Masalah-masalah yang Bisa Terjadi dalam Pengambilan Keputusan Kolaboratif
5.4 Masalah-masalah yang Bisa Terjadi dalam Pengambilan Keputusan Kolaboratif
n Pengambilan kebijakan partisipatoris bisa menjadi sebuah gagasan khayali semata (utopian). Semakin sensitif isu yang dihadapi — misalnya dalam hal penetapan bahasa resmi – maka semakin sulit persetujuan bersama akan tercapai.
Walaupun pendekatan kolaboratif banyak menjanjikan solusi bagi berbagai masalah sosial dan dapat membangun modal sosial (social capital), tidak sedikit kelemahannya dan risikonya. Pendekatan kolaboratif sering sulit diorganisasikan dan diimplementasikan. Sebuah studi Bank Dunia, Participation in Practice: The Experience of the World Bank and Other Stakeholders , berhasil mengidentifikasi beberapa kendala dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi dalam merencanakan pengembangan suatu proyek:
Kurangnya komitmen pemerintah untuk menerapkan pendekatan partisipatoris;
Keengganan para pejabat proyek untuk melepaskan kendali aktivitas proyek;
M ENGEMBANGKAN D EMOKRASI P ART ISIPATORIS
Kurangnya insentif dan keterampilan bagi staf proyek untuk mengadopsi pendekatan partisipatoris;
Terbatasnya kapasitas organisasi lokal dan kurangnya investasi dalam pembangunan kapasitas masyarakat;
Partisipasi masyarakat terlambat dilakukan; dan
Sikap saling tidak percaya antara pemerintah dan stakeholder lokal. Perlu ditekankan bahwa, berdasarkan realitas di berbagai negara, pada umumnya
warga masyarakat bersikap sangat sinis atau apatis terhadap politik dan tidak ingin terseret ke dalamnya. Karena alasan itulah Bank Dunia menggarisbawahi perbedaan antara partisipasi “warga masyarakat” sebagai bentuk partisipasi populer dan perlunya melibatkan pihak-pihak yang terkait (stakeholder) dalam pengambilan kebijakan. Stakeholder adalah pihak-pihak yang kepentingannya terkena dampak kebijakan, dan melalui pengambilan keputusan publik itulah kepentingan- kepentingan tersebut diupayakan akan diwakili dan dipenuhi.
Penitikberatan terhadap yang berkepentingan itu bukanlah keputusan normatif Bank Dunia; sikap ini semata-mata didasari oleh kenyataan yang ada. Seperti yang ditulis di dalam buku The World Bank Participation Sourcebook:
Upaya-upaya memotong jalur stakeholder akan membangkitkan perlawanan mereka; perlawanan ini akan menghambat pencapaian tujuan yang positif… Kami menyadari bahwa setiap stakeholder memiliki tingkat-tingkat kekuatan, kepentingan dan sumber daya tersendiri. Karena itulah kami juga menyadari perlunya ditempuh upaya-upaya untuk memberi ruang bagi mereka, sehingga memungkinkan para stakeholder berinteraksi secara kolaboratif dalam kedudukan yang setara. Mencapai konsensus dan menyatukan berbagai perbedaan di antara pihak- pihak yang berkepentingan memang tidak mudah; berbagai risiko bisa muncul, misalnya timbul atau menajamnya konflik antara berbagai kepentingan dan prioritas yang bersaing. Penanganan konflik kerap menuntut pemahaman mengenai kepentingan sosial mendasar yang menghambat konsensus dan memerlukan mekanisme mediasi serta negosiasi.
Di antara berbagai perangkat yang diadopsi oleh Bank Dunia untuk mencapai maksud di atas (dalam konteks perencanaan proyek pembangunan) adalah sebagai berikut:
berbagai lokakarya yang dimaksudkan untuk mendorong kerjasama para stakeholder ;
kegiatan berbasis masyarakat, misalnya pengkajian masalah-masalah pedesaan secara partisipatoris; kegiatan berbasis masyarakat, misalnya pengkajian masalah-masalah pedesaan secara partisipatoris;
perencanaan proyek yang berorientasi pada tujuan. Bank Dunia telah memberikan perhatian khusus bagi upaya-upaya untuk
meningkatkan peran serta kaum perempuan dan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk memerangi bias gender sistematis yang biasanya terdapat di dalam produk- produk hukum dan adat istiadat dalam masyarakat, komunitas lokal, dan organisasi non-pemerintah atau LSM perantara (intermediary NGOs). Organisasi-organisasi masyarakat memberikan saluran yang cukup aman bagi warga masyarakat untuk berpolitik. Jika legitimasi partai-partai politik dapat ditingkatkan, mungkin warga masyarakat akan merasa lebih nyaman berkiprah dan berpartisipasi di dalamnya. Ada temuan sangat menarik dari pengalaman berdemokrasi di sebuah daerah di Amerika Latin, yakni, seperti ditulis George Peterson, bahwa “warga masyarakat mengharapkan ada hasil konkret dari partisipasi mereka, terutama jatah yang lebih banyak dalam proyek-proyek besar yang dijalankan di wilayah mereka. Mereka kurang sabar dalam mengikuti pembicaraan tentang perencanaan jangka panjang atau diskusi-diskusi bertopik ‘pengambilan kebijakan.’”
Di samping berbagai kesulitan dalam mengimplementasikannya, partisipasi yang terlalu besar dari masyarakat dapat berubah menjadi kurang berguna dan menghambat pengambilan kebijakan yang efektif. Pakar pemerintahan lokal, Pierre Hamel, misalnya, menyatakan keprihatinannya terhadap pendekatan-pendekatan partisipatoris:
Pada banyak pemerintah daerah, forum rembuk/konsultasi dengan warga masyarakat sekaligus dijadikan proses perencanaan… Tetapi, pengaruh institusional berikut efeknya terhadap demokratisasi manajemen publik masih pantas diragukan. Akibatnya, meskipun mekanisme-mekanisme baru itu membawa inovasi institusional dan memberi kontribusi pada upaya merombak sistem manajemen, di tangan para pakar atau “operator jaringan kerja” mekanisme itu bisa membawa bahaya yang mengancam demokrasi lokal dan bentuk-bentuk masukan partisipatoris masyarakat… Mekanisme-mekanisme itu tidak bisa mencegah ko-optasi kekuasaan terhadap para aktor masyarakat dan berbagai gerakan sosial.
Banyak praktisi di bidang kebijakan publik yang alergi terhadap pengambilan kebijakan partisipatoris karena opsi-opsinya sangat terbatas, di samping karena masukan dari masyarakat, kelak di kemudian hari, tidak akan begitu mempengaruhi hasil akhir kebijakan itu. Mereka yang terlibat di dalam praktik partisipatoris akan keletihan jika prosesnya menjadi berkepanjangan, sementara kepentingan
M ENGEMBANGKAN D EMOKRASI P ART ISIPATORIS
yang kuat tetap mendominasi, kendala-kendala di tingkat makro (misalnya pengaruh nasional atau internasional) menentukan pembentukan kebijakan, atau manakala para pembuat kebijakan hanya mendengar dan menampung masukan masyarakat, tetapi tidak menindaklanjutinya. Namun keluhan-keluhan di seputar metode partisipasi langsung lebih disebabkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan para praktisi tentang kapan, mengapa, dan bagaimana cara melaksanakan praktik-praktik partisipatoris.
Ikhtisar 23 Tips-Tips Mengatasi Kesulitan dalam Pengambilan Kebijakan Partisipatoris
Mekanisme-mekanisme dalam upaya melibatkan masyarakat dan membangun konsensus mengenai berbagai urusan masyarakat mengharuskan penyeimbangan berbagai kepentingan dan pencarian konsensus. Namun kadang-kadang usaha untuk mencapai konsensus maksimal itu sulit tercapai. Berbagai proses inovasi dan mediasi gagal menyatukan berbagai kepentingan yang ada. Berikut ini beberapa isu yang perlu dipikirkan:
Apakah partisipasi semua pihak merupakan sebuah gagasan yang mustahil? Partisipasi seluruh warga masyarakat merupakan prinsip dasar demokrasi, namun dalam kenyataannya akan ada saja peserta yang lebih vokal, lebih kuat, atau dua-duanya. Bahkan ada peserta yang mempunyai kemampuan lebih baik untuk mengakses informasi dibanding yang lainnya.
Realitas jaringan kerja. Sebuah proses kolaboratif dalam perjalanannya bisa diambil-alih oleh operator-operator jaringan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kelompok-kelompok warga masyarakat sering tidak berdaya untuk mengimbangi kuatnya pengaruh tokoh-tokoh kuat, faksi, atau organisasi tertentu (misalnya perusahaan lokal yang kuat atau delegasi dari kementerian nasional).
Mandat pemilu. Para pejabat publik mungkin dipilih lewat kampanye politik yang mempertajam perbedaan dan memperkukuh posisi atau pandangannya mengenai suatu isu. Namun, mereka harus mewakili seluruh lapisan masyarakat. Kapankah pejabat lokal mempunyai kepentingan untuk mencari solusi berbasis konsensus bagi masalah setempat? Kapankah hasil konsensus akan mengungguli kebijakan-kebijakan alternatif yang pernah populer pada musim pemilu?
Bahaya yang mengancam masyarakat madani. Jika dari hasil proses partisipatoris itu diputuskan bahwa yang memikul tugas mengim- plementasikan keputusan atau program adalah kalangan ornop, sementara bagi mereka tidak disediakan sumber daya pendukungnya, ornop yang bersangkutan bisa menanggung beban yang berat, meskipun masalah sumber daya (misalnya dana) itu jelas-jelas di luar kontrol mereka.
Fragmentasi di dalam politik masyarakat. Pada beberapa kasus, struktur sosial sebuah masyarakat begitu rapuh dan kacaunya sehingga dari mereka sulit dicari wakil atau juru bicara yang sah. Sebagai contoh, seorang pejabat publik yang berprakarsa mengadakan lokakarya pemecahan masalah mungkin akan mengalami kesulitan untuk menentukan tokoh-tokoh yang cocok untuk mewakili kepentingan-kepentingan tertentu. Selain sulitnya mencari atau memilih orang seperti itu, juga terdapat risiko besar bahwa yang bersangkutan akan memilih orang yang tidak sungguh-sungguh mewakili kepentingan masyarakat, yang akibatnya dapat menurunkan keabsahan upaya partisipatoris itu sendiri.
Ketidakmampuan membangun konsensus. Salah satu risiko proses kolaboratif adalah terungkapnya fakta bahwa perbedaan-perbedaan pendapat yang ada di dalam masyarakat memang mustahil didamaikan; kesadaran ini bisa semakin mempertajam perbedaan dan mendorong pihak-pihak yang sejak awal tidak ingin menempuh dialog untuk mencari cara-cara lain yang lebih keras.
Kelemahan desain. Proses-proses partisipatoris bisa gagal karena kesalahan pada desain atau pelaksanaannya. Tidak adanya strategi yang jelas tentang mengapa dan bagaimana cara melibatkan masyarakat dan gerakan masyarakat madani untuk membahas sebuah masalah, atau ketidakmampuan melakukan mediasi yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan, pelatihan, atau bekal informasi, bisa membuat para peserta hanya berbicara tanpa ada hasil nyata yang berupa solusi atau opsi-opsi baru.
Keterbatasan konteks. Ada kalanya kelompok-kelompok masyarakat bertemu dan berembuk, berbagi informasi, berkonsultasi, dan mengambil keputusan seputar masalah lokal, dan kemudian menyadari bahwa kewenangan atau kekuatan untuk menyelesaikannya berada di luar jangkauan pemerintah lokal. Begitulah realitas dari konteks nasional dan regional, sehingga tidak jarang masalah berskala lokal harus diatasi oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, sementara masyarakat setempat tidak berdaya mengatasinya sendiri (misalnya pada soal-soal pendanaan peningkatan sarana transportasi).
M ENGEMBANGKAN D EMOKRASI P ART ISIPATORIS