Berdasarkan faktor Teknologi terdapat dua kriteria yang menentukan yaitu :
kapasitas potensi air tersebut. Dengan demikian, diperlukan pendekatan
pemanfaatan air yang efisien dan tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Konsep pendekatan ini disebut juga dengan
konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development, yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang Rustiadi et al. 2009. Pembangunan berkelanjutan dapat dilihat melalui tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan
secara ekonomi, sosial, dan ekologi yang membentuk segitiga kerangka kerja “a triangular framework”, sebagaimana dikemukakan oleh Serageldin dalam
Rustiadi 2009.
Dalam konteks keberlanjutan pemanfaatan air, selain tiga dimensi tersebut diatas, terdapat dua dimensi lain yang dianggap cukup mempengaruhi yaitu
dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. Kelembagaan penting untuk dibentuk sebagai dukungan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan
pemanfaatan air antara lain negara, sektor swasta, dan masyarakat sipil, sedangkan teknologi yang diterjemahkan sebagai infrastruktur juga berperan dalam tata
pengaturan ketika ketersediaan air
berlimpah di musim hujan maupun ketika terjadi kelangkaan air di musim kemarau Sanim 2011.
Kegiatan pemanfaatan air di Indonesia pertama kali diatur oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dengan pertimbangan
bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam segala bidang dan sebagai salah satu upaya menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan
peningkatan kebutuhan air, maka diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air. Dalam undang-undang tersebut, kegiatan pemanfaatan air diistilahkan dengan
“pendayagunaan sumber daya air”, dimana kegiatan ini mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan dikecualikan untuk
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Pada kenyataannya, terdapat kawasan pelestarian alam yang menjadi lokasi kegiatan pemanfaatan air untuk pemenuhan kebutuhan air masyarakat di
sekitarnya, diantaranya yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP yang telah dimanfaatkan sejak tahun 1998 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi.
Keseluruhan pengguna air di kawasan TNGGP merupakan pengguna air secara langsung yaitu pengguna yang
menggunakan sarana dan prasarana secara langsung yang terhubung dengan sumber air yang berada di dalam kawasan dengan menggunakan pipa atau paralon.
Kawasan Pelestarian Alam KPA adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Undang-
Undang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meskipun dalam UU No.72004 tidak mengatur kegiatan pemanfaatan air untuk KPA, namun kegiatan
pemanfaatan air yang telah berjalan di TNGGP tetap mengacu pada undang- undang tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU No.411999 belum mengatur jenis
kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam KPA.
TNGGP merupakan salah satu KPA yang diketahui memiliki potensi air berlimpah yaitu berupa surplus sebesar 548,960,480 m
3
tahun Rushayati 2006,
dan menjadi penyedia kebutuhan air untuk tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun
2009, pengguna air secara langsung dari kawasan ini telah meningkat sebanyak hampir 37 kali lipat. Pengguna air yang semula hanya berjumlah 3 tiga
pengguna yang tersebar pada 2 dua kabupaten yaitu Cianjur dan Sukabumi Sumarto 2008, hingga saat ini sudah mencapai 113 pengguna yang tersebar pada
3 tiga kabupaten yaitu 39 pengguna di Bogor, 21 pengguna di Sukabumi, dan 53 pengguna di Cianjur FORPELA 2009.
Balai Besar TNGGP selaku pengelola kawasan telah mengelompokkan pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP menjadi 2 dua jenis pengguna,
yaitu pengguna air non komersial dan pengguna air non komersial. Pengguna air non komersial merupakan masyarakat desa di sekitar kawasan TNGGP yang
memanfaatkan air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih atau kegiatan rumah tangga, sedangkan pengguna air komersial merupakan pihak perorangan atau
kelompok di sekitar kawasan TNGGP yang memanfaatkan air untuk tujuan usaha. Sumber air yang digunakan berasal dari mata air, sungai, dan kali yang terdapat di
dalam kawasan TNGGP. Data FORPELA 2009 menyebutkan bahwa dari 113 pengguna air di kawasan TNGGP, 91 diantaranya merupakan pengguna komersial.
Meningkatnya pengguna air tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga diperlukan suatu pengelolaan
kegiatan pemanfaatan air agar dapat berkelanjutan.
Kegiatan pemanfaatan air di TNGGP sejak tahun 2006 dikelola berdasarkan konsep kemitraan melalui pembentukan kelembagaan
Forum Peduli Air FORPELA TNGGP yang beranggotakan pihak pengguna air secara langsung
dari kawasan TNGGP. Kemitraan ini diwujudkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pihak pengguna dan pihak pengelola kawasan yaitu Balai Besar
TNGGP. Hal ini dilakukan karena sampai saat ini peraturan terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA masih dalam tahap penyusunan pada instansi terkait yaitu
Kementerian Kehutanan. Lemahnya payung hukum yang mendukung kegiatan pemanfaatan air ini menyebabkan adanya ketidakjelasan hak dan kewajiban para
pihak yang dapat menimbulkan potensi konflik, karena dalam perjanjian kerjasama tersebut belum menyebutkan bagaimana kewajiban pihak pengguna
terhadap kawasan TNGGP dalam satuan yang terukur. Selain itu, hal ini juga dapat menghambat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pemanfaatan air yang
telah dilakukan karena belum adanya pedoman yang menjadi acuan, sehingga pada akhirnya dapat mengganggu keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang
sudah berjalan di kawasan TNGGP.
Dalam rangka mendukung keberlanjutan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dan mendukung percepatan proses penyusunan kebijakan pemanfaatan
air di KPA, maka dilakukan penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang dapat mendukung keberlanjutan pemanfaatan air melalui penilaian status keberlanjutan
dari masing-masing dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
yang dikuantifikasi untuk mengetahui status keberlanjutan dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Sebagai lokasi contoh dalam kajian ini, maka dipilih satu lokasi yang dianggap cukup
mewakili karakteristik pengguna air di kawasan TNGGP. Dari ketiga wilayah
pengguna air di kawasan TNGGP, Kabupaten Bogor memiliki karakteristik yang lebih bervariasi dibandingkan kedua kabupaten lainnya. Hal ini dikarenakan
penggunaan air pada Kabupaten Bogor selain untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian, juga banyak digunakan untuk kepentingan usaha di bidang air minum,
peternakan, hortikultura, penginapan dan wisata, sehingga Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pengambilan contoh dalam penelitian ini.
Perumusan Masalah
Air merupakan barang publik dan merupakan salah satu jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Berbagai pihak dapat memanfaatkan air tanpa harus
membayar, namun pemanfaatan air yang berlebihan dan tidak bijaksana dapat mengakibatkan penurunan dalam kualitas dan kuantitas air. Peningkatan pengguna
air secara langsung di kawasan TNGGP dan belum adanya kebijakan yang mengatur secara khusus kegiatan pemanfaatan air di KPA dapat mempengaruhi
keberlanjutan dari pemanfaatan air tersebut. Penggunaan air yang semakin meningkat tanpa memperhatikan pertimbangan teknis dapat mengakibatkan
penurunan ketersediaan air, sedangkan belum adanya kebijakan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan dapat menghambat upaya konservasi sumber
daya air.
Di lain pihak, sangat penting untuk memelihara ketersediaan air agar tetap berlimpah sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi wilayah-
wilayah disekitarnya. Sejalan dengan kegiatan pemanfaatan air yang telah dilakukan di kawasan TNGGP, diharapkan pihak pengguna air dapat memberikan
timbal balik yang sesuai terhadap kawasan sebagai kompensasi akibat pemanfaatan air. Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh pihak
pengelola kawasan, upaya timbal balik tersebut masih dirasakan kurang optimal, karena penentuan kompensasi atas penggunaan air ditentukan tanpa adanya
pertimbangan teknis. Hal ini disebabkan belum ada kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA, yang dapat menjadi pedoman bagi pegelola kawasan
untuk melakukan evaluasi, sehingga sampai saat ini belum pernah dilakukan penilaian keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
Berkaitan dengan
hal tersebut,
maka dapat
dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut : 1 Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP masih belum diatur dengan jelas; 2 Keberlanjutan kegiatan
pemanfaatan air di kawasan TNGGP belum diketahui; dan 3 Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP belum didukung dengan kebijakan teknis
terkait pemanfaatan air di KPA.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1 Menganalisis bentuk mekanisme kegiatan
pemanfaatan air
di kawasan
TNGGP; 2
Menganalisis status
keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP; dan 3 Menyusun arahan untuk pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air yang terdapat di kawasan TNGGP dan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP serta penyusunan kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di
KPA.
Ruang Lingkup Studi
Penelitian yang dilakukan merupakan suatu studi berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan air secara langsung dari dalam kawasan TNGGP yang terdiri dari :
1 persepsi dan partisipasi pengguna air non komersial dan pengguna air komersial yang termasuk wilayah Kabupaten Bogor dan termasuk dalam
keanggotaan FORPELA; dan 2 penilaian kondisi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi terkait kegiatan pemanfaatan air secara langsung di
kawasan TNGGP.
Ruang lingkup penelitian berbasis kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air catchment area dan lokasi pengguna air secara langsung yang
termasuk wilayah Kabupaten Bogor. Studi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan pembobotan dalam dalam
analisis status keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air dan analisis arahan terkait penyusunan kebijakan pemanfaatan air di KPA.
Kerangka Pemikiran
Kajian keberlanjutan pemanfaatan air ini diawali dengan pemikiran adanya peningkatan jumlah pengguna air secara langsung di kawasan TNGGP sejak tahun
1996 – 2009 dan belum adanya dukungan peraturan teknis terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA, maka dapat mempengaruhi potensi ketersediaan air
apabila tidak dilakukan suatu pengelolaan khusus dalam kegiatan pemanfaatan air. Dalam hal ini, diperlukan suatu mekanisme pemanfaatan air yang dapat mengatur
hak dan kewajiban pengguna air dalam memanfaatkan air sekaligus mendukung kelestarian potensi air.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut diatas, maka kebijakan teknis terkait pemanfaatan air di KPA menjadi hal yang penting dalam pengelolaan
kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP agar dapat berkelanjutan. Salah satu upaya untuk mendukung hal tersebut adalah melakukan suatu kajian keberlanjutan
kegiatan pemanfaatan air yang meliputi analisis mekanisme kegiatan dan analisis status keberlanjutan pemanfaatan air termasuk menganalisis bagaimana kondisi
setiap dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjadi dasar dalam
menentukan arahan pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP. Secara skematik kerangka pemikiran ini digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di
TNGGP Peraturan teknis
kegiatan pemanfaatan air di
KPA belum tersedia Peningkatan
jumlah pengguna air di kawasan
TNGGP
Pengelolaan kegiatan pemanfaatan air di
TNGGP
Ketersediaan air di TNGGP
Ekologi
Teknologi Ekonomi
Kelembagaan Sosial
Pemanfaatan air
berkelanjutan
Analisis status keberlanjutan
Arahan pengelolaan pemanfaatan air di TNGGP
TINJAUAN PUSTAKA
Air
Air merupakan bagian penting dalam kehidupan, karena semua makhluk hidup membutuhkan air untuk tumbuh dan berkembang. Setiap organisme yang
hidup tersusun dari sel-sel berisi air sedikitnya 60 dan menggunakan larutan air sebagai tempat untuk menjalankan aktivitas metaboliknya Enger dan Smith 2000
dalam Kodoatie et al. 2010. Air juga merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan bersifat dinamis yang berarti sumber utama air yang berupa
hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang tahun Kodoatie et al. 2010. Dengan demikian air sebagai sumber daya bersifat sangat
penting bagi kehidupan dan harus dipertahankan keberadaannya agar dapat dimanfaatkan sepanjang masa.
Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mendefinisikan sumber daya air ke dalam tiga bagian yaitu air, sumber air, dan
daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan sumber air adalah tempat atau wadah air alami danatau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah. Dalam undang-undang ini juga dinyatakan pada Pasal 4 bahwa “Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”, dimana dalam penjelasannya masing-masing fungsi tersebut diterjemahkan sebagai berikut :
1. Fungsi sosial berarti peruntukan sumber daya air lebih diutamakan untuk kepentingan umum dibandingkan kepentingan individu.
2. Fungsi lingkungan memposisikan sumber daya sebagai bagian dari ekosistem, sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan fauna.
3. Fungsi ekonomi lebih memprioritaskan pendayagunaan air untuk menunjang kegiatan usaha.
Hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Gleick 1998, bahwa air dinilai tidak hanya penting untuk mendukung keberlangsungan hidup,
tetapi sangat penting dalam mendukung suatu ekosistem, pengembangan ekonomi, taraf kesejahteraan masyarakat, dan memiliki nilai budaya. Berdasarkan ketiga
fungsi tersebut, maka sudah selayaknya kegiatan pemanfaatan air dapat dilakukan dengan bijak agar tidak saling mengganggu fungsi-fungsi lainnya.
Peranan Hutan dalam Ketersediaan Air
Dengan adanya kegiatan pemanfaatan sumber daya air, maka ketersediaan air menjadi syarat utama agar pemanfaatan dapat terlaksana dan terpenuhinya
fungsi-fungsi yang dimilikinya. Air dihasilkan dari suatu proses yang disebut siklus hidrologi, dimana siklus hidrologi atau daur hidrologi merupakan suatu
pola pendauran yang umum yang terdiri dari susunan gerakan-gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya yang secara sederhana diartikan sebagai
perjalanan air mengalir dari atmosfer ke daratan ke laut sampai atmosfer Lee 1990.
Perjalanan air dalam siklus hidrologi dimulai dari hujan yang turun presipitasi lalu mendekati muka tanah, jumlahnya terdistribusi menjadi
intersepsi lewat vegetasi, hujan di saluran, tampungan depresi, aliran permukaan dan infiltrasi ke dalam tanah Kodoatie et al. 2010. Lebih lanjut Harto 1993
menjelaskan bahwa hutan mempunyai peranan sangat penting dalam pengendalian besar dengan limpasan permukaan, terutama sekali fungsi hutan dalam intersepsi
dan infiltrasi. Semakin baik kondisi hutan, pada umumnya jumlah kehilangan air semakin besar dan intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik juga relatif
besar, mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya.
Suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam KPA Undang-
Undang R.I. Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam menjalankan fungsinya, KPA dikelola secara sistematis melalui kegiatan perencanaan,
perlindungan,
pengawetan, pemanfaatan,
pengawasan, dan
pengendalian. Pemanfaatan pada KPA, khususnya pada Taman Nasional, dapat berupa kegiatan
penyimpanan danatau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 28 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dengan demikian, air sebagai bagian dari sumber daya alam dan berperan penting
untuk mendukung perikehidupan yang berada di dalam suatu kawasan hutan wajib untuk dilindungi.
Hal ini selaras dengan amanat pemerintah yang disampaikan dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 60 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air sebagai penjabaran dari Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa pengelolaan KPA yang dilakukan untuk
memberikan perlindungan terhadap kawasan dibawahnya dalam rangka menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan,dan unsur hara tanah, merupakan tanggung
jawab dari Kementerian Kehutanan atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Analisis Keberlanjutan
Konsep berkelanjutan pertama kali dirumuskan dalam Brundtland Report sebagaimana
dilaporkan oleh
World Commission
on Environment
and Development WCED pada tahun 1987 yang mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan
mereka Kajikawa 2008. Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi profit, keberlanjutan
kehidupan sosial people, dan keberlanjutan ekologi alam planet. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang.
World Bank menjabarkan kerangka pembangunan berkelanjutan ke dalam konsep segitiga pembangunan berkelanjutan dengan tiga tujuan pembangunan yaitu
ekonomi, sosial dan ekologi.
Definisi pembangunan berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Bila tidak maka akan terjadi “trade-
off” antar tujuan Munasinghe dalam Suwarno 2011. Pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi ditekankan pada efisiensi pembangunan, aspek sosial berupa
keadilan pemerataan, dan aspek ekologi berupa kelestarian sumberaya alam. Tujuan pembangunan diarahkan pada keberimbangan pencapaian tujuan pada
ketiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Menurut Spangenberg dalam Rustiadi et al. 2009 menambahkan dimensi kelembagaan institution
sebagai dimensi keempat keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan prism of sustainability.
Ochsenbein et al. 2004 menyebutkan bahwa konsep kerangka penilaian keberlanjutan pada tingkat normatif mengikuti prinsip-prinsip yang dirumuskan
oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan Berkelanjutan pada tanggal 27 Maret 2002. Penilaian ini dirumuskan berdasarkan model modal saham serta
kelemahan dan kelebihan suatu keberlanjutan “weak sustainability plus”. Model modal saham ini memunculkan prinsip umum keberlanjutan dalam definisi modal
yang lebih luas, yaitu sesuatu yang tidak boleh habis tetapi harus dapat diperbaharui dan ditingkatkan. hal ini berarti jual beli diperbolehkan antara tiga
dimensi keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, dengan memperhatikan persyaratan dasar minimum masing-masing dimensi misalnya hak asasi manusia,
tingkat polusi.
Suatu kegiatan dapat menjadi subjek dalam penilaian keberlanjutan dan optimisasi
apabila terdapat
konflik serius
minimal antara
dua dimensi
keberlanjutan, khususnya yang memenuhi karakteristik sebagai berikut : 1. Permasalahan yang ada sudah cukup kritis dalam suatu area atau dampak,
atau telah ada kecenderungan yang memburuk. 2. Beban dampak negatif yang muncul akan dirasakan oleh generasi
berikutnya dan tidak dapat diubah ‘irreversible” atau sulit diubah. 3. Kegiatan tersebut terikat kuat dengan resiko yang sulit untuk dinilai dan
evaluasi yang ada penuh dengan ketidak pastian. 4. Adanya
persyaratan minimum,
misalnya adanya
batas tidak
dapat dinegosiasikan atau telah melewati ambang batas.
5. Dampak spasial dari suatu kegiatan tersebut menjadi pertimbangan. 6. Ruang lingkup untuk mengoptimalkan kegiatan tersebut cukup luas.
Penilaian keberlanjutan mengevaluasi dampak-dampak dari suatu kegiatan berdasarkan satu set standar kriteria yang sudah ditetapkan. Satu set kriteria ini
mengacu pada 15 kriteria yang dirumuskan oleh Federal Council dalam Strategi Pembangunan
Berkelanjutan “Sustainable
Development Strategy”,
yang dikelompokkan kedalam tiga dimensi tujuan keberlanjutan yaitu :
1. Keberlanjutan pada dimensi pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, dimana lingkungan hidup untuk manusia, hewan, dan tumbuhan tetap lestari
dan pemanfaatan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa untuk mendukung kebutuhan generasi yang akan datang. Hal ini berarti memenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Pelestarian terhadap kawasan yang memiliki nilai penting berupa potensi
sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
b. Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya yang dapat diperbaharui misalnya bahan mentah yang dapat diproduksi ulang, air
agar tetap di bawah tingkat regenerasiproduksi sumber daya. c. Tingkat konsumsi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui misalnya
bahan bakar fosil, bahan mentah lainnya dijaga agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
d. Segala macam dampak berupa emisi maupun bahan beracun terhadap lingkungan air, udara, tanah, dan iklim dan kesehatan manusia
diturunkan ke tingkat yang aman. e. Pengurangan terhadap dampak dari potensi bencana alam dan resiko
terhadap lingkungan hanya dapat diterima apabila tidak menimbulkan kerusakan yang permanen dalam suatu generasi, meskipun dalam skenario
yang terburuk.
2. Keberlanjutan pada dimensi efisiensi ekonomi, dimana kemakmuran dan kapasitas perkembangan ekonomi dapat terus berlangsung. Hal ini berarti
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a. Tingkat pendapatan dan ketersediaan tenaga kerja dijaga agar sesuai
dengan yang dibutuhkan, dengan pertimbangan secara sosial dapat diterima dan tersebar secara geografis.
b. Modal produksi berdasarkan sumber daya sosial dipelihara agar dapat memberikan peningkatan secara kualitatif.
c. Persaingan ekonomi dan kapasitas inovasi ditingkatkan. d. Mekanisme pasar harus menjadi tujuan utama ekonomi, dengan
mempertimbangkan faktor eksternal dan kelangkaan. e. Sektor publik tidak dikelola dengan mengorbankan generasi yang akan
datang misalnya hutang, kerusakan asset-aset yang dilindungi. 3. Keberlanjutan pada dimensi kepedulian sosial, dimana pembangunan tersebut
dapat mendukung kepedulian dan kehidupan yang layak dalam kehidupan manusia dan perkembangannya. Hal ini berarti memenuhi kriteria-kriteria
sebagai berikut : a. Kesehatan dan keamanan umat manusia dilindungi dan diupayakan secara
komprehensif. b. Pendidikan yang akan diberikan, mendukung jati diri dan pengembangan
individu. c. Kebudayaan diupayakan bersama-sama dengan upaya pelestarian dan
pengembangan dari nilai sosial dan sumberdaya yang menjunjung modal sosial.
d. Persamaan hak dan perlindungan hukum dijamin bagi semua orang, terutama dalam hal persamaan hak antara pria dan wanita, persamaan hak
dan perlindungan untuk kaum minoritas, dan menghormati hak asasi manusia.
e. Kepedulian sosial dijalin dalam dan antar generasi, serta pada tingkat global.
Pada akhir tahun 2003, Interdepartmental Rio Committee IDARio melakukan penjabaran lebih lanjut terhadap kriteria-kriteria yang dirumuskan
sebelumnya oleh Federal Council menjadi 27 kriteria sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Matriks kriteria keberlanjutan berdasarkan IDARio
No. LingkunganEkologi
Ekonomi Sosial
1 Kenekaragaman hayati
PDB per kapita Pendidikan, kemampuan
belajar 2
Iklim Fasilitas dan infrastruktur
yang efisien Kesehatan, kesejahteraan,
keamanan 3
Emisi Laju investasi dan nilai
tambah Kemerdekaan, kebebasan,
kepribadian 4
Tata ruangbudaya dan warisan alam
Utang negara jangka panjang yang berkelanjutan
Identitas, budaya 5
Air Efisiensi sumber daya
Nilai-nilai 6
Bahan-bahan, organisme, limbah
Persaingankompetisi Solidaritas, masyarakat
7 Energi
Potensi usaha kerja Keterbukaan, toleransi
8 Tanah, wilayah, kesuburan
Inovasi, penelitian tingkat tinggi
Perlindungan sosial, tingkat kemiskinan
9 Resiko terhadap
lingkungan Kerangka kebijakan
Pemerataan kesempatan dan partisipasi
Sumber : IDARio 2004 dalam Ochsenbein et al. 2004
Ochsenbein et
al. 2004
menyampaikan bahwa
suatu penilaian
keberlanjutan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : 1. Suatu analisis yang saling terkait menetapkan apakah penilaian keberlanjutan
secara penuh analisis secara luas atau detail adalah layak untuk kegiatan tertentu.
2. Suatu analisis secara luas atau detail yang menelaah dampak dari suatu kegiatan terhadap ketiga dimensi keberlanjutan.
3. Sebagai tahap akhir, dampak-dampak dinilai dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan kegiatan tersebut dapat dioptimalkan.
Dengan demikian, keseluruhan prosedur penilaian keberlanjutan terdiri dari tiga fase yaitu analisis yang terkait relevance analysis, analisis dampak impact
analysis, dan penilaianoptimalisasi assessmentoptimization. Masing-masing fase tersebut dijabarkan kembali kedalam 7 tujuh tahapan yang saling terkait
sebagai berikut :
1. Analisis yang terkait a. Tahap 1 Subjek saat ini :
Latar belakang, pemicu, sumber, tujuan kegiatan. Ukuran kegiatan, varian.
Dampak dan model kasar secara kasar. Para stakeholders yang terpengaruh
b. Tahap 2 Membangun kaitan dengan keberlanjutan Hal-hal yang menjadi dasar matriks kriteria
Menetapkan keterkaitan dengan keberlanjutan dengan menggunakan matriks kriteria.
2. Analisis dampak c. Tahap 3 Mendefinisikan prosedur
Tujuan-tujuan dari analisis Kedalaman dari analisis luasdetail
Rancangan metodologi, penentuan analisis dan metode penilaian
d. Tahap 4 Membangun analisis Menjelaskan ruang lingkup, keragaman, dan skenario-skenario dan
jika diperlukan tujuan keberlanjutan secara spesifik pada sector tertentu.
Menyeleksi model dampak Membangun analisis
3. Penilaianoptimalisasi e. Tahap 5 Penilaian
Menilai dampak-dampak, memastikan konflik-konflik dan jual-beli kualitatifkuantitatif
Melakukan evaluasi berdasarkan metode evaluasi f.
Tahap 6 Optimalisasi
Menunjukkan peluang-peluang optimalisasi
Kesimpulan dan rekomendasi g. Tahap 7 Hasil saat ini
Hasil saat ini secara transparanjelas Melakukan verifikasi dari penilaian keberlanjutan
Salah satu contoh penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran yaitu penerapan yang dilakukan oleh
propinsi Manitoba di Kanada Manitoba 1992 dalam Mitchell 2000 yang
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
dan berwawasan
lingkungan. Prinsip
dan arahan
untuk pembangunan berkelanjutan yang diterapkan oleh Manitoba yaitu terdiri dari :
1. Keterpaduan keputusan lingkungan dan ekonomi : mempunyai syarat bahwa keputusan ekonomi selalu merefleksikan dampak lingkungan termasuk
kesehatan manusia. 2. Pemanduan : dalam mengelola lingkungan manusia menjadi pemegang
kendali dari lingkungan dan ekonomi untuk keuntungan generasi sekarang dan yang akan datang.
3. Pembagian tanggungjawab : semua masyarakat mempunyai tanggungjawab untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dengan spirit kemitraan dan
kerjasama terbuka. 4. Pencegahan : adanya antisipasi, pencegahan atau mengurangi dampak-
dampak lingkungan dan ekonomi dari politik, program, dan keputusan. 5. Pelestarian : memelihara proses ekologi, keanekaragaman hayati dan sistem
penyangga kehidupan dari lingkungan, serta pemakaian yang efisien dari sumber daya yang dapat dan tidak dapat diperbaharui.
6. Pendaur ulangan : mengurangi pemakaian, memakai kembali, dan mengganti produk-produk masyarakat kita.
7. Peningkatan : memacu kemampuan, kualitas, dan kapasitas produksi ekosistem alamiah untuk jangka panjang.
8. Rehabilitasi dan reklamasi : melakukan perbaikan pada kerusakan lingkungan untuk pemakaian yang bermanfaat dengan dukungan kebijakan, program dan
pembangunan di masa mendatang.
9. Inovasi ilmu dan teknologi : melakukan penelitian, pengembangan, uji coba dan penerapan teknologi yang menyangkut kepentingan kualitas lingkungan,
termasuk kesehatan manusia dan pertumbuhan ekonomi. 10. Tanggungjawab global : memahami bahwa tidak ada batas lingkungan, ada
ketergantungan antar wilayah, dan ada kebutuhan untuk bekerjasama untuk mempercepat keterpaduan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan
keputusan dan mengembangkan penyelesaian masalah secara menyeluruh dan merata.
Pemanfaatan Air Berkelanjutan
Air sebagai barang publik memiliki arti milik umum dan bukan milik pribadi, dan oleh karenanya menjadikan air berfungsi sosial, dimana pemanfaatan
air harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, tidak terkecuali untuk sumber daya air yang berada di dalam KPA. Agar sumber daya
air dapat dimanfaatkan sepanjang masa, maka ketersediaan air harus dijaga dan pemanfaatannya harus dapat dilaksanakan dengan dengan adil.
Dalam rangka mendukung upaya kelestarian sumber daya air, pemerintah menerbitkan Undang-Undang R.I. Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
yang secara eksplisit menyampaikan bahwa dalam pengelolaan sumber daya air harus didasari prinsip kelestarian sebagai hal yang utama dengan tujuan
pemanfaatan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tertulis pada Pasal 2 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola
berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas”, serta
Pasal 4 yang menyatakan “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan
sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Selain itu, negara juga menjamin setiap warganya untuk dapat memenuhi kebutuhan air secara merata, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 5 yaitu “Negara
menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Hal
ini juga dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada Pasal 65 yang menyatakan
bahwa “Pendayagunaan sumber daya air mencakup kegiatan: a penatagunaan sumber daya air yang ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air
dan peruntukan air pada sumber air; b penyediaan sumber daya air; c penggunaan sumber daya air; d pengembangan sumber daya air; dan e
pengusahaan sumber daya air”. Pendefinisian lebih lanjut atas penggunaan air disebutkan pada Pasal 73 bahwa
“Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media danatau materi”.
Dalam rangka mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air di dalam kawasan hutan, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan pada Pasal 29 yang menyatakan bahwa kegiatan pemanfaatan
jasa aliran air pada hutan lindung diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, sedangkan pemanfaatan air selama 10 tahun dengan volume paling banyak
20 dari debit.
Sebagai upaya pelestarian sumber daya air di dalam kawasan hutan sekaligus menjaga keutuhan kondisi ekologi kawasan agar tetap berfungsi dengan
baik, maka Kementerian Kehutanan menerbitkan kebijakan yang mengijinkan kegiatan pemanfaatan air di dalam Taman Nasional melalui Peraturan Pemerintah
R.I. Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 35 ayat 1, yaitu “taman nasional dapat
dimanfaatkan
untuk kegiatan
penyimpanan danatau
penyerapan karbon,
pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam”. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
TNGGP sebagai salah satu kawasan hutan yang memiliki ketersediaan air berlimpah merupakan lokasi yang
sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Saat ini ketersediaan air di TNGGP belum menjadi masalah, tetapi apabila tidak diatur
penggunaan serta sistem pemeliharaannya, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan menjadi masalah. Oleh karena itu perlu dihitung berapa potensi
kawasan dalam menyediakan air. Dari perhitungan pendugaan potensi air kawasan, maka akan diketahui penggunaan air maksimum yang masih diperbolehkan.
Pengambilan air juga harus diimbangi dengan upaya-upaya konservasi sehingga air dapat tersedia sepanjang tahun Rushayati 2006.
Dua hal
utama yang
penting untuk
diperhatikan dalam
kegiatan pemanfaatan air adalah bagaimana air tersebut dapat digunakan dengan bijaksana
dan perlunya upaya-upaya untuk melestarikan sumber daya air agar dapat menghasilkan ketersediaan air yang cukup atau bahkan berlimpah sehingga dapat
bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan mendukung kehidupan sepanjang masa atau dengan kata lain perlunya mewujudkan suatu pengelolaan pemanfaatan
air yang berkelanjutan.
Dengan tetap mengacu pada definisi sebelumnya yang dinyatakan oleh WCED, terdapat beberapa definisi lebih lanjut dari suatu keberlanjutan dalam
bidang pemanfaatan air atau bidang sumber daya air. Salah satu peneliti yaitu Gleick 1998 mengungkapkan bahwa penjelasan sederhana atas keberlanjutan
sumber daya air sebagai pemeliharaan manfaat sumber daya air bagi pengguna tertentu tanpa mengurangi manfaat bagi pengguna lainnya, termasuk ekosistem
alam. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa ketidakberlanjutan sumber daya air digambarkan sebagai kondisi saat jasa-jasa yang disediakan oleh sumber daya air
dan ekosistem telah hilang secara perlahan dalam jangka waktu tertentu oleh karena keinginan masyarakat yang semakin tinggi dalam menggunakannya.
Adapun dalam mendukung keberlanjutan suatu perencanaan sumber daya air, telah ditetapkan beberapa kriteria, antara lain yaitu :
1. Air sebagai kebutuhan dasar akan dijamin bagi seluruh manusia untuk memelihara kesehatan manusia.
2. Air sebagai kebutuhan dasar untuk memelihara dan memulihkan kesehatan dari ekosistem.
3. Kualitas air akan dijaga sampai pada suatu standar minimum tertentu. Standar tersebut akan bervariasi yang tergantung pada lokasi air dan bagaimana air
tersebut digunakan. 4. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak akan mengganggu
kemampuan memperbaharui dalam jangka waktu yang lama dari suatu ketersediaan air tawar dan alirannya.
5. Ketersediaan, penggunaan, dan kualitas dari data sumber daya air akan dikumpulkan serta dapat diakses semua pihak yang berkepentingan.
6. Mekanisme institusi akan dibangun untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik terkait air.
7. Perencanaan sumber daya air dan pengambilan keputusan akan dilakukan secara demokratis, memastikan perwakilan dari pihak-pihak terkait dan
membina partisipasi langsung dari pihak-pihak yang berkepentingan. Definisi lain muncul dari suatu komunitas yang terdiri dari perusahaan yang
bergerak di bidang sumber daya air Water Corporation di Australia bagian barat yang dituangkan dalam bentuk panduan penilaian keberlanjutan yang berjudul
Water Forever. Panduan ini diterbitkan pada bulan Oktober tahun 2007 dalam rangka penyusunan rencana jangka panjang 50 tahun untuk menyediakan air,
pengolahan air limbah, dan jasa drainase untuk kota Perth dan sekitarnya. Panduan ini akan menghasilkan kerangka kerja bagi perusahaan di bidang sumber
daya air yang bertumpu pada prinsip konservasi dan pembangunan infrastruktur dalam rangka mendukung pengelolaan air di masa depan, khususnya pada saat
terjadi penurunan curah hujan yang kontinu dan perkiraan peningkatan populasi yang semakin tinggi.
Dalam panduan ini, disampaikan definisi keberlanjutan sebagai pertemuan antara kebutuhan saat ini dengan kebutuhan generasi di masa mendatang melalui
keterpaduan perlindungan ekosistem lingkungan, pengembangan sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Beberapa kriteria keberlanjutan untuk masing-masing
dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 Western Australian State Sustainability Strategy 2003 dalam Water
Corporation 2008.
Tabel 2 Kriteria keberlanjutan berdasarkan panduan Water Forever
No. Dimensi Lingkungan
Dimensi Sosial Dimensi Ekonomi
1 Jejak secara fisik physical
footprint Preferensi masyarakat
Biaya ekonomi netto net economic cost
2 Intensitas energi
Warisan lokal situs Kompleksitas
3 Kapasitas untuk
meningkatkan lingkungan Kebutuhan sosial
Kepercayaan 4
Alokasi air Pemberdayaan pelanggan
Ketergantungan terhadap curah hujan
5 Efisiensi air
Resiko dari sumber daya kesehatan
Fleksibilitas dan kemampuan penyesuaian
Sumber : Water Corporation 2008
Prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan air juga telah diterapkan di Kanada Mitchell dan Shrubsole 1994 dalam Mitchell 2000 yang menyampaikan bahwa
pengelolaan sumber daya air yang bijaksana harus dicapai melalui komitmen terhadap 3 tiga hal, yaitu : 1 keterpaduan ekologi dan keanekaragaman hayati
untuk lingkungan sehat; 2 ekonomi yang dinamis; dan 3 pemerataan sosial untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Selain itu, dalam kajian lain terkait
keberlanjutan jasa penyediaan air baku, Okeola dan Sule 2011 menyebutkan beberapa kriteria yang terbagi kedalam lima dimensi yaitu sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria keberlanjutan jasa penyediaan air baku
No. Dimensi
Lingkungan sumber daya
air Dimensi Ekonomi
Dimensi Teknologi infrastruktur
Dimensi Kelembagaan
Dimensi Sosial
Budaya
1 Pengambilan
kembali Kemampuan
finansial Akses untuk
mengembangkan teknologi
Kerangka payung hukum
Kesehatan dan
keamanan publik
2 Kualitas
Skala ekonomi Keahlian pegawai
Kebijakan Aksesibilitas
3 Kepercayaan
Perlindungan investasi sumber
daya Efisiensi
operasional Pengaturan
pengendalian Ruang
lingkup 4
Kerentanan Minimisasi biaya
produksi Partisipasi
Pemerataan intergenerasi
Sumber : Okeola dan Sule 2011
Berdasarkan beberapa
penjelasan dan
kriteria keberlanjutan
terkait pemanfaatan air, maka diketahui bahwa selain ketiga dimensi utama keberlanjutan
lingkunganekologi, sosial, ekonomi, terdapat dua dimensi lain yang dianggap turut mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan air, yaitu dimensi kelembagaan
dan dimensi teknologi. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya mewujudkan keberlanjutan masing-masing dimensi tersebut di atas agar kegiatan pemanfaatan
air juga dapat berkelanjutan.
Analytical Hierarchy Process AHP
Dalam rangka mendukung kegiatan pemanfaatan air yang berkelanjutan, diperlukan suatu penguatan sistem pengelolaan melalui penyusunan pedoman
kebijakan. Salah satu alat analisis yang umum digunakan dalam menyusun alternatif sebagai arahan dalam pengambilan keputusan yaitu Analisis Proses
Hirarki atau umum dikenal sebagai Analytical Hierarchy Process AHP.
AHP merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan banyak kriteria atau Multi Criteria Decision Analysis
MCDA yang
membantu menjelaskan
variabel prioritas
yang harus
dipertimbangkan dalam suatu hasil keputusan. Dalam studi ini, metode AHP digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan dalam pemanfaatan air di dalam
kawasan TNGGP, dimana kriteria-kriteria yang menjadi bahan analisis adalah kriteria yang telah ditentukan sebelumnya pada analisis keberlanjutan, yaitu
kriteria ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Teknik AHP dalam studi ini mengadopsi hasil kajian sebelumnya yang dilakukan oleh Okeola dan
Sule 2011 terhadap evaluasi alternatif pengelolaan untuk persediaan air baku urban water supply di kota Offa, Kwara State, Nigeria. Berdasarkan hasil kajian
tersebut, teknik AHP terbukti cukup efektif dalam memfasilitasi para penyusun kebijakan dalam mengeksplorasi suatu permasalahan lebih dalam.
Menurut Marimin 2008, prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-
bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimuali dengan
sasran goal, lalu kriteria, subkriteria, dan alternatif.
Kriteria dan alternatif kemudian dinilai melalui perbandingan berpasangan pairwise comparisons dengan skala 1 sampai 9 Saaty 1983 dalam Marimin,
2008 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process AHP
Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari suatu kriteriaalternatif, kemudian bobot atau prioritas
dihitung dengan manipulasi matriks atau persamaan matematis. Setelah pembobotan, kemudian dilakukan uji konsistensi untuk mengetahui apakah
perbandingan berpasangan telah dilakukan secara konsekuen atau tidak.
Tinjauan Studi Terdahulu
Kajian tentang kegiatan pemanfaatan sumber daya air di kawasan TNGGP telah banyak dilakukan sebelumnya, beberapa diantaranya akan disampaikan
dalam sub bab ini. Topik penelitian, nama peneliti serta hasil penelitian akan diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran dan mencari keterkaitan
dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini.
Kawasan TNGGP untuk pertama kalinya diketahui memiliki nilai ekonomi air yang tinggi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darusman 1993.
Dengan menggunakan teori “willingness to pay “ sebagai dasar analisis untuk merumuskan kurva permintaan air baik untuk sektor rumah tangga maupun untuk
pertanian di sekitar TNGGP pada tahun 1991, maka diketahui bahwa nilai manfaat air yang diberikan oleh TNGGP diperkirakan sebesar Rp. 4.341 milyar
per tahun atau Rp. 280 juta per hektar Taman Nasional per tahun kepada masyarakat di sekitarnya. Salah satu saran yang dikemukakan oleh peneliti adalah
perlunya keberadaan kelembagaan lembaga, aturan, mekanisme yang mengatur pembayaran dari sektor rumah tangga dan sektor pertanian ke sektor kehutanan,
agar sumber daya hutan dan sumber daya lahan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kajian valuasi ekonomi terhadap air di kawasan TNGGP juga pernah dilakukan oleh Wiratno et a.l 2004 dengan asumsi kegiatan pelestarian kawasan
TNGGP dapat menjadikan kawasan TNGGP sebagai suatu aset yang bernilai sekitar Rp. 920 milliar 100 juta dollar AS per tahun untuk menghidupi sekitar
20 juta pendudk di sekitarnya. Dalam perhitungan ini, dilakukan kalkulasi nilai air yang ada di kawasan TNGGP yang terbagi menjadi dua kategori yaitu nilai air
yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian dan nilai konsumsi rumah tangga. Berdasarkan hasil kajian ini, diketahui bahwa harga air untuk kebutuhan pertanian
dinilai sebesar Rp. 0.27m
3
dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 3.89 milliar
Nilai Keterangan
1 Kriteriaalternatif A sama penting dengan kriteriaalternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu diantara dua nilai berdekatan
m
3
, sehingga per tahun kebutuhan pertanian memiliki harga air sebesar Rp. 1.05 milliar dan dengan asumsi Net Present Value NPV 10 dalam 25 tahun harga
konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 9.53 milliar. Pada konsumsi rumah tangga, harga air dinilai sebesar Rp. 268m
3
dan keperluan air per tahun dinilai sebesar 7,097.369 m
3
, sehingga per tahun kebutuhan rumah tangga memiliki harga air sebesar Rp. 1.90 milliar dan dengan asumsi NPV 10
dalam 25 tahun harga konstan, maka harga air per tahun akan meningkat menjadi Rp. 17.28 milliar. Dengan demikian, kedua nilai air tersebut yang bernilai Rp.
2.95 milliar per tahun akan meningkat harganya menjadi 27,80 milliar pada 25 tahun yang akan datang.
Selain memiliki nilai ekonomi, air di kawasan TNGGP juga dinilai sangat penting keberadaannya dengan adanya kajian pendugaan potensi ketersediaan air
oleh Rushayati 2006 dengan menggunakan metode analisis Neraca Air Lahan. Berdasarkan hasil kajian ini, kawasan TNGGP diketahui memiliki surplus air
sebesar 548,960,480 m
3
tahun apabila luas kawasan TNGGP 21,975 ha. Peneliti juga menyampaikan bahwa agar kelangsungan ketersediaan air tersebut
terpelihara, maka pemanfaatan yang dilakukan tidak boleh melebihi kapasitas kemampuan kawasan dalam menyimpan air, sehingga perlu adanya aturan dalam
pemanfaatan air termasuk insentif dan upaya-upaya konservasi tersebut dengan melibatkan semua pihak.
Terkait dengan upaya konservasi tanah dan air di dalam kawasan TNGGP, Ihsan 2009 telah melakukan penelitian tentang intensitas komunikasi petani di
daerah penyangga kawasan TNGGP dalam melakukan konservasi tanah dan air secara berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa intensitas
komunikasi antara petani dengan pengelola taman nasional melalui kegiatan berpengaruh secara nyata terhadap perilaku petani dalam melakukan konservasi
tanah dan air secara berkelanjutan di daerah penyangga kawasan TNGGP. Secara tidak langsung hal tersebut membuktikan bahwa upaya-upaya konservasi sumber
daya air dapat didukung melalui keterlibatan masyarakat daerah penyangga atau desa penyangga.
Berkenaan dengan salah satu hulu DAS yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Ciliwung, Suwarno 2011 telah melakukan penelitian terkait
pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan metode analisis multidimensional scaling MDS untuk menghitung
nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu dan analisis prospektif digunakan untuk menentukan faktor kunci dalam pengelolaan
berkelanjutan,
serta analisis
morfologis untuk
menentukan skenario
pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu. Penelitian ini menghasilkan nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu
sebesar 47,23 berarti kurang berkelanjutan, dimana dua dimensi yang cukup berkelanjutan diperoleh dari dimensi ekonomi dan dimensi aksesibilitas dan
teknologi konservasi, serta
tiga dimensi lainnya kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dan dimensi kelembagaan.
Penelitian terkait salah satu hulu DAS lainnya yang terdapat di kawasan TNGGP yaitu hulu DAS Cisadane juga dilakukan oleh Sutopo 2011. Penelitian
ini mengkaji pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum studi kasus DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan model: 1 kesediaan masyarakat untuk melakukan konservasi
willingness to concervationY
WTC
; 2 kesediaan pemanfaat air minum untuk membayar jasa lingkungan willingness to payY
WTP
; 3 kesediaan masyarakat menerima pembayaran atas jasa lingkungan willingness to acceptY
WTA
; dan 4 menetapkan pilihan kebijakan dengan pendekatan AHP. Hasil penelitian
menyatakan perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata dan menetapkan nilai rataan WTP-WTA sebesar Rp. 1563.97
per m
3
sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai pembayaran jasa lingkungan yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane Hulu oleh Pemerintah
terhadap para pengelola air users pay principle untuk masyarakat di hulu. Penelitian terbaru terkait pembayaran jasa lingkungan air di kawasan
TNGGP juga dilakukan oleh Walidaini 2012 tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP studi kasus desa Tangkil dan desa Cinagara melalui
metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis para pihak berdasarkan Groenendjik 2003. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa mekanisme
pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3IV-SET2008 dan termasuk mekanisme “PES-like”, namun
berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan, mekanisme pada desa Tangkil dan Cinagara cenderung terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat
dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lokasi pengguna air sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP yang termasuk wilayah administrasi
Kabupaten Bogor. Pada Kabupaten Bogor terdapat 40 pengguna air yang tersebar di 4 kecamatan yaitu kecamatan Ciawi, Caringin, Cisarua, dan Megamendung.
Karakteristik pengguna air di Kabupaten Bogor lebih bervariasi dibandingkan dengan pengguna air di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, karena selain
digunakan untuk kegiatan rumah tangga dan pertanian, juga digunakan untuk kegiatan usaha antara lain bidang usaha peternakan, air minum, penginapan, dan
wisata. Oleh karena itu, maka Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi studi kasus pada penelitian ini. Kegiatan persiapan, pengambilan data, pengolahan dan
analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 enam bulan mulai bulan Juli - Desember 2012. Peta lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta lokasi studi
Sumber Data dan Informasi Penelitian Sumber Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh masyarakat dan stakeholders yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan air secara
langsung di kawasan TNGGP, baik sebagai pelaku utama pengelola kawasan dan pengguna air, pembuat kebijakan maupun yang terlibat dalam ruang lingkup
pemanfaatan air. Beberapa pihak yang terlibat menjadi responden dalam penelitian ini adalah unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha,
lembaga, dan tokoh masyarakat, yang terdiri dari : Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BB TNGGP, Forum Peduli Air-TNGGP FORPELA-
TNGGP, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, Balai Pengelolaan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai BPSDA WS Ciliwung-Cisadane, Provinsi Jawa Barat, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Balai
Pengelolaan DAS BPDAS Citarum-Ciliwung, akademisi dari Institut Pertanian Bogor, ketua Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Flamboyan desa Sukagalih,
perusahaan pengguna air, dan masyarakat pengguna air.
Sumber Perolehan Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari BB TNGGP, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perencanaan Wilayah P4W Institut Pertanian Bogor, Badan
Pusat Statistik BPS Kab. Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
BPDAS Ciliwung-Citarum, Badan Planologi Kementerian Kehutanan, Dit. PJLKKHL Kementerian Kehutanan, FORPELA, dan laporan-laporan penelitian
terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya air di kawasan TNGGP.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dibagi menjadi 3 tahap yaitu : 1 penyebaran kuisioner pendahuluan; 2 wawancara dan diskusi mendalam in-depth interview;
dan 3 pengisian kuisioner Analytical Hierarchy Process AHP. Pada tahap penyebaran kuisioner pendahuluan dilakukan kepada pihak pengguna air yang
tergabung
kedalam kelembagaan
FORPELA wilayah
Kabupaten Bogor
sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Pengambilan contoh data terhadap pengguna air tersebut dilakukan secara
sengaja purposive, yaitu dengan mempertimbangkan faktor jenis sumber air yang digunakan mata air dan sungai, tujuan penggunaan sumber daya air
komersial dan non komersial, variasi jenis perusahaan, dan lokasi desa pengguna dan perusahaan pengguna yang berada dalam satu wilayah administrasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh 5 lokasi pengambilan contoh sebagaimana terlihat pada Tabel 6.
Tabel 5 Pengguna air di Kabupaten Bogor yang tergabung dalam FORPELA
No. Nama Pengguna
Penggunaan Alamat
Tahun Perjanjian
a
1 Desa Naggerang
Rumah tangga Nangerang, Cicurug
2002 2
STTP Cinagara Lembaga
Pasir Buligir, Cicurug
- 3
BBDAPK Cinagara Lembaga
Cinagara, Cicurug -
4 Hendro
Peternakan ayam Tangkil, Caringin
- 5
Dodi Peternakan sapi dan
sayuran Tangkil, Caringin
- 6
PT. Nilam IndoPT. Pacul Tani Pertanian
Tangkil, Caringin -
7 PT. Rejosari Peternakan Tapos
Peternakan Citapen, Ciawi
1999 8
PT. Saung Mirwan Pertanian
Sukagalih, Megamendung
1999 9
Taman Safari Indonesia Lembagawisata
Cisarua -
10 PTPN VIII Gunung Mas
Pertanian Tugu Selatan,
Cisarua -
11 ALECCIA
Hortikultura bunga potong
Sukaresmi, Megamendung
- 12
Ibu Ida Hortikultura
sayuran dan bunga -
- 13
PT. Prestine Aqua AMDK
Pancawati, Caringin -
14 Peternakan Bunikasih
Peternakan sapi -
- 15
Romo Rumah Tangga dan
Sayuran Sukaresmi,
Megamendung -
16 Jefri
Hortikultura sayuran
Sukaresmi, Megamendung
- 17
Peternakan Barubolang Peternakan ayam
Sukaresmi, Megamendung
- 18
PT. Agri Ekatama Hortikultura
sayuran dan bunga
-
- 19
Bapak Bagyo Hortikultura
sayuran
-
- 20
Hotel Seruni Penginapanwisata
Tugu Selatan, Cisarua
- 21
Rose Farm Hortikulturabunga
- -
22 Bapak Suryo
Penginapanvilla Cinagara, Caringin
- 23
Santa Monica Penginapanvilla
Pancawati, Caringin -
24 Yayasan Batase
Hortikultura sayuran
- -
25 PT. Pasekon
Hortikultura sayuran
- -
26 Peternakan Fajar
Peternakan ayam -
- 27
Padepokan Walisongo Rumah tangga
- -
28 Pusdiklat Karya Nyata
Rumah tangga Cinagara, Caringin
- 29
RM. Desa Bumbu Rumah tangga
rumah makan Cinagara, Caringin
- 30
Peternakan Wangunjaya Peternakan ayam
- -
31 Yayasan Dua’pa
Rumah tangga -
- 32
Desa Bojong Murni Rumah tangga
Bojong Murni, Ciawi
2005
Tabel 5 Lanjutan
a
Sumber : FORPELA 2009 dan BB TNGGP 2012
Tabel 6 Lokasi pengambilan contoh data
Jumlah responden untuk masing-masing perusahaan terdiri dari 1 satu orang yang merupakan perwakilan perusahaan, sedangkan jumlah responden
untuk masing-masing desa berjumlah 12 Kepala Keluarga KK yang merupakan perwakilan dari jumlah masyarakat pengguna air langsung dari TNGGP di desa
tersebut yaitu sebanyak 100 KK di desa Cileungsi dan 176 KK di desa Sukagalih. Tahap yang kedua, yaitu melakukan wawancara dan diskusi mendalam in-depth
interview terhadap pihak pengelola kawasan BB TNGGP, perwakilan lembaga pengguna air FORPELA, serta beberapa instansi pemerintah terkait sumber daya
air. Tahap yang ketiga, yaitu penyebaran kuisioner AHP dilakukan kepada BB
No. Nama Pengguna
Penggunaan Alamat
Tahun Perjanjian
a
33 Desa Cileungsi
Rumah tangga Cileungsi, Ciawi
2002 34
Desa Citapen Rumah tangga
Citapen, Ciawi 2002
35 Desa Sukagalih
Rumah tangga Sukagalih,
Megamendung 2002
36 Desa Pancawati
Rumah tangga Pancawati, Caringin
2008 37
Desa Pasir Buncir Rumah tangga
Pasir Buncir, Caringin
2008 38
Desa Kuta Rumah tangga
Kuta, Megamendung
2008 39
Desa Cibeureum Rumah tangga
Cibeureum, Cisarua -
40 Desa Tangkil
Rumah tangga Tangkil, Caringin
2006
No. Nama
Responden Lokasi
Jenis Sumber Air
Klasifikasi Penggunaan Keterangan
Sungai Mata
Air Komersial
Non Komersial
1. PT.
Rejosari Bumi
Tapos Desa Cileungsi,
Kecamatan Ciawi √
√ Bidang usaha
peternakan dan tanaman
hidroponik
2. Hotel
Seruni Desa Tugu
Selatan, Kecamatan
Cisarua √
√ Bidang usaha
penginapan
3. PT.
Prestine Aqua
Desa Pancawati, Kecamatan
Caringin √
√ Bidang usaha
air minum dalam
kemasan AMDK
4. Masyarakat
desa Cileungsi
Desa Cileungsi,
Kecamatan Ciawi √
√ Kebutuhan
Rumah Tangga
5. Masyarakat
desa Sukagalih
Desa Sukagalih,
Kecamatan Megamendung
√ √
Kebutuhan Rumah
Tangga dan Tanaman
hortikultura
TNGGP, FORPELA, Ketua Gapoktan Flamboyan Desa Sukagalih, PT. Prestine Aqua, BPSDA Provinsi Jawa Barat, Dit. PJLKKHL, dan Akademisi dari IPB
yang memahami pemanfaatan air.
Analisis Data
Tahapan penelitian dapat disajikan pada Gambar 3. Adapun gambaran hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran
No. Tujuan
Jenis Data Sumber Data
Teknik Analisis Keluaran
1. Menganalisis
bentuk mekanisme
pemanfaatan air di kawasan
TNGGP a. Dokumen
perencanaan pengelolaan
TNGGP, dokumen kerjasama
pemanfaatan air, dokumen
kebijakan dan hasil kajian terkait
a. BB TNGGP,
Dit. PJLKKHL Kementerian
Kehutanan, FORPELA,
perguruan tinggi terkait
a. Analisis deskriptif
a. Mekanisme kegiatan
pemanfaatan air di kawasan
TNGGP
2. Menganalisis
status keberlanjutan
kegiatan pemanfaatan
air di kawasan TNGGP.
a. Dimensi ekologi :
data potensi kawasan TNGGP,
data potensi air, data kebutuhan
air, data jumlah penduduk, data
perubahan penggunaan
lahan, data perencanaan
kegiatan konservasi
sumber daya air.
b. Dimensi
ekonomi : data pendapatan
masyarakat, data biaya terkait
kegiatan pemanfaatan air
rupiah persentase
c. Dimensi sosial : data jarak sumber
air dan pengguna, data keterlibatan
masyarakat dalam konservasi
sumber daya air, data persepsi
masyarakat. a. BB TNGGP,
hasil kuisioner, BPS, laporan
penelitian
b. Hasil wawancara dan kuisioner
c. Hasil wawancara dan kuisioner,
FORPELA, BB TNGGP
a. Indeks Penggunaan
Air IPA, Indeks
Penutupan Lahan IPL,
dan analisis pembobotan
dengan skoring
b. Analisis pembobotan
dengan skoring
c. Analisis pembobotan
dengan skoring
a. Hasil analisis dimensi
ekologi
b. Hasil analisis
dimensi ekonomi
c. Hasil analisis
dimensi sosial
Tabel 7 Lanjutan
No. Tujuan
Jenis Data Sumber Data
Teknik Analisis Keluaran
d. Dimensi kelembagaan :
dokumen kerjasama,
dokumen kebijakan, data
tupoksi instansi
pemerintah terkait.
d. BBTNGP, Dit. PJLKKHL
Kementerian Kehutanan,
hasil wawancara dan
kuisioner d.
Analisis pembobotan
dengan skoring d.
Hasil analisis dimensi
kelembagaan
e. Dimensi teknologi:
data jenis kegiatan
konservasi sumber daya
air, data jumlah dan
jenis sarana pemanfaatan
air, data teknologi yang
diterapkan dalam kegiatan
pemanfaatan air.
e. BBTNGGP, hasil
wawancara dan kuisioner
e. Analisis
pembobotan dengan skoring
e. Hasil analisis dimensi
teknologi
f. Nilai indeks
keberlanjutan setiap dimensi
f. Hasil analisis
pada tujuan 2 f.
Analisis kuantitatif
melalui pembobotan
dengan Diagram
layang-layang Suwarno,
2011 dan didukung
dengan AHP untuk
menentukan:
i. Bobot per dimensi
keberlanjutan sebagai satu
kesatuan
ii. Bobot per kriteria dalam
setiap dimensi
f. Status
keberlanjutan kegiatan
pemanfaatan air di
kawasan TNGGP
3. Menyusun
arahan pengelolaan
pemanfaatan air di kawasan
TNGGP Data status
keberlanjutan keluaran dari
tujuan 2 ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, dan teknologi
Hasil wawancara mendalam dengan
stakeholders Analisis deskriptif
Arahan terhadap pengelolaan
pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
Identifikasi Permasalahan Studi Pustaka dan Wawancara
Tujuan Penelitian
Pengumpulan Data :
1. Studi data sekunder;
2. Wawancara dan pengisian kuesioner;
3. Wawancara dan In-depth interview
Data Primer
Data Sekunder
Kegiatan pemanfaatan air belum pernah dievaluasi karena kebijakan teknis sebagai salah satu dasar evaluasi masih dalam tahap penyusunan
Bentuk mekanisme pemanfaatan air di kawasan TNGGP
Pengolahan dan Analisis Data
A n
al is
is A
H P
A n
al is
is st
at u
s k
eb erl
an ju
ta n
In d
ek s
K eb
erl an
ju ta
n S
ta tu
s K
eb erl
an ju
ta n
Indikator –indikator ekologi : 1 a. Nilai Konservasi Tinggi NKT
kawasan Panduan Identifikasi..2008; b. Indeks Penutupan Lahan IPL Ditjen RLPS 2009
c. Kecukupan luas kawasan hutan Suwarno 2011 2. a. Indeks Penggunaan Air IPA Ditjen RLPS 2009
b. Stabilitas ketersediaan air 3. a. Perencanaan konservasi sumber daya air
b. Pelaksanaan konservasi sumber daya air c. Jenis konservasi sumber daya air
Indikator-indikator ekonomi : 1.a. Bentuk manfaat penggunaan air
b. Manfaat lebih bagi pengguna air 2.a. Rasio biaya pemanfaatan air terhadap biaya total
produksi pengguna komersial b. Rasio biaya pemanfaatan air terhadap pendapatan
masyarakat pengguna non komersial Indikator-indikator sosial :
a.
a. Ruang lingkup pemanfaatan air b. Faktor pembatas pemanfaatan air
b.
a. Persepsi b. Partisipasi pihak pengguna air
c. Peranan lembaga pengguna air
Indikator-indikator kelembagaan : 1.a. Kapasitas organisasi pemerintah Suwarno 2011
b. Kapasitas koordinasi 2. Tingkat sinergitas kebijakan
Indikator teknologi dan aksesibilitas :
a.
a. Jumlah sarana pada pengguna air non komersial b. Jumlah sarana pada pengguna air komersial
c. Kemudahan akses pihak pengguna air 2.a. Penerapan teknologi konservatif pengguna air non
komersial b. Penerapan teknologi konservatif pengguna air
komersial A
ra h
an p
en g
el o
la an
k eg
ia ta
n p
em an
fa at
an ai
r d
i T
N G
G P
Pembahasan
Gambar 3 Tahapan Penelitian
Sebagai data pendukung dalam dimensi ekologi maka dilakukan analisis spasial untuk mengetahui kecukupan luas kawasan hutan dalam tata ruang DAS
yang termasuk kawasan TNGGP dan Kabupaten Bogor dengan Sistem Informasi Geografis SIG melalui proses tumpang tindih overlay dengan antara peta batas
kawasan TNGGP, peta RTRWP Propinsi Jawa Barat, peta administrasi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur; dan peta batas DAS
Prioritas, dengan menggunakan software Arc GIS 10 sebagaimana tergambar dalam skema pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema proses pemetaan TNGGP dalam tata ruang DAS
Bentuk Mekanisme Pemanfaatan Air
Gambaran umum kondisi kegiatan pemanfaatan air langsung di kawasan TNGGP dilakukan dengan analisis deskriptif dari studi literatur dan wawancara
dengan BB TNGGP dan FORPELA-TNGGP sebagai informasi pendukung kondisi umum kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
Status Keberlanjutan Pemanfaatan Air
Penilaian keberlanjutan
dilakukan berdasarkan
kriteria-kriteria keberlanjutan yang terbagi ke dalam tiga dimensi pokok yaitu dimensi
lingkunganekologi, ekonomi, dan sosial. Pada beberapa perumusan kriteria keberlanjutan yang telah disampaikan sebelumnya pada bab Tinjauan Pustaka,
unsur-unsur kelembagaan dan teknologi secara implisit dan eksplisit termasuk kedalam kriteria pada dimensi sosial dan ekonomi, seperti kriteria yang ditetapkan
oleh Federal Council,
IDARio, dan Water Corporation. Dalam bidang pemanfaatan air, unsur-unsur kelembagaan dan teknologi dapat menjadi dimensi
keempat dan kelima yang memiliki kriteria tersendiri, seperti yang telah dikaji oleh Okeola dan Sule 2011. Hal ini dikarenakan dimensi kelembagaan juga
menjadi sangat penting dalam mendukung keberlanjutan, karena suatu intitusi akan sangat berperan dalam menjamin keadilan pemerataan dan mengatasi konflik
yang mungkin terjadi Gleick 1998, sedangkan teknologi juga dipandang dapat
Peta kawasan TNGGP
Peta administrasi Kab. Bogor
Peta administrasi Kab. Sukabumi
Peta administrasi Kab. Cianjur
Overlay dengan SIG
Peta RTRW Prop. Jawa Barat
Peta Batas DAS Prioritas
Persentase luas fungsi kawasan hutan dalam
tata ruang DAS yang termasuk TNGGP dan
Kab. Bogor
mempengaruhi keberlanjutan terkait dengan pembangunan sarana dan prasarana yang digunakan.
Keberlanjutan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dipengaruhi kelima dimensi tersebut, hal ini dapat dijelaskan dengan adanya asumsi-asumsi
sebagai berikut : 1. Secara
ekologis, kawasan
TNGGP memiliki
fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem. Hal ini berarti segala macam potensi sumber daya alam,
khususnya air yang terdapat di TNGGP dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan pemeliharaan dari ketersediaan air tersebut. Selain itu, dalam
menjalankan fungsi kawasan TNGGP sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, maka kegiatan pemanfaatan air yang dilakukan tidak boleh
menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, dimana hal ini dapat dicegah melalui upaya konservasi sumber daya air.
2. Secara sosial, air yang terdapat di kawasan TNGGP merupakan barang publik yang memiliki fungsi sosial, yaitu pemanfaatannya diutamakan untuk
kepentingan umum terutama masyarakat sekitarnya, sehingga prinsip pemerataan dalam memperoleh air menjadi syarat mutlak. Oleh karena
pentingnya keberadaan air ini, maka sudah seharusnya para pengguna air dari kawasan TNGGP memiliki kepedulian dalam menjaga kawasan TNGGP
melalui partisipasi dalam kegiatan konservasi sumber daya air.
3. Secara ekonomi, air di kawasan TNGGP selain digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih non komersial, juga digunakan untuk kepentingan
usaha komersial. Sampai saat ini masih belum dikenakan tarif secara resmi atas pemanfaatan air dari dalam kawasan tersebut, namun bentuk manfaat atas
penggunaan air di kawasan TNGGP sudah dapat dinilai dan diharapkan dapat memberikan nilai manfaat yang lebih bagi para pengguna air. Kompensasi
terhadap kawasan TNGGP yang diberikan oleh pihak pengguna yaitu berupa pengumpulan dana secara sukarela yang akan digunakan untuk kegiatan
konservasi sumber daya air dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan demikian, faktor minimisasi biaya atas pemanfaatan air dapat menjadi salah
satu elemen penilaian keberlanjutan secara ekonomi bagi pengguna air.
4. Secara kelembagaan, status kawasan TNGGP sebagai hutan konservasi berada di bawah pengelolaan pemerintah pusat yaitu Kementerian Kehutanan,
namun secara administratif terletak pada tiga wilayah kabupaten Cianjur, Bogor, Sukabumi. Selain itu, para pengguna air di TNGGP telah tergabung
kedalam suatu wadah yaitu Forum Peduli Air FORPELA yang terikat secara formal melalui perjanjian kerjasama dengan pihak pengelola kawasan
TNGGP Balai Besar TNGGP. Dengan demikian, perlu diciptakan mekanisme institusi kelembagaan yang melibatkan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang dapat mencegah dan mengatasi potensi konflik yang mungkin terjadi antar stakeholders melalui upaya koordinasi dan dukungan
kebijakan.
5. Secara teknologi, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai dalam memperoleh air di kawasan TNGGP, karena jarak antara sumber air yang
terdapat di dalam kawasan TNGGP dan lokasi pengguna air yang berada di luar kawasan cukup jauh. Selain itu, oleh karena TNGGP merupakan
kawasan hutan,
maka pembangunan
sarana dan
prasarana harus
memperhatikan prinsip
ramah lingkungan
dengan tekonologi
yang konservatif. Dengan demikian, jenis sarana dan prasarana serta peningkatan
inovasi dalam teknologi konservatif dapat menjadi kriteria dari dimensi teknologi yang perlu dipertimbangkan untuk mendukung keberlanjutan
kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP.
Setelah dilakukan penentuan kriteria dan indikator, maka dilakukan pembobotan setiap indikator dengan skoring berkisar antara 2 dua kelas nilai 0-
1 sampai dengan 5 lima kelas yaitu : 0 Sangat Buruk; 1 Buruk; 2 Sedang; 3 Baik; dan 4 Sangat Baik. Adapun kriteria dan indikator serta metode analisis
yang digunakan untuk dimensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan teknologi dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5.
Hasil analisis terhadap keseluruhan indikator dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pemanfaatan air dikategorikan ke dalam baik, cukup baik,
kurang baik, dan buruk. Asumsi bahwa pemanfaatan air terletak antara 0 sampai 100 atau buruk sampai ke baik sekali. Diantara nilai buruk sampai baik maka
ada interval nilai pemanfaatan yaitu cukup dan kurang, sehingga diperoleh empat tingkatan pemanfaatan yaitu buruk, kurang, sedang dan baik. Tingkatan
pemanfaatan dibagi menjadi 4 tingkat sehingga diperoleh interval 0, 25, 50, 75, dan 100 Suwarno 2011.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari analisis sebelumnya dalam penilaian keberlanjutan lima dimensi, maka dilakukan perhitungan berdasarkan
pembobotan setiap dimensi yang diperoleh dari hasil AHP. Hasil total pembobotan kemudian diaplikasikan ke dalam model Indeks Keberlanjutan
Diagram Layang-layang sebagaimana kriteria dalam Tabel 8.
Tabel 8 Kategori penilaian status keberlanjutan
Nilai indeks keberlanjutan berada pada nilai 0 buruk sampai 100 baik. Jika dimensi yang dinilai dengan nilai indeksnya berada di bawah 50
maka mempunyai nilai yang kurang atau kurang berkelanjutan unsustainable, dan jika dimensi yang dinilai berada di atas nilai 50 maka dimensi dari sistem
yang dinilai dapat dikatakan berkelanjutan sustainable. Hasil penilaian atas masing-masing dimensi keberlanjutan lima dimensi disajikan dengan diagram
layang-layang kite diagram pada Gambar 5.
Analytical Hierarchy Process AHP
Pengolahan AHP dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 11. Dalam penelitian ini, model AHP yang akan dianalisis
memuat 3 tiga tingkat hierarki yaitu: 1 tujuan yang akan dicapai yaitu pemanfaatan air yang berkelanjutan; 2 dimensi-dimensi utama yang perlu
diperhatikan dalam mencapai tujuan, yaitu faktor-faktor yang mendukung keberlanjutan pemanfaatan air; dan 3 kriteria untuk menilai keberlanjutan
No. Nilai Indeks Dimensi
Kategori Keterangan
1. 0.00 – 24.99
Buruk Tidak berkelanjutan
2. 25.00 – 49.99
Kurang Kurang berkelanjutan
3. 50.00 – 74.99
Cukup Cukup berkelanjutan
4. 75.00 – 100.00
Baik Berkelanjutan
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
Ekologi
Sosial
Ekonomi Kelembagaan
Teknologi
Indeks Keberlanjutan
dimensi-dimensi tersebut, sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Pihak-pihak yang akan menjadi responden dalam wawancara analisis AHP ini terdiri dari
instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait bidang pemanfaatan air, lembaga pengguna air, pakar di bidang pemanfaatan air, dan pakar di bidang
kehutanan.
Gambar 5 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimensi
Gambar 6 Model hierarki AHP
Kelembagaan Ekonomi
Sosial Teknologi
Ekologi
Manfaat atas penggunaan
air Minimisasi
biaya atas pemanfaatan
air Pemerataan
kesempatan dalam
memperoleh air
Kepedulian sosial
terhadap upaya
konservasi sumber daya
air Pelestarian
kawasan Pemeliharaan
terhadap tingkat
konsumsi agar tetap di bawah
tingkat produksi air
Upaya konservasi
sumber daya air.
Mekanisme institusi
kapasitas organisasi
pemerintah dan kapasitas
koordinasi
Dukungan kebijakan
dalam kegiatan
pemanfaatan air
Keberlanjutan Pemanfaatan Air di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Sarana dan prasarana
pemanfaatan air
Teknologi konservatif
dalam pemanfaatan
air
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme Kegiatan Pemanfaatan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Kegiatan pemanfaatan air di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP telah dimulai dari tahun 1996 melalui konsep kemitraan dan
mulai terorganisir pada tahun 2006 sampai dengan saat ini melalui suatu wadah yang dinamakan Forum Peduli Air FORPELA-TNGGP dengan membuat
perjanjian kerjasama atau MoU Memorandum of Understanding. Secara ringkas, mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dapat diilustrasikan
pada Gambar 9.
Gambar 9 Skema mekanisme kegiatan pemanfaatan air di TNGGP
Tahun 1996 Ijin Pemanfaatan Kawasan untuk
fasilitasi pemanfaatan air berdasarkan SK. Dirjen PHKA No. 531DJ-
VIBinprog96 Tahun 1999
Kesepakatan Konservasi Desa KKD dalam bentuk kerjasama
Pihak pengguna air non komersial
BB TNGGP Sebelum tahun 2006
Juni-Oktober 2005
Konsultasi ide kemitraan
inventarisasi pihak pengguna
air BB TNGGP, RCS,
dan ESP- USAID
Oktober- Desember 2005
Pertemuan pembentukan
kelompok kerja di pihak
pengguna air di Cianjur, Bogor.
Sukabumi. Januari-
Februari 2006 Pembentukan
FORPELA secara informal
penyusunan ADART
Maret 2006 – saat ini Pengesahan FORPELA
dan MoU berdasarkan Kepmenhut No.
390Kpts-II2003, P. 19Menhut-II2004, dan
SE Dirjen PHKA No. No. 3IV-SET2008
FORPELA
MoU BBTNGGP
Inventarisasi sumber air
Pihak Pengguna Air Komersial dan Non-
Komerisal Setelah tahun 2006
Kegiatan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Sebelum Tahun 2006
Kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP dimulai pada tahun 1996 melalui Ijin Pemanfaatan Kawasan untuk pembangunan fasilitas bak penampung
dan pemasangan pipa dari dalam kawasan yang akan disalurkan keluar kawasan. Dasar penerbitan ijin tersebut yaitu Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 531DJ-VIBinprog96 tanggal 29 Juli 1996 dengan masa berlaku 3 tiga tahun, namun hal tersebut belum
mempertimbangkan keberadaan zonasi. Pola perijinan tersebut hanya berlangsung sementara karena selanjutnya ijin tersebut tidak pernah dikeluarkan lagi bagi
pengguna air yang baru.
Pada tahun 1999, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BTNGGP mulai berupaya untuk menindaklanjuti kegiatan pemanfaatan air
secara formal setelah ada permintaan untuk dapat memanfaatkan air dari dalam kawasan mulai meningkat, terutama bagi pihak yang akan menggunakan air untuk
mendukung kegiatan usaha. Saat itu belum ada peraturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air pada Kawasan Pelestarian Alam KPA, sehingga
Balai TNGGP menerapkan sistem Kesepakatan Konservasi Desa KKD melalui penyusunan Naskah Kesepakatan Konservasi Pemanfaatan Air dari dalam
Kawasan TNGGP. Kesepakatan tersebut mengatur hak dan kewajiban pihak pengguna air untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan upaya pelestarian,
pengamanan dan rehabilitasi kawasan TNGGP, sedangkan pihak pengelola memiliki kewenangan untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan air apabila
pihak pengguna air tidak mematuhi kesepakatan.
Masa berlaku kesepakatan tersebut adalah 5 lima tahun dan dilakukan evaluasi setiap tahun serta dapat
diperpanjang kembali apabila kedua belah pihak menyetujui. Kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP pada tahun 1996-1999
belum terkelola secara optimal, oleh karena dasar hukum pelaksanaan kegiatan pemanfaatan tersebut belum ada. Di lain sisi, pengaturan kegiatan di KPA,
khususnya taman nasional telah diatur pada tahun 1998 melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, namun pada peraturan tersebut jenis kegiatan yang diperkenankan di taman nasional sebatas kegiatan penelitian dan pengembangan,
pendidikan, pariwisata, dan penunjang budidaya, serta belum memperkenankan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan. Meskipun setahun kemudian yaitu pada
tahun 1999 telah diterbitkan Undang-undang
Nomor 41 tentang Kehutanan, namun peraturan tersebut belum menetapkan jenis kegiatan pemanfaatan yang
diperbolehkan di dalam hutan konservasi atau KPA. Hal ini menyebabkan sistem KKD hanya bersifat normatif atau berdasarkan kesepakatan kedua pihak saja dan
tidak dapat berlangsung lama.
Pada tahun 2003, kerjasama kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP mulai mendapat dukungan
formal melalui terbitnya Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : 390Kpts-II2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, meskipun dalam keputusan tersebut hanya menyampaikan bahwa salah satu bentuk kegiatan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dapat dilakukan kerjasama adalah kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, tanpa menyebutkan jenis
kegiatan lebih rinci. Dalam keputusan tersebut, kerjasama dilakukan antara pihak
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA dengan mitra, dimana dalam hal ini ruang lingkup perjanjian masih bersifat sangat luas
karena belum melibatkan pihak pengelola unit KPA di lapangan.
Peraturan yang lebih tinggi yang mengatur tentang kegiatan pemanfaatan air mulai ada pada tahun 2004 melalui penerbitan Undang-undang Nomor. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada tanggal 18 Maret 2004 dengan ruang lingkup wilayah sungai dan dikecualikan pada KPA. Hal ini berarti peraturan
tersebut hanya mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya air di bagian hilir, namun oleh karena saat itu undang-undang tersebut merupakan satu-satunya
peraturan tertinggi yang mengatur kegiatan pemanfaatan air, maka undang-undang tersebut wajib untuk dijadikan acuan dalam kegiatan pemanfaatan air. Salah satu
peraturan lain di bidang kehutanan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan ini yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.19Menhut-II2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang diterbitkan pada tanggal 19 Oktober 2004. Dalam peraturan tersebut
disampaikan bahwa salah satu kegiatan yang dapat dilakukan kolaborasi atau kerjasama yaitu bentuk kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan.
Berdasarkan kronologis peraturan kebijakan yang menjadi acuan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP sebelum tahun 2006, istilah pemanfaatan air belum
didefinisikan secara eksplisit dalam setiap acuan tersebut dan secara implisit dianggap sebagai salah satu jenis kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan. Hal ini
menyebabkan kegiatan pemanfaatan air di TNGGP belum mendapat pengakuan secara formal dan
menimbulkan ketidakjelasan kewenangan pengelolaan
pemanfaatan air tersebut, antara di bawah kewenangan pihak pemerintah pusat Kementerian Kehutanan atau pemerintah daerah kabupaten atau provinsi.
Kegiatan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Setelah Tahun 2006
Kerjasama pemanfaatan air di TNGGP mulai diperkuat pada tahun 2006 setelah Balai TNGGP mulai menerapkan pola kemitraan dengan lembaga pihak
pengguna air langsung yaitu pengguna yang menggunakan sarana pemanfaatan air langsung ke sumber air yang berada di dalam kawasan TNGGP, melalui
kesepakatan
berupa Perjanjian
Kerjasama atau
MoU. Lembaga
yang beranggotakan pengguna air tersebut dinamakan Forum Peduli Air FORPELA.
Selain sebagai wadah koordinasi dan komunikasi antara pihak pengelola kawasan dan pihak pengguna air, FORPELA didirikan dengan tujuan membangun
keterlibatan pihak pengguna air dalam kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian kawasan. Keterlibatan pihak pengguna air tersebut dibangun sebagai
bentuk tanggung jawab bersama dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya air melalui skema jasa lingkunganPES Payment for Environmental Services.
PES merupakan kompensasi atau insentif bagi masyarakat atau pihak yang menjaga, memelihara dan memperbaiki fungsi ekologis hutan FORPELA, 2009.
Kesepakatan kerjasama ini masih mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390Kpts-II2003 tanggal 3 Desember 2003 tentang Tata Cara
Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan
Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor
P.19Menhut-II2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Hal ini sangat terkait erat dengan ruang
lingkup kerjasama pemanfaatan air di kawasan TNGGP karena pada peraturan tersebut disampaikan bahwa pada KPA dapat dilakukan kolaborasi kegiatan
pemanfaatan jasa lingkungan dengan pihak pemerintah daerah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, BUMN, BUMD, BUMS, dan lembaga
pendidikan. Selain itu, acuan tersebut masih digunakan karena sampai dengan tahun 2006, peraturan terkait kegiatan pemanfaatan air di KPA masih belum
diterbitkan.
Forum Peduli Air FORPELA-TNGGP didirikan secara formal pada tanggal 6 Maret 2006 di kantor Balai TNGGP. Pihak-pihak yang membantu
BTNGGP dalam memfasilitasi pembentukan forum ini antara lain yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat LSM lokal bernama Raptor Conservation Society RCS
dan LSM internasional Environmental Services Program ESP yang di bawah naungan lembaga USAID United States Agency International Development yang
berasal dari negara Amerika Serikat. Proses pembentukan forum ini melalui beberapa tahap sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Tahapan pembentukan FORPELA
No. Waktu
Pelaksanaan Lokasi
Kegiatan
1. Juni – Agustus
dan 10,11, 13 September 2005
Balai TNGP Konsultasi ide pengembangan kemitraan dan
inventarisasi pengguna air di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi.
2. 3, 6, 10 Oktober
2005 Bogor, Cianjur,
Sukabumi Pertemuan langsung dengan para pengguna
air di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bogor, dan Sukabumi dengan tujuan
mensosialisasikan ide forum kemitraan tersebut.
3. 7 – 9 Desember
2005 Bogor, Cianjur,
Sukabumi a. Pembentukan Kelompok Kerja Wilayah
Cianjur, Bogor, Sukabumi, dengan kedudukan sekretariat sementara :
1 Wilayah Bogor di PT. Rejo Sari
Bumi Unit Tapos, Ciawi; 2
Wilayah Cianjur di Desa Sukatani, Gunung Putri;
3 Wilayah Sukabumi di PT. Eissai
Indonesia b. Kelompok kerja wilayah tersebut
bertugas untuk menyusun rencana program untuk diajukan kepada BTNGP,
mensosialisasikan hasil-hasil pertemuan, dan mempresentasikan hasil-hasil
kesepakatan dalam pertemuan umum.
4. 15 – 20 Desember
2005 Re-inventarisasi dan pemetaan data pengguna
air di tiga wilayah Cianjur, Bogor, Sukabumi.
5. 18 Januari 2006
Hotel Bukit Indah, Cianjur
Pembentukan FORPELA secara informal di Cianjur.
Tabel 12 Lanjutan
Sumber : FORPELA 2006
Dalam perkembangannya, FORPELA tidak terbatas sebagai wadah koordinasi dan komunikasi antara pihak pengelola kawasan TNGGP dan pihak
pengguna air, namun juga sebagai wadah untuk bekerjasama dengan pihak lain yang peduli terhadap keberadaan kawasan TNGGP sebagai daerah tangkapan air
catchment area 4 empat hulu DAS yaitu Ciliwung, Cisadane, Citarum, dan Cimandiri
BB TNGGP
2010 agar
dapat memberikan
manfaat yang
berkelanjutan bagi masyarakat, khususnya dalam potensi jasa lingkungan air. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 5 dan Pasal 7 ADART FORPELA 2006,
bahwa FORPELA bertujuan untuk membantu serta mendorong program pembangunan pemerintah dalam pengembangan jasa lingkungan air di kawasan
TNGGP, sehingga kawasan TNGGP dapat mempunyai sistem dan mekanisme pengelolaan serta pemanfaatan jasa lingkungan air yang selalu memperhatikan
aspek kaidah lingkungan, melalui promosi, fasilitasi, konsultasi, dan advokasi.
Setelah tahun 2008, acuan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP diperkaya dengan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam SE Dirjen PHKA No. 3IV-SET2008 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di KSA dan KPA, yang menyebutkan bahwa bentuk
kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air yang dapat dilakukan di kawasan konservasi adalah pemanfaatan massa air untuk air minum, air bersih, air minum
dalam kemasan AMDK, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan industri, sertaa pemanfaatan aliran air untuk pembangkit listrik tenaga air PLTA atau mikro
hidro. Dalam SE tersebut disampaikan bahwa kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air dilakukan atas dasar kemitraan melalui perjanjian kerjasama. Hal
No. Waktu
Pelaksanaan Lokasi
Kegiatan
6. 21 dan 28
Februari 2006 PT. Rejo Sari Bumi
Unit Tapos, Ciawi Bogor
a. Perumusan Anggaran Dasar AD, Anggaran Rumah Tangga ART,
penyusunan program kerja, dan perumusan bentuk kesepakatan dengan pihak pengelola
kawasan BTNGP
b. Dalam AD FORPELA disebutkan bahwa dana pengelolaan program kerja FORPELA
diperoleh dari iuran pokok dan iuran wajib anggota, hasil usaha, dan sumbangan
hibah.
c. Dalam ART FORPELA ditetapkan : 1
Iuran pokok anggota dibayar sebulan setelah bergabung sebagai anggota
untuk Komersil sebesar Rp. 500.000 - 5.000.000 dan Non komersil sebesar
Rp. 50.000 – 2.000.000.
2 Iuran wajib dibayar setiap bulan
untuk Komersil sebesar Rp. 50.000 – 200.000 dan Non komersil sebesar Rp.
20.000 – 100.000.
7. 6 Maret 2006
Balai TNGP Penandatanganan pengesahan ADART
FORPELA TNGP.
ini turut memperkuat kegiatan kemitraan FORPELA-TNGGP yang telah dibentuk sebelumnya pada tahun 2006.
Pengguna air di kawasan TNGGP terbagi menjadi 2 dua bagian, yaitu pengguna air non komersial dan komersial. Pengguna air non komersial ditujukan
kepada desa pengguna air yang berada di daerah penyangga kawasan TNGGP, dimana mayoritas penduduknya kekurangan air bersih dan kesulitan mendapatkan
pelayanan air dari luar atau Sistem Penyediaan Air Minum SPAM, serta penggunaan air tersebut hanya untuk kebutuhan rumah tangga, dan atau pertanian,
namun tidak untuk tujuan usaha. Kondisi ini terjadi umumnya karena tingkat kesejahteraan masyarakat desa tersebut sangat rendah sehingga masyarakat tidak
memiliki kemampuan untuk memperoleh SPAM, dan secara geografis lokasi desa cukup sulit untuk ditempuh pihak pemerintah daerah Pemda dalam membangun
sarana dan prasarana penyaluran air, sehingga membutuhkan investasi yang cukup tinggi bagi Pemda apabila ingin menjangkau masyarakat desa tersebut. Dengan
demikian, pemanfaatan air dari dalam kawasan TNGGP sebagai lokasi sumber air terdekat merupakan solusi terbaik dalam mengatasi kebutuhan air bagi masyarakat
desa tersebut, karena tidak membutuhkan biaya yang mahal dan airnya berlimpah. Pengguna air komersial ditujukan pada pelaku usaha atau perusahaan yang berada
di lokasi daerah penyangga kawasan TNGGP yang menggunakan air untuk mendukung kegiatan usaha yang dilakukannya, seperti hasil-hasil pertanian,
hortikultura, peternakan, penginapan umumhotel, dan pelayanan wisata
Pihak pengguna air yang bermaksud untuk memanfaatkan air dari dalam kawasan akan menghubungi pihak Balai TNGGP baik secara langsung ataupun
melalui FORPELA. Setelah pihak pengguna air berkoordinasi dengan pihak Balai TNGGP, maka dilakukan kegiatan inventarisasi sumber air yang terdekat dengan
lokasi pihak pengguna, dan jika tidak ditemukan kendala atau permasalahan secara teknis maka ditindaklanjuti dengan penyusunan MoU antara pihak
pengguna air dengan pihak Balai TNGGP. Dengan demikian, Balai TNGGP selain memiliki perjanjian kerjasama dengan FORPELA sebagai bentuk
koordinasi secara kelembagaan antara pengelola kawasan dan lembaga pengguna air, juga memiliki perjanjian kerjasama secara langsung dengan masing-masing
pengguna air anggota FORPELA. Dalam penyusunan MoU ini, terdapat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan yang dijadikan dasar pelaksanaan kerjasama
antara lain yaitu :
1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 4
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air;
6 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390Kpts-II2003 tanggal 3 Desember 2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
7 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam; 8 Surat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor
S.599IV-PJLWA2006 Tanggal 1 Juni 2006 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di Kawasan Konservasi.
9 Surat Edaran Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SE Dirjen PHKA No. 3IV-SET2008 tanggal 9 Desember 2008; dan
10 Surat Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Nomor. S. 31PJLKKHL-12011 tanggal 27 Januari 2011 tentang
Naskah Kerjasama dan Arahan Program Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air. Selain itu, sebagai salah satu syarat pelaksanaan kerjasama pemanfaatan
air tersebut, juga diperlukan rekomendasi atau persetujuan dari Kepala Desa yang bersangkutan untuk pengguna air non komersial dan pengguna air komersial.
Sampai saat ini, terdapat pembaharuan acuan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan air tersebut yaitu dari PP. No. 681998 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Apabila pihak pengguna air sudah membuat kesepakatan MoU dengan
pihak Balai TNGGP, maka pihak pengguna air tersebut mempunyai kewajiban untuk bergabung menjadi anggota FORPELA, dengan fasilitasi dari Balai
TNGGP, begitu pula sebaliknya apabila ada pihak pengguna yang berminat untuk memanfaatkan air dari kawasan TNGGP dengan menghubungi pihak FORPELA
terlebih dahulu, maka pihak FORPELA wajib untuk melapor kepada pihak Balai TNGGP agar segera dapat dibuat kesepakatan kerjasama.
Analisis Kegiatan Pemanfaatan Air di TNGGP Sebelum dan Setelah Tahun 2006
Pada periode sebelum tahun 1999, pada umumnya pengguna air yang melakukan perijinan atau kerjasama dengan pihak Balai TNGGP adalah pihak
pengguna air non komersial, namun hal tersebut hanya berlangsung sementara karena selanjutnya ijin tersebut tidak pernah dikeluarkan lagi bagi pengguna air
yang baru. Hal ini terjadi kemungkinan dikarenakan belum adanya legalitas yang lebih kuat yang dapat mendukung kegiatan pemanfaatan air tersebut. Pada rentang
tahun 1999-2005, semakin banyak pihak yang memanfaatkan air dari kawasan TNGGP terutama dari pihak pengguna komersial, hal ini diketahui dari data tahun
perjanjian kerjasama antara pihak pengguna air dan Balai TNGGP sebagaimana terlihat pada Lampiran 6.
Setelah tahun 2006, pelaksanaan kerjasama pemanfaatan air di kawasan TNGGP lebih terarah dengan adanya penyusunan perjanjian kerjasama atau MoU
antara pihak pengguna air dan pihak Balai TNGGP sampai pada tahun 2009 Balai TNGGP mengalami perkembangan menjadi Balai Besar TNGGP BB TNGGP.
Selain pemberian hak untuk memanfaatkan air tanpa melebihi jumlah debit pada sumber air yang digunakan, para pengguna air juga berkewajiban untuk
mendukung upaya konservasi terhadap kawasan melalui kegiatan rehabilitasi dan pengamanan kawasan.
Dalam memanfaatkan air, pihak pengguna tidak dipungut bayaran oleh pihak pengelola kawasan, namun khusus bagi pihak pengguna komersial
dikenakan kewajiban untuk mendukung kesejahteraan masyarakat di sekitarnya melalui pendistribusian sebagian air yang digunakannya untuk membantu
kebutuhan air bersih masyarakat sekitar serta diharapkan dapat memberikan peningkatan
kesejahteraan berupa
kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam SE. Dirjen PHKA No. 3 Tahun 2008, pihak
pengelola kawasan tidak diijinkan untuk menerima kompensasi dalam bentuk dana tunai secara langsung, namun diperkenankan menerima kompensasi dalam
bentuk bantuan non tunai in-kind berupa kegiatan rehabilitasi dan pengamanan di kawasan konservasi.
Sebagai bentuk perwujudan kompensasi terhadap kawasan yang diberikan oleh pihak pengguna kepada pihak pengelola kawasan atau BB TNGGP,
FORPELA selaku mewakili pihak pengguna air telah menetapkan program kegiatan secara periodik dengan jangka waktu 3 tiga tahun, dan sejak tahun
mulai berdiri pada tahun 2006 maka periode terakhir berakhir di tahun 2009. Kegiatan selanjutnya disusun dalam sebuah Rencana Strategis Renstra
FORPELA 2010-2013 yang berusaha untuk mensinergiskan program konservasi kawasan TNGGP dengan program-program lain baik dari pemerintah daerah,
organisasi non profit, maupun dengan kelompok masyarakat. Berdasarkan Laporan Tahunan FORPELA Tahun 2009, prioritas program kerja 2010-2013
terdiri dari beberapa program kegiatan, antara lain :
1. Program pemberian susu pasteurisasi dan bibit tanaman untuk siswa-siswi 65 sekolah dasar di desa penyangga guna menunjang perbaikan gizi dan gemar
menanam sejak usia dini. 2. Program pembuatan kebun bibit pohon pada masing-masing wilayah kerja
FORPELA guna menunjang perbaikan hutan dan lahan kritisgundul pada daerah tangkapan air.
3. Program pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan melalui pengembangan skema pengelolaan air di tingkat masyarakat dan desa
melalui pipanisasi air bersih dan pengembangan energi air PLTA Piko Hidro.
4. Program pengembangan inkubasi usaha produktif unggulan pada kelompok tani MDK melalui pengembangan kampung ternak.
5. Program pengembangan
kerjasama kemitraan
dengan pemerintah
daerahprovinsi, perusahaan dan universitas. 6. Program penerbitan Buletin FORPELA untuk periode 3 bulanan.
7. Program penggalangan iuran keanggotaan FORPELA. Selama kurun waktu 3 tiga tahun sejak berdirinya FORPELA pada tahun
2006 sampai dengan tahun 2009, beberapa program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh FORPELA, antara lain yaitu :
1. Program pembuatan pembibitan pohon bank bibit di lokasi PT. Rejosari Bumi Unit Tapos Bogor, KT. KMPH Desa Cinagara, KT. Garuda Ngupuk
Desa Tangkil, KT. Lestari Batukarut Desa Langensari, KT. Cilondong Jaya Desa Cihanjawar, Forum Marpelin Desa Kebon peuteuy, dan KT. Puspa
Lestari Desa Sukatani. Jenis pohon yang dibibitkan antara lain: pohon sengon, gmelina, suren, aprika, puspa, alpukat dan pala. Jumlah bibit pohon
yang sudah dikembangkan saat ini kurang lebih 10.000 pohon di setiap
lokasi. Selain itu, FORPELA bekerjasama dengan Kelompok Tani MDK, RCS, Amerta dan ESP USAID juga sudah mengimplementasikan penanaman
pohon endemik di areal perluasan kawasan TNGGP, yaitu masing-masing seluas 5 ha di Desa Kebonpeuteuy, Desa Sukatani, Desa Cinagara, Desa
Tangkil, dan Desa Cihanjawar.
2. Penguatan kapasitas
masyarakat sekitar
hutan melalui
pelatihan pengembangan usaha produktif. FORPELA bekerjasama dengan ESP USAID
dan RCS pada bulan Januari 2009, telah melakukan kegiatan pelatihan studi tanaman endemik dan pengembangan usaha produktif berbasis masyarakat
pada lima kelompok tani Model Desa Konservasi MDK Kebonpeuteuy, Sukatani, Langensari, Cihanjawar, Cinagara dan Tangkil. Kegiatan pelatihan
ini diadakan selama tiga hari di Wisma Tamu PT. Rejosari Bumi Unit Tapos Bogor dengan pemberian materi di dalam kelas hingga praktek lapangan.
3. Progam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan FORPELA TNGP melalui pelatihan SDM anggota, peningkatan pembiayaan konservasi melalui
kewajiban iuran keanggotaan serta penerbitan media informasi berupa buletin bulanan.
4. Program peningkatan kerjasama kemitraan yang dilakukan sejak bulan bulan Pebruari-Nopember 2009 dengan beberapa instansi di wilayah lain untuk
membagi pengalaman dalam membangun kemitraan pemanfaatan jasa lingkungan air dari kawasan konservasi, antara lain dengan Pemerintahan
Kota D.I. Yogyakarta, Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai untuk menjadi narasumber sekaligus memfasilitasi
pembentukan Forum Air di Kota Cirebon dan Kuningan. Selain membangun kemitraan kerjasama dengan sektor pemerintah, FORPELA juga sudah
mengembangkan kerjasama kemitraan dengan sektor akademisi, antara lain dengan Universitas Satya Negara Indonesia USNI-Jakarta dalam hal
pengembangan
inkubasi usaha
masyarakat Desa
Citapen, melalui
penandatangan naskah kerjasama pengembangan program. 5. Studi banding implementasi program jasa lingkungan ke Sampurna Training
Centre di Pandaan-Pasuruan Jawa Timur yang dilakukan pada tanggal 22-25 Juni 2009, oleh Pengurus FORPELA, Balai Besar TNGGP dan ESP USAID
1 orang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat sejauh mana aksi nyata sektor swasta dalam hal pemanfaat jasa lingkungan hutan untuk
diimplementasikan dalam bentuk program pengembangan usaha produktif unggulan dengan melibatkan kelompok masyarakat yang ada disekitarnya.
Para pengguna air yang telah membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP secara langsung termasuk kedalam keanggotaan FORPELA dan
mempunyai kewajiban untuk mematuhi ADART yang telah disusun oleh FORPELA, termasuk membayar iuran pokok dan iuran wajib bagi anggota
FORPELA. Iuran pokok dan iuran wajib yang dikumpulkan oleh FORPELA selanjutnya akan digunakan untuk dana pelaksanaan program kerja FORPELA.
Dalam kenyataannya, seringkali terdapat beberapa pengguna yang tidak melakukan koordinasi dengan pihak FORPELA atau tidak melakukan koordinasi
dengan pihak BB TNGGP, hal ini menyebabkan adanya perbedaan data pengguna air yang dimiliki oleh BB TNGGP dan yang tercatat sebagai anggota FORPELA.
Data BB TNGGP 2012 menyebutkan bahwa terdapat 57 pengguna air yang terdiri dari 21 pengguna air non komersial dan 36 pengguna air komersial
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14, sedangkan data FORPELA 2009 menyebutkan terdapat 113 pengguna air yang terdiri dari 25
pengguna air non komersial dan 88 pengguna air komersial.
Tabel 13 Pengguna air non komersial di kawasan TNGGP
No Nama Pengguna
Tahun Perjanjian Lokasi
1 Masyarakat Desa Sindangjaya
2003 Cibodas Cianjur
2 Pondok
Pesantren Al-Huda
Tumaritis 2001
Gn. Putri Cianjur 3
Masyarakat Desa Mekarwangi 1999
Gedeh Cianjur 4
Majudin Masy. Padakati 1999
Gedeh Cianjur 5
Masyarakat Desa Tegalega 1998
Gedeh Cianjur 6
Masyarakat Sudajaya Girang 2001
Selabintana Sukabumi 7
Masyarakat Desa Karawang 2001
Selabintana Sukabumi 8
Desa Nanggerang 2002
Bodogol Bogor 9
Desa Citapen 2002
Bodogol Bogor 10
Desa Cileungsi 2002
Bodogol Bogor 11
Masyarakat Desa Benda 2003
Bodogol Bogor 12
Desa Sukagalih 2002
Cisarua Bogor 13
Desa Bojongmurni 2006
Cileungsi Bogor 14
Desa Tangkil 2006
Caringin Bogor 15
Desa Sukamaju 2008
Sukalarang Sukabumi 16
H. Oom 2008
Selabintana 17
H. Ana 2008
Selabintana 18
H. Rahman 2008
Selabintana 19
Desa Kuta 2008
Mega Mendung Bogor 20
Desa Pancawati 2008
Caringin Bogor 21
Desa Buncir 2008
Caringin Bogor
Sumber : BB TNGGP 2012
Tabel 14 Pengguna air komersial di kawasan TNGGP
No Nama Pengguna
Penggunaan Tahun
Perjanjian Lokasi
1 Hotel Bukit Indah
Keperluan hotel 1999
Cibodas Cianjur 2
PDAM Cianjur Air minum
1999 Cibodas Cianjur
3 Kebun Raya Cibodas
Penyiraman tanaman 1999
Cibodas Cianjur 4
PT Horti Fantasia Pertanian sayuran
1999 Gn. Putri Cianjur
5 PT Cipendawa Farm
Peternakan ayam 1999
Gn. Putri Cianjur 6
PT Strawberindo Pertanian
2003 Sarongge Cianjur
7 Kebun Bunga Bukit Flora
Indah Pertanian bunga potong
1999 Sarongge Cianjur
8 PT Agro Flora Semesta
Pertanian bunga potong 1999
Gedeh Cianjur 9
H. Taufik Husni Petani sayuran
Pertanian sayuran 1999
Gedeh Cianjur 10
PT Anasor Pertanian sayuran
1999 Gedeh Cianjur
11 Kebun Bunikasih
Pertanian bunga potong 1999
Gedeh Cianjur 12
PT Floriensia Nurseries Pertanian bunga potong
1999 Gedeh Cianjur
13 PT Melrimba Sentra
Agrotama Pertanian bunga potong
1999 Gedeh Cianjur
14 PT Ratna Ayu Nuraseries
Pertanian bunga potong 1999
Gedeh Cianjur 15
PT Dian Perkasa sayuran Pertanian bunga potong
1999 Gedeh Cianjur
16 R Nunung Nuryantono
Pertanian sayuran 1999
Gedeh Cianjur 17
Kebun Baru Tunggul Pertanian sayuran
1999 Gedeh Cianjur
18 PT Hijau Flora Semesta
Pertanian bunga potong 1999
Gedeh Cianjur
Tabel 14 Lanjutan
No Nama Pengguna
Penggunaan Tahun
Perjanjian Lokasi
19 PT Sinar Abadi
Cemerlang Pertanian sayuran
1999 Gedeh Cianjur
20 Maha Dwi Yoga
Pertanian 1999
Gedeh Cianjur 21
Anton Swasono Pertanian bunga potong
1999 Gedeh Cianjur
22 PTPN VIII Gedeh
Perkebunan teh 1999
Gedeh Cianjur 23
H. Ugan Pertanian sayuran
1999 Gedeh Cianjur
24 PT Mangkurejo
Pertanian sayuran dan buah-buahan
1999 Goalpara Sukabumi
25 PT Transplant
Indonesia Pertanian bunga potong
1999 Goalpara Sukabumi
26 PT Eisae
Pertanian tumbuhan obat 1999
Goalpara Sukabumi 27
Masyarakat Desa Cisarua
Pertanian sayuran 2002
Goalpara Sukabumi 28
PT Devalindo Mandiri Pertanian sayuran
2000 Goalpara Sukabumi
29 PT Megaflora Indah
Pertanian tanaman bunga 1999
Selabintana Sukabumi
30 Rony
Pertanian sayuran 2000
Selabintana Sukabumi
31 PT Pacul Mas Tani
Pertanian obat-obatan dan palawija
2003 Cimande Bogor
32 PT Rejosari
Peternakan sapi dan domba
1999 Tapos Bogor
33 PT Saung Mirwan
Pertanian sayuran 1999
Cisarua Bogor 34
PT Mama Papa Pertanian sayuran
1999 Cisarua Bogor
35 Kelompok Tani
Harapan Maju Pertanian sayuran
2008 Nagrak Sukabumi
36 Kelompok Petani
Nilam Mukti Tani Pertanian sayuran
2008 Kadudampit
Sukabumi
Sumber : BB TNGGP 2012
Berdasarkan data tahun perjanjian kerjasama antara pihak pengguna air dan BB TNGGP pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa selama tahun 1999-
2006 karakteristik pengguna air mayoritas terdiri dari pengguna air komersial, dan semakin meningkat setelah tahun 2006. Secara ringkas, perbandingan kondisi
kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP sebelum dan setelah tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Perbandingan kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP periode sebelum dan setelah tahun 2006
No. Kondisi
Sebelum tahun 2006 Setelah tahun 2006
1. Karakteristik
pengguna Mayoritas pengguna
komersial. Pengguna komersial semakin
meningkat. 2.
Dasar acuan kerjasama
Surat Keputusan Direktur Jenderal, Keputusan Menteri
Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan.
Peraturan Pemerintah, namun belum menyebutkan mekanisme teknis dan
penentuan kompensasi terhadap kawasan.
3. Pertimbangan
teknis Belum ada.
Ada inventarisasi sumber air, data debit sumber air, pertimbangan zonasi.
4. Penyebaran
pengguna Belum terkoordinir, karena
belum ada wadah komunikasi antar pengguna
air. Sudah terkoordinir melalui lembaga
FOPELA yang memiliki Koordinator wilayah di 3 tiga kabupaten Cianjur,
Sukabumi, Bogor.
Tabel 15 Lanjutan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak FORPELA, pelaksanaan pengumpulan dana iuran pokok dan iuran wajib anggota FORPELA sampai
dengan tahun 2009 berjalan cukup lancar, namun sejak tahun 2010 – 2012, proses pengumpulan dana tersebut kurang berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan
beberapa hal yaitu : 1.
Intensitas komunikasi dan koordinasi antar kelompok kerja wilayah semakin menurun oleh karena masing-masing pengurus memiliki kesibukan yang
berbeda-beda, sehingga sulit untuk menentukan waktu pertemuan yang dapat mengakomodir semua pengurus. Hal ini juga menyebabkan komitmen para
pengguna air semakin lemah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai anggota FORPELA.
2. Kapasitas pengurus yang cukup lemah, oleh karena yang bersangkutan belum
dibekali legalitas sebagai wakil dari perusahaan tempat dia bekerja, sehingga beberapa orang yang ditunjuk atau disepakati menjadi pengurus belum
sepenuhnya dianggap mewakili perusahaan secara utuh dan pada saat yang bersangkutan pindah tempat bekerja, maka pihak perusahaan seolah-olah
tidak memiliki kapasitas koordinasi dan komunikasi dengan pihak FORPELA.
3. Belum adanya peraturan teknis yang khusus mengatur mekanisme insentif
jasa lingkungan di KPA membuat pihak pengelola kawasan dan pihak forum pengguna memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengelolaan dana
pemanfaatan sumber daya air ini. Meskipun kedua belah pihak memiliki visi yang sama yaitu mendukung upaya konservasi hutan secara terpadu dan
berkelanjutan, namun pengelolaan dana menjadi hal sangat sensitif bagi kedua belah pihak. Di lain pihak, FORPELA beranggapan memiliki
No. Kondisi
Sebelum tahun 2006 Setelah tahun 2006
5. Kelembagaan
pemanfaatan air
Belum dibentuk kelembagaan.
Ada, yaitu FORPELA. 6.
Pembagian hak dan
kewajiban Berdasarkan kesepakatan
pihak pengelola kawasan BB TNGGP dan pihak
pengguna air. Sudah mulai diperkuat dengan
kebijakan, namun belum diatur berdasarkan pertimbangan teknis.
7. Bentuk
kompensasi terhadap
kawasan Dalam bentuk partisipasi
dalam upaya pelestarian, pengamanan dan rehabilitasi
kawasan TNGGP. Selain partispasi dalam upaya
pelestarian, pengamanan dan rehabilitasi kawasan TNGGP, juga
secara tidak langsung memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekita kawasan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat.
8. Upaya
konservasi sumber daya
air Perencanaan dilakukan oleh
pihak pengelola kawasan BB TNGGP.
Perencanaan sudah melibatkan pihak pengguna air melalui FORPELA dan
memiliki program kegiatan melalui Rencana Strategis FORPELA setiap 3
tiga tahun sekali.
9. Pengelolaan
dana atas pemanfaatan
air Belum ada pengumpulan
dana. Ada, dikelola oleh FORPELA
berdasarkan ADART yang sudah disepakati dan diberikan pada
pengelola kawasan dalam bentuk non tunai atau kegiatan in-kind
kewenangan atas pengelolaan dana tersebut seutuhnya dan berharap akan ada peraturan teknis yang mendukung kewenangan tersebut.
4. Adanya penerapan kewajiban pajak dari BPSDA Provinsi Jawa Barat bagi
pengguna air komersial berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dapat menjadi hambatan bagi penggalangan iuran keanggotaan
FORPELA, hal ini dapat membuat pengguna air komersial tidak bersedia untuk melanjutkan iuran keanggotaan FORPELA karena merasa telah
melakukan dua kali pembayaran yang dianggap untuk hal yang sama. Adanya pajak tersebut menimbulkan ketidakjelasan kewajiban pihak
pengguna air komersial, meskipun berdasarkan PP. No. 422008 Pasal 60 disebutkan bahwa untuk kegiatan pelestarian KPA dilakukan oleh menteri
yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, hal ini menunjukkan terdapat ruang lingkup yang jelas antara wilayah pengelolaan sumber daya air yang
merupakan kewenangan pemerintah daerah dan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat Kementerian Kehutanan, namun hal tersebut sepertinya
kurang dapat terimplementasi dengan baik pada lokasi terkait.
Mekanisme kegiatan pemanfaatan air di kawasan TNGGP sudah memiliki konsep yang jelas yaitu konsep kemitraan, namun dalam implementasi nyata,
masih perlu dilakukan beberapa upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengguna FORPELA dan dukungan dari peraturan pemanfaatan air yang
menjadi dasar acuan kegiatan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut diatas, antara lain, yaitu :
1. Peningkatan koordinasi antara BB TNGGP selaku pengelola kawasan dan pengguna air yang sudah melakukan perjanjian kerjasama namun belum
mendaftarkan diri sebagai anggota FORPELA dalam upaya sinkronisasi data pengguna air yang valid.
2. Perlu adanya kesepakatan bersama dalam FORPELA tentang pentingnya legalitas mewakili perusahaan dalam keanggotaan FORPELA, sehingga para
anggota tidak mewakili suara secara pribadi, namun merupakan suara dari perusahaan pengguna. Hal ini dapat dicantumkan dalam ADART FORPELA.
3. Penerapan sanksi dan penghargaan dari pihak BB TNGGP terhadap anggota pihak pengguna air dalam memenuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan
perjanjian kerjasama. Penerapan penghargaan dapat berupa kemudahan dalam proses perpanjangan kerjasama.
4. Peraturan teknis terkait pemanfaatan air di KPA perlu segera diterbitkan untuk mendukung kejelasan hak dan kewajiban pihak pengguna air, termasuk
penerapan sanksi dan penghargaan agar lebih memperkuat komitmen pengguna. Selain itu, mekanisme pengelolaan dana kompensasi dari pihak
pengguna untuk mendukung upaya konservasi sumber daya air juga diharapkan dapat terakomodir dalam peraturan teknis tersebut.
Keberlanjutan Pemanfaatan Air di Kawasan TNGGP Kabupaten Bogor
Tingkat keberlanjutan pemanfaatan air dapat diduga dengan menganalisis keberlanjutan beberapa dimensi pendukungnya yaitu dimensi ekologi, dimensi
sosial, dimensi ekonomi, dimensi kelembagaan, dan dimensi teknologi. Setiap dimensi tersebut dinilai berdasarkan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan.
Hasil penetapan kriteria dan indikator pada penilaian keberlanjutan pemanfaatan air di kawasan TNGGP untuk Kabupaten Bogor yaitu terdiri dari 11 kriteria dan
25 indikator dengan rincian sebagai berikut : 1.
Dimensi ekologi sebanyak 3 kriteria dengan 8 indikator; 2.
Dimensi sosial sebanyak 2 kriteria dengan 5 indikator; 3.
Dimensi ekonomi sebanyak 2 kriteria dengan 4 indikator; 4.
Dimensi kelembagaan sebanyak 2 kriteria dengan 3 indikator; 5.
Dimensi teknologi sebanyak 2 kriteria dengan 5 indikator. Setiap indikator dalam kriteria pada setiap dimensi dianalisis dan dinilai
untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi. Indeks keberlanjutan gabungan antar dimensi untuk menentukan status keberlanjutan
ditentukan melalui proses pembobotan terhadap masing-masing dimensi. Pembobotan dilakukan didasarkan pada penilaian ilmiah scientific judgement
melalui Analytical Hierarchy Process AHP.
Dimensi Ekologi
Dimensi ekologi dinilai berdasarkan tiga kriteria yaitu : 1 Pelestarian terhadap kawasan yang memiliki nilai penting berupa potensi sumber daya alam
dan keanekaragaman hayati; 2 Pemeliharaan terhadap tingkat konsumsi sumber daya agar tetap di bawah tingkat produksi sumber daya; dan 3 Pengurangan
dampak dari potensi bencana alam terhadap lingkungan Federal Council 2002 dalam Ochsenbein 2004. Berdasarkan hasil AHP, masing-masing kriteria
tersebut memiliki bobot secara berturut-turut sebesar 0.46, 0.14, dan 0.40. Hasil analisis pada dimensi ekologi disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil analisis dimensi ekologi.
Kriteria Indikator
Nilai Skor
Skor Tertinggi
Normalisasi
1 a.
Penilaian terhadap Nilai Konservasi Tinggi
NKT yang dimiliki oleh kawasan
Memiliki NKT 1
1 100.00
b. Indeks Penutupan Lahan
IPL = Luas lahan bervegetasiluas kawasan
Sangat Baik IPL =93.99 4
4 100.00
c. Kecukupan luas kawasan
hutan pada tata ruang DAS yang termasuk
TNGGP dan Kabupaten Bogor
Kurang 18,34 1
4 25.00
Rata-rata presentase 75.00
Persentase kriteria 1 x bobot 0.46 34.47
2 a.
Indeks Penggunaan Air IPA = Kebutuhan
airketersediaan air Baik
IPA=0.048 2
2 100.00
b. Stabilitas ketersediaan
air periode waktu rata- rata berkurangnya
kuantitas air Sedang
terjadi 4-5 bulan dalam setahun
1 3
33.33 Rata-rata presentase
66.67 Persentase kriteria 2 x bobot 0.14
9.65
Tabel 16 Lanjutan
Kriteria Indikator
Nilai Skor
Skor Tertinggi
Normalisasi
3 a.
Perencanaan kegiatan konservasi sumber daya
air Sedang
Perencanaan dilakukan oleh tiga pihak secara
terpisah 2
4 50.00
b. Pelaksanaan kegiatan
konservasi sumber daya air
Baik Pelaksanaan dilakukan
oleh dua pihak secara terpadu
3 4
75.00 c.
Jenis kegiatan konservasi sumber daya
air Baik
Kegiatan teknis dan non- teknis
2 2
100.00 Rata-rata presentase
75.00 Persentase kriteria 3 x bobot 0.40