Variabel yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem Multipartai mulai diterapkan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Pada awal kemunculan sistem multipartai yang ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, memberikan peluang besar bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik. Hal ini terbukti dengan bermunculannya ratusan partai politik dan 48 diantaranya dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999. 11 Ditambah lagi sistem pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional yang cenderung menghasilkan terfragmentasinya partai politik di parlemen. Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya konsolidasi antar partai politik. 12 Hal tersebut terjadi karna banyaknya kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak efektinya sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful Mujani 13 bahwa kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada tidak mudahnya konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri. 2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial 12 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 119 13 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 118. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif executive is not dependent on legislative. karna baik presiden mapupun anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan divide government yang dapat beriimplikasi deadlock. 14 Menurut Scott Maniwaring 15 pemerintahan yang terbelah divide government terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden Hal ini diperparah jika sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen dan terhindar dari divide government pemerintahan yang terbelah, hal yang biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi. Dalam praktik, koalisi merupkan cara paling umum dilakukan pemerintah yang mendapatkan dukungan minoritas minority government. Seperti yang 14 Dyajadi H anan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2. 15 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 118. dikemukakan Jose Antonio Cheibub 16 , presiden yang tidak mengontrol kekuatan mayoritas di lembaga legislatif melakukan langkah seperti lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem parlementer yaitu melakukan koalisi untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial, cara yang paling umum dilakukan presiden adalah dengan membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di lembaga legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan semua partai politik yang mendukung pemerintah. Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri sampai era SBY praktik sistem pemerintahan di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Contohnya dalam pemilu presiden tahun 2004 dimana SBY-JK menang secara mencolok dengan mendapatkan suara sah 60.62. namun tetap menghasilkan minority government. Pasalmua partai politik pendukung awal SBY-JK hanya mendapat 68 12 kursi di DPR. dengan kondisi itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi dengan mayoritas absolut sekitar 70 kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa patai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintahan menjadi lebih mudah 16 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 121. menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. 17 17 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 115. 45

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 14PUU-IX2013 DALAM PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN A. Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia Dalam penelitian ini yang menjadi pusat perhatian adalah Pemilu serentak antara Presiden dan Legislatif. Dalam penelitian ini membuka ruang pertanyaan apakah pemilu yang dilakukan secara serentak antara Presiden dan Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan penguatan sistem presidensial. Apakah hanya pemilu serentak yang menjadi variabel dalam penguatan sistem presidensial. Sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi 1 dengan dibatalkannya Pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun 2019 praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden diselenggarakan secara serentak dengan Pemilihan Umum Legislatif. Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapainya efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga membawa perubahan sistem ketatanegaraan 2 , yakni: 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14PUU-XI2013 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, h. 87. 2 Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada tanggal 18 Agustus 2015 dari 1. Meningkatan efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil sebagai akibat adanya oleh coattail effect 3 yakni keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden terpilih. 2. Pembentukan koalisi politik 4 yang mau tidak mau harus dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol pun diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan office-seeking menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan policy-seeking. http:www.rumahpemilu.compublicdoc2015_02_03_08_18_33_POSITION20PAPER20PE MILU20SERENTAK202019.pdf , h. 13. 3 Dalam Tesisnya Shugart 1996 menyimpulkan bahwa bekerjanya sistem pemilu dalam membentuk pemerintahan yang efektif dalam sistem presidensial, perlu mendapat perhatian khusus. Menurut Shugart, jika waktu penyelenggaraan pemilu Presiden diserentakan dengan pemilu legislatif akan menimbulkan coattail effect, yaitu hasil pemilihan Presiden akan mempengaruhi hasil pemilihan anggota legislatif. Dalam Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019, h. 27. 4 Pembentukan koalisi yang dimaksud didasarkan pada Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945 yang membuka ruang terjadinya koalisi. Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilu Legislatif ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihannya sebagai Presiden dan untuk mendapatdukungan di DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar bargaining politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat. Hal tersebut membuat Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. 5 Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pemilu Presiden harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar menawar bargaining politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat. Oleh karenanya menurut Mahkamah Konstitusi 6 , pelaksanaan Pemilu Presiden setelah Pemilu Legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. 5 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14PUU-XI2013 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, h. 81. 6 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14PUU-XI2013 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, h. 81.