnya pengguna air tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga diperlukan suatu pengelolaan kegiatan pemanfaatan air agar dapat berkelanjutan. Kegiatan pemanfaatan air di TNGGP sejak tahun 2006 dikelola berdasarkan konsep kemitraan melalui pembentukan kelembagaan Forum Peduli Air FORPELA TNGGP yang beranggotakan pihak pengguna air secara langsung dari kawasan TNGGP. Kemitraan ini diwujudkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pihak pengguna dan pihak pengelola kawasan yaitu Balai Besar TNGGP. Hal ini dilakukan karena sampai saat ini peraturan terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA masih dalam tahap penyusunan pada instansi terkait yaitu Kementerian Kehutanan. Lemahnya payung hukum yang mendukung kegiatan pemanfaatan air ini menyebabkan adanya ketidakjelasan hak dan kewajiban para pihak yang dapat menimbulkan potensi konflik, karena dalam perjanjian kerjasama tersebut belum menyebutkan bagaimana kewajiban pihak pengguna terhadap kawasan TNGGP dalam satuan yang terukur. Selain itu, hal ini juga dapat menghambat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pemanfaatan air yang telah dilakukan karena belum adanya pedoman yang menjadi acuan, sehingga pada akhirnya dapat mengganggu keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang sudah berjalan di kawasan TNGGP. Dalam rangka mendukung keberlanjutan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dan mendukung percepatan proses penyusunan kebijakan pemanfaatan air di KPA, maka dilakukan penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang dapat mendukung keberlanjutan pemanfaatan air melalui penilaian status keberlanjutan dari masing-masing dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dikuantifikasi untuk mengetahui status keberlanjutan dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Sebagai lokasi contoh dalam kajian ini, maka dipilih satu lokasi yang dianggap cukup mewakili karakteristik pengguna air di kawasan TNGGP. Dari ketiga wilayah pengguna air di kawasan TNGGP, Kabupaten Bogor memiliki karakteristik yang lebih bervariasi dibandingkan kedua kabupaten lainnya. Hal ini dikarenakan penggunaan air pada Kabupaten Bogor selain untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian, juga banyak digunakan untuk kepentingan usaha di bidang air minum, peternakan, hortikultura, penginapan dan wisata, sehingga Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini. Perumusan Masalah Air merupakan barang publik dan merupakan salah satu jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Berbagai pihak dapat memanfaatkan air tanpa harus membayar, namun pemanfaatan air yang berlebihan dan tidak bijaksana dapat mengakibatkan penurunan dalam kualitas dan kuantitas air. Peningkatan pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP dan belum adanya kebijakan yang mengatur secara khusus kegiatan pemanfaatan air di KPA dapat mempengaruhi keberlanjutan dari pemanfaatan air tersebut. Penggunaan air yang semakin meningkat tanpa memperhatikan pertimbangan teknis dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan air, sedangkan belum adanya kebijakan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan dapat menghambat upaya konservasi sumber daya air. Di lain pihak, sangat penting untuk memelihara ketersediaan air agar tetap berlimpah sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi wilayah- wilayah disekitarnya. Sejalan dengan kegiatan pemanfaatan air yang telah dilakukan di kawasan TNGGP, diharapkan pihak pengguna air dapat memberikan timbal balik yang sesuai terhadap kawasan sebagai kompensasi akibat pemanfaatan air. Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan, upaya timbal balik tersebut masih dirasakan kurang optimal, karena penentuan kompensasi atas penggunaan air ditentukan tanpa adanya pertimbangan teknis. Hal ini disebabkan belum ada kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA, yang dapat menjadi pedoman bagi pegelola kawasan untuk melakukan evaluasi, sehingga sampai saat ini belum pernah dilakukan penilaian keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1 Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP masih belum diatur dengan jelas; 2 Keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP belum diketahui; dan 3 Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP belum didukung dengan kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA. Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1 Menganalisis bentuk mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP; 2 Menganalisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP; dan 3 Menyusun arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang terdapat di kawasan TNGGP dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP serta penyusunan kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA. Ruang Lingkup Studi Penelitian yang dilakukan merupakan suatu studi berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan air secara langsung dari dalam kawasan TNGGP yang terdiri dari : 1 persepsi dan partisipasi pengguna air non komersial dan pengguna air komersial yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor dan termasuk dalam keanggotaan FORPELA; dan 2 penilaian kondisi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi terkait kegiatan pemanfaatan air secara langsung di kawasan TNGGP. Ruang lingkup penelitian berbasis kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air catchment area dan lokasi pengguna air secara langsung yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor. Studi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan pembobotan dalam dalam analisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air dan analisis arahan terkait penyusunan kebijakan pemanfaatan air di KPA. Kerangka Pemikiran Kajian keberlanjutan pemanfaatan air ini diawali dengan pemikiran adanya peningkatan jumlah pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP sejak tahun 1996 – 2009 dan belum adanya dukungan peraturan teknis terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA, maka dapat mempengaruhi potensi ketersediaan air apabila tidak dilakukan suatu pengelolaan khusus dalam kegiatan pemanfaatan air. Dalam hal ini, diperlukan suatu mekanisme pemanfaatan air yang dapat mengatur hak dan kewajiban pengguna air dalam memanfaatkan air sekaligus mendukung kelestarian potensi air. Dengan memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA menjadi hal yang penting dalam pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP agar dapat berkelanjutan. Salah satu upaya untuk mendukung hal tersebut adalah melakukan suatu kajian keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang meliputi analisis mekanisme kegiatan dan analisis status keberlanjutan pemanfaatan air termasuk menganalisis bagaimana kondisi setiap dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjadi dasar dalam menentukan arahan pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Secara skematik kerangka pemikiran ini digambarkan pada Gambar 1. Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di TNGGP Peraturan teknis kegiatan pemanfaatan air di KPA belum tersedia Peningkatan jumlah pengguna air di kawasan TNGGP Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP Ketersediaan air di TNGGP Ekologi Teknologi Ekonomi Kelembagaan Sosial Pemanfaatan air berkelanjutan Analisis status keberlanjutan Arahan pengelolaan pemanfaatan air di TNGGP TINJAUAN PUSTAKA Air Air merupakan bagian penting dalam kehidupan, karena semua makhluk hidup membutuhkan air untuk tumbuh dan berkembang. Setiap organisme yang hidup tersusun dari sel-sel berisi air sedikitnya 60 dan menggunakan larutan air sebagai tempat untuk menjalankan aktivitas metaboliknya Enger dan Smith 2000 dalam Kodoatie et al. 2010. Air juga merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan bersifat dinamis yang berarti sumber utama air yang berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun Kodoatie et al. 2010. Dengan demikian air sebagai sumber daya bersifat sangat penting bagi kehidupan dan harus dipertahankan keberadaannya agar dapat dimanfaatkan sepanjang masa. Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mendefinisikan sumber daya air ke dalam tiga bagian yaitu air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan sumber air adalah tempat atau wadah air alami danatau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Dalam undang-undang ini juga dinyatakan pada Pasal 4 bahwa “Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”, dimana dalam penjelasannya masing-masing fungsi tersebut diterjemahkan sebagai berikut : 1. Fungsi sosial berarti peruntukan sumber daya air lebih diutamakan untuk kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu. 2. Fungsi lingkungan memposisikan sumber daya sebagai bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna. 3. Fungsi ekonomi lebih memprioritaskan pendayagunaan air untuk menunjang kegiatan usaha. Hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Gleick 1998, bahwa air dinilai tidak hanya penting untuk mendukung keberlangsungan hidup, tetapi sangat penting dalam mendukung suatu ekosistem, pengembangan ekonomi, taraf kesejahteraan masyarakat, dan memiliki nilai budaya. Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, maka sudah selayaknya kegiatan pemanfaatan air dapat dilakukan dengan bijak agar tidak saling mengganggu fungsi-fungsi lainnya. Peranan Hutan dalam Ketersediaan Air Dengan adanya kegiatan pemanfaatan sumber daya air, maka ketersediaan air menjadi syarat utama agar pemanfaatan dapat terlaksana dan terpenuhinya fungsi-fungsi yang dimilikinya. Air dihasilkan dari suatu proses yang disebut siklus hidrologi, dimana siklus hidrologi atau daur hidrologi merupakan suatu pola pendauran yang umum yang terdiri dari susunan gerakan-gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya yang secara sederhana diartikan sebagai perjalanan air mengalir dari atmosfer ke daratan ke laut sampai atmosfer Lee 1990. Perjalanan air dalam siklus hidrologi dimulai dari hujan yang turun presipitasi lalu mendekati muka tanah, jumlahnya terdistribusi menjadi intersepsi lewat vegetasi, hujan di saluran, tampungan depresi, aliran permukaan dan infiltrasi ke dalam tanah Kodoatie et al. 2010. Lebih lanjut Harto 1993 menjelaskan bahwa hutan mempunyai peranan sangat penting dalam pengendalian besar dengan limpasan permukaan, terutama sekali fungsi hutan dalam intersepsi dan infiltrasi. Semakin baik kondisi hutan, pada umumnya jumlah kehilangan air semakin besar dan intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik juga relatif besar, mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam KPA Undang- Undang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam menjalankan fungsinya, KPA dikelola secara sistematis melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. Pemanfaatan pada KPA, khususnya pada Taman Nasional, dapat berupa kegiatan penyimpanan danatau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dengan demikian, air sebagai bagian dari sumber daya alam dan berperan penting untuk mendukung perikehidupan yang berada di dalam suatu kawasan hutan wajib untuk dilindungi. Hal ini selaras dengan amanat pemerintah yang disampaikan dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 60 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai penjabaran dari Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa pengelolaan KPA yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya dalam rangka menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan,dan unsur hara tanah, merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kehutanan atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Analisis Keberlanjutan Konsep berkelanjutan pertama kali dirumuskan dalam Brundtland Report sebagaimana dilaporkan oleh World Commission on Environment and Development WCED pada tahun 1987 yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka Kajikawa 2008. Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi profit, keberlanjutan kehidupan sosial people, dan keberlanjutan ekologi alam planet. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang. World Bank menjabarkan kerangka pembangunan berkelanjutan ke dalam konsep segitiga pembangunan berkelanjutan dengan tiga tujuan pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Definisi pembangunan berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Bila tidak maka akan terjadi “trade- off” antar tujuan Munasinghe dalam Suwarno 2011. Pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi ditekankan pada efisiensi pembangunan, aspek sosial berupa keadilan pemerataan, dan aspek ekologi berupa kelestarian sumberaya alam. Tujuan pembangunan diarahkan pada keberimbangan pencapaian tujuan pada ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Menurut Spangenberg dalam Rustiadi et al. 2009 menambahkan dimensi kelembagaan institution sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan prism of sustainability. Ochsenbein et al. 2004 menyebutkan bahwa konsep kerangka penilaian keberlanjutan pada tingkat normatif mengikuti prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan Berkelanjutan pada tanggal 27 Maret 2002. Penilaian ini dirumuskan berdasarkan model modal saham serta kelemahan dan kelebihan suatu keberlanjutan “weak sustainability plus”. Model modal saham ini memunculkan prinsip umum keberlanjutan dalam definisi modal yang lebih luas, yaitu sesuatu yang tidak boleh habis tetapi harus dapat diperbaharui dan ditingkatkan. hal ini berarti jual beli diperbolehkan antara tiga dimensi keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, dengan memperhatikan persyaratan dasar minimum masing-masing dimensi misalnya hak asasi manusia, tingkat polusi. Suatu kegiatan dapat menjadi subjek dalam penilaian keberlanjutan dan optimisasi apabila terdapat konflik serius minimal antara dua dimensi keberlanjutan, khususnya yang memenuhi karakteristik sebagai berikut : 1. Permasalahan yang ada sudah cukup kritis dalam suatu area atau dampak, atau telah ada kecenderungan yang memburuk. 2. Beban dampak negatif yang muncul akan dirasakan oleh generasi berikutnya dan tidak dapat diubah ‘irreversible” atau sulit diubah. 3. Kegiatan tersebut terikat kuat dengan resiko yang sulit untuk dinilai dan evaluasi yang ada penuh dengan ketidak pastian. 4. Adanya persyaratan minimum, misalnya adanya batas tidak dapat dinegosiasikan atau telah melewati ambang batas. 5. Dampak spasial dari suatu kegiatan tersebut menjadi pertimbangan. 6. Ruang lingkup untuk mengoptimalkan kegiatan tersebut cukup luas. Penilaian keberlanjutan mengevaluasi dampak-dampak dari suatu kegiatan berdasarkan satu set standar kriteria yang sudah ditetapkan. Satu set kriteria ini mengacu pada 15 kriteria yang dirumuskan oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan Berkelanjutan “Sustainable Development Strategy”, yang dikelompokkan kedalam tiga dimensi tujuan keberlanjutan yaitu : 1. Keberlanjutan pada dimensi pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, dimana lingkungan hidup untuk manusia, hewan, dan tumbuhan tetap lestari dan pemanfaatan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa untuk mendukung kebutuhan generasi yang akan datang. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Pelestarian terhadap kawasan yang memiliki nilai penting berupa potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. b. Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya yang dapat diperbaharui misalnya bahan mentah yang dapat diproduksi ulang, air agar tetap di bawah tingkat regenerasiproduksi sumber daya. c. Tingkat konsumsi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui misalnya bahan bakar fosil, bahan mentah lainnya dijaga agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya alam yang dapat diperbaharui. d. Segala macam dampak berupa emisi maupun bahan beracun terhadap lingkungan air, udara, tanah, dan iklim dan kesehatan manusia diturunkan ke tingkat yang aman. e. Pengurangan terhadap dampak dari potensi bencana alam dan resiko terhadap lingkungan hanya dapat diterima apabila tidak menimbulkan kerusakan yang permanen dalam suatu generasi, meskipun dalam skenario yang terburuk. 2. Keberlanjutan pada dimensi efisiensi ekonomi, dimana kemakmuran dan kapasitas perkembangan ekonomi dapat terus berlangsung. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Tingkat pendapatan dan ketersediaan tenaga kerja dijaga agar sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan pertimbangan secara sosial dapat diterima dan tersebar secara geografis. b. Modal produksi berdasarkan sumber daya sosial dipelihara agar dapat memberikan peningkatan secara kualitatif. c. Persaingan ekonomi dan kapasitas inovasi ditingkatkan. d. Mekanisme pasar harus menjadi tujuan utama ekonomi, dengan mempertimbangkan faktor eksternal dan kelangkaan. e. Sektor publik tidak dikelola dengan mengorbankan generasi yang akan datang misalnya hutang, kerusakan asset-aset yang dilindungi. 3. Keberlanjutan pada dimensi kepedulian sosial, dimana pembangunan tersebut dapat mendukung kepedulian dan kehidupan yang layak dalam kehidupan manusia dan perkembangannya. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Kesehatan dan keamanan umat manusia dilindungi dan diupayakan secara komprehensif. b. Pendidikan yang akan diberikan, mendukung jati diri dan pengembangan individu. c. Kebudayaan diupayakan bersama-sama dengan upaya pelestarian dan pengembangan dari nilai sosial dan sumberdaya yang menjunjung modal sosial. d. Persamaan hak dan perlindungan hukum dijamin bagi semua orang, terutama dalam hal persamaan hak antara pria dan wanita, persamaan hak dan perlindungan untuk kaum minoritas, dan menghormati hak asasi manusia. e. Kepedulian sosial dijalin dalam dan antar generasi, serta pada tingkat global. Pada akhir tahun 2003, Interdepartmental Rio Committee IDARio melakukan penjabaran lebih lanjut terhadap kriteria-kriteria yang dirumuskan sebelumnya oleh Federal Council menjadi 27 kriteria sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Matriks kriteria keberlanjutan berdasarkan IDARio No. LingkunganEkologi Ekonomi Sosial 1 Kenekaragaman hayati PDB per kapita Pendidikan, kemampuan belajar 2 Iklim Fasilitas dan infrastruktur yang efisien Kesehatan, kesejahteraan, keamanan 3 Emisi Laju investasi dan nilai tambah Kemerdekaan, kebebasan, kepribadian 4 Tata ruangbudaya dan warisan alam Utang negara jangka panjang yang berkelanjutan Identitas, budaya 5 Air Efisiensi sumber daya Nilai-nilai 6 Bahan-bahan, organisme, limbah Persaingankompetisi Solidaritas, masyarakat 7 Energi Potensi usaha kerja Keterbukaan, toleransi 8 Tanah, wilayah, kesuburan Inovasi, penelitian tingkat tinggi Perlindungan sosial, tingkat kemiskinan 9 Resiko terhadap lingkungan Kerangka kebijakan Pemerataan kesempatan dan partisipasi Sumber : IDARio 2004 dalam Ochsenbein et al. 2004 Ochsenbein et al. 2004 menyampaikan bahwa suatu penilaian keberlanjutan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : 1. Suatu analisis yang saling terkait menetapkan apakah penilaian keberlanjutan secara penuh analisis secara luas atau detail adalah layak untuk kegiatan tertentu. 2. Suatu analisis secara luas atau detail yang menelaah dampak dari suatu kegiatan terhadap ketiga dimensi keberlanjutan. 3. Sebagai tahap akhir, dampak-dampak dinilai dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan kegiatan tersebut dapat dioptimalkan. Dengan demikian, keseluruhan prosedur penilaian keberlanjutan terdiri dari tiga fase yaitu analisis yang terkait relevance analysis, analisis dampak impact analysis, dan penilaianoptimalisasi assessmentoptimization. Masing-masing fase tersebut dijabarkan kembali kedalam 7 tujuh tahapan yang saling terkait sebagai berikut : 1. Analisis yang terkait a. Tahap 1 Subjek saat ini :  Latar belakang, pemicu, sumber, tujuan kegiatan.  Ukuran kegiatan, varian.  Dampak dan model kasar secara kasar.  Para stakeholders yang terpengaruh b. Tahap 2 Membangun kaitan dengan keberlanjutan  Hal-hal yang menjadi dasar matriks kriteria  Menetapkan keterkaitan dengan keberlanjutan dengan menggunakan matriks kriteria. 2. Analisis dampak c. Tahap 3 Mendefinisikan prosedur  Tujuan-tujuan dari analisis  Kedalaman dari analisis luasdetail  Rancangan metodologi, penentuan analisis dan metode penilaian d. Tahap 4 Membangun analisis  Menjelaskan ruang lingkup, keragaman, dan skenario-skenario dan jika diperlukan tujuan keberlanjutan secara spesifik pada sector tertentu.  Menyeleksi model dampak  Membangun analisis 3. Penilaianoptimalisasi e. Tahap 5 Penilaian  Menilai dampak-dampak, memastikan konflik-konflik dan jual-beli kualitatifkuantitatif  Melakukan evaluasi berdasarkan metode evaluasi f. Tahap 6 Optimalisasi  Menunjukkan peluang-peluang optimalisasi  Kesimpulan dan rekomendasi g. Tahap 7 Hasil saat ini  Hasil saat ini secara transparanjelas  Melakukan verifikasi dari penilaian keberlanjutan Salah satu contoh penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran yaitu penerapan yang dilakukan oleh propinsi Manitoba di Kanada Manitoba 1992 dalam Mitchell 2000 yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Prinsip dan arahan untuk pembangunan berkelanjutan yang diterapkan oleh Manitoba yaitu terdiri dari : 1. Keterpaduan keputusan lingkungan dan ekonomi : mempunyai syarat bahwa keputusan ekonomi selalu merefleksikan dampak lingkungan termasuk kesehatan manusia. 2. Pemanduan : dalam mengelola lingkungan manusia menjadi pemegang kendali dari lingkungan dan ekonomi untuk keuntungan generasi sekarang dan yang akan datang. 3. Pembagian tanggungjawab : semua masyarakat mempunyai tanggungjawab untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dengan spirit kemitraan dan kerjasama terbuka. 4. Pencegahan : adanya antisipasi, pencegahan atau mengurangi dampak- dampak lingkungan dan ekonomi dari politik, program, dan keputusan. 5. Pelestarian : memelihara proses ekologi, keanekaragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan dari lingkungan, serta pemakaian yang efisien dari sumber daya yang dapat dan tidak dapat diperbaharui. 6. Pendaur ulangan : mengurangi pemakaian, memakai kembali, dan mengganti produk-produk masyarakat kita. 7. Peningkatan : memacu kemampuan, kualitas, dan kapasitas produksi ekosistem alamiah untuk jangka panjang. 8. Rehabilitasi dan reklamasi : melakukan perbaikan pada kerusakan lingkungan untuk pemakaian yang bermanfaat dengan dukungan kebijakan, program dan pembangunan di masa mendatang. 9. Inovasi ilmu dan teknologi : melakukan penelitian, pengembangan, uji coba dan penerapan teknologi yang menyangkut kepentingan kualitas lingkungan, termasuk kesehatan manusia dan pertumbuhan ekonomi. 10. Tanggungjawab global : memahami bahwa tidak ada batas lingkungan, ada ketergantungan antar wilayah, dan ada kebutuhan untuk bekerjasama untuk mempercepat keterpaduan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan dan mengembangkan penyelesaian masalah secara menyeluruh dan merata. Pemanfaatan Air Berkelanjutan Air sebagai barang publik memiliki arti milik umum dan bukan milik pribadi, dan oleh karenanya menjadikan air berfungsi sosial, dimana pemanfaatan air harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, tidak terkecuali untuk sumber daya air yang berada di dalam KPA. Agar sumber daya air dapat dimanfaatkan sepanjang masa, maka ketersediaan air harus dijaga dan pemanfaatannya harus dapat dilaksanakan dengan dengan adil. Dalam rangka mendukung upaya kelestarian sumber daya air, pemerintah menerbitkan Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang secara eksplisit menyampaikan bahwa dalam pengelolaan sumber daya air harus didasari prinsip kelestarian sebagai hal yang utama dengan tujuan pemanfaatan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tertulis pada Pasal 2 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas”, serta Pasal 4 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selain itu, negara juga menjamin setiap warganya untuk dapat memenuhi kebutuhan air secara merata, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 5 yaitu “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Hal ini juga dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada Pasal 65 yang menyatakan bahwa “Pendayagunaan sumber daya air mencakup kegiatan: a penatagunaan sumber daya air yang ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air; b penyediaan sumber daya air; c penggunaan sumber daya air; d pengembangan sumber daya air; dan e pengusahaan sumber daya air”. Pendefinisian lebih lanjut atas penggunaan air disebutkan pada Pasal 73 bahwa “Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media danatau materi”. Dalam rangka mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air di dalam kawasan hutan, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan pada Pasal 29 yang menyatakan bahwa kegiatan pemanfaatan jasa aliran air pada hutan lindung diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, sedangkan pemanfaatan air selama 10 tahun dengan volume paling banyak 20 dari debit. Sebagai upaya pelestarian sumber daya air di dalam kawasan hutan sekaligus menjaga keutuhan kondisi ekologi kawasan agar tetap berfungsi dengan baik, maka Kementerian Kehutanan menerbitkan kebijakan yang mengijinkan kegiatan pemanfaatan air di dalam Taman Nasional melalui Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 35 ayat 1, yaitu “taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penyimpanan danatau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam”. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP sebagai salah satu kawasan hutan yang memiliki ketersediaan air berlimpah merupakan lokasi yang sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Saat ini ketersediaan air di TNGGP belum menjadi masalah, tetapi apabila tidak diatur penggunaan serta sistem pemeliharaannya, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan menjadi masalah. Oleh karena itu perlu dihitung berapa potensi kawasan dalam menyediakan air. Dari perhitungan pendugaan potensi air kawasan, maka akan diketahui penggunaan air maksimum yang masih diperbolehkan. Pengambilan air juga harus diimbangi dengan upaya-upaya konservasi sehingga air dapat tersedia sepanjang tahun Rushayati 2006. Dua hal utama yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pemanfaatan air adalah bagaimana air tersebut dapat digunakan dengan bijaksana dan perlunya upaya-upaya untuk melestarikan sumber daya air agar dapat menghasilkan ketersediaan air yang cukup atau bahkan berlimpah sehingga dapat bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan mendukung kehidupan sepanjang masa atau dengan kata lain perlunya mewujudkan suatu pengelolaan pemanfaatan air yang berkelanjutan. Dengan tetap mengacu pada definisi sebelumnya yang dinyatakan oleh WCED, terdapat beberapa definisi lebih lanjut dari suatu keberlanjutan dalam bidang pemanfaatan air atau bidang sumber daya air. Salah satu peneliti yaitu Gleick 1998 mengungkapkan bahwa penjelasan sederhana atas keberlanjutan sumber daya air sebagai pemeliharaan manfaat sumber daya air bagi pengguna tertentu tanpa mengurangi manfaat bagi pengguna lainnya, termasuk ekosistem alam. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa ketidakberlanjutan sumber daya air digambarkan sebagai kondisi saat jasa-jasa yang disediakan oleh sumber daya air dan ekosistem telah hilang secara perlahan dalam jangka waktu tertentu oleh karena keinginan masyarakat yang semakin tinggi dalam menggunakannya. Adapun dalam mendukung keberlanjutan suatu perencanaan sumber daya air, telah ditetapkan beberapa kriteria, antara lain yaitu : 1. Air sebagai kebutuhan dasar akan dijamin bagi seluruh manusia untuk memelihara kesehatan manusia. 2. Air sebagai kebutuhan dasar untuk memelihara dan memulihkan kesehatan dari ekosistem. 3. Kualitas air akan dijaga sampai pada suatu standar minimum tertentu. Standar tersebut akan bervariasi yang tergantung pada lokasi air dan bagaimana air tersebut digunakan. 4. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak akan mengganggu kemampuan memperbaharui dalam jangka waktu yang lama dari suatu ketersediaan air tawar dan alirannya. 5. Ketersediaan, penggunaan, dan kualitas dari data sumber daya air akan dikumpulkan serta dapat diakses semua pihak yang berkepentingan. 6. Mekanisme institusi akan dibangun untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik terkait air. 7. Perencanaan sumber daya air dan pengambilan keputusan akan dilakukan secara demokratis, memastikan perwakilan dari pihak-pihak terkait dan membina partisipasi langsung dari pihak-pihak yang berkepentingan. Definisi lain muncul dari suatu komunitas yang terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya air Water Corporation di Australia bagian barat yang dituangkan dalam bentuk panduan penilaian keberlanjutan yang berjudul Water Forever. Panduan ini diterbitkan pada bulan Oktober tahun 2007 dalam rangka penyusunan rencana jangka panjang 50 tahun untuk menyediakan air, pengolahan air limbah, dan jasa drainase untuk kota Perth dan sekitarnya. Panduan ini akan menghasilkan kerangka kerja bagi perusahaan di bidang sumber daya air yang bertumpu pada prinsip konservasi dan pembangunan infrastruktur dalam rangka mendukung pengelolaan air di masa depan, khususnya pada saat terjadi penurunan curah hujan yang kontinu dan perkiraan peningkatan populasi yang semakin tinggi. Dalam panduan ini, disampaikan definisi keberlanjutan sebagai pertemuan antara kebutuhan saat ini dengan kebutuhan generasi di masa mendatang melalui keterpaduan perlindungan ekosistem lingkungan, pengembangan sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Beberapa kriteria keberlanjutan untuk masing-masing dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 Western Australian State Sustainability Strategy 2003 dalam Water Corporation 2008. Tabel 2 Kriteria keberlanjutan berdasarkan panduan Water Forever No. Dimensi Lingkungan Dimensi Sosial Dimensi Ekonomi 1 Jejak secara fisik physical footprint Preferensi masyarakat Biaya ekonomi netto net economic cost 2 Intensitas energi Warisan lokal situs Kompleksitas 3 Kapasitas untuk meningkatkan lingkungan Kebutuhan sosial Kepercayaan 4 Alokasi air Pemberdayaan pelanggan Ketergantungan terhadap curah hujan 5 Efisiensi air Resiko dari sumber daya kesehatan Fleksibilitas dan kemampuan penyesuaian Sumber : Water Corporation 2008 Prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan air juga telah diterapkan di Kanada Mitchell dan Shrubsole 1994 dalam Mitchell 2000 yang menyampaikan bahwa pengelolaan sumber daya air yang bijaksana harus dicapai melalui komitmen terhadap 3 tiga hal, yaitu : 1 keterpaduan ekologi dan keanekaragaman hayati untuk lingkungan sehat; 2 ekonomi yang dinamis; dan 3 pemerataan sosial untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Selain itu, dalam kajian lain terkait keberlanjutan jasa penyediaan air baku, Okeola dan Sule 2011 menyebutkan beberapa kriteria yang terbagi kedalam lima dimensi yaitu sebagaimana Tabel 3. Tabel 3 Kriteria keberlanjutan jasa penyediaan air baku No. Dimensi Lingkungan sumber daya air Dimensi Ekonomi Dimensi Teknologi infrastruktur Dimensi Kelembagaan Dimensi Sosial Budaya 1 Pengambilan kembali Kemampuan finansial Akses untuk mengembangkan teknologi Kerangka payung hukum Kesehatan dan keamanan publik 2 Kualitas Skala ekonomi Keahlian pegawai Kebijakan Aksesibilitas 3 Kepercayaan Perlindungan investasi sumber daya Efisiensi operasional Pengaturan pengendalian Ruang lingkup 4 Kerentanan Minimisasi biaya produksi Partisipasi Pemerataan intergenerasi Sumber : Okeola dan Sule 2011 Berdasarkan beberapa penjelasan dan kriteria keberlanjutan terkait pemanfaatan air, maka diketahui bahwa selain ketiga dimensi utama keberlanjutan lingkunganekologi, sosial, ekonomi, terdapat dua dimensi lain yang dianggap turut mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan air, yaitu dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya mewujudkan keberlanjutan masing-masing dimensi tersebut di atas agar kegiatan pemanfaatan air juga dapat berkelanjutan. Analytical Hierarchy Process AHP Dalam rangka mendukung kegiatan pemanfaatan air yang berkelanjutan, diperlukan suatu penguatan sistem pengelolaan melalui penyusunan pedoman kebijakan. Salah satu alat analisis yang umum digunakan dalam menyusun alternatif sebagai arahan dalam pengambilan keputusan yaitu Analisis Proses Hirarki atau umum dikenal sebagai Analytical Hierarchy Process AHP. AHP merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan banyak kriteria atau Multi Criteria Decision Analysis MCDA yang membantu menjelaskan variabel prioritas yang harus dipertimbangkan dalam suatu hasil keputusan. Dalam studi ini, metode AHP digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan dalam pemanfaatan air di dalam kawasan TNGGP, dimana kriteria-kriteria yang menjadi bahan analisis adalah kriteria yang telah ditentukan sebelumnya pada analisis keberlanjutan, yaitu kriteria ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Teknik AHP dalam studi ini mengadopsi hasil kajian sebelumnya yang dilakukan oleh Okeola dan Sule 2011 terhadap evaluasi alternatif pengelolaan untuk persediaan air baku urban water supply di kota Offa, Kwara State, Nigeria. Berdasarkan hasil kajian tersebut, teknik AHP terbukti cukup efektif dalam memfasilitasi para penyusun kebijakan dalam mengeksplorasi suatu permasalahan lebih dalam. Menurut Marimin 2008, prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian- bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimuali dengan sasran goal, lalu kriteria, subkriteria, dan alternatif. Kriteria dan alternatif kemudian dinilai melalui perbandingan berpasangan pairwise comparisons dengan skala 1 sampai 9 Saaty 1983 dalam Marimin, 2008 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process AHP Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari suatu kriteriaalternatif, kemudian bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau persamaan matematis. Setelah pembobotan, kemudian dilakukan uji konsistensi untuk mengetahui apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan secara konsekuen atau tidak. Tinjauan Studi Terdahulu Kajian tentang kegiatan pemanfaatan sumber daya air di kawasan TNGGP telah banyak dilakukan sebelumnya, beberapa diantaranya akan disampaikan dalam sub bab ini. Topik penelitian, nama peneliti serta hasil penelitian akan diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran dan mencari keterkaitan dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini. Kawasan TNGGP untuk pertama kalinya diketahui memiliki nilai ekonomi air yang tinggi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darusman 1993. Dengan menggunakan teori “willingness to pay “ sebagai dasar analisis untuk merumuskan kurva permintaan air baik untuk sektor rumah tangga maupun untuk pertanian di sekitar TNGGP pada tahun 1991, maka diketahui bahwa nilai manfaat air yang diberikan oleh TNGGP diperkirakan sebesar Rp. 4.341 milyar per tahun atau Rp. 280 juta per hektar Taman Nasional per tahun kepada masyarakat di sekitarnya. Salah satu saran yang dikemukakan oleh peneliti adalah perlunya keberadaan kelembagaan lembaga, aturan, mekanisme yang mengatur pembayaran dari sektor rumah tangga dan sektor pertanian ke sektor kehutanan, agar sumber daya hutan dan sumber daya lahan dapat dimanfaatkan secara optimal. Kajian valuasi ekonomi terhadap air di kawasan TNGGP juga pernah dilakukan oleh Wiratno et a.l 2004 dengan asumsi kegiatan pelestarian kawasan TNGGP dapat menjadikan kawasan TNGGP sebagai suatu aset yang bernilai sekitar Rp. 920 milliar 100 juta dollar AS per tahun untuk menghidupi sekitar 20 juta pendudk di sekitarnya. Dalam perhitungan ini, dilakukan kalkulasi nilai air yang ada di kawasan TNGGP yang terbagi menjadi dua kategori yaitu nilai air yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian dan nilai konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hasil kajian ini, diketahui bahwa harga air untuk kebutuhan pertanian dinilai sebesar Rp. 0.27m 3 dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 3.89 milliar Nilai Keterangan 1 Kriteriaalternatif A sama penting dengan kriteriaalternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 A mutlak lebih penting dari B 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu diantara dua nilai berdekatan m 3 , sehingga per tahun kebutuhan pertanian memiliki harga air sebesar Rp. 1.05 milliar dan dengan asumsi Net Present Value NPV 10 dalam 25 tahun harga konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 9.53 milliar. Pada konsumsi rumah tangga, harga air dinilai sebesar Rp. 268m 3 dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 7,097.369 m 3 , sehingga per tahun kebutuhan rumah tangga memiliki harga air sebesar Rp. 1.90 milliar dan dengan asumsi NPV 10 dalam 25 tahun harga konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 17.28 milliar. Dengan demikian, kedua nilai air tersebut yang bernilai Rp. 2.95 milliar per tahun akan meningkat harganya menjadi 27,80 milliar pada 25 tahun yang akan datang. Selain memiliki nilai ekonomi, air di kawasan TNGGP juga dinilai sangat penting keberadaannya dengan adanya kajian pendugaan potensi ketersediaan air oleh Rushayati 2006 dengan menggunakan metode analisis Neraca Air Lahan. Berdasarkan hasil kajian ini, kawasan TNGGP diketahui memiliki surplus air sebesar 548,960,480 m 3 tahun apabila luas kawasan TNGGP 21,975 ha. Peneliti juga menyampaikan bahwa agar kelangsungan ketersediaan air tersebut terpelihara, maka pemanfaatan yang dilakukan tidak boleh melebihi kapasitas kemampuan kawasan dalam menyimpan air, sehingga perlu adanya aturan dalam pemanfaatan air termasuk insentif dan upaya-upaya konservasi tersebut dengan melibatkan semua pihak. Terkait dengan upaya konservasi tanah dan air di dalam kawasan TNGGP, Ihsan 2009 telah melakukan penelitian tentang intensitas komunikasi petani di daerah penyangga kawasan TNGGP dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa intensitas komunikasi antara petani dengan pengelola taman nasional melalui kegiatan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku petani dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga kawasan TNGGP. Secara tidak langsung hal tersebut membuktikan bahwa upaya-upaya konservasi sumber daya air dapat didukung melalui keterlibatan masyarakat daerah penyangga atau desa penyangga. Berkenaan dengan salah satu hulu DAS yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Ciliwung, Suwarno 2011 telah melakukan penelitian terkait pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan metode analisis multidimensional scaling MDS untuk menghitung nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dan analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dalam pengelolaan berkelanjutan, serta analisis morfologis untuk menentukan skenario pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Penelitian ini menghasilkan nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 berarti kurang berkelanjutan, dimana dua dimensi yang cukup berkelanjutan diperoleh dari dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan teknologi konservasi, serta tiga dimensi lainnya kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan. Penelitian terkait salah satu hulu DAS lainnya yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Cisadane juga dilakukan oleh Sutopo 2011. Penelitian ini mengkaji pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum studi kasus DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model: 1 kesediaan masyarakat untuk melakukan konservasi willingness to concervationY WTC ; 2 kesediaan pemanfaat air minum untuk membayar jasa lingkungan willingness to payY WTP ; 3 kesediaan masyarakat menerima pembayaran atas jasa lingkungan willingness to acceptY WTA ; dan 4 menetapkan pilihan kebijakan dengan pendekatan AHP. Hasil penelitian menyatakan perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata dan menetapkan nilai rataan WTP-WTA sebesar Rp. 1563.97 per m 3 sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai pembayaran jasa lingkungan yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane Hulu oleh Pemerintah terhadap para pengelola air users pay principle untuk masyarakat di hulu. Penelitian terbaru terkait pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP juga dilakukan oleh Walidaini 2012 tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP studi kasus desa Tangkil dan desa Cinagara melalui metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis para pihak berdasarkan Groenendjik 2003. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3IV-SET2008 dan termasuk mekanisme “PES-like”, namun berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan, mekanisme pada desa Tangkil dan Cinagara cenderung terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lokasi pengguna air sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Pada Kabupaten Bogor terdapat 40 pengguna air yang tersebar di 4 kecamatan yaitu kecamatan Ciawi, Caringin, Cisarua, dan Megamendung. Karakteristik pengguna air di Kabupaten Bogor lebih bervariasi dibandingkan dengan pengguna air di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, karena selain digunakan untuk kegiatan rumah tangga dan pertanian, juga digunakan untuk kegiatan usaha antara lain bidang usaha peternakan, air minum, penginapan, dan wisata. Oleh karena itu, maka Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi studi kasus pada penelitian ini. Kegiatan persiapan, pengambilan data, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 enam bulan mulai bulan Juli - Desember 2012. Peta lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Peta lokasi studi Sumber Data dan Informasi Penelitian Sumber Data Primer Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh masyarakat dan stakeholders yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan air secara langsung di kawasan TNGGP, baik sebagai pelaku utama pengelola kawasan dan pengguna air, pembuat kebijakan maupun yang terlibat dalam ruang lingkup pemanfaatan air. Beberapa pihak yang terlibat menjadi responden dalam penelitian ini adalah unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, lembaga, dan tokoh masyarakat, yang terdiri dari : Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BB TNGGP, Forum Peduli Air-TNGGP FORPELA- TNGGP, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai BPSDA WS Ciliwung-Cisadane, Provinsi Jawa Barat, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Balai Pengelolaan DAS BPDAS Citarum-Ciliwung, akademisi dari Institut Pertanian Bogor, ketua Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Flamboyan desa Sukagalih, perusahaan pengguna air, dan masyarakat pengguna air. Sumber Perolehan Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari BB TNGGP, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perencanaan Wilayah P4W Institut Pertanian Bogor, Badan Pusat Statistik BPS Kab. Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPDAS Ciliwung-Citarum, Badan Planologi Kementerian Kehutanan, Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, FORPELA, dan laporan-laporan penelitian terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya air di kawasan TNGGP. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dibagi menjadi 3 tahap yaitu : 1 penyebaran kuisioner pendahuluan; 2 wawancara dan diskusi mendalam in-depth interview; dan 3 pengisian kuisioner Analytical Hierarchy Process AHP. Pada tahap penyebaran kuisioner pendahuluan dilakukan kepada pihak pengguna air yang tergabung kedalam kelembagaan FORPELA wilayah Kabupaten Bogor sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Pengambilan contoh data terhadap pengguna air tersebut dilakukan secara sengaja purposive, yaitu dengan mempertimbangkan faktor jenis sumber air yang digunakan mata air dan sungai, tujuan penggunaan sumber daya air komersial dan non komersial, variasi jenis perusahaan, dan lokasi desa pengguna dan perusahaan pengguna yang berada dalam satu wilayah administrasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh 5 lokasi pengambilan contoh sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Tabel 5 Pengguna air di Kabupaten Bogor yang tergabung dalam FORPELA No. Nama Pengguna Penggunaan Alamat Tahun Perjanjian a 1 Desa Naggerang Rumah tangga Nangerang, Cicurug 2002 2 STTP Cinagara Lembaga Pasir Buligir, Cicurug - 3 BBDAPK Cinagara Lembaga Cinagara, Cicurug - 4 Hendro Peternakan ayam Tangkil, Caringin - 5 Dodi Peternakan sapi dan sayuran Tangkil, Caringin - 6 PT. Nilam IndoPT. Pacul Tani Pertanian Tangkil, Caringin - 7 PT. Rejosari Peternakan Tapos Peternakan Citapen, Ciawi 1999 8 PT. Saung Mirwan Pertanian Sukagalih, Megamendung 1999 9 Taman Safari Indonesia Lembagawisata Cisarua - 10 PTPN VIII Gunung Mas Pertanian Tugu Selatan, Cisarua - 11 ALECCIA Hortikultura bunga potong Sukaresmi, Megamendung - 12 Ibu Ida Hortikultura sayuran dan bunga - - 13 PT. Prestine Aqua AMDK Pancawati, Caringin - 14 Peternakan Bunikasih Peternakan sapi - - 15 Romo Rumah Tangga dan Sayuran Sukaresmi, Megamendung - 16 Jefri Hortikultura sayuran Sukaresmi, Megamendung - 17 Peternakan Barubolang Peternakan ayam Sukaresmi, Megamendung - 18 PT. Agri Ekatama Hortikultura sayuran dan bunga - - 19 Bapak Bagyo Hortikultura sayuran - - 20 Hotel Seruni Penginapanwisata Tugu Selatan, Cisarua - 21 Rose Farm Hortikulturabunga - - 22 Bapak Suryo Penginapanvilla Cinagara, Caringin - 23 Santa Monica Penginapanvilla Pancawati, Caringin - 24 Yayasan Batase Hortikultura sayuran - - 25 PT. Pasekon Hortikultura sayuran - - 26 Peternakan Fajar Peternakan ayam - - 27 Padepokan Walisongo Rumah tangga - - 28 Pusdiklat Karya Nyata Rumah tangga Cinagara, Caringin - 29 RM. Desa Bumbu Rumah tangga rumah makan Cinagara, Caringin - 30 Peternakan Wangunjaya Peternakan ayam - - 31 Yayasan Dua’pa Rumah tangga - - 32 Desa Bojong Murni Rumah tangga Bojong Murni, Ciawi 2005 Tabel 5 Lanjutan a Sumber : FORPELA 2009 dan BB TNGGP 2012 Tabel 6 Lokasi pengambilan contoh data Jumlah responden untuk masing-masing perusahaan terdiri dari 1 satu orang yang merupakan perwakilan perusahaan, sedangkan jumlah responden untuk masing-masing desa berjumlah 12 Kepala Keluarga KK yang merupakan perwakilan dari jumlah masyarakat pengguna air langsung dari TNGGP di desa tersebut yaitu sebanyak 100 KK di desa Cileungsi dan 176 KK di desa Sukagalih. Tahap yang kedua, yaitu melakukan wawancara dan diskusi mendalam in-depth interview terhadap pihak pengelola kawasan BB TNGGP, perwakilan lembaga pengguna air FORPELA, serta beberapa instansi pemerintah terkait sumber daya air. Tahap yang ketiga, yaitu penyebaran kuisioner AHP dilakukan kepada BB No. Nama Pengguna Penggunaan Alamat Tahun Perjanjian a 33 Desa Cileungsi Rumah tangga Cileungsi, Ciawi 2002 34 Desa Citapen Rumah tangga Citapen, Ciawi 2002 35 Desa Sukagalih Rumah tangga Sukagalih, Megamendung 2002 36 Desa Pancawati Rumah tangga Pancawati, Caringin 2008 37 Desa Pasir Buncir Rumah tangga Pasir Buncir, Caringin 2008 38 Desa Kuta Rumah tangga Kuta, Megamendung 2008 39 Desa Cibeureum Rumah tangga Cibeureum, Cisarua - 40 Desa Tangkil Rumah tangga Tangkil, Caringin 2006 No. Nama Responden Lokasi Jenis Sumber Air Klasifikasi Penggunaan Keterangan Sungai Mata Air Komersial Non Komersial 1. PT. Rejosari Bumi Tapos Desa Cileungsi, Kecamatan Ciawi √ √ Bidang usaha peternakan dan tanaman hidroponik 2. Hotel Seruni Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua √ √ Bidang usaha penginapan 3. PT. Prestine Aqua Desa Pancawati, Kecamatan Caringin √ √ Bidang usaha air minum dalam kemasan AMDK 4. Masyarakat desa Cileungsi Desa Cileungsi, Kecamatan Ciawi √ √ Kebutuhan Rumah Tangga 5. Masyarakat desa Sukagalih Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung √ √ Kebutuhan Rumah Tangga dan Tanaman hortikultura TNGGP, FORPELA, Ketua Gapoktan Flamboyan Desa Sukagalih, PT. Prestine Aqua, BPSDA Provinsi Jawa Barat, Dit. PJLKKHL, dan Akademisi dari IPB yang memahami pemanfaatan air. Analisis Data Tahapan penelitian dapat disajikan pada Gambar 3. Adapun gambaran hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Keluaran 1. Menganalisis bentuk mekanisme pemanfaatan air di kawasan TNGGP a. Dokumen perencanaan pengelolaan TNGGP, dokumen kerjasama pemanfaatan air, dokumen kebijakan dan hasil kajian terkait a. BB TNGGP, Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, FORPELA, perguruan tinggi terkait a. Analisis deskriptif a. Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP 2. Menganalisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. a. Dimensi ekologi : data potensi kawasan TNGGP, data potensi air, data kebutuhan air, data jumlah penduduk, data perubahan penggunaan lahan, data perencanaan kegiatan konservasi sumber daya air. b. Dimensi ekonomi : data pendapatan masyarakat, data biaya terkait kegiatan pemanfaatan air rupiah persentase c. Dimensi sosial : data jarak sumber air dan pengguna, data keterlibatan masyarakat dalam konservasi sumber daya air, data persepsi masyarakat. a. BB TNGGP, hasil kuisioner, BPS, laporan penelitian b. Hasil wawancara dan kuisioner c. Hasil wawancara dan kuisioner, FORPELA, BB TNGGP a. Indeks Penggunaan Air IPA, Indeks Penutupan Lahan IPL, dan analisis pembobotan dengan skoring b. Analisis pembobotan dengan skoring c. Analisis pembobotan dengan skoring a. Hasil analisis dimensi ekologi b. Hasil analisis dimensi ekonomi c. Hasil analisis dimensi sosial Tabel 7 Lanjutan No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Keluaran d. Dimensi kelembagaan : dokumen kerjasama, dokumen kebijakan, data tupoksi instansi pemerintah terkait. d. BBTNGP, Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, hasil wawancara dan kuisioner d. Analisis pembobotan dengan skoring d. Hasil analisis dimensi kelembagaan e. Dimensi teknologi: data jenis kegiatan konservasi sumber daya air, data jumlah dan jenis sarana pemanfaatan air, data teknologi yang diterapkan dalam kegiatan pemanfaatan air. e. BBTNGGP, hasil wawancara dan kuisioner e. Analisis pembobotan dengan skoring e. Hasil analisis dimensi teknologi f. Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi f. Hasil analisis pada tujuan 2 f. Analisis kuantitatif melalui pembobotan dengan Diagram layang-layang Suwarno, 2011 dan didukung dengan AHP untuk menentukan: i. Bobot per dimensi keberlanjutan sebagai satu kesatuan ii. Bobot per kriteria dalam setiap dimensi f. Status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP 3. Menyusun arahan pengelolaan pemanfaatan air di kawasan TNGGP Data status keberlanjutan keluaran dari tujuan 2 ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi Hasil wawancara mendalam dengan stakeholders Analisis deskriptif Arahan terhadap pengelolaan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Identifikasi Permasalahan Studi Pustaka dan Wawancara Tujuan Penelitian Pengumpulan Data : 1. Studi data sekunder; 2. Wawancara dan pengisian kuesioner; 3. Wawancara dan In-depth interview Data Primer Data Sekunder Kegiatan pemanfaatan air belum pernah dievaluasi karena kebijakan teknis sebagai salah satu dasar evaluasi masih dalam tahap penyusunan Bentuk mekanisme pemanfaatan air di kawasan TNGGP Pengolahan dan Analisis Data A n al is is A H P A n al is is st at u s k eb erl an ju ta n In d ek s K eb erl an ju ta n S ta tu s K eb erl an ju ta n Indikator –indikator ekologi : 1 a. Nilai Konservasi Tinggi NKT kawasan Panduan Identifikasi..2008; b. Indeks Penutupan Lahan IPL Ditjen RLPS 2009 c. Kecukupan luas kawasan hutan Suwarno 2011 2. a. Indeks Penggunaan Air IPA Ditjen RLPS 2009 b. Stabilitas ketersediaan air 3. a. Perencanaan konservasi sumber daya air b. Pelaksanaan konservasi sumber daya air c. Jenis konservasi sumber daya air Indikator-indikator ekonomi : 1.a. Bentuk manfaat penggunaan air b. Manfaat lebih bagi pengguna air 2.a. Rasio biaya pemanfaatan air terhadap biaya total produksi pengguna komersial b. Rasio biaya pemanfaatan air terhadap pendapatan masyarakat pengguna non komersial Indikator-indikator sosial : a. a. Ruang lingkup pemanfaatan air b. Faktor pembatas pemanfaatan air b. a. Persepsi b. Partisipasi pihak pengguna air c. Peranan lembaga pengguna air Indikator-indikator kelembagaan : 1.a. Kapasitas organisasi pemerintah Suwarno 2011 b. Kapasitas koordinasi 2. Tingkat sinergitas kebijakan Indikator teknologi dan aksesibilitas : a. a. Jumlah sarana pada pengguna air non komersial b. Jumlah sarana pada pengguna air komersial c. Kemudahan akses pihak pengguna air 2.a. Penerapan teknologi konservatif pengguna air non komersial b. Penerapan teknologi konservatif pengguna air komersial A ra h an p en g el o la an k eg ia ta n p em an fa at an ai r d i T N G G P Pembahasan Gambar 3 Tahapan Penelitian Sebagai data pendukung dalam dimensi ekologi maka dilakukan analisis spasial untuk mengetahui kecukupan luas kawasan hutan dalam tata ruang DAS yang termasuk kawasan TNGGP dan Kabupaten Bogor dengan Sistem Informasi Geografis SIG melalui proses tumpang tindih overlay dengan antara peta batas kawasan TNGGP, peta RTRWP Propinsi Jawa Barat, peta administrasi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur; dan peta batas DAS Prioritas, dengan menggunakan software Arc GIS 10 sebagaimana tergambar dalam skema pada Gambar 4. Gambar 4 Skema proses pemetaan TNGGP dalam tata ruang DAS Bentuk Mekanisme Pemanfaatan Air Gambaran umum kondisi kegiatan pemanfaatan air langsung di kawasan TNGGP dilakukan dengan analisis deskriptif dari studi literatur dan wawancara dengan BB TNGGP dan FORPELA-TNGGP sebagai informasi pendukung kondisi umum kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Status Keberlanjutan Pemanfaatan Air Penilaian keberlanjutan dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria keberlanjutan yang terbagi ke dalam tiga dimensi pokok yaitu dimensi lingkunganekologi, ekonomi, dan sosial. Pada beberapa perumusan kriteria keberlanjutan yang telah disampaikan sebelumnya pada bab Tinjauan Pustaka, unsur-unsur kelembagaan dan teknologi secara implisit dan eksplisit termasuk kedalam kriteria pada dimensi sosial dan ekonomi, seperti kriteria yang ditetapkan oleh Federal Council, IDARio, dan Water Corporation. Dalam bidang pemanfaatan air, unsur-unsur kelembagaan dan teknologi dapat menjadi dimensi keempat dan kelima yang memiliki kriteria tersendiri, seperti yang telah dikaji oleh Okeola dan Sule 2011. Hal ini dikarenakan dimensi kelembagaan juga menjadi sangat penting dalam mendukung keberlanjutan, karena suatu intitusi akan sangat berperan dalam menjamin keadilan pemerataan dan mengatasi konflik yang mungkin terjadi Gleick 1998, sedangkan teknologi juga dipandang dapat Peta kawasan TNGGP Peta administrasi Kab. Bogor Peta administrasi Kab. Sukabumi Peta administrasi Kab. Cianjur Overlay dengan SIG Peta RTRW Prop. Jawa Barat Peta Batas DAS Prioritas Persentase luas fungsi kawasan hutan dalam tata ruang DAS yang termasuk TNGGP dan Kab. Bogor mempengaruhi keberlanjutan terkait dengan pembangunan sarana dan prasarana yang digunakan. Keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dipengaruhi kelima dimensi tersebut, hal ini dapat dijelaskan dengan adanya asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Secara ekologis, kawasan TNGGP memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem. Hal ini berarti segala macam potensi sumber daya alam, khususnya air yang terdapat di TNGGP dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan pemeliharaan dari ketersediaan air tersebut. Selain itu, dalam menjalankan fungsi kawasan TNGGP sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, maka kegiatan pemanfaatan air yang dilakukan tidak boleh menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, dimana hal ini dapat dicegah melalui upaya konservasi sumber daya air. 2. Secara sosial, air yang terdapat di kawasan TNGGP merupakan barang publik yang memiliki fungsi sosial, yaitu pemanfaatannya diutamakan untuk kepentingan umum terutama masyarakat sekitarnya, sehingga prinsip pemerataan dalam memperoleh air menjadi syarat mutlak. Oleh karena pentingnya keberadaan air ini, maka sudah seharusnya para pengguna air dari kawasan TNGGP memiliki kepedulian dalam menjaga kawasan TNGGP melalui partisipasi dalam kegiatan konservasi sumber daya air. 3. Secara ekonomi, air di kawasan TNGGP selain digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih non komersial, juga digunakan untuk kepentingan usaha komersial. Sampai saat ini masih belum dikenakan tarif secara resmi atas pemanfaatan air dari dalam kawasan tersebut, namun bentuk manfaat atas penggunaan air di kawasan TNGGP sudah dapat dinilai dan diharapkan dapat memberikan nilai manfaat yang lebih bagi para pengguna air. Kompensasi terhadap kawasan TNGGP yang diberikan oleh pihak pengguna yaitu berupa pengumpulan dana secara sukarela yang akan digunakan untuk kegiatan konservasi sumber daya air dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan demikian, faktor minimisasi biaya atas pemanfaatan air dapat menjadi salah satu elemen penilaian keberlanjutan secara ekonomi bagi pengguna air. 4. Secara kelembagaan, status kawasan TNGGP sebagai hutan konservasi berada di bawah pengelolaan pemerintah pusat yaitu Kementerian Kehutanan, namun secara administratif terletak pada tiga wilayah kabupaten Cianjur, Bogor, Sukabumi. Selain itu, para pengguna air di TNGGP telah tergabung kedalam suatu wadah yaitu Forum Peduli Air FORPELA yang terikat secara formal melalui perjanjian kerjasama dengan pihak pengelola kawasan TNGGP Balai Besar TNGGP. Dengan demikian, perlu diciptakan mekanisme institusi kelembagaan yang melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dapat mencegah dan mengatasi potensi konflik yang mungkin terjadi antar stakeholders melalui upaya koordinasi dan dukungan kebijakan. 5. Secara teknologi, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai dalam memperoleh air di kawasan TNGGP, karena jarak antara sumber air yang terdapat di dalam kawasan TNGGP dan lokasi pengguna air yang berada di luar kawasan cukup jauh. Selain itu, oleh karena TNGGP merupakan kawasan hutan, maka pembangunan sarana dan prasarana harus memperhatikan prinsip ramah lingkungan dengan tekonologi yang konservatif. Dengan demikian, jenis sarana dan prasarana serta peningkatan inovasi dalam teknologi konservatif dapat menjadi kriteria dari dimensi teknologi yang perlu dipertimbangkan untuk mendukung keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Setelah dilakukan penentuan kriteria dan indikator, maka dilakukan pembobotan setiap indikator dengan skoring berkisar antara 2 dua kelas nilai 0- 1 sampai dengan 5 lima kelas yaitu : 0 Sangat Buruk; 1 Buruk; 2 Sedang; 3 Baik; dan 4 Sangat Baik. Adapun kriteria dan indikator serta metode analisis yang digunakan untuk dimensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5. Hasil analisis terhadap keseluruhan indikator dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan air dikategorikan ke dalam baik, cukup baik, kurang baik, dan buruk. Asumsi bahwa pemanfaatan air terletak antara 0 sampai 100 atau buruk sampai ke baik sekali. Diantara nilai buruk sampai baik maka ada interval nilai pemanfaatan yaitu cukup dan kurang, sehingga diperoleh empat tingkatan pemanfaatan yaitu buruk, kurang, sedang dan baik. Tingkatan pemanfaatan dibagi menjadi 4 tingkat sehingga diperoleh interval 0, 25, 50, 75, dan 100 Suwarno 2011. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari analisis sebelumnya dalam penilaian keberlanjutan lima dimensi, maka dilakukan perhitungan berdasarkan pembobotan setiap dimensi yang diperoleh dari hasil AHP. Hasil total pembobotan kemudian diaplikasikan ke dalam model Indeks Keberlanjutan Diagram Layang-layang sebagaimana kriteria dalam Tabel 8. Tabel 8 Kategori penilaian status keberlanjutan Nilai indeks keberlanjutan berada pada nilai 0 buruk sampai 100 baik. Jika dimensi yang dinilai dengan nilai indeksnya berada di bawah 50 maka mempunyai nilai yang kurang atau kurang berkelanjutan unsustainable, dan jika dimensi yang dinilai berada di atas nilai 50 maka dimensi dari sistem yang dinilai dapat dikatakan berkelanjutan sustainable. Hasil penilaian atas masing-masing dimensi keberlanjutan lima dimensi disajikan dengan diagram layang-layang kite diagram pada Gambar 5. Analytical Hierarchy Process AHP Pengolahan AHP dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 11. Dalam penelitian ini, model AHP yang akan dianalisis memuat 3 tiga tingkat hierarki yaitu: 1 tujuan yang akan dicapai yaitu pemanfaatan air yang berkelanjutan; 2 dimensi-dimensi utama yang perlu diperhatikan dalam mencapai tujuan, yaitu faktor-faktor yang mendukung keberlanjutan pemanfaatan air; dan 3 kriteria untuk menilai keberlanjutan No. Nilai Indeks Dimensi Kategori Keterangan 1. 0.00 – 24.99 Buruk Tidak berkelanjutan 2. 25.00 – 49.99 Kurang Kurang berkelanjutan 3. 50.00 – 74.99 Cukup Cukup berkelanjutan 4. 75.00 – 100.00 Baik Berkelanjutan 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 Ekologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Teknologi Indeks Keberlanjutan dimensi-dimensi tersebut, sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Pihak-pihak yang akan menjadi responden dalam wawancara analisis AHP ini terdiri dari instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait bidang pemanfaatan air, lembaga pengguna air, pakar di bidang pemanfaatan air, dan pakar di bidang kehutanan. Gambar 5 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimensi Gambar 6 Model hierarki AHP Kelembagaan Ekonomi Sosial Teknologi Ekologi  Manfaat atas penggunaan air  Minimisasi biaya atas pemanfaatan air  Pemerataan kesempatan dalam memperoleh air  Kepedulian sosial terhadap upaya konservasi sumber daya air  Pelestarian kawasan  Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi agar tetap di bawah tingkat produksi air  Upaya konservasi sumber daya air.  Mekanisme institusi kapasitas organisasi pemerintah dan kapasitas koordinasi  Dukungan kebijakan dalam kegiatan pemanfaatan air Keberlanjutan Pemanfaatan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango  Sarana dan prasarana pemanfaatan air  Teknologi konservatif dalam pemanfaatan air HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme Kegiatan Pemanfaatan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Kegiatan pemanfaatan air di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP telah dimulai dari tahun 1996 melalui konsep kemitraan dan mulai terorganisir pada tahun 2006 sampai dengan saat ini melalui suatu wadah yang dinamakan Forum Peduli Air FORPELA-TNGGP dengan membuat perjanjian kerjasama atau MoU Memorandum of Understanding. Secara ringkas, mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dapat diilustrasikan pada Gambar 9. Gambar 9 Skema mekanisme kegiatan pemanfaatan air di TNGGP Tahun 1996 Ijin Pemanfaatan Kawasan untuk fasilitasi pemanfaatan air berdasarkan SK. Dirjen PHKA No. 531DJ- VIBinprog96 Tahun 1999 Kesepakatan Konservasi Desa KKD dalam bentuk kerjasama Pihak pengguna air non komersial BB TNGGP Sebelum tahun 2006 Juni-Oktober 2005 Konsultasi ide kemitraan inventarisasi pihak pengguna air BB TNGGP, RCS, dan ESP- USAID Oktober- Desember 2005 Pertemuan pembentukan kelompok kerja di pihak pengguna air di Cianjur, Bogor. Sukabumi. Januari- Februari 2006 Pembentukan FORPELA secara informal penyusunan ADART Maret 2006 – saat ini Pengesahan FORPELA dan MoU berdasarkan Kepmenhut No. 390Kpts-II2003, P. 19Menhut-II2004, dan SE Dirjen PHKA No. No. 3IV-SET2008 FORPELA MoU BBTNGGP Inventarisasi sumber air Pihak Pengguna Air Komersial dan Non- Komerisal Setelah tahun 2006 Kegiatan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Sebelum Tahun 2006 Kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dimulai pada tahun 1996 melalui Ijin Pemanfaatan Kawasan untuk pembangunan fasilitas bak penampung dan pemasangan pipa dari dalam kawasan yang akan disalurkan keluar kawasan. Dasar penerbitan ijin tersebut yaitu Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 531DJ-VIBinprog96 tanggal 29 Juli 1996 dengan masa berlaku 3 tiga tahun, namun hal tersebut belum mempertimbangkan keberadaan zonasi. Pola perijinan tersebut hanya berlangsung sementara karena selanjutnya ijin tersebut tidak pernah dikeluarkan lagi bagi pengguna air yang baru. Pada tahun 1999, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BTNGGP mulai berupaya untuk menindaklanjuti kegiatan pemanfaatan air secara formal setelah ada permintaan untuk dapat memanfaatkan air dari dalam kawasan mulai meningkat, terutama bagi pihak yang akan menggunakan air untuk mendukung kegiatan usaha. Saat itu belum ada peraturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air pada Kawasan Pelestarian Alam KPA, sehingga Balai TNGGP menerapkan sistem Kesepakatan Konservasi Desa KKD melalui penyusunan Naskah Kesepakatan Konservasi Pemanfaatan Air dari dalam Kawasan TNGGP. Kesepakatan tersebut mengatur hak dan kewajiban pihak pengguna air untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan upaya pelestarian, pengamanan dan rehabilitasi kawasan TNGGP, sedangkan pihak pengelola memiliki kewenangan untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan air apabila pihak pengguna air tidak mematuhi kesepakatan. Masa berlaku kesepakatan tersebut adalah 5 lima tahun dan dilakukan evaluasi setiap tahun serta dapat diperpanjang kembali apabila kedua belah pihak menyetujui. Kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP pada tahun 1996-1999 belum terkelola secara optimal, oleh karena dasar hukum pelaksanaan kegiatan pemanfaatan tersebut belum ada. Di lain sisi, pengaturan kegiatan di KPA, khususnya taman nasional telah diatur pada tahun 1998 melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, namun pada peraturan tersebut jenis kegiatan yang diperkenankan di taman nasional sebatas kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan, pariwisata, dan penunjang budidaya, serta belum memperkenankan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan. Meskipun setahun kemudian yaitu pada tahun 1999 telah diterbitkan Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan, namun peraturan tersebut belum menetapkan jenis kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan di dalam hutan konservasi atau KPA. Hal ini menyebabkan sistem KKD hanya bersifat normatif atau berdasarkan kesepakatan kedua pihak saja dan tidak dapat berlangsung lama. Pada tahun 2003, kerjasama kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP mulai mendapat dukungan formal melalui terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 390Kpts-II2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, meskipun dalam keputusan tersebut hanya menyampaikan bahwa salah satu bentuk kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dapat dilakukan kerjasama adalah kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, tanpa menyebutkan jenis kegiatan lebih rinci. Dalam keputusan tersebut, kerjasama dilakukan antara pihak Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA dengan mitra, dimana dalam hal ini ruang lingkup perjanjian masih bersifat sangat luas karena belum melibatkan pihak pengelola unit KPA di lapangan. Peraturan yang lebih tinggi yang mengatur tentang kegiatan pemanfaatan air mulai ada pada tahun 2004 melalui penerbitan Undang-undang Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada tanggal 18 Maret 2004 dengan ruang lingkup wilayah sungai dan dikecualikan pada KPA. Hal ini berarti peraturan tersebut hanya mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air di bagian hilir, namun oleh karena saat itu undang-undang tersebut merupakan satu-satunya peraturan tertinggi yang mengatur kegiatan pemanfaatan air, maka undang-undang tersebut wajib untuk dijadikan acuan dalam kegiatan pemanfaatan air. Salah satu peraturan lain di bidang kehutanan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan ini yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.19Menhut-II2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang diterbitkan pada tanggal 19 Oktober 2004. Dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa salah satu kegiatan yang dapat dilakukan kolaborasi atau kerjasama yaitu bentuk kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan. Berdasarkan kronologis peraturan kebijakan yang menjadi acuan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP sebelum tahun 2006, istilah pemanfaatan air belum didefinisikan secara eksplisit dalam setiap acuan tersebut dan secara implisit dianggap sebagai salah satu jenis kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan. Hal ini menyebabkan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP belum mendapat pengakuan secara formal dan menimbulkan ketidakjelasan kewenangan pengelolaan pemanfaatan air tersebut, antara di bawah kewenangan pihak pemerintah pusat Kementerian Kehutanan atau pemerintah daerah kabupaten atau provinsi. Kegiatan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Setelah Tahun 2006 Kerjasama pemanfaatan air di TNGGP mulai diperkuat pada tahun 2006 setelah Balai TNGGP mulai menerapkan pola kemitraan dengan lembaga pihak pengguna air langsung yaitu pengguna yang menggunakan sarana pemanfaatan air langsung ke sumber air yang berada di dalam kawasan TNGGP, melalui kesepakatan berupa Perjanjian Kerjasama atau MoU. Lembaga yang beranggotakan pengguna air tersebut dinamakan Forum Peduli Air FORPELA. Selain sebagai wadah koordinasi dan komunikasi antara pihak pengelola kawasan dan pihak pengguna air, FORPELA didirikan dengan tujuan membangun keterlibatan pihak pengguna air dalam kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian kawasan. Keterlibatan pihak pengguna air tersebut dibangun sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya air melalui skema jasa lingkunganPES Payment for Environmental Services. PES merupakan kompensasi atau insentif bagi masyarakat atau pihak yang menjaga, memelihara dan memperbaiki fungsi ekologis hutan FORPELA, 2009. Kesepakatan kerjasama ini masih mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390Kpts-II2003 tanggal 3 Desember 2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19Menhut-II2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Hal ini sangat terkait erat dengan ruang lingkup kerjasama pemanfaatan air di kawasan TNGGP karena pada peraturan tersebut disampaikan bahwa pada KPA dapat dilakukan kolaborasi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dengan pihak pemerintah daerah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, BUMN, BUMD, BUMS, dan lembaga pendidikan. Selain itu, acuan tersebut masih digunakan karena sampai dengan tahun 2006, peraturan terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA masih belum diterbitkan. Forum Peduli Air FORPELA-TNGGP didirikan secara formal pada tanggal 6 Maret 2006 di kantor Balai TNGGP. Pihak-pihak yang membantu BTNGGP dalam memfasilitasi pembentukan forum ini antara lain yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat LSM lokal bernama Raptor Conservation Society RCS dan LSM internasional Environmental Services Program ESP yang di bawah naungan lembaga USAID United States Agency International Development yang berasal dari negara Amerika Serikat. Proses pembentukan forum ini melalui beberapa tahap sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Tahapan pembentukan FORPELA No. Waktu Pelaksanaan Lokasi Kegiatan 1. Juni – Agustus dan 10,11, 13 September 2005 Balai TNGP Konsultasi ide pengembangan kemitraan dan inventarisasi pengguna air di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. 2. 3, 6, 10 Oktober 2005 Bogor, Cianjur, Sukabumi Pertemuan langsung dengan para pengguna air di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi dengan tujuan mensosialisasikan ide forum kemitraan tersebut. 3. 7 – 9 Desember 2005 Bogor, Cianjur, Sukabumi a. Pembentukan Kelompok Kerja Wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi, dengan kedudukan sekretariat sementara : 1 Wilayah Bogor di PT. Rejo Sari Bumi Unit Tapos, Ciawi; 2 Wilayah Cianjur di Desa Sukatani, Gunung Putri; 3 Wilayah Sukabumi di PT. Eissai Indonesia b. Kelompok kerja wilayah tersebut bertugas untuk menyusun rencana program untuk diajukan kepada BTNGP, mensosialisasikan hasil-hasil pertemuan, dan mempresentasikan hasil-hasil kesepakatan dalam pertemuan umum. 4. 15 – 20 Desember 2005 Re-inventarisasi dan pemetaan data pengguna air di tiga wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi. 5. 18 Januari 2006 Hotel Bukit Indah, Cianjur Pembentukan FORPELA secara informal di Cianjur. Tabel 12 Lanjutan Sumber : FORPELA 2006 Dalam perkembangannya, FORPELA tidak terbatas sebagai wadah koordinasi dan komunikasi antara pihak pengelola kawasan TNGGP dan pihak pengguna air, namun juga sebagai wadah untuk bekerjasama dengan pihak lain yang peduli terhadap keberadaan kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air catchment area 4 empat hulu DAS yaitu Ciliwung, Cisadane, Citarum, dan Cimandiri BB TNGGP 2010 agar dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat, khususnya dalam potensi jasa lingkungan air. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 5 dan Pasal 7 ADART FORPELA 2006, bahwa FORPELA bertujuan untuk membantu serta mendorong program pembangunan pemerintah dalam pengembangan jasa lingkungan air di kawasan TNGGP, sehingga kawasan TNGGP dapat mempunyai sistem dan mekanisme pengelolaan serta pemanfaatan jasa lingkungan air yang selalu memperhatikan aspek kaidah lingkungan, melalui promosi, fasilitasi, konsultasi, dan advokasi. Setelah tahun 2008, acuan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP diperkaya dengan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SE Dirjen PHKA No. 3IV-SET2008 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di KSA dan KPA, yang menyebutkan bahwa bentuk kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air yang dapat dilakukan di kawasan konservasi adalah pemanfaatan massa air untuk air minum, air bersih, air minum dalam kemasan AMDK, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan industri, sertaa pemanfaatan aliran air untuk pembangkit listrik tenaga air PLTA atau mikro hidro. Dalam SE tersebut disampaikan bahwa kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air dilakukan atas dasar kemitraan melalui perjanjian kerjasama. Hal No. Waktu Pelaksanaan Lokasi Kegiatan 6. 21 dan 28 Februari 2006 PT. Rejo Sari Bumi Unit Tapos, Ciawi Bogor a. Perumusan Anggaran Dasar AD, Anggaran Rumah Tangga ART, penyusunan program kerja, dan perumusan bentuk kesepakatan dengan pihak pengelola kawasan BTNGP b. Dalam AD FORPELA disebutkan bahwa dana pengelolaan program kerja FORPELA diperoleh dari iuran pokok dan iuran wajib anggota, hasil usaha, dan sumbangan hibah. c. Dalam ART FORPELA ditetapkan : 1 Iuran pokok anggota dibayar sebulan setelah bergabung sebagai anggota untuk Komersil sebesar Rp. 500.000 - 5.000.000 dan Non komersil sebesar Rp. 50.000 – 2.000.000. 2 Iuran wajib dibayar setiap bulan untuk Komersil sebesar Rp. 50.000 – 200.000 dan Non komersil sebesar Rp. 20.000 – 100.000. 7. 6 Maret 2006 Balai TNGP Penandatanganan pengesahan ADART FORPELA TNGP. ini turut memperkuat kegiatan kemitraan FORPELA-TNGGP yang telah dibentuk sebelumnya pada tahun 2006. Pengguna air di kawasan TNGGP terbagi menjadi 2 dua bagian, yaitu pengguna air non komersial dan komersial. Pengguna air non komersial ditujukan kepada desa pengguna air yang berada di daerah penyangga kawasan TNGGP, dimana mayoritas penduduknya kekurangan air bersih dan kesulitan mendapatkan pelayanan air dari luar atau Sistem Penyediaan Air Minum SPAM, serta penggunaan air tersebut hanya untuk kebutuhan rumah tangga, dan atau pertanian, namun tidak untuk tujuan usaha. Kondisi ini terjadi umumnya karena tingkat kesejahteraan masyarakat desa tersebut sangat rendah sehingga masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh SPAM, dan secara geografis lokasi desa cukup sulit untuk ditempuh pihak pemerintah daerah Pemda dalam membangun sarana dan prasarana penyaluran air, sehingga membutuhkan investasi yang cukup tinggi bagi Pemda apabila ingin menjangkau masyarakat desa tersebut. Dengan demikian, pemanfaatan air dari dalam kawasan TNGGP sebagai lokasi sumber air terdekat merupakan solusi terbaik dalam mengatasi kebutuhan air bagi masyarakat desa tersebut, karena tidak membutuhkan biaya yang mahal dan airnya berlimpah. Pengguna air komersial ditujukan pada pelaku usaha atau perusahaan yang berada di lokasi daerah penyangga kawasan TNGGP yang menggunakan air untuk mendukung kegiatan usaha yang dilakukannya, seperti hasil-hasil pertanian, hortikultura, peternakan, penginapan umumhotel, dan pelayanan wisata Pihak pengguna air yang bermaksud untuk memanfaatkan air dari dalam kawasan akan menghubungi pihak Balai TNGGP baik secara langsung ataupun melalui FORPELA. Setelah pihak pengguna air berkoordinasi dengan pihak Balai TNGGP, maka dilakukan kegiatan inventarisasi sumber air yang terdekat dengan lokasi pihak pengguna, dan jika tidak ditemukan kendala atau permasalahan secara teknis maka ditindaklanjuti dengan penyusunan MoU antara pihak pengguna air dengan pihak Balai TNGGP. Dengan demikian, Balai TNGGP selain memiliki perjanjian kerjasama dengan FORPELA sebagai bentuk koordinasi secara kelembagaan antara pengelola kawasan dan lembaga pengguna air, juga memiliki perjanjian kerjasama secara langsung dengan masing-masing pengguna air anggota FORPELA. Dalam penyusunan MoU ini, terdapat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan yang dijadikan dasar pelaksanaan kerjasama antara lain yaitu : 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 4 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air; 6 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390Kpts-II2003 tanggal 3 Desember 2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 7 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; 8 Surat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor S.599IV-PJLWA2006 Tanggal 1 Juni 2006 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di Kawasan Konservasi. 9 Surat Edaran Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SE Dirjen PHKA No. 3IV-SET2008 tanggal 9 Desember 2008; dan 10 Surat Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Nomor. S. 31PJLKKHL-12011 tanggal 27 Januari 2011 tentang Naskah Kerjasama dan Arahan Program Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air. Selain itu, sebagai salah satu syarat pelaksanaan kerjasama pemanfaatan air tersebut, juga diperlukan rekomendasi atau persetujuan dari Kepala Desa yang bersangkutan untuk pengguna air non komersial dan pengguna air komersial. Sampai saat ini, terdapat pembaharuan acuan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan air tersebut yaitu dari PP. No. 681998 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Apabila pihak pengguna air sudah membuat kesepakatan MoU dengan pihak Balai TNGGP, maka pihak pengguna air tersebut mempunyai kewajiban untuk bergabung menjadi anggota FORPELA, dengan fasilitasi dari Balai TNGGP, begitu pula sebaliknya apabila ada pihak pengguna yang berminat untuk memanfaatkan air dari kawasan TNGGP dengan menghubungi pihak FORPELA terlebih dahulu, maka pihak FORPELA wajib untuk melapor kepada pihak Balai TNGGP agar segera dapat dibuat kesepakatan kerjasama. Analisis Kegiatan Pemanfaatan Air di TNGGP Sebelum dan Setelah Tahun 2006 Pada periode sebelum tahun 1999, pada umumnya pengguna air yang melakukan perijinan atau kerjasama dengan pihak Balai TNGGP adalah pihak pengguna air non komersial, namun hal tersebut hanya berlangsung sementara karena selanjutnya ijin tersebut tidak pernah dikeluarkan lagi bagi pengguna air yang baru. Hal ini terjadi kemungkinan dikarenakan belum adanya legalitas yang lebih kuat yang dapat mendukung kegiatan pemanfaatan air tersebut. Pada rentang tahun 1999-2005, semakin banyak pihak yang memanfaatkan air dari kawasan TNGGP terutama dari pihak pengguna komersial, hal ini diketahui dari data tahun perjanjian kerjasama antara pihak pengguna air dan Balai TNGGP sebagaimana terlihat pada Lampiran 6. Setelah tahun 2006, pelaksanaan kerjasama pemanfaatan air di kawasan TNGGP lebih terarah dengan adanya penyusunan perjanjian kerjasama atau MoU antara pihak pengguna air dan pihak Balai TNGGP sampai pada tahun 2009 Balai TNGGP mengalami perkembangan menjadi Balai Besar TNGGP BB TNGGP. Selain pemberian hak untuk memanfaatkan air tanpa melebihi jumlah debit pada sumber air yang digunakan, para pengguna air juga berkewajiban untuk mendukung upaya konservasi terhadap kawasan melalui kegiatan rehabilitasi dan pengamanan kawasan. Dalam memanfaatkan air, pihak pengguna tidak dipungut bayaran oleh pihak pengelola kawasan, namun khusus bagi pihak pengguna komersial dikenakan kewajiban untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di sekitarnya melalui pendistribusian sebagian air yang digunakannya untuk membantu kebutuhan air bersih masyarakat sekitar serta diharapkan dapat memberikan peningkatan kesejahteraan berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam SE. Dirjen PHKA No. 3 Tahun 2008, pihak pengelola kawasan tidak diijinkan untuk menerima kompensasi dalam bentuk dana tunai secara langsung, namun diperkenankan menerima kompensasi dalam bentuk bantuan non tunai in-kind berupa kegiatan rehabilitasi dan pengamanan di kawasan konservasi. Sebagai bentuk perwujudan kompensasi terhadap kawasan yang diberikan oleh pihak pengguna kepada pihak pengelola kawasan atau BB TNGGP, FORPELA selaku mewakili pihak pengguna air telah menetapkan program kegiatan secara periodik dengan jangka waktu 3 tiga tahun, dan sejak tahun mulai berdiri pada tahun 2006 maka periode terakhir berakhir di tahun 2009. Kegiatan selanjutnya disusun dalam sebuah Rencana Strategis Renstra FORPELA 2010-2013 yang berusaha untuk mensinergiskan program konservasi kawasan TNGGP dengan program-program lain baik dari pemerintah daerah, organisasi non profit, maupun dengan kelompok masyarakat. Berdasarkan Laporan Tahunan FORPELA Tahun 2009, prioritas program kerja 2010-2013 terdiri dari beberapa program kegiatan, antara lain : 1. Program pemberian susu pasteurisasi dan bibit tanaman untuk siswa-siswi 65 sekolah dasar di desa penyangga guna menunjang perbaikan gizi dan gemar menanam sejak usia dini. 2. Program pembuatan kebun bibit pohon pada masing-masing wilayah kerja FORPELA guna menunjang perbaikan hutan dan lahan kritisgundul pada daerah tangkapan air. 3. Program pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan melalui pengembangan skema pengelolaan air di tingkat masyarakat dan desa melalui pipanisasi air bersih dan pengembangan energi air PLTA Piko Hidro. 4. Program pengembangan inkubasi usaha produktif unggulan pada kelompok tani MDK melalui pengembangan kampung ternak. 5. Program pengembangan kerjasama kemitraan dengan pemerintah daerahprovinsi, perusahaan dan universitas. 6. Program penerbitan Buletin FORPELA untuk periode 3 bulanan. 7. Program penggalangan iuran keanggotaan FORPELA. Selama kurun waktu 3 tiga tahun sejak berdirinya FORPELA pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, beberapa program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh FORPELA, antara lain yaitu : 1. Program pembuatan pembibitan pohon bank bibit di lokasi PT. Rejosari Bumi Unit Tapos Bogor, KT. KMPH Desa Cinagara, KT. Garuda Ngupuk Desa Tangkil, KT. Lestari Batukarut Desa Langensari, KT. Cilondong Jaya Desa Cihanjawar, Forum Marpelin Desa Kebon peuteuy, dan KT. Puspa Lestari Desa Sukatani. Jenis pohon yang dibibitkan antara lain: pohon sengon, gmelina, suren, aprika, puspa, alpukat dan pala. Jumlah bibit pohon yang sudah dikembangkan saat ini kurang lebih 10.000 pohon di setiap lokasi. Selain itu, FORPELA bekerjasama dengan Kelompok Tani MDK, RCS, Amerta dan ESP USAID juga sudah mengimplementasikan penanaman pohon endemik di areal perluasan kawasan TNGGP, yaitu masing-masing seluas 5 ha di Desa Kebonpeuteuy, Desa Sukatani, Desa Cinagara, Desa Tangkil, dan Desa Cihanjawar. 2. Penguatan kapasitas masyarakat sekitar hutan melalui pelatihan pengembangan usaha produktif. FORPELA bekerjasama dengan ESP USAID dan RCS pada bulan Januari 2009, telah melakukan kegiatan pelatihan studi tanaman endemik dan pengembangan usaha produktif berbasis masyarakat pada lima kelompok tani Model Desa Konservasi MDK Kebonpeuteuy, Sukatani, Langensari, Cihanjawar, Cinagara dan Tangkil. Kegiatan pelatihan ini diadakan selama tiga hari di Wisma Tamu PT. Rejosari Bumi Unit Tapos Bogor dengan pemberian materi di dalam kelas hingga praktek lapangan. 3. Progam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan FORPELA TNGP melalui pelatihan SDM anggota, peningkatan pembiayaan konservasi melalui kewajiban iuran keanggotaan serta penerbitan media informasi berupa buletin bulanan. 4. Program peningkatan kerjasama kemitraan yang dilakukan sejak bulan bulan Pebruari-Nopember 2009 dengan beberapa instansi di wilayah lain untuk membagi pengalaman dalam membangun kemitraan pemanfaatan jasa lingkungan air dari kawasan konservasi, antara lain dengan Pemerintahan Kota D.I. Yogyakarta, Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai untuk menjadi narasumber sekaligus memfasilitasi pembentukan Forum Air di Kota Cirebon dan Kuningan. Selain membangun kemitraan kerjasama dengan sektor pemerintah, FORPELA juga sudah mengembangkan kerjasama kemitraan dengan sektor akademisi, antara lain dengan Universitas Satya Negara Indonesia USNI-Jakarta dalam hal pengembangan inkubasi usaha masyarakat Desa Citapen, melalui penandatangan naskah kerjasama pengembangan program. 5. Studi banding implementasi program jasa lingkungan ke Sampurna Training Centre di Pandaan-Pasuruan Jawa Timur yang dilakukan pada tanggal 22-25 Juni 2009, oleh Pengurus FORPELA, Balai Besar TNGGP dan ESP USAID 1 orang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana aksi nyata sektor swasta dalam hal pemanfaat jasa lingkungan hutan untuk diimplementasikan dalam bentuk program pengembangan usaha produktif unggulan dengan melibatkan kelompok masyarakat yang ada disekitarnya. Para pengguna air yang telah membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP secara langsung termasuk kedalam keanggotaan FORPELA dan mempunyai kewajiban untuk mematuhi ADART yang telah disusun oleh FORPELA, termasuk membayar iuran pokok dan iuran wajib bagi anggota FORPELA. Iuran pokok dan iuran wajib yang dikumpulkan oleh FORPELA selanjutnya akan digunakan untuk dana pelaksanaan program kerja FORPELA. Dalam kenyataannya, seringkali terdapat beberapa pengguna yang tidak melakukan koordinasi dengan pihak FORPELA atau tidak melakukan koordinasi dengan pihak BB TNGGP, hal ini menyebabkan adanya perbedaan data pengguna air yang dimiliki oleh BB TNGGP dan yang tercatat sebagai anggota FORPELA. Data BB TNGGP 2012 menyebutkan bahwa terdapat 57 pengguna air yang terdiri dari 21 pengguna air non komersial dan 36 pengguna air komersial sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14, sedangkan data FORPELA 2009 menyebutkan terdapat 113 pengguna air yang terdiri dari 25 pengguna air non komersial dan 88 pengguna air komersial. Tabel 13 Pengguna air non komersial di kawasan TNGGP No Nama Pengguna Tahun Perjanjian Lokasi 1 Masyarakat Desa Sindangjaya 2003 Cibodas Cianjur 2 Pondok Pesantren Al-Huda Tumaritis 2001 Gn. Putri Cianjur 3 Masyarakat Desa Mekarwangi 1999 Gedeh Cianjur 4 Majudin Masy. Padakati 1999 Gedeh Cianjur 5 Masyarakat Desa Tegalega 1998 Gedeh Cianjur 6 Masyarakat Sudajaya Girang 2001 Selabintana Sukabumi 7 Masyarakat Desa Karawang 2001 Selabintana Sukabumi 8 Desa Nanggerang 2002 Bodogol Bogor 9 Desa Citapen 2002 Bodogol Bogor 10 Desa Cileungsi 2002 Bodogol Bogor 11 Masyarakat Desa Benda 2003 Bodogol Bogor 12 Desa Sukagalih 2002 Cisarua Bogor 13 Desa Bojongmurni 2006 Cileungsi Bogor 14 Desa Tangkil 2006 Caringin Bogor 15 Desa Sukamaju 2008 Sukalarang Sukabumi 16 H. Oom 2008 Selabintana 17 H. Ana 2008 Selabintana 18 H. Rahman 2008 Selabintana 19 Desa Kuta 2008 Mega Mendung Bogor 20 Desa Pancawati 2008 Caringin Bogor 21 Desa Buncir 2008 Caringin Bogor Sumber : BB TNGGP 2012 Tabel 14 Pengguna air komersial di kawasan TNGGP No Nama Pengguna Penggunaan Tahun Perjanjian Lokasi 1 Hotel Bukit Indah Keperluan hotel 1999 Cibodas Cianjur 2 PDAM Cianjur Air minum 1999 Cibodas Cianjur 3 Kebun Raya Cibodas Penyiraman tanaman 1999 Cibodas Cianjur 4 PT Horti Fantasia Pertanian sayuran 1999 Gn. Putri Cianjur 5 PT Cipendawa Farm Peternakan ayam 1999 Gn. Putri Cianjur 6 PT Strawberindo Pertanian 2003 Sarongge Cianjur 7 Kebun Bunga Bukit Flora Indah Pertanian bunga potong 1999 Sarongge Cianjur 8 PT Agro Flora Semesta Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 9 H. Taufik Husni Petani sayuran Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 10 PT Anasor Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 11 Kebun Bunikasih Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 12 PT Floriensia Nurseries Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 13 PT Melrimba Sentra Agrotama Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 14 PT Ratna Ayu Nuraseries Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 15 PT Dian Perkasa sayuran Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 16 R Nunung Nuryantono Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 17 Kebun Baru Tunggul Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 18 PT Hijau Flora Semesta Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur Tabel 14 Lanjutan No Nama Pengguna Penggunaan Tahun Perjanjian Lokasi 19 PT Sinar Abadi Cemerlang Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 20 Maha Dwi Yoga Pertanian 1999 Gedeh Cianjur 21 Anton Swasono Pertanian bunga potong 1999 Gedeh Cianjur 22 PTPN VIII Gedeh Perkebunan teh 1999 Gedeh Cianjur 23 H. Ugan Pertanian sayuran 1999 Gedeh Cianjur 24 PT Mangkurejo Pertanian sayuran dan buah-buahan 1999 Goalpara Sukabumi 25 PT Transplant Indonesia Pertanian bunga potong 1999 Goalpara Sukabumi 26 PT Eisae Pertanian tumbuhan obat 1999 Goalpara Sukabumi 27 Masyarakat Desa Cisarua Pertanian sayuran 2002 Goalpara Sukabumi 28 PT Devalindo Mandiri Pertanian sayuran 2000 Goalpara Sukabumi 29 PT Megaflora Indah Pertanian tanaman bunga 1999 Selabintana Sukabumi 30 Rony Pertanian sayuran 2000 Selabintana Sukabumi 31 PT Pacul Mas Tani Pertanian obat-obatan dan palawija 2003 Cimande Bogor 32 PT Rejosari Peternakan sapi dan domba 1999 Tapos Bogor 33 PT Saung Mirwan Pertanian sayuran 1999 Cisarua Bogor 34 PT Mama Papa Pertanian sayuran 1999 Cisarua Bogor 35 Kelompok Tani Harapan Maju Pertanian sayuran 2008 Nagrak Sukabumi 36 Kelompok Petani Nilam Mukti Tani Pertanian sayuran 2008 Kadudampit Sukabumi Sumber : BB TNGGP 2012 Berdasarkan data tahun perjanjian kerjasama antara pihak pengguna air dan BB TNGGP pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa selama tahun 1999- 2006 karakteristik pengguna air mayoritas terdiri dari pengguna air komersial, dan semakin meningkat setelah tahun 2006. Secara ringkas, perbandingan kondisi kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP sebelum dan setelah tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Perbandingan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP periode sebelum dan setelah tahun 2006 No. Kondisi Sebelum tahun 2006 Setelah tahun 2006 1. Karakteristik pengguna Mayoritas pengguna komersial. Pengguna komersial semakin meningkat. 2. Dasar acuan kerjasama Surat Keputusan Direktur Jenderal, Keputusan Menteri Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan. Peraturan Pemerintah, namun belum menyebutkan mekanisme teknis dan penentuan kompensasi terhadap kawasan. 3. Pertimbangan teknis Belum ada. Ada inventarisasi sumber air, data debit sumber air, pertimbangan zonasi. 4. Penyebaran pengguna Belum terkoordinir, karena belum ada wadah komunikasi antar pengguna air. Sudah terkoordinir melalui lembaga FOPELA yang memiliki Koordinator wilayah di 3 tiga kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor. Tabel 15 Lanjutan Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak FORPELA, pelaksanaan pengumpulan dana iuran pokok dan iuran wajib anggota FORPELA sampai dengan tahun 2009 berjalan cukup lancar, namun sejak tahun 2010 – 2012, proses pengumpulan dana tersebut kurang berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu : 1. Intensitas komunikasi dan koordinasi antar kelompok kerja wilayah semakin menurun oleh karena masing-masing pengurus memiliki kesibukan yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk menentukan waktu pertemuan yang dapat mengakomodir semua pengurus. Hal ini juga menyebabkan komitmen para pengguna air semakin lemah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai anggota FORPELA. 2. Kapasitas pengurus yang cukup lemah, oleh karena yang bersangkutan belum dibekali legalitas sebagai wakil dari perusahaan tempat dia bekerja, sehingga beberapa orang yang ditunjuk atau disepakati menjadi pengurus belum sepenuhnya dianggap mewakili perusahaan secara utuh dan pada saat yang bersangkutan pindah tempat bekerja, maka pihak perusahaan seolah-olah tidak memiliki kapasitas koordinasi dan komunikasi dengan pihak FORPELA. 3. Belum adanya peraturan teknis yang khusus mengatur mekanisme insentif jasa lingkungan di KPA membuat pihak pengelola kawasan dan pihak forum pengguna memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengelolaan dana pemanfaatan sumber daya air ini. Meskipun kedua belah pihak memiliki visi yang sama yaitu mendukung upaya konservasi hutan secara terpadu dan berkelanjutan, namun pengelolaan dana menjadi hal sangat sensitif bagi kedua belah pihak. Di lain pihak, FORPELA beranggapan memiliki No. Kondisi Sebelum tahun 2006 Setelah tahun 2006 5. Kelembagaan pemanfaatan air Belum dibentuk kelembagaan. Ada, yaitu FORPELA. 6. Pembagian hak dan kewajiban Berdasarkan kesepakatan pihak pengelola kawasan BB TNGGP dan pihak pengguna air. Sudah mulai diperkuat dengan kebijakan, namun belum diatur berdasarkan pertimbangan teknis. 7. Bentuk kompensasi terhadap kawasan Dalam bentuk partisipasi dalam upaya pelestarian, pengamanan dan rehabilitasi kawasan TNGGP. Selain partispasi dalam upaya pelestarian, pengamanan dan rehabilitasi kawasan TNGGP, juga secara tidak langsung memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekita kawasan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. 8. Upaya konservasi sumber daya air Perencanaan dilakukan oleh pihak pengelola kawasan BB TNGGP. Perencanaan sudah melibatkan pihak pengguna air melalui FORPELA dan memiliki program kegiatan melalui Rencana Strategis FORPELA setiap 3 tiga tahun sekali. 9. Pengelolaan dana atas pemanfaatan air Belum ada pengumpulan dana. Ada, dikelola oleh FORPELA berdasarkan ADART yang sudah disepakati dan diberikan pada pengelola kawasan dalam bentuk non tunai atau kegiatan in-kind kewenangan atas pengelolaan dana tersebut seutuhnya dan berharap akan ada peraturan teknis yang mendukung kewenangan tersebut. 4. Adanya penerapan kewajiban pajak dari BPSDA Provinsi Jawa Barat bagi pengguna air komersial berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dapat menjadi hambatan bagi penggalangan iuran keanggotaan FORPELA, hal ini dapat membuat pengguna air komersial tidak bersedia untuk melanjutkan iuran keanggotaan FORPELA karena merasa telah melakukan dua kali pembayaran yang dianggap untuk hal yang sama. Adanya pajak tersebut menimbulkan ketidakjelasan kewajiban pihak pengguna air komersial, meskipun berdasarkan PP. No. 422008 Pasal 60 disebutkan bahwa untuk kegiatan pelestarian KPA dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, hal ini menunjukkan terdapat ruang lingkup yang jelas antara wilayah pengelolaan sumber daya air yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat Kementerian Kehutanan, namun hal tersebut sepertinya kurang dapat terimplementasi dengan baik pada lokasi terkait. Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP sudah memiliki konsep yang jelas yaitu konsep kemitraan, namun dalam implementasi nyata, masih perlu dilakukan beberapa upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengguna FORPELA dan dukungan dari peraturan pemanfaatan air yang menjadi dasar acuan kegiatan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut diatas, antara lain, yaitu : 1. Peningkatan koordinasi antara BB TNGGP selaku pengelola kawasan dan pengguna air yang sudah melakukan perjanjian kerjasama namun belum mendaftarkan diri sebagai anggota FORPELA dalam upaya sinkronisasi data pengguna air yang valid. 2. Perlu adanya kesepakatan bersama dalam FORPELA tentang pentingnya legalitas mewakili perusahaan dalam keanggotaan FORPELA, sehingga para anggota tidak mewakili suara secara pribadi, namun merupakan suara dari perusahaan pengguna. Hal ini dapat dicantumkan dalam ADART FORPELA. 3. Penerapan sanksi dan penghargaan dari pihak BB TNGGP terhadap anggota pihak pengguna air dalam memenuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kerjasama. Penerapan penghargaan dapat berupa kemudahan dalam proses perpanjangan kerjasama. 4. Peraturan teknis terkait pemanfaatan air di KPA perlu segera diterbitkan untuk mendukung kejelasan hak dan kewajiban pihak pengguna air, termasuk penerapan sanksi dan penghargaan agar lebih memperkuat komitmen pengguna. Selain itu, mekanisme pengelolaan dana kompensasi dari pihak pengguna untuk mendukung upaya konservasi sumber daya air juga diharapkan dapat terakomodir dalam peraturan teknis tersebut. Keberlanjutan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Kabupaten Bogor Tingkat keberlanjutan pemanfaatan air dapat diduga dengan menganalisis keberlanjutan beberapa dimensi pendukungnya yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi kelembagaan, dan dimensi teknologi. Setiap dimensi tersebut dinilai berdasarkan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Hasil penetapan kriteria dan indikator pada penilaian keberlanjutan pemanfaatan air di kawasan TNGGP untuk Kabupaten Bogor yaitu terdiri dari 11 kriteria dan 25 indikator dengan rincian sebagai berikut : 1. Dimensi ekologi sebanyak 3 kriteria dengan 8 indikator; 2. Dimensi sosial sebanyak 2 kriteria dengan 5 indikator; 3. Dimensi ekonomi sebanyak 2 kriteria dengan 4 indikator; 4. Dimensi kelembagaan sebanyak 2 kriteria dengan 3 indikator; 5. Dimensi teknologi sebanyak 2 kriteria dengan 5 indikator. Setiap indikator dalam kriteria pada setiap dimensi dianalisis dan dinilai untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi. Indeks keberlanjutan gabungan antar dimensi untuk menentukan status keberlanjutan ditentukan melalui proses pembobotan terhadap masing-masing dimensi. Pembobotan dilakukan didasarkan pada penilaian ilmiah scientific judgement melalui Analytical Hierarchy Process AHP. Dimensi Ekologi Dimensi ekologi dinilai berdasarkan tiga kriteria yaitu : 1 Pelestarian terhadap kawasan yang memiliki nilai penting berupa potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; 2 Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya; dan 3 Pengurangan dampak dari potensi bencana alam terhadap lingkungan Federal Council 2002 dalam Ochsenbein 2004. Berdasarkan hasil AHP, masing-masing kriteria tersebut memiliki bobot secara berturut-turut sebesar 0.46, 0.14, dan 0.40. Hasil analisis pada dimensi ekologi disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil analisis dimensi ekologi. Kriteria Indikator Nilai Skor Skor Tertinggi Normalisasi 1 a. Penilaian terhadap Nilai Konservasi Tinggi NKT yang dimiliki oleh kawasan Memiliki NKT 1 1 100.00 b. Indeks Penutupan Lahan IPL = Luas lahan bervegetasiluas kawasan Sangat Baik IPL =93.99 4 4 100.00 c. Kecukupan luas kawasan hutan pada tata ruang DAS yang termasuk TNGGP dan Kabupaten Bogor Kurang 18,34 1 4 25.00 Rata-rata presentase 75.00 Persentase kriteria 1 x bobot 0.46 34.47 2 a. Indeks Penggunaan Air IPA = Kebutuhan airketersediaan air Baik IPA=0.048 2 2 100.00 b. Stabilitas ketersediaan air periode waktu rata- rata berkurangnya kuantitas air Sedang terjadi 4-5 bulan dalam setahun 1 3 33.33 Rata-rata presentase 66.67 Persentase kriteria 2 x bobot 0.14 9.65 Tabel 16 Lanjutan Kriteria Indikator Nilai Skor Skor Tertinggi Normalisasi 3 a. Perencanaan kegiatan konservasi sumber daya air Sedang Perencanaan dilakukan oleh tiga pihak secara terpisah 2 4 50.00 b. Pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air Baik Pelaksanaan dilakukan oleh dua pihak secara terpadu 3 4 75.00 c. Jenis kegiatan konservasi sumber daya air Baik Kegiatan teknis dan non- teknis 2 2 100.00 Rata-rata presentase 75.00 Persentase kriteria 3 x bobot 0.40

29.68 Indeks Keberlanjutan

73.79 Indikator 1.a . Kawasan TNGGP dinilai sangat penting karena memiliki satu atau lebih dari Nilai Konservasi Tinggi NKT berdasarkan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi KBKT atau High Conservation Value Area 2008. Kawasan ini memenuhi 4 empat NKT antara lain, yaitu : 1 mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting; 2 merupakan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami; 3 menyediakan jasa-jasa lingkungan alami; dan 4 mempunyai fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Penjelasan lebih lanjut untuk keempat NKT diatas dapat dilihat pada Lampiran 7. Indikator 1.b. Penilaian Indeks Penutupan Lahan IPL diperoleh berdasarkan data analisis perubahan penutupan lahan yang dilakukan oleh BB TNGGP selama 12 tahun dari 1999 sd 2011 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perubahan tutupan lahan kawasan TNGGP dari tahun 1999-2011 Sumber : BB TNGGP 2012 Berdasarkan data perubahan penutupan lahan tersebut, dapat diketahui bahwa total luasan tutupan lahan yang bervegetasi hutan primer, hutan sekunder, semak belukar pada tahun 2011 adalah 21,476.81 ha atau sekitar 93.99 dari total luasan kawasan. Oleh karena hasilnya lebih dari 80, maka untuk indikator kemampuan kawasan sebagai daerah tangkapan air, diberikan nilai skor tertinggi yaitu 4 Sangat baik. No. Klasifikasi Tutupan Lahan 1999 2003 2006 2011 ha ha ha ha 1 Hutan primer 14,154.50 61.94 15,983 69.94 13,918.2 60.91 16,525.3 72.32 2 Hutan sekunder 4,630.59 20.26 3,327.68 14.56 3,704.44 16.21 2,329.03 10.19 3 Semak belukar 2,290.89 10.02 1,691.88 7.4 3,671.39 16.07 2.622.48 11.48 4 Areal terbuka 1,707.74 7.47 642.38 2.81 1,388.23 6.08 983.39 4.3 5 Tidak ada dataawan 59.26 0.25 1,198.16 5.24 160.81 0.7 382.92 1.68 6 Tubuh air 7.84 0.0034 7.84 0.03 7.84 0.03 4.84 0.03 Indikator 1.c. Kecukupan luas kawasan hutan dinilai berdasarkan persentase luas fungsi kawasan hutan jika dibandingkan terhadap luas tata ruang DAS yang terdapat di TNGGP DAS Ciliwung, DAS Citarum, DAS Cimandiri, dan DAS Cisadane. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan proses tumpang tindih overlay antara Peta RTRWP Propinsi Jawa Barat Tahun 2010, peta batas DAS prioritas tahun 2009, dan peta TNGGP, maka diperoleh perhitungan luasan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 18 dan Lampiran 8. Tabel 18 Hasil perhitungan persentase luas fungsi kawasan hutan terhadap luas tata ruang 2 DAS DAS Ciliwung dan DAS Cisadane Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka diketahui bahwa persentase luas kawasan hutan dalam tata ruang DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang termasuk ke dalam kawasan TNGGP dan Kabupaten Bogor, sebesar 18.34, atau berada pada selang 10 – 20 sehingga termasuk kedalam nilai skor 1 Kurang. Luas kawasan TNGGP itu sendiri terhadap luasan hutan fungsi kawasan hutan total adalah sebesar 21.136 dan luas kawasan TNGGP terhadap luas fungsi kawasan Hutan Konservasi HK adalah sebesar 27.202. Hal tersebut menunjukkan luas kawasan hutan dalam DAS Cisadane dan DAS Ciliwung masih kurang optimal karena masih di bawah 30 dari total luas kedua DAS dan kurang mendukung fungsi kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air yang merupakan hulu dari kedua DAS tersebut. Saat ini luas fungsi lahan yang terdapat dalam tata ruang DAS didominasi oleh kawasan budidaya termasuk pemukiman di dalamnya, yang disebabkan oleh banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi di sekitar kawasan TNGGP, terutama daerah tengah dan hilir kedua DAS tersebut. Di lain sisi, keberadaan kawasan TNGGP sangat mempengaruhi luasan hutan dalam tata ruang kedua DAS tersebut, karena lebih dari 20 fungsi kawasan hutan dikontribusi dari luasan kawasan TNGGP. Dengan demikian, semakin menguatkan pandangan akan pentingnya mempertahankan keberadaan fungsi kawasan hutan konservasi, sehingga potensi ancaman dan gangguan terhadap alih fungsi lahan hutan yang dapat mengganggu kemampuan hutan dalam menjaga ketersediaan air dapat dikurangi oleh karena adanya perlindungan secara hukum legalitas terhadap kawasan hutan tersebut. No. Fungsi kawasan dalam 4 DAS Luas ha Luas fungsi kawasan terhadap luas tata ruang 4 DAS Luas TNGGP ha Luas TNGGP terhadap luas HK Luas TNGGP terhadap luas hutan total 1. Hutan Konservasi HK 27,096.90 14.25 7370.952 27.202 21.136 2. Hutan Lindung HL 2,537.22 1.33 3. Hutan Produksi HP 5,239.76 2.76 Total kawasan hutan 34,873.87 18.34 4. Kw. Budidaya 123,892.17 65.14 5. Kw. Lindung 31,420.86 16.52 Luas tata ruang 190,186.90 100.00 Selanjutnya untuk kriteria kedua yaitu pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya memiliki arti agar pemanfaatan air yang dilakukan diharapkan tidak melebihi kemampuan kawasan TNGGP dalam menyediakan air. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana kondisi pemanfaatan air saat ini melalui pendugaan perhitungan Indeks Penggunaan Air IPA dan mengetahui kondisi stabilitas air berdasarkan periode waktu rata-rata terjadinya pengurangan kuantitas air. Indikator 2.a. Penilaian Indeks Penggunaan Air IPA diperoleh dengan membandingkan kebutuhan air terhadap ketersediaan air. Dalam hal ini dilakukan perhitungan terhadap perkiraan kebutuhan penggunaan air yang terdiri dari penggunaan rumah tangga, pertanian, dan industri. Perhitungan ini menggunakan asumsi penggunaan rumah tangga keseluruhan desa penyangga sekitar kawasan TNGGP yaitu sebanyak 66 desa dan dihitung berdasarkan kebutuhan air rata-rata per orang per hari yaitu sebanyak 50 liter Gleick 1998 dikalikan dengan jumlah penduduk. Kebutuhan pertanian dan industri dihitung berdasarkan hasil kajian Danudoro dalam Wiratno et al 2004 yaitu dengan asumsi luas lahan pertanian sekitar kawasan adalan 10,998 ha, sedangkan jumlah industri disesuaikan dengan jumlah pengguna komersial yang tergabung kedalam FORPELA sampai dengan tahun 2009 yaitu 91 industriperusahaan yang terdiri dari 31 industri skala besar, 46 industri skala sedang, dan 14 industri skala kecil FORPELA 2009 . Dalam perhitungan ini, masih memperhitungkan pengguna air di seluruh wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi dengan asumsi menilai kawasan TNGGP sebagai kesatuan yang utuh. Persediaan air yang digunakan mengacu pada hasil penelitian potensi air kawasan TNGGP oleh Studiotama Maps Konsultan 2005. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil perhitungan IPA pada kawasan TNGGP No. Wilayah Potensi Air m3tahun a Kebutuhan airtahun m 3 IPA Kabupaten Desa Perusahaan Pertanian b 1. Bogor 178,731,899.997 2,898,870.150 3,046,114.800 tad 2. Cianjur 136,488,221.997 2,975,206.250 4,146,195.600 tad 3. Sukabumi 233,715,378.006 2,517,835.700 1,946,603.400 tad Jumlah 8,391,912.100 9,138,913.800 7,752,315.000 548,935,500.000 25,283,140.900 0.046 Sumber : a Studiotama Maps Konsultan 2005 b asumsi luas pertanian adalah 10,998 ha x 704.88 m 3 tahun, sedangkan kebutuhan per industri kecil adalah 569.4 m 3 tahun dan industri besar adalah 168,849 m 3 tahun Danudoro dalam Wiratno et al. 2004. Untuk industri sedang mengambil rata-rata penjumlahan kebutuhan industri besar dan kecil yaitu sebesar 84,709.20 m 3 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 19, diperoleh nilai IPA sebesar 0.046 atau kurang dari 0.5 maka termasuk ke dalam skor tertinggi yaitu 2 Baik. Hal ini menunjukkan bahwa persediaan air di kawasan TNGGP masih sangat berlimpah dan masih mampu mencukupi kebutuhan pengguna air sekitarnya. Di samping itu kondisi ini dapat menguatkan bahwa tingkat produksi air masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi air tersebut sampai dengan saat ini. Meskipun perhitungan potensi ketersediaan air yang digunakan di atas merupakan hasil penelitian pada tahun 2005, namun dengan adanya kecenderungan perubahan penutupan lahan yang semakin baik, maka secara tidak langsung menunjukkan bahwa potensi ketersediaan air kawasan TNGGP saat ini dalam kondisi yang mencukupi. Sebagai bahan perbandingan, apabila dilakukan perhitungan IPA pada tahun 2006 dan tahun 2009 dengan asumsi ketersediaan air untuk wilayah TNGGP kabupaten Bogor tidak berubah sebagaimana data sebelumnya yaitu sebesar 178,731,899.997 m 3 tahun dan perhitungan mempertimbangkan kebutuhan air untuk desa pengguna di Kabupaten Bogor yang tersebar pada 4 empat kecamatan yaitu Caringin, Ciawi, Cisarua, dan Megamendung, kebutuhan air untuk pertanian yang terdapat pada keempat kecamatan tersebut, serta kebutuhan industri sebagaimana data pengguna komersial pada tahun 2006 dan tahun 2009 FORPELA 2009. Pada tahun 2006 FORPELA telah mengelompokkan pengguna komersial di Kabupaten Bogor terdiri dari 7 industri skala besar dan 3 industri skala kecil, kemudian pada tahun 2009 terdiri dari 9 industri skala besar, 18 industri skala sedang dan 3 industri skala kecil berdasarkan luas wilayah kerjanya. Dengan demikian, maka diperoleh perhitungan sebagai berikut pada Tabel 20. Berdasarkan hasil perhitungan IPA pada Tabel 20, terdapat kecenderungan peningkatan nilai IPA dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009, yaitu dari nilai 0.034 menjadi 0.053. Hal ini menunjukkan peningkatan pengguna air dapat meningkatkan nilai IPA, meskipun masih tergolong sangat kecil dan selama nilai IPA masih di bawah angka 0.5, maka potensi air air masih dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan pertanian atau masih berkelanjutan. Tabel 20 Hasil perhitungan IPA pada pengguna air Kabupaten Bogor di Kecamatan Caringin, Ciawi, Cisarua, dan Megamendung. No. Tahun Jumlah Penduduk Luas Lahan Pertanian Kebutuhan Air Pertanian a Kebutuhan Air Industri b Kebutuhan Air Total c IPA orang Ha m3 m3 m3 1. 2006 131,042 3,256.400 2,295,371.232 1,436,070.600 6,122,958.332 0.034 2. 2009 153,269 5,023.436 3,540,919.215 3,046,114.800 9,384,193.265 0.053 Sumber : a Luas lahan pertanian x 704.88 m 3 Danudoro dalam Wiratno et al. 2004 b Jumlah industri dikalikan dengan kebutuhan industri sesuai skala perusahaan. c Kebutuhan air penduduk jumlah penduduk x 50 lthari ditambah dengan kebutuhan air industri dan pertanian. Indikator 2.b. Kondisi kestabilan ketersediaan air dinilai berdasarkan hasil wawancara dengan para pengguna air. Mayoritas pengguna air, khususnya masyarakat merasakan adanya penurunan kuantitas air pada bulan-bulan tertentu dengan periode waktu kurang lebih 4-5 bulan setiap tahunnya yaitu rata-rata terjadi selama bulan Mei-September. Dalam hal ini, salah satu faktor yang diduga mempengaruhi penurunan kuantitas air adalah kondisi iklim khususnya pada musim kemarau, karena berdasarkan jawaban para responden, Sebagaimana telah dijelaskan dalam perhitungan IPL dan IPA sebelumnya, bahwa kawasan TNGGP memiliki nilai IPL dan IPA yang sangat baik sehingga hal ini turut menguatkan bahwa kedua faktor peningkatan jumlah penduduk dan kemampuan kawasan TNGGP dianggap belum mempengaruhi penurunan kuantitas air yang terjadi. Para responden juga menjelaskan meskipun tanpa bisa menyebutkan data secara