Konsep autopoiesis dalam ergonomi sistem kerja (studi kasus: industri gula)

(1)

LAMTO WIDODO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Konsep Autopoiesis dalam Ergonomi Sistem Kerja (Studi Kasus Industri Gula) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012 Lamto Widodo NIM F161050032


(3)

LAMTO WIDODO. Autopoietic Concept on Ergonomics of Worksystem (Case Study : Sugar Cane Industry). Under advisory of BAMBANG PRAMUDYA, SAM HERODIAN, and M FAIZ SYUAIB.

Sugar factory is one of industry that involves multiple parties as stakeholders. The design of work system should consider all interests, to ensure the sustainability of the system itself. Optimum conditions can be achieved by designing work system based on ergonomic considerations. In the concept of ergonomic, human beings are positioned as the center of the design process. Humans have the capacity and limitations and should be considered since the beginning of the design process. This concept is known as fit the job to the man. In preliminary studies, found several phenomena that deviate from this concept. In many ways, people can improve their skills so they can adapt to the workload and working environment. This study combines deductive and inductive methods, combined with some relevant philosophical outlook. Field research was conducted in two industries namely PG Jatitujuh Cirebon and PG Bungamayang Lampung. This study focused on the work of manual harvesting systems, transportation and milling sugarcane. The results showed that some parameters are less ergonomic working conditions, workload values are categorized between moderate to very severe, the contradiction between workload and perception of the operator and the phenomenon of adaptation of workers to harvest and transport worksytem manual. The workload of worker cutting transport was measured based on increase of the ratio of heart rate (IRHR), which compares the heart rate at work and at restRegression curve of IRHR vs experiences on morning harvesting follow the function Y= -0.105 ln(X) + 1.7484; for morning transporting Y= -0.046ln (X) + 1.7323 ; for afternoon harvesting Y= -0.063 ln(X) +1.5482, and for afternoon transporting Y= -0.044 ln(X) + 1.595. Differences of the slope of the regression curve shows that the level of adaptation required by the workers on the harvesting longer than transporting. This is due to cut sugar cane requires greater physical energy and skill. Novice workers learn to be able to cut the cane with a limit of 50-10 cm above the ground, in an upright cane conditions, collapsed or angled, even crossing each other. The results indicate that with increasing experience, response to fatigue and workload tends to decrease. This process can be explained by the concept of autopoeitic, which is each component in a system will make the process of self-organizing. This adaptation process is one of the autopoeitic mechanism. To adapt to the harvesting and transporting jobs, workers may take between 6-10 years experience.

Keywords: worksystems, manual harvesting, transporting, milling, ergonomic, adaptation, autopoietic


(4)

Kasus: Industri Gula). Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA, SAM HERODIAN, dan M FAIZ SYUAIB.

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang melibatkan banyak pihak sebagai stakeholder. Desain sistem kerja dalam industri harus mempertimbangkan semua kepentingan, untuk memastikan keberlanjutan dari sistem itu sendiri. Kondisi optimum dapat dicapai dengan merancang sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomis. Dalam konsep ergonomis, manusia diposisikan sebagai pusat dari proses desain. Manusia memiliki kemampuan dan keterbatasan dan harus dipertimbangkan sejak awal proses desain. Konsep ini dikenal sebagai fit the job to the man (FJM). Dalam penelitian pendahuluan, ditemukan beberapa fenomena yang menyimpang dari konsep ini. Dalam berbagai hal, manusia dapat meningkatkan ketrampilan sehingga dapat beradaptasi dengan beban kerja dan lingkungan kerja. Studi ini menggabungkan metode deduktif dan induktif, dikombinasikan dengan beberapa pandangan filosofis yang relevan. Penelitian lapangan dilakukan pada dua industri gula yaitu PG Jatitujuh Cirebon dan PG Bungamayang Lampung. Penelitian difokuskan pada pekerjaan sistem tebang, angkut dan giling.

Dari hasil penelitian kondisi lingkungan fisik untuk seluruh stasiun kerja, dapat disimpulkan bahwa beberapa parameter lingkungan kerja yaitu iluminasi, suhu, kelembaban, kebisingan berada di luar ambang batas yang diijinkan. Data ekstrim yang terjadi di lapang mencakup iluminasi sangat rendah 7.5 lux, suhu tertinggi mencapai 37 0C, kelembaban terendah 31.7% dan tertinggi 74.6%, serta kebisingan mencapai 97.5 dB. Kondisi paling membahayakan pada seluruh kerja adalah tingkat kebisingan yang seluruhnya di atas batas aman dengan nilai tertinggi 97,5dB. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi membuat gangguan pendengaran serius bahkan dapat menyebabkan ketulian. Untuk mengurangi risiko tersebut, perusahaan sudah melakukan perbaikan dengan memberikan alat pelindung diri (APD). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja hanya mau menggunakan penutup telinga sederhana yaitu gulungan kapas kecil dan masih enggan menggunakan pelindung telinga standar yang diberikan perusahaan. Bahkan penggunaan alat sederhana tersebut hanya dipakai jika para pekerja harus melakukan pemeriksaan visual berkeliling. Pada posisi di meja kerja, mereka hampir tidak pernah menggunakan alat tersebut.

Persepsi pekerja PG Jatitujuh terhadap beban kerja dan tingkat kelelahan kontradiktif dengan fakta kondisi lingkungan yang kurang ergonomis. Hal ini mencerminkan bahwa tubuh pekerja dalam jangka waktu yang lama mengalami proses penyesuaian sehingga tetap dalam kondisi yang cukup baik. Dengan persentase persepsi beban kerja dan kelelahan dalam tingkat ringan sedang sebanyak 78% dan 98%, terlihat bahwa telah terjadi proses perubahan pada diri pekerja setelah memasuki pekerjaan tersebut yaitu telah terjadi proses penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi lingkungan kerja. Hal ini dapat disimpulkan karena pengalaman terbanyak pekerja adalah lebih dari 10 tahun yaitu sebesar 82%. Faktor kelelahan biasanya terkait langsung dengan kecelakaan kerja. Demikian juga hasil kuisioner persepsi pekerja terhadap tigkat kecelakaan yang menunjukkan bahwa 96% menyatakan ringan sampai dengan sedang. Hal ini sesuai dengan persesi pekerja


(5)

walaupun secara umum penggunaan alat pelindung diri sangat minim.

Persepsi pekerja PG Bungamayang terhadap beban kerja agak berbeda dengan persepsi pekerja PG Jatitujuh. Jika pekerja PG Jatitujuh yang mempersepsikan beban kerja sedang sebanyak 59%, pekerja PG Bungamayang mempersepsikan sedang sebanyak 47%. Kondisi tersebut dapat dinilai hampir sama. Namun demikian persepsi bahwa beban kerja termasuk berat di PG Jatitujuh hanya 22%, namun di PG Bungamayang sebesar 45%. Pekerja PG Bungamayang mempersepsikan bahwa tingkat kelelahan berat hanya sebesar 5% pekerja, sedangkan persepsi terhadap beban kerja yang mempersepsikan berat sebanyak 45% pekerja. Pekerja PG Bungamayang mempersepsikan bahwa tingkat kelelahan berat hanya sebesar 5% pekerja, sedangkan persepsi terhadap beban kerja yang mempersepsikan berat sebanyak 45% pekerja. Sementara pekerja yang mempersepsikan beban ringan hanya 8% namun persepsi bahwa kelelahan ringan mencapai 47%.

Dari analisis biplot didapatkan bahwa pada dua perusahaan gula yaitu PG Jatitujuh dan PG Bungamayang terlihat adanya proses adaptasi pekerja namun dengan kecepatan yang berbeda. Tingkat kelelahan yang dirasakan dibandingkan dengan umur/pengalaman juga berbeda. Pekerja PG Jatitujuh relatif lebih cepat beradaptasi dibandingkan dengan pekerja PG Bungamayang. Kultur sebagai sebuah perusahaan swasta dengan pengaturan kerja yang lebih menekankan prestasi membawa dampak berbeda terhadap pekerja perusahaan badan usaha milik negara yang lebih menekankan pada pengalaman kerja sebagai pertimbangan pemberian penghargaan.

Analisis beban kerja dilakukan melalui pendekatan analisis denyut jantung dengan metode increase rasio of heart rate (IRHR). Secara umum beban kerja pada pekerja berpengalaman lebih rendah dibanding pekerja tidak berpengalaman. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan internal dari tubuh pekerja, yaitu adanya penyesuaian diri dari pekerja terhadap beban kerja yang dihadapi. Pekerja yang memiliki pengalaman kurang dari 6 tahun mengalami punurunan nilai IRHR secara drastis pada pekerjaan tebang baik pada waktu tebang pagi maupun tebang siang. Pada rentang pengalaman setelah 10 tahun kurva IRHR cenderung mendatar dengan variabilitas nilai yang lebih kecil daripada pekerja dengan pengalaman di bawah 6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun-tahun awal pekerja mulai melakukan tugas menebang memiliki kemampuan yang sangat bervariatif, kemudian mulai seragam setelah periode 6-10 tahun. Variabilitas IRHR pekerja dengan pengalaman kurang dari 6 tahun (pekerja pemula) cukup besar antara kerja tebang pagi dan siang yaitu sebesar 0.32. Untuk pekerja berpengalaman rentang IRHR terbesar adalah 0.14. Pekerja pemula yang sedang dalam proses belajar memiliki rentang maksimum 2 kali lipat dibandingkan pekerja berpengalaman. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa selain perbedaan temperatur lingkungan mempengaruhi beban kerja, pekerja pemula lebih sensitif terhadap beban eksternal yaitu kondisi cuaca yang cukup tinggi pada siang hari. Dengan beban tebang yang cukup berat pekerja pemula memiliki kemampuan menahan variasi beban yang lebih rendah.

Hubungan pengalaman dengan IRHR pada proses angkut hampir sama dengan proses tebang. Pekerjaan angkut siang lebih berat daripada angkut pagi baik untuk pekerja dengan pengalaman kurang dari 6 tahun maupun yang sudah berpengalaman.


(6)

awal. Variabilitas IRHR pekerja dengan pengalaman kurang dari 6 tahun (pekerja pemula) pada pekerjaan tebang pagi dan siang yaitu sebesar 0.22, nilai ini hampir sama dengan variabilitas IRHR pekerja berpengalaman yaitu sebesar 0.18. Nilai ini mengindikasikan bahwa untuk pekerjaan angkut faktor dominan beban kerja adalah faktor beban fisik, dibandingkan dengan faktor eksternal. Karena beban fisik angkut pagi dan siang tidak berbeda, maka nilai variabilitasnya juga tidak berbeda untuk masing-masing kelompok pekerja. Secara umum nilai IRHR angkut pagi dan siang pekerja berpengalaman lebih rendah dari pekerja pemula. Hal ini terjadi juga sebagaimana pekerjaan tebang, dan disebabkan karena pekerja pemula masih harus menyesuaikan diri dengan kondisi kerja yang dihadapi. Respon fisik pekerja pemula masih belum sekuat jika dibandingkan dengan pekerja berpengalaman.

Hasil kurva IRHR pekerjaan tebang memiliki karakter yang berbeda dengan kurva IRHR pekerjaan angkut. Pada pekerjaan tebang, nilai variabilitas pekerja pemula terbesar adalah 0.32 dan menurun hingga 0.14 untuk pekerja berpengalaman. Sedangkan untuk pekerjaan angkut nilai varibailitas pekerja pemula tidak jauh berbeda dengan yang berpengalaman yaitu antara 0.22 dan 0.18. Kondisi ini berarti bahwa tingkat adaptasi yang diperlukan oleh pekerja pada pekerjaan tebang lebih sulit dibandingkan dengan pekerjaan angkut. Pekerjaan tebang selain memerlukan energi fisik yang cukup besar, juga memerlukan kemampuan skill yang baik. Pekerja pemula harus belajar untuk dapat memotong dengan baik batang tebu dengan batas 5-10 cm di atas tanah, dalam kondisi batang tebu yang tegak, rebah atau miring, bahkan saling menyilang dengan batang yang lain. Diperlukan ketrampilan khusus untuk dapat melakukan hal tersebut. Pekerjaan lain yang memerlukan ketrampilan lebih adalah proses pembersihan kotoran, pembuangan pucuk dan proses mengikat batang tebu. Sementara pekerjaan angkut kemampuan pekerja yang domiman diperlukan adalah kemampuan fisik. Proses angkut lebih sederhana yaitu hanya menaikkan ikatan tebu ke pundak kemudian berjalan membawanya ke truk. Posisi ikatan tebu sudah teratur melintang di atas guludan, sehingga tidak diperlukan kemampuan khusus.

Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya pengalaman, pekerja yang sudah cukup lama menghadapi kondisi kerja tersebut, respon peningkatan kelelahan terhadap beban kerja cenderung menurun. Proses ini dapat dijelaskan dengan konsep autopoiesis, yaitu setiap entitas dalam sebuah sistem akan melakukan proses swa-atur. Proses penyesuaian ini merupakan salah satu bagian dari mekanisme autopoiesis. Waktu yang diperlukan untuk melakukan swa-atur sehingga manusia dapat nyaman dengan kondisi kerja dan lingkungan sangat pada masing-masing individu. Berdasarkan pada definisi ini, maka proses penyesuaian dalam sistem kerja dapat diarahkan atau dikendalikan dengan baik jika memiliki pemahaman utuh terhadap pola adaptasi masing-masing komponen. Satu hal yang menjadi catatan hasil penelitian ini adalah bahwa secara garis besar waktu penyesuaian pekerja tebang angkut lebih kurang 6 - 10 tahun. Namun demikian kesimpulan ini masih perlu dibuktikan dengan penelitian lanjutan dengan jumlah data yang jauh lebih banyak.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

LAMTO WIDODO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. I Wayan Astika, MS. 2. Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Iftikar Z Sutalaksana 2. Dr. Ir. Setyo Pertiwi


(10)

(Studi Kasus Industri Gula) Nama Mahasiswa : Lamto Widodo

Nomor Pokok : F161050032

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya. M.Eng. Ketua

Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. Dr. Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Keteknikan Pertanian

Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian : 20 Januari 2012 Tanggal lulus :


(11)

Segala puji penulis panjatkan hanya bagi Allah swt. Atas segala kemurahan dan ridlaNya saja sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Disertasi yang berjudul “Konsep Autopoiesis Dalam Ergonomi Sistem Kerja (Studi Kasus Industri Gula)” merupakan syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang mencakup Pendahuluan, Studi Pustaka, Metodologi Penelitian, Hasil dan Pembahasan, serta Kesimpulan dan Saran. Penelitian ini menggali faktor-faktor ergonomi yang berpengaruh dalam sistem kerja yaitu faktor manusia, alat/mesin dan lingkungan kerja. Sudut pandang yang digunakan dimulai dengan kajian konsep ergonomi mikro dan makro. Pada akhirnya didapatkan sebuah konsep baru dalam bidang ergonomi sebagai pelengkap konsep ergonomi yang saat ini berkembang yaitu konsep autopoiesis. Dengan konsep ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih keilmuwan bagi ergonom, serta sumbangsih aplikasi bagi perancang sistem kerja.

Penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya MEng., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Sam Herodian M.S. dan Dr. Ir. M Faiz Syuaib, M.Agr. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas segala jerih payahnya memberikan arahan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Iungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan pengorbannya.

Semoga hasil penelitian yang ditulis dalam disertasi ini dapat bermanfaat. Wassalam.

Bogor, Januari 2012 Lamto Widodo TEP/F161050032


(12)

Penulis dilahirkan di Gunungkidul, Yogyakarta pada tanggal 20 Desember 1968 sebagai anak kedua dari pasangan Ratno Sumarto dan Wijiyem. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Mesin (Peminatan: Desain) Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1997 penulis diterima di Program Studi Teknik Mesin (Peminatan: Manajemen Industri) pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya pada tahun 1999. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Yayasan Tarumanagara Jakarta.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara Jakarta sejak tahun 1994 (waktu itu masih tergabung pada Jurusan Teknik Mesin Peminatan Manajemen Indsutri). Mata kuliah yang diajarkan selama ini adalah mata kuliah Mekanika Teknik, Perancangan Sistem Kerja, Ekonomi Teknik dan Ergonomi.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota beberapa ikatan profesi yaitu Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri (ISTMI) serta Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI). Karya ilmiah berjudul Konsep Self Oganizing System dan Need Fullfil Compensation dalam Pendekatan Ergonomi Makro-Sebuah Tinjauan Filosofis telah disajikan pada Seminar Nasional Pengembangan Produk Universitas Pasundan Bandung bulan Juli 2007. Makalah dengan judul Beban Kerja Pada Buruh Tebang Angkut Pabrik Gula PT XXX dengan Parameter Increase Ratio of Heart Rate (IRHR) telah disajikan dalam Seminar Nasional Ergonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten pada bulan April 2009. Artikel berjudul Adaptasi Sebagai Salah Satu Metode Interaksi Manusia dalam Sistem Kerja dalam Pendekatan Konsep Autopoiesis diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Teknik Industri Jurusan Teknik Mesin Universitas Tarumanagara Jakarta Volume 1 No. 2 November 2011. Artikel lain berjudul Kajian Aspek Ergonomi Mikro pada Sistem Kerja Agro Industri (Studi Kasus Pabrik Gula pada Proses Tebang Angkut dan Giling) akan diterbitkan pada Jurnal Teknik Industri Universitas Trisakti Jakarta Volume 2 No. 1 Maret 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.


(13)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

1 PENDAHULUAN 1 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Batasan Masalah dan Asumsi ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Sistem Kerja Pabrik Gula ... 7

2.2 Ergonomi ... 21

2.2.1 Man-Machine Model ... 24

2.2.2 Prinsip FJM dan FMJ ... 27

2.2.3 Ergonomi Mikro dan Makro ... 29

2.2.4 Aplikasi Ergonomi di Industri ... 32

2.3 Lingkungan Fisik Tempat Kerja ... 34

2.3.1 Kebisingan ... 34

2.3.2 Suhu dan Kelembaban ... 39

2.3.3 Pencahayaan ... 39

2.3.4 Getaran ... 41

2.4 Kelelahan ... 43

2.5 Beban Kerja ... 45

2.6 Kecelakaan Kerja ... 48

2.7 Mekanisme Autopoeisis ... 49

3 METODE PENELITIAN ... 53

3.1 Tempat dan Waktu ... 53

3.2 Obyek dan Alat ... 54

3.3 Diagram Alir Penelitian ……….. 56

3.4 Metode Pengembangan Konsep Autopoiesis ………. 57

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Kondisi Lingkungan Kerja Fisik ... 59

4.2 Hasil Kuisioner Persepsi Pekerja di Pabrik ... 65

4.3 Beban Kerja Operator Boiler ... 77

4.4 Beban Kerja Buruh Tebang Angkut ... 78

4.5 Pengembangan Konsep Autopoeisis dalam Sistem Kerja ... 90

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

5.1 Kesimpulan ... 104


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 107 LAMPIRAN ... 113


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan antara Ergonomi mikro dan Ergonomi makro ... 31

2 Tingkat kebisingan dalam kantor ... 35

3 Tingkat kebisingan di industri ... 36

4 Skala tingkat bising ... 36

5 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan ... 38

6 Pemandu untuk kadar cahaya ... 40

7 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR ... 46

8 Kondisi lingkungan fisik stasiun gilingan ... 59

9 Kondisi lingkungan fisik stasiun pemurnian ...  60

10 Kondisi lingkungan fisik stasiun penguapan...  61

11 Kondisi lingkungan fisik stasiun masakan ...  62

12 Kondisi lingkungan fisik stasiun puteran ...  63

13 Kondisi lingkungan fisik stasiun boiler ... ...  64

14 Kondisi lingkungan fisik stasiun power house ... 64

15 Kategori beban kerja di stasiun boiler PG Jatitujuh ... 77

16 Kategori beban kerja di stasiun boiler PG Bungamayang ... 77

17 Spesifikasi subyek pekerja berpengalaman tebang angkut PG Jatitujuh 78 18 Spesifikasi subyek pekerja tidak berpengalaman tebang angkut PG Jatitujuh ... 78

19 Spesifikasi subyek pekerja berpengalaman tebang PG Bungamayang ... 79

20 Spesifikasi subyek pekerja tidak berpengalaman tebang PG Bungamayang ... 79

21 Spesifikasi subyek pekerja berpengalaman angkut PG Bungamayang ... 79

22 Spesifikasi subyek pekerja tidak berpengalaman angkut PG Bungamayang ... 79

23 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja berpengalaman PG Jatitujuh ... 81

24 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja tidak berpengalaman PG Jatitujuh ... 82

25 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja berpengalaman PG Jatitujuh ... 83

26 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja tebang tidak berpengalaman PG Bungamayang ... 83

27 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja angkut berpengalaman PG Bungamayang ... 84

28 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR pekerja angkut tidak berpengalaman PG Bungamayang ... 84

29 Hasil uji-t IRHR ... 85

30 Kondisi lingkungan kerja, beban fisik, persepsi pekerja dan analisis sistem kerja tebang angkut giling ... 91


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sistem tebang angkut bundle cane (full manual) ... 10

2 Sistem tebang angkut loose cane (semi manual) ... 13

3 Sistem tebang angkut chopped cane (full mechanic) ... 14

4 Proses pabrikasi gula secara umum ... 15

5 Ekstraksi gula ... 16

6 Sentrifugasi gula ... 18

7 Bidang keilmuan yang terkait dengan ergonomi ... 22

8 Man-machine model Leamon ... 24

9 Posisi manusia dalam sistem kerja ... 27

10 Berbagai ritme biologi manusia (circardian rythm) selama 1 hari ... 33

11 Hubungan antara IRHR dan jumlah observasi pada operator traktor tangan ... 47 12 Hubungan antara IRHR dan jumlah operator traktor kemudi ... 47

13 Hubungan antara beban kerja otot dengan durasi aman ... 48

14 Fitur kunci dalam sistem autopoiesis... 50

15 Skema diagram alir penelitian ... 56

16 Persentase tingkat pengalaman pekerja PG Jatitujuh ... 66

17 Persentase tingkat pendidikan pekerja PG Jatitujuh ... 66

18 Persentase persepsi pekerja PG Jatitujuh terhadap beban kerja ... 67

19 Persentase persepsi pekerja PG Jatitujuh terhadap kelelahan selama bekerja ... 68

20 Persentase persepsi pekerja PG Jatitujuh terhadap kecelakaan selama bekerja ... 68

21 Persentase persepsi pekerja PG Jatitujuh terhadap lingkungan organisasi ... 69

22 Persentase tingkat pengalaman pekerja PG Bungamayang ... 70

23 Persentase tingkat pendidikan pekerja PG Bungamayang ... 70

24 Persentase persepsi pekerja PG Bungamayang terhadap beban kerja ... 71

25 Persentase persepsi pekerja PG Bungamayang terhadap kelelahan selama bekerja ... 71

26 Persentase persepsi pekerja PG Bungamayang terhadap kecelakaan selama bekerja ... 72

27 Persentase persepsi pekerja PG Bungamayang terhadap lingkungan organisasi ... 73

28 Hasil analisis biplot persepsi pekerja PG Jatitujuh ... 74

29 Hasil analisis biplot persepsi pekerja PG Bungamayang... 75

30 Grafik denyut jantung pekerja P3 saat tebang pagi ... 80

31 Grafik denyut jantung pekerja P3 saat tebang siang... 80

32 Grafik denyut jantung pekerja P3 saat angkut pagi ... 81

33 Hubungan antara pengalaman dan IRHR tebang ... 87

34 Hubungan antara pengalaman dan IRHR angkut ... 89

35 Hubungan antara pengalaman dan absensi pekerja (dalam 2 bulan) ... 93


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja,

kelelahan dan lingkungan organisasi ... 114

2 Nilai IRHR gabungan tebang pagi dan siang ... 116

3 Nilai IRHR gabungan angkut pagi dan siang ... 117

4 Jumlah absensi pekerja tebang angkut PG Jatitujuh ... 118

5 Data kondisi ergonomi mikro PG Bungamayang pagi ... 119

6 Data kondisi ergonomi mikro PG Bungamayang siang ... 122

7 Data kondisi ergonomi mikro PG Bungamayang malam ... 125

8 Data kondisi ergonomi mikro PG Jatitujuh pagi ... 128

9 Data kondisi ergonomi mikro PG Jatitujuh siang ... 133

10 Data kondisi ergonomi mikro PG Jatitujuh malam ... 138

11 Hasil Rekapitulasi Form Kuisioner Penelitian pada PG Bungamayang . 143 12 Hasil Rekapitulasi Form Kuisioner Penelitian pada PG Jatitujuh... 146 13 Program SAS untuk simulasi biplot PG Jatitujuh 145 14 Program SAS untuk simulasi biplot PG Bungamayang 152


(18)

1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Sistem kerja industri merupakan sebuah sistem yang melibatkan beberapa pihak

sebagai pemangku kepentingan. Pihak-pihak tersebut antara lain pemilik/pengelola,

pegawai, pasar dan regulator. Masing-masing pihak secara mendasar memiliki

kepentingan yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Pihak pemilik

perusahaan berkepentingan agar perusahaan dapat berjalan dengan lancar, efektif dan

efisien, biaya operasi rendah dan keuntungan yang tinggi. Pihak pegawai

berkepentingan agar pekerjaan ringan, lingkungan kerja nyaman, kesejahteraan

memadai dan gaji yang tinggi. Pihak pasar atau konsumen memiliki kepentingan

yang lain yakni mendapatkan barang berkualitas, harga murah dan tepat waktu

pengiriman. Sedangkan pihak regulator dalam hal ini pemerintah, menghendaki agar

sebuah perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah baik secara

ekonomi, lingkungan maupun kepada kehidupan sosial masyarakat terutama

masyarakat sekitar perusahaan.

Beberapa kasus perancangan sistem kerja industri menghasilkan sistem yang

lebih banyak mementingkan salah satu pihak, sementara kepentingan pihak lain

kurang diperhatikan. Hal ini akan mendatangkan resiko jangka pendek maupun

jangka panjang mulai dari maraknya demo buruh sebagai akibat hubungan industrial

yang kurang harmonis sampai dengan penutupan sebuah industri. Buruh merasa

diperas tenaganya dengan kompensasi gaji yang kurang memadai. Sementara itu,

pihak manajemen juga merasa para buruh bekerja kurang sesuai dengan standar kerja

sehingga efektivitas dan efisiensi perusahaan menurun. Lembaga Sosial Masyarakat

(LSM) sering melakukan aksi-aksi protes karena perusahaan kurang memperhatikan

aspek lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat sekitar. Hubungan industrial

seperti ini merupakan hubungan industrial yang tidak sehat sehingga pada akhirnya

merugikan semua pihak terkait. Jika sampai terjadi gangguan serius apalagi berujung


(19)

pada penutupan operasi, pemerintah akan dirugikan dengan berkurang atau hilangnya

devisa, serta berkurangnya lapangan kerja bagi masyarakat.

Perancangan sistem industri harus memperhatikan segala kepentingan, terutama

kepentingan besar yaitu keberkelanjutanan sistem itu sendiri. Sebagai sebuah

organisasi besar, agroindustri, visi dan misi perusahaan sebagai kerangka pijak

operasional harus dipegang teguh baik oleh pemilik maupun pegawai. Pemilik tidak

hanya mementingkan margin keuntungan yang besar sesaat saja, tetapi harus

berorientasi pada keuntungan jangka panjang dan keberlanjutan usaha tersebut.

Sementara itu pegawai/buruh juga tidak hanya menuntut kompensasi dari

pekerjaannya saja tanpa memperhatikan kepentingan perusahaan agar terus

berkembang dan mampu bertahan dalam segala kondisi perubahan lokal dan global.

Seluruh

stakeholder

harus memiliki pola pikir yang sama yaitu bagaimana menjaga

keberlanjutan perusahaan ini sehingga memberikan jaminan kerja jangka panjang

.

Titik temu dari berbagai kepentingan

stakeholder

dapat didekati dengan

perencanaan sistem kerja dari sudut pandang ergonomi. Secara teoritis, pada

pendekatan ergonomi mikro, perancangan sistem kerja menempatkan manusia,

pelaku kerja, sebagai pusat pertimbangan perancangan. Manusia dengan kemampuan

dan keterbatasannya harus dipertimbangkan sejak awal proses perancangan dimulai.

Pertimbangan faktor manusia dalam hal ini pegawai dan pemilik dimana

masing-masing memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi selama proses industri berlangsung.

Sesuai dengan definisi ergonomi, sebuah sistem kerja harus dapat menjamin

keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup

mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu

meningkatnya efektivitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya

absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya

kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan (

turn-over

)

juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan

mengurangi pengeluaran, walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi. Dengan

demikian ergonomi yang baik berarti juga ekonomi yang baik.


(20)

Dalam prakteknya, kajian ergonomi mikro mampu untuk menjelaskan kondisi

sistem kerja mencakup karakter individu (kemampuan dan keterbatasannya), kondisi

alat/mesin yang dipergunakan, serta kondisi lingkungan fisik tempat kerja. Namun

demikian, beberapa kasus di lapangan sering kali berbeda dengan kondisi teoritis.

Sebagai contoh, secara empiris kondisi manusia/pekerja dengan usia yang lebih tua

yang secara fisiologis memiliki kemampuan yang kurang ternyata beban kerja terukur

justru lebih rendah. Hal lain yang sering ditemui adalah kondisi lingkungan fisik

kerja yang kurang ergonomis, seharusnya menimbulkan banyak persoalan-persoalan

serius dalam kesehatan dan kecelakaan kerja, namun yang ditemui tidak terjadi

gangguan yang signifikan. Hal ini terjadi karena kemampuan manusia beradaptasi

dengan lingkungan di sekitarnya. Proses penyesuaian diri dalam sebuah sistem kerja

ini terjadi secara terus menerus dan mengikuti konsep autopoiesis (

self organizing

system

). Dengan atau tanpa rekayasa pekerja secara alamiah akan menyesuaikan diri

dengan lingkungan dan kondisi kerjanya. Perbedaan kemampuan fisik, perbedaan

ketrampilan yang dimiliki dengan yang dituntut pekerjaan, kondisi kerja yang kurang

nyaman akan mendorong terjadinya perubahan internal pada diri pekerja tersebut.

Dengan demikian perlu kajian yang lebih luas yang mencakup kajian sosio-teknik

untuk dapat menjelaskan fenomena di atas. Ranah kajian tersebut berkembang di

akhir abad 21 yaitu topik kajian ergonomi makro.

Dalam pendekatan ergonomi makro, pusat perhatiannya adalah pendekatan

optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi

organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah

organization-machine

interface technology.

Proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi

dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu

diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak

dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah

tentang keseluruhan organisasi, termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan

diatur. Jadi perilaku organisasi akan sangat menentukan bagaimana budaya kerja di

organisasi/sistem kerja tersebut diatur. Setiap pemangku kepentingan harus dilibatkan

dalam pengambilan keputusan pada level masing-masing, sehingga akan didapatkan


(21)

sistem kerja yang harmonis, yang dapat menguntungkan semua pihak. Persoalan

kondisi kerja mikro yang tidak mungkin dirubah karena tuntutan produksi misalnya,

dapat direduksi dengan bagaimana memberikan pelatihan penggunaan alat pelindung

diri (APD) sehingga kesehatan dan keselamatan kerja pegawai tetap terjaga. Motivasi

kerja juga dapat dikembangkan dengan melaksanakan pelatihan motivasi, pendekatan

budaya dan spiritualitas. Perubahan perilaku dan budaya kerja secara menyeluruh

sangat mempengaruhi hasil akhir dari efektivitas, efisiensi dan produktifitas kerja dari

organisasi tersebut.

1.2

Identifikasi dan Rumusan Masalah

Masalah sistem kerja industri gula yang akan diteliti dan dikaji dari sudut

pandang ergonomi adalah sebagai berikut:

a)

Variabilitas kondisi pekerja tebang, angkut dan giling cukup besar.

b)

Kondisi kerja tebang, angkut dan giling secara umum mencakup beban dan

lingkungan kerja kurang ergonomis.

c)

Persepsi subyektif pekerja dan manajemen terhadap kondisi sistem kerja tidak

selalu sesuai dengan konsep ergonomi (mikro).

d)

Perlu penjelasan fenomena temuan melalui pengembangan konsep ergonomi

dengan memperhatikan faktor-faktor makro.

Dalam rangka mengembangkan konsep untuk analisis, beberapa hasil spesifik

ergonomi juga ditemui di perusahaan sebagai berikut:

a)

Kondisi sistem kerja yang kurang ergonomis secara fisik (mikro) tidak linier

terhadap persepsi karyawan pada saat wawancara awal.

b)

Keluhan pekerja, tingkat kecelakaan kerja serta

turnover

minim.

c)

Adanya keseimbangan baru akibat proses adaptasi pekerja dengan kondisi kerja

yang dihadapi yang menyebabkan penyimpangan terhadap konsep ergonomi

mikro.

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut rumusan masalah yang ditentukan

adalah bagaimana rumusan konsep ergonomi yang dapat menjelaskan fenomena


(22)

hubungan kemampuan manusia, tuntutan pekerjaan dan kinerja sistem kerja dengan

studi kasus industri gula.

1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merumuskan prinsip sistem kerja

yang mengikuti konsep autopoiesis (

self-organizing system

) dalam ergonomi sistem

kerja dengan studi kasus industri gula. Rumusan konsep tersebut diharapkan dapat

menjelaskan perilaku sistem kerja agroindustri gula sebagai sistem kerja yang

dinamis sehingga setiap pemangku kepentingan akan mengetahui perilaku sistem

yang dihadapi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan sistem di masa

yang akan datang.

Dalam rangka menuju tujuan utama tersebut beberapa tujuan antara yang ingin

dicapai adalah :

a)

Mengetahui kondisi lingkungan fisik kerja.

b)

Mengetahui persepsi pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi

c)

Mengetahui penyebab perbedaan tingkat kejerihan antara pekerjaan tebang angkut

pagi dan siang.

d)

Mendefinikan hubungan antara tingkat kejerihan (beban kerja yang dirasakan oleh

pekerja) dengan pengalaman.

1.4

Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang ditetapkan, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a)

Mengetahui faktor-faktor ergonomi dalam sistem kerja tebang, angkut dan giling.

b)

Mengetahui beban kerja fisik untuk pekerja.

c)

Mengetahui persepsi pekerja dan manajemen terhadap kondisi kerja.

d)

Adanya rumusan konsep interaksi pada sistem kerja berdasarkan pendekatan

ergonomi yang dapat menjelaskan fenomena perbedaan persepsi dengan fakta

terukur kondisi kerja di lapangan serta fenomena adaptasi pekerja.


(23)

e)

Menjadi masukan bagi pengambil keputusan di industri gula dalam merancang

sistem kerja yang lebih ergonomis dan ekonomis.

1.5

Batasan Masalah dan Asumsi-Asumsi

Penelitian ini dibatasi untuk ruang lingkup sebagai berikut:

a)

Sistem kerja yang dikaji adalah sistem kerja di lingkungan industri gula

mencakup proses tebang, angkut dan giling.

b)

Sistem kerja di pabrik pada waktu pabrikasi berjalan diamati dalam rentang waktu

3 sampai 4 jam selama 3 shift per hari kerja.

c)

Sistem kerja tebang angkut diteliti untuk kerja pagi (08.00-12.00) dan kerja siang

(13.00-16.00), dengan kondisi cuaca terang (tidak hujan).

d)

Penelitian dilakukan pada waktu tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik

serta bencana alam yang luar biasa sehingga tidak ada perilaku komponen sistem

kerja yang ekstrim.


(24)

2.1 Sistem Kerja Pabrik Gula

Tebu merupakan salah satu komoditi pertanian Indonesia yang memberikan nilai tambah yang cukup besar terhadap produk domestik secara nasional. Lahan tebu tersebar baik di pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Menurut data Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI 2009) terdapat 58 pabrik gula dengan penyebaran 46 pabrik di Jawa dan 12 pabrik di luar Jawa. Total lahan tebu seluruh Indonesia seluas 434 127 ha, yang terdiri dari 279 650 ha di pulau Jawa dan 154 477 ha di luar Jawa, potensi ini sangat mungkin dikembangkan untuk produk-produk turunan selain produk utama gula pasir dan tetes. Potensi ini belum termasuk jika dihitung seluruh lahan tanam yang tersedia.

Pengembangan komoditas tebu masih sangat terbuka dan potensial. Luas lahan tanam masih dapat dikembangkan khususnya di luar pulau Jawa. Demikian juga dengan rendemen dan yeild tebu yang dihasilkan lahan. Menurut prediksi Asosiasi Gula Indonesia (AGI 2009), rendemen yang dihasilkan lahan di Jawa rata-rata 8.72 dan di luar Jawa sebesar 8.14. Nilai ini sangat mungkin dinaikkan dengan teknologi pengolahan lahan yang lebih baik. Permintaan gula untuk pasar dunia menurut FAO (2009) meningkat dari 158.4 juta ton pada tahun 2007 menjadi 162.2 juta ton pada tahun 2008. Sementara produksi gula dunia sebesar 167.6 juta ton tahun 2007 menurun menjadi 158.5 juta ton pada tahun 2008. Dengan demikian produk utama tebu yaitu gula akan langsung terserap pasar dunia karena jumlah permintaan lebih besar dari jumlah produksi.

Jika dilihat dari hasil produksi, hasil utama dari tebu sampai saat ini adalah raw sugar, white sugar dan tetes. Raw sugar dan white sugar dapat langsung digunakan oleh konsumen akhir maupun industri makanan, obat, dan minuman. Sementara tetes tebu dapat diolah lanjut menjadi MSG atau etanol. MSG dimanfaatkan industri makanan dan minuman sementara etanol dapat diolah lanjut menjadi bio-fuel sebagai bahan bakar alternatif. Tuntutan penggunaan bio-fuel juga meningkat tajam seiring dengan problem lingkungan global yang menjadi issue internasional. Di Amerika dan Brazil, etanol bukan hanya digunakan sebagai campuran bensin 5%, 10% saja, bahkan sudah mencapai 80% - 100% mobil


(25)

berbahan bakar etanol. Pengembangan produk ini di masa datang merupakan hal yang sangat potensial dan strategis.

Produk lain yang dihasilkan pabrik gula adalah bagas atau ampas tebu. Produk ini adalah produk sampingan dan merupakan limbah industri. Namun demikian limbah ini masih memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Bagas yang sudah dikeringkan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar boiler (mesin utama dalam industri gula). Hasil suatu pabrik gula mencukupi untuk mensuplai bahan bakar boilernya. Dengan demikian akan didapatkan efisiensi energi. Setelah dibakar, residu bagas dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik yang dapat dikembalikan ke lahan atau dilepas ke pasaran sebagai media tanam tanaman lainnya.

Sistem kerja industri gula dimulai dengan proses budidaya tanaman tebu. Proses budidaya terdiri dari dua kategori yaitu Replanting Cane (RPC) dan Ratoon Cane (RC). RPC adalah tanaman tebu yang ditanam pada areal bekas tanaman tebu yang dibongkar. RC adalah tanaman tebu yang tumbuh dari keprasannya. Dalam proses budidaya tebu terdapat perbedaan antara RPC dengan RC. Pada budidaya tanaman RPC, terdapat proses penyiapan lahan bekas tanaman tebu yang dibongkar. Pembongkaran ini dilakukan untuk mengolah kembali tanah yang telah padat akibat berbagai perlakuan pada tebu keprasan dan dapat memperbaiki kualitas tanah sehingga diharapkan bisa meningkatkan produksi tebu yang dihasilkan.

Sebelum ditanami tebu, lahan dipersiapkan dengan berbagai tahapan yaitu penebaran blotong, aplikasi stillage, penebaran dolomite, pembajakan, penggaruan, trackmarking, penaburan gypsum, ripping, furrowing dan basalt. Setelah lahan siap kemudian mulai ditanami bibit tebu. Bibit yang akan ditanam sebagian besar berasal dari kebun bibit sendiri.

Varietas yang ditanam didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa varietas tersebut mempunyai potensi gula tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, mudah ditebang, tidak roboh, dan disesuaikan dengan bulan tanam. Bulan tanam berkorelasi dengan tingkat kemasakan tebu. Varietas masak awal ditanam pada bulan April–Juni, varietas masak tengah ditanam pada bulan Juli– Agustus, dan varietas masak akhir ditanam pada bulan September-Oktober. Proses


(26)

penanamannya masih menggunakan cara manual oleh tenaga harian atau dengan sistem borongan. Dalam penanaman ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu, tebang bibit dan angkut, pembongkaran bibit, pengeceran, pencacahan, penutupan bibit dan pemadatan

Setelah proses penanaman, tahap berikutnya adalah proses perawatan tanaman. Pemeliharaan terhadap tanaman perlu dilakukan sebagai suatu cara untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimal. Kegiatan perawatan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pemeliharaan secara mekanis (mechanical maintenance) dan pemeliharaan secara manual (manual maintenance). Pemeliharaan mekanis meliputi pemupukan, kultivasi, remounding, pre-emergence, serta tabur carbuforan. Sedangkan pemeliharaan manual meliputi penyulaman, post-emergence, hand weeding, dan pengendalian hama secara biologis.

Proses terakhir di lahan adalah proses pemanenan. Pemanenan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik. Kegiatan ini dapat dikatakan berhasil apabila; (1) kesegaran tebu (cane freshness), yaitu total jam mulai dari tebu dibakar sampai tebu tersebut digiling dapat terjaga, (2) kebersihan tebu dari kotoran. Kotoran disini adalah dapat berupa klaras, daun pucuk, sogolan, siwilan, batang mati, akar, dan tanah serta gulma, dan (3) tebu tertinggal (cane wastage) berupa lonjoran, tunggul yang tertinggal di kebun, dan batang pucuk seminimal mungkin.

Pemanenan dilakukan pada musim kering, yaitu sekitar bulan April-Oktober. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemasakan tebu yang diprogramkan akan mencapai optimal pada musim kering serta kemudahan transportasi tebu dari areal menuju pabrik. Kegiatan panen diawali dengan tahap persiapan yang sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum panen dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi tebu, pembuatan program tebangan, penentuan kemasakan tebu, dan persiapan sarana dan prasarana tebang. Selain itu juga perlu dilaksanakan analisa kemasakan tebu (Maturity Test) untuk mengetahui periode kemasakan optimal tebu dan untuk memperkirakan kapan tebu harus ditebang.


(27)

Pelaksanaan tebangan dilakukan dalam tiga sistem tebang, yaitu manual (bundle cane), semi mekanis (loose cane), dan mekanis (chopped cane).

a) Bundle Cane

Sistem tebang ini adalah sistem tebang dengan menggunakan 100% tenaga manusia (full manual). Proses tebang angkut manual terdiri dari proses penebangan dan pengangkutan. Proses penebangan dimulai dengan pemotongan batang tebu, pembersihan kotoran dan pucuk tebu, peletakan batang tebu di guludan sampai dengan pengikatan batang tebu. Proses pengangkutan mulai dari pengangkatan ikatan tebu dari guludan dinaikkan ke pundak, pengangkutan ke truk dan penaikan ke bak truk. Penebang tebu terdiri dari laki-laki dan perempuan, berusia antara 17 - 55 tahun dengan kondisi fisik yang baik. Rata-rata penebang memiliki kemampuan fisik yang memadai, sebab tuntutan kondisi kerja cukup berat meliputi kebutuhan tenaga untuk menebang, kondisi lahan, kondisi rumpun tebu, lama waktu kerja, serta lingkungan fisik terutama temperatur udara yang cukup tinggi. Proses tebang angkut bundle cane secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Sistem tebang angkut bundle cane (full manual)

Proses tebang dimulai dengan pemotongan batang tebu menggunakan alat potong berupa sabit atau golok. Kecepatan potong batang tebu secara manual


(28)

ditentukan oleh beberapa hal yaitu tenaga penebang, alat yang digunakan, cara melakukan penebangan, serta karakter rumpun batang tebu. Jenis alat yang digunakan bermacam-macam. Sebagian besar perusahaan tidak melakukan hal tersebut dan menyerahkan pemilihan alat tebang kepada masing-masing penebang. Karena faktor kebiasaan setempat yang berlainan, bentuk alat tebang yang digunakan satu dengan yang lain berbeda. Pekerja memilih alat tebang yang paling sesuai untuk masing-masing baik dari segi bentuk maupun ukurannya. Beberapa perusahaan melakukan standardisasi bentuk dan ukuran sabit berdasarkan pada studi yang dilakukan, yaitu berdasarkan karakteristik batang tebu dan biomekanika posisi efektif proses tebang. Cara melakukan penebangan cukup sederhana yaitu dengan mengayunkan alat tebang baik berupa golok atau sabit ke batang tebu, dengan posisi potong ideal maksium 5 cm dari tanah. Posisi potong ini tidak boleh terlalu tinggi sebab nilai rendemen gula dalam batang tebu paling banyak terdapat pada batang bawah. Untuk melakukan pemotongan dan mencapai kondisi ideal ini tidaklah terlalu mudah karena posisi batang tebu satu dengan yang lain seringkali tidak beraturan, saling menyilang. Posisi ini terutama untuk jenis tebu Ratoon Cane (RC), jenis tebu yang sudah mengalami beberapa kali penumbuhan ulang tanpa pembongkaran lahan. Untuk jenis tebu Replanting Cane (RPC), bentuk susunan batang tebu lebih teratur dan lebih mudah dilakukan penebangan sesuai dengan batas ideal. Pada tebu jenis RPC penebang dapat melakukan penebangan beberapa batang tebu dengan sekali ayunan alat potong, dengan demikian proses potong lebih cepat. Sedangkan pada jenis tebu RC, penebang hanya dapat melakukan pemotongan batang tebu 1 atau 2 batang saja, sehingga kecepatan potong lebih rendah dari jenis RPC.

Setelah batang tebu dipotong, penebang akan membersihkan batang tebu dari daun-daun tebu kering yang masih menempel di batang, serta membuang pucuk batang yang masih muda. Kecepatan proses pembersihan ini juga tergantung pada jenis tebu yang dipanen. Tebu jenis RC biasanya lebih banyak daun-daun kering yang tertinggal di batang, sebab pada saat pemeliharaan cukup sulit untuk membuangnya. Tebu jenis RPC lebih sedikit daun kering dan bentuk tebunya lurus sehingga mudah dibersihkan.


(29)

Tahap berikutnya adalah meletakkan batang-batang tebu yang sudah dibersihkan melintang di atas guludan. Batang-batang tebu ini selanjutnya akan diikat dengan tali dari bambu atau kulit tebu dengan ukuran berat angkat kira-kira 18 – 25 kg per ikat. Pekerjaan mengikat dilakukan sebagian besar oleh pekerja laki-laki sebab diperlukan tenaga yang cukup besar agar ikatan cukup kuat. Hanya sedikit pekerja perempuan yang dapat melakukan tugas ini. Proses selanjutnya adalah mengangkat dan mengangkut ikatan-ikatan tebu ke atas truk untuk dibawa ke pabrik. Tugas ini dilakukan hanya oleh pekerja laki-laki, bahkan di beberapa tempat tidak semua pekerja laki-laki penebang sanggup melakukan pekerjaan ini. Pekerja angkut harus mengangkat ikatan tebu dari guludan, dinaikkan ke atas pundak, kemudian berjalan melintasi lahan dengan kondisi yang sulit dan licin sampai ke truk pengangkut. Pada saat awal penaikan tebu ke truk posisi truk masih kosong atau baru berisi sedikit tebu, pekerja dapat melemparkan ikatan tebu langsung ke atas truk, satu pekerja lain akan berada di atas truk untuk mengatur tumpukan agar rapi. Setelah bak truk bagian bawah terisi, semakin ke atas pekerja angkut tidak dapat melempar langsung ikatan tebu dari pundak ke atas truk, mereka harus berjalan menaiki tangga bambu atau kayu sambil memikul ikatan tebu. Semakin ke atas tumpukan semakin sulit pekerja menaiki tangga tersebut. Setelah truk terisi penuh, kembali pekerja yang di atas truk harus membersihkan kotoran-kotoran baik daun-daun kering yang masih terlalu banyak atau tanah-tanah yang menempel pada ikatan tebu. Setelah semuanya selesai tebu akan dikirim ke pabrik. Namun demikian, sistem ini merupakan sistem tebangan yang dalam pelaksanaan tebang, ikat, dan pemuatannya dilakukan dengan tenaga manusia, sedangkan pengangkutan ke pabriknya menggunakan truk.

b) Loose Cane

Sistem tebangan semi mekanis ini adalah sistem penebangan dengan kegiatan tebang dilakukan secara manual, namun dalam pemuatannya dilakukan secara mekanik yaitu dengan menggunakan grab loader. Proses tebang sama dengan proses bundle cane, menggunakan 100% tenaga manusia, sampai dengan meletakkan hasil potongan batang tebu di atas guludan dan batang tebu diikat. Setelah itu proses pemuatan ke atas truk dilakukan dengan menggunakan grab loader yang akan mengangkat ikatan tebu dengan lengan mekanis dan diletakkan


(30)

di atas trailer atau truk. Tahap selanjutnya, trailer akan ditarik dengan traktor ke pabrik. Proses tebang angkut dengan metode loose cane atau semi manual tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem tebang angkut Loose Cane (semi manual)

c) Chopped Cane

Penebangan dengan sistem chopped cane adalah proses tebang angkut yang full mechanic, artinya mulai dari penebangan sampai pengangkutan seluruhnya menggunakan tenaga mesin. Pekerja hanya bertugas mengoperasikan mesin tersebut. Proses tebang dilakukan dengan menggunakan mesin cane harvester, seperti tersaji pada Gambar 3. Sebelum dilakukan penebangan tebu harus dibersihkan dari kotoran daun-daun kering. Metode pembersihan yang digunakan biasanya menggunakan metode cepat membersihkan kotoran daun-daun kering. Jarak antara waktu pembakaran dan proses giling tidak boleh lebih dari 24 jam, karena akan menurunkan rendemen tebu. Setelah tebu dibakar, harvester akan memotong batang tebu, kemudian tebu masuk ke dalam mesin dipotong-potong menjadi potongan pendek berukuran lebih kurang 40 – 60 cm, dan hasilnya akan dilempar ke dalam truk angkut yang posisinya sudah siap di samping harvester. Mesin pemotong ini berdimensi cukup besar dan posisinya harus di atas guludan,


(31)

sehingga setelah panen tanah akan menjadi keras. Oleh karena itu lahan yang dipanen dengan harvester adalah lahan yang akan dilakukan replanting (metode tanam dengan pembongkaran tanah) bukan yang ratoon (metode tanam dengan pemapasan/kepras).

Gambar 3 Sistem tebang angkut Chopped Cane (full mechanic)

Hal lain yang menjadi kendala proses ini adalah kondisi lahan yang belum benar-benar kering, mengurangi jumlah tenaga kerja, investasi awal serta biaya operasi yang cukup besar. Dengan demikian proses ini pada pelaksanaannya hanya dilakukan sebagai penyangga atau membantu memenuhi kuota pengiriman tebu, yaitu jika terjadi kekurangan suplai tebu ke pabrik karena kendala tebang angkut manual, misalnya dilakukan pada kondisi jumlah tenaga kerja yang sedikit dan diperlukan pengiriman tebu dalam waktu yang cepat.

Setelah tebu selesai ditebang, kemudian diangkut ke pabrik dengan truk, dan mulai proses selanjutnya yaitu pabrikasi untuk menghasilkan gula. Dimulai dengan timbangan tebu untuk mengetahui banyaknya tebu yang akan digiling, kemudian tebu dimasukkan ke dalam Cane Yard untuk diproses lanjut. Skema proses pembuatan gula dari tebu dapat dilihat pada Gambar 4.


(32)

WATER WATER WATER POLYMER CANE RECEIVING

RAW JUICE POLYMERS

EVAPORATORS CORROSION BIOCIDES OXYGEN SCAVENGERS ANTISCALANTS DISPERSANTS CORROSION INHIBITORS BOILER MILLING VACUUM PANS VISCOSITY MODIFIER CRYSTALIZER CENTRIFUGE DRYER SUGAR STORAGE TO REFINERY FERMENTATION PRODUCT YEAST PREPARATION INTERMEDIATE TANK

BIOCIDE, DISPERSANTS, AND CORROSION INHIBITORS ANTIFOAMS DISPERSAN FERMENTATION CENTRIFUGE ANTISEPTIC POLYMERS ANTISCALANTS FINISHED PRODUCT ALCOHOL NEUTRALIZATION NEUTRALIZATION ALCOHOL ANHYDROUS

ALCOHOL HYDRATE POLYMERS

CLARIFIERANTISCALANTS AND CLEANERS

PHOSPHATE

AIR FLOATATION CALCIUM FILTER SULFUR DIOXIDE DISTILLATION CLEANER RAW JUICE COAGULANT 1 3 4 5 6 7 8 9 10

2COOLING TOWER

Gambar 4 Proses pabrikasi gula secara umum (Sumber: PG Jatitujuh Cirebon)

Secara umum proses pabrikasi sampai menghasilkan gula dapat dibagi dalam 4 stasiun operasi yaitu:

a) Proses Ekstraksi

b) Pengendapan Kotoran Dengan Kapur (Liming) c) Proses Penguapan (Evaporasi)

d) Proses Kristalisasi e) Proses Penyimpanan f) Proses Pemurnian g) Proses Pendidihan h) Proses Pengolahan Sisa

a. Proses Ekstraksi

Tahap pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Di kebanyakan pabrik, tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang


(33)

berukuran besar. Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya digunakan di mesin pemanas (boiler). Di lain pabrik, sebuah diffuser digunakan seperti yang digambarkan pada pengolahan gula bit. Jus yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di dalam gula. Skema proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses ekstraksi gula

(Sumber: PG Jatitujuh Cirebon)

Jus dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 15% gula dan serat residu, dinamakan bagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula, sekitar 50% air serta pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang terhitung sebagai “abu”. Sebuah tebu bisa mengandung 12 hingga 14% serat dimana untuk setiap 50% air mengandung sekitar 25 hingga 30 ton bagasse untuk tiap 100 ton tebu atau 10 ton gula.

b. Pengendapan kotoran dengan kapur (Liming)

Pabrik dapat membersihkan jus dengan mudah dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming. Jus hasil ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan jus

yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui clarifier dengan kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat mengendap dan jus yang


(34)

keluar merupakan jus yang jernih. Kotoran berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan, dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian dikembalikan ke proses.

c. Proses Penguapan (Evaporasi)

Setelah mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan evaporasi. Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi. Jus yang sudah jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ‘evaporator majemuk' (multiple effect evaporator) yang dipanaskan dengan steam merupakan cara yang terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi).

d. Kristalisasi

Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar untuk dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.

Larutan induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil pecahan sukrosa. Oleh karena itu, tahapan-tahapan berikutnya menjadi semakin sulit, sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi tidak mungkin lagi dilanjutkan.


(35)

Gambar 6 Sentifugasi gula

Dalam sebuah pabrik pengolahan gula kasar (raw sugar) umumnya dilakukan tiga proses pendidihan. Pertama atau pendidihan “A” akan menghasilkan gula terbaik yang siap disimpan. Pendidihan “B” membutuhkan waktu yang lebih lama dan waktu tinggal di dalam panci pengkristal juga lebih lama hingga ukuran kristal yang diinginkan terbentuk. Beberapa pabrik melakukan pencairan ulang untuk gula B yang selanjutnya digunakan sebagai umpan untuk pendidihan A, pabrik yang lain menggunakan kristal sebagai umpan untuk pendidihan A dan pabrik yang lainnya menggunakan cara mencampur gula A dan B untuk dijual. Pendidihan “C” membutuhkan waktu secara proporsional lebih lama daripada pendidihan B dan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuk kristal. Gula yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai umpan untuk pendidhan B dan sisanya dicairkan lagi. Sebagai tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk dibuat alkohol.


(36)

e. Penyimpanan

Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut ketika sampai di negara pengguna.

f. Pemurnian

Proses pemurnian terdiri dari afinasi, karbonatasi, penghilangan warna, pendidihan dan pengolahan sisa (recovery).

Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang dinamakan dengan “afinasi”. Gula kasar dicampur dengan sirup kental (konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat). Campuran hasil (‘magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup sehingga pengotor dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk dilarutkan sebelum perlakuan berikutnya (karbonatasi). Cairan yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.

Tahap pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh. Pada tahap ini beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Salah satu dari dua teknik pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, Ca(OH)2] ke

dalam cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran tersebut. Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk partikel-partikel kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan berbagai padatan supaya mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan padatan tersebut stabil, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kondisi-kondisi


(37)

reaksi. Gumpalan-gumpalan yang terbentuk tersebut akan mengumpulkan sebanyak mungkin materi-materi non gula, sehingga dengan menyaring kapur keluar maka substansi-substansi non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan. Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap untuk proses selanjutnya berupa penghilangan warna. Selain karbonatasi, teknik yang lain berupa fosfatasi. Secara kimiawi teknik ini sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah pembentukan fosfat dan bukan karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit lebih kompleks, dan dapat dicapai dengan menambahkan asam fosfat ke cairan setelah liming seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Ada dua metoda umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya mengandalkan pada teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui kolom-kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi granular (granular activated carbon, GAC) yang mampu menghilangkan hampir seluruh zat warna. GAC merupakan cara modern setingkat “bone char”, sebuah granula karbon yang terbuat dari tulang-tulang hewan. Karbon pada saat ini terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah secara khusus untuk menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga sangat kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan terbakar keluar dari karbon. Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin penukar ion yang menghilangkan lebih sedikit warna daripada GAC tetapi juga menghilangkan beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang meningkatkan jumlah cairan yang tidak diharapkan.

Cairan jernih dan hampir tak berwarna ini selanjutnya siap untuk dikristalisasi kecuali jika jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan konsumsi energi optimum di dalam pemurnian. Oleh karenanya cairan tersebut diuapkan sebelum diolah di panci kristalisasi.

Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk tumbuhnya kristal gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk mengawali/memicu pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk memisahkan keduanya. Proses ini dapat diumpamakan dengan tahap pengeringan pakaian dalam mesin cuci yang berputar. Kristal-kristal


(38)

tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan.

Cairan sisa baik dari tahap penyiapan gula putih maupun dari pembersihan pada tahap afinasi masih mengandung sejumlah gula yang dapat diolah ulang. Cairan-cairan ini diolah di ruang pengolahan ulang (recovery) yang beroperasi seperti pengolahan gula kasar, bertujuan untuk membuat gula dengan mutu yang setara dengan gula kasar hasil pembersihan setelah afinasi. Seperti pada pengolahan gula lainnya, gula yang ada tidak dapat seluruhnya diekstrak dari cairan sehingga diolah menjadi produk samping: molase murni. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau dikirim ke pabrik fermentasi seperti misalnya pabrik penyulingan alkohol.

2.2 Ergonomi

Menurut Bridger (1995) istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu “Ergos” yang berarti kerja dan “Nomos” yang berarti hukum. Ergonomi adalah aplikasi informasi pengetahuan tentang keinginan manusia pada permasalahan perancangan. Dengan demikian ergonomi adalah dasar pengetahuan mencakup data dan metodologi yang menitikberatkan faktor-faktor pengguna dalam perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah, dan tempat rekreasi. Ergonomi disebut juga human factor engineering. Ergonomi digunakan oleh berbagai macam ahli seperti ahli anatomi, arsitektur, perancangan produk industri, fisika, fisioterapi, psikologi dan teknik industri.

Ergonomi dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaanya. Disiplin ini akan secara khusus mempelajari kemampuan dan keterbatasan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada saat berhadapan dengan lingkungan pekerjaannya yang berupa perangkat keras (mesin, peralatan kerja, dsb.) dan perangkat lunak (metode kerja, sistem dan prosedur).


(39)

Gambar 7 Bidang keilmuan yang terkait dengan ergonomi (sumber:http://www.lfe.mw.tumuenchen.de/lehrstuhl)

Pada bulan Agustus 2000 IEA Council (International Ergonomics Association) mendefinisikan bahwa Ergonomics (or human factors) is the scientific discipline concerned with the understanding of interactions among humans and other elements of a system, and the profession that applies theory, principles, data and methods to design in order to optimize human well-being and overall system performance. Dengan demikian ergonomi adalah multidisiplin ilmu mencakup human science, engineering science dan economic and social science. Secara organisatoris bidang ilmu, hubungan antar bidang ilmu tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Dalam membahas penerapan ergonomi, Schmidtke (1993) menyatakan bahwa tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan performansi seluruh sistem kerja dan pada waktu yang sama mengurangi ketegangan pekerja selama melaksanakan pekerjaan tersebut dengan cara menganalisa pekerjaan, lingkungan kerja dan interaksi manusia mesin. Lingkup ini adalah lingkup ergonomi mikro atau disebut juga traditional ergonomic.

Komponen manusia dalam sudut pandang ergonomi merupakan komponen utama yang harus diperhatikan. Manusia terdiri dari komponen fisik dan non fisik. Ilmu yang mempelajari aspek fisik dikenal dengan antropometri, yang merupakan bagian dari ranah ergonomi berkaitan dengan pengukuran dimensi dan karakteristik tertentu dari tubuh manusia seperti volume, titik berat. Antropometri

Human Science ƒMedicine ƒPsychology ƒSociology ƒPedagogics Engineering Science ƒ Physics ƒ Construction

ƒ Measurement and Control

Economics and Social Science

ƒ Ecologics

ƒ Economics

ƒ Industrial Law

ERGONOMICS

Praxeologies

Micro Ergonomics

Rules for the technical design of work tools and workplaces

Macro Ergonomics

Rules for the design of organization, production and working groups


(40)

terdiri atas antropometri statis, dinamis dan newtonian. Antropometri statis mengukur dimensi fisik manusia dengan 2 posisi yaitu duduk dan berdiri statis. Pengukuran dilakukan dengan kursi ukur atau antropometer standar. Antropometri dinamis adalah ilmu yang mempelajari dimensi fisik manusia pada waktu manusia melakukan gerakan-gerakan relatif terhadap posisi statis. Gerakan relatif misalnya menjulurkan tangan ke depan untuk menjangkau sesuatu, kemudian digerakkan ke atas dan ke bawah, maka akan didapat sudut-sudut maksimum gerakan pada masing-masing arah tersebut. Contoh lain adalah gerakan bola mata naik turun terdapat juga batasan sudut yang dapat dilakukan. Antropometri newtonian membahas tentang kemampuan tenaga komponen tubuh manusia. Misalnya berapa kemampuan angkat maksimum tangan kanan, berapa kemampuan maksimum tangan kiri, berapa kemampuan punggung dan sebagainya. Data antropometri digunakan untuk menentukan dimensi tempat kerja, peralatan, furnitur dan pakaian sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia dan untuk meyakinkan bahwa ketidaksesuaian antara dimensi peralatan atau produk dengan dimensi pengguna dapat dihindarkan.

Hal lain yang terkait dengan ergonomi adalah biomekanika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang aktivitas-aktivitas manusia ketika bekerja atau beraktivitas dan bagaimana cara pengukurannya (berhubungan dengan biomekanika). Menurut Kromer (2001) biomekanika adalah penerapan prinsip-prinsip fisika mekanika pada sistem tubuh manusia mencakup keseimbangan statis dan dinamis. Sedangkan untuk penerapan dalam sistem kerja industri menurut Chaffin( 1991) yang mengutip dari Frankel dan Nordin (1980), biomekanika menerapkan hukum-hukum fisika dan konsep teknik untuk menggambarkan gerakan-gerakan dari berbagai segmen tubuh manusia dan besarnya gaya-gaya yang bekerja pada bagian-bagian tubuh tersebut selama aktifitas normal harian. Biomekanika kerja merupakan ilmu yang mempelajari gerakan-gerakan tubuh saat bekerja dimana meliputi kekuatan, kecepatan, ketelitian, ketahanan dan ketrampilan gerak. Pengukuran kekuatan fisik individu tidak hanya ditentukan oleh kekuatan otot saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif lainnya seperti: besarnya tenaga yang dikeluarkan, cara dan sikap melaksanakan aktivitas, jenis kelamin, umur dan arah dari gerakan anggota tubuh.


(41)

2.2.1 Man-Machine Model

Ergonomi adalah ilmu tentang perancangan sistem kerja. Menurut Leamon dalam Bridger (1995) sistem kerja terdiri dari manusia, mesin (alat) dan lingkungan. Masing-masing komponen berinteraksi dengan yang lain, saling mempengaruhi seperti skema Man-Machine Model yang disampaikan oleh Leamon pada Gambar 8.

Gambar 8 Man-machine model Leamon, diadaptasi dari Bridger (1995)

Interaksi antar komponen terjadi secara terus-menerus sepanjang proses kerja dilakukan. Perubahan yang terjadi pada satu komponen akan mempengaruhi komponen yang lain dan dengan demikian harus direspon terutama oleh manusia yang mengendalikan proses tersebut.

Komponen mesin/alat mencakup proses yang dikendalikan dalam alat tersebut, display dan sistem kendali. Proses yang dikendalikan adalah proses yang dilakukan mesin sesuai dengan fungsi dari alat tersebut yang disesuaikan dengan tugas yang yang harus diselesaikan. Untuk menggerakkan mesin/alat diperlukan alat pengandali yaitu control. Bagian ini bisa berupa pegangan, tuas, tombol tekan atau tombol putar, atau bahkan berupa penerima sinyal suara yang akan menggerakkan mesin. Jika sudah mendapat perintah operator melalui aksi dari efektor, mesin akan beroperasi sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Beberapa saat kemudian mesin akan memberikan informasi keadaan operasi melalui display pada mesin tersebut. Informasi display ini akan ditangkap oleh panca indera manusia/operator. Informasi yang diperlukan berbagai macam, misalnya : cahaya, suara, panas, tekanan, gelombang, ketinggian, posisi dll. Display dapat berupa layar baca, penunjuk temperatur, getaran, suara atau bentuk display digital.


(42)

Display yang baik adalah jika informasi yang dapat ditangkap oleh indera manusia sesuai dengan kondisi mesin yang sesungguhnya.

 

Persoalan yang timbul pada display sehingga susah memberikan rangsangan pada pekerja untuk beraksi meliputi:

a) terlalu kecil b) terlalu besar

c) bercampur dengan gangguan

d) di luar batas penerimaan indera manusia e) perlu diamati lebih teliti

f) perlu disimpan untuk jangka waktu lama, misalnya peta

g) harus dirubah dalam format yang lain, misalnya sirine, bau gas.

Komponen manusia terdiri atas efektor, indera dan pemroses informasi. Efektor adalah bagian dari tubuh manusia yang memberikan aksi kepada mesin/alat. Bagian ini mencakup tangan (jari-jari sampai pergelangan tangan), kaki (jari-jari dan telapak kaki), serta suara. Bagian tubuh ini berfungsi untuk memberikan perintah kepada alat sesuai dengan kebutuhan dari pekerjaan yang dikehendaki. Pada alat-alat tradisional sebagian besar pengendalinya digerakkan/dioperasikan dengan tangan atau kaki. Namun beberapa alat modern saat ini banyak yang menggunakan perintah berupa suara. Aksi dari efektor harus cukup untuk menggerakkan control pada alat, sehingga dalam hal ini diperlukan perhitungan besarnya tenaga yang diperlukan, dan berapa kekuatan tangan atau kaki sesuai dengan data antropometri newtonian. Setelah alat bekerja, kondisi kerja akan ditampilkan alat dalam bentuk display. Informasi ini akan ditangkap indera manusia, yang terdiri dari panca indera. Jika informasi berupa visual dispaly, maka akan ditangkap oleh mata. Jika informasi berupa temperatur, akan ditangkap oleh indera perasa pada kulit dan seterusnya. Informasi keadaan alat ini selanjutnya akan dikirim ke otak untuk diolah, dibandingkan dengan referensi yang dimiliki operator/manusia. Jika informasi ini sudah sesuai dan dalam kondisi baik, maka operator tidak akan memberikan aksi tambahan kepada alat melalui efektor. Namun jika informasi ini kurang baik atau belum sesuai dengan keadaan yang dikehendaki sesuai dengan referensi operator, maka operator akan memberikan aksi melalui efektor untuk mengatur kondisi operasi mesin, demikian


(43)

seterusnya. Proses ini berjalan terus sehingga kondisi mesin dapat bekerja sesuai dengan yang dikehendaki sepanjang waktu kerjanya. Dalam melakukan pekerjaan, manusia juga memiliki suatu perilaku/behaviour yang akan menentukan apakah dia akan bekerja sesuai tugas dengan baik atau tidak. Salah satu aspek pendukung perilaku kerja manusia adalah motivasi. Seseorang yang memiliki motivasi yang baik akan melakukan kerja dengan baik, sedikit melakukan kesalahan (human error), produktivitas tinggi dan tingkat kelelahan dan kecelakaan kerja yang rendah.

Komponen ketiga dalam man-machine model dari Leamon adalah komponen lingkungan. Komponen lingkungan terdiri dari ruang kerja (work space), lingkungan fisik, dan lingkungan organisasi. Ruang kerja adalah ruangan yang diperlukan untuk meletakkan alat, material, pendukung, ruang gerak serta ruang meletakkan hasil kerja. Lingkungan fisik meliputi kondisi pencahayaan, kebisingan, getaran, polusi, kelembaban, bau-bauan, dan temperatur. Kondisi fisik ini akan mempengaruhi langsung kepada manusia, sebab manusia memiliki keterbatasan fisik dan psikis dalam menerima kondisi lingkungan. Jika ambang batas kemampuan manusia dilewati, akan menimbulkan ketidaknyamanan, kelelahan yang berlebihan, motivasi kerja yang menurun, banyaknya kesalahan serta secara umum akan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan organisasi mencakup bagaimana pengorganisasian pekerjaan, pembagian jam kerja dan jam istirahat, kompensasi yang didapat pekerja, hari libur kerja, sistem kerja lembur dan sebagainya yang menyangkut organisasi dari perusahaan/tempat kerja tersebut.

Wignjosoebroto (2003) memberikan penjelasan tentang posisi manusia dalam sistem kerja seperti pada Gambar 9. Komponen sistem kerja terdiri dari human operator, firmware, sofware, hardware dan dipengaruhi oleh lingkungan. Output dari sistem akan memberikan input sehingga perlu peningkatan kinerja selanjutnya. Sistem kerja akan didesain ulang sehingga mendapatkan nilai output yang dikehendaki


(44)

Gambar 9 Posisi manusia dalam sistem kerja (Sumber: Wignjosoebroto 2003)

2.2.2 Prinsip FJM dan FMJ

Menurut Bridger (1995), dalam perancangan sistem kerja, perancangan akan mempertimbangkan 2 komponen yang saling terkait yaitu komponen manusia dan komponen pekerjaan. Manusia akan selalu berinteraksi dengan pekerjaan dengan segenap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Di lain fihak sistem menuntut agar pekerjaan dapat diselesaikan tanpa banyak kesalahan, menghasilkan kualitas produk yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Keberhasilan dari sebuah sistem kerja dapat dilihat dari tingkat efektifitas, efisiensi dan produktivitas kerja. Semakin baik sebuah sistem kerja artinya semakin efisien, semakin efektif dan semakin produktif. Dalam melakukan perancanangan sistem kerja, perancang dihadapkan dengan 2 pilihan prinsip perancangan yaitu prinsip ‘fit the man to the job’ (menyesuaikan manusia kepada tuntutan pekerjaan), dan prinsip ‘fit the job to the man’ (menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia).

Prinsip fit the man to the job didasarkan pada pemikiran bahwa produktivitas dan efisiensi suatu sistem kerja dapat ditingkatkan dengan cara memilih pekerja yang sesuai dengan tugas dan kondisi kerja yang harus dihadapi. Prinsip ini sesuai untuk beberapa pekerjaan, terutama yang menyangkut keamanan baik keamanan institusi, komunitas maupun keamanan negara. Misalnya


(1)

N = nrow(Y); P = ncol(Y); %if &std = NONE %then Y = Y - Y[:] %str(;); /* remove grand

mean */ %else Y = Y - J(N,1,1)*Y[:,] %str(;); /* remove column

means */

%if &std = STD %then %do; S = sqrt(Y[##,] / (N-1)); Y = Y * diag (1 / S ); %end; *-- Singular value decomposition: Y is expressed as U diag(Q) V prime Q contains singular values, in descending order; call svd(u,q,v,y); reset fw=8 noname; percent = 100*q##2 / q[##]; cum = cusum(percent); c1={'Singular Values'}; c2={'Percent'}; c3={'Cum % '}; Print "Singular values and variance accounted for",, q [colname=c1 format=9.4 ] percent [colname=c2 format=8.2 ] cum [colname=c3 format=8.2 ]; d = &dim ; *-- Assign macro variables for dimension labels; lab = '%let p' + char(t(1:d),1) + '=' +

left(char(percent[t(1:d)],8,1)) + ';'; call execute(lab); /* call execute('%let p1=', char(percent[1],8,1), ';'); call execute('%let p2=', char(percent[2],8,1), ';'); if d > 2 then call execute('%let p3=', char(percent[3],8,1), ';'); */ *-- Extract first d columns of U & V, and first d elements

of Q;

U = U[,1:d]; V = V[,1:d]; Q = Q[1:d]; *-- Scale the vectors by QL, QR; * Scale factor 'scale' allows expanding or contracting the

variable

vectors to plot in the same space as the observations; QL= diag(Q ## g ); QR= diag(Q ## (1-g)); A = U * QL; B = V * QR; ratio = max(sqrt(A[,##])) / max(sqrt(B[,##])); print 'OBS / VARS ratio:' ratio 'Scale:' scale; if scale=0 then scale=ratio; B = B # scale; OUT=A // B;


(2)

*-- Create observation labels; id = id // vars`; type = repeat({"OBS "},n,1) // repeat({"VAR "},p,1); id = concat(type, id); factype = {"GH" "Symmetric" "JK"}[1 + 2#g]; print "Biplot Factor Type", factype; cvar = concat(shape({"DIM"},1,d), char(1:d,1.)); print "Biplot coordinates", out[rowname=id colname=cvar f=9.4]; %if &pplot = YES %then %do; call pgraf(out[,{1 2}],substr(id,5),'Dimension 1', 'Dimension

2', 'Biplot');

%end; create &out from out[rowname=id colname=cvar]; append from out[rowname=id]; finish; start power(x, pow); if pow=1 then return(x); if any(x <= 0) then x = x + ceil(min(x)+.5); if abs(pow)<.001 then xt = log(x); else xt = ((x##pow)-1) / pow; return (xt); finish; /*--- Main routine */ use &data; read all var &var into y[ c=vars ]; %if &id = %str() %then %do; id=compress(char(1:nrow(xy),4))`; %end; %else %do; read all var{&id} into id; %end; * read all var &var into y[colname=vars rowname=&id]; %if &power ^= 1 %then %do; y = power(y, &power); %end; scale = &scale; run biplot(y, id,vars,out, &p, scale ); quit; /*---* | Split ID into _TYPE_ and _NAME_ | *---*/ data &out; set &out; drop id; length _type_ $3 _name_ $16; _type_ = substr(id,1,3); _name_ = substr(id,5); label %do i=1 %to &dim; dim&i = "Dimension &i (&&p&i%str(%%))"


(3)

%end; ; /*---* | Annotate observation labels and variable vectors | *---*/ %*-- Assign colors and symbols; %let c1= %scan(&colors,1); %let c2= %scan(&colors,2); %if &c2=%str() %then %let c2=&c1; %let v1= %upcase(%scan(&symbols,1)); %let v2= %upcase(%scan(&symbols,2)); %if &v2=%str() %then %let v2=&v1; %let i1= %upcase(%scan(&interp,1)); %let i2= %upcase(%scan(&interp,2)); %if &i2=%str() %then %let i2=&i1; data &anno; set &out; length function color $8 text $16; xsys='2'; ysys='2'; %if &dim > 2 %then %str(zsys='2';); text = _name_; if _type_ = 'OBS' then do; /* Label observations (row

points) */

color="&c1"; if "&i1" = 'VEC' then link vec; x = &xanno; y = &yanno; %if &dim > 2 %then %str(z = &zanno;); %if &v1=NONE %then %str(position='5';); %else %do; if dim1 >=0 then position='>'; /* rt justify */ else position='<'; /* lt justify */ %end; function='LABEL '; output; end; if _type_ = 'VAR' then do; /* Label variables (col

points) */

color="&c2"; if "&i2" = 'VEC' then link vec; x = &xanno; y = &yanno; if dim1 >=0 then position='6'; /* down justify */ else position='2'; /* up justify */ function='LABEL '; output; /* variable name */ end; return; vec: /* Draw line from the origin to point */ x = 0; y = 0; %if &dim > 2 %then %str(z = 0;); function='MOVE' ; output; x = &xanno; y = &yanno; %if &dim > 2 %then %str(z = &zanno;);


(4)

function='DRAW' ; output; return; %if &gplot = YES %then %do; %if &i1=VEC %then %let i1=NONE; %if &i2=VEC %then %let i2=NONE; %let legend=nolegend; %let warn=0; %if %length(&haxis)=0 %then %do; %let warn=1; axis2 offset=(1,5) ; %let haxis=axis2; %end; %if %length(&vaxis)=0 %then %do; %let warn=1; axis1 offset=(1,5) label=(a=90 r=0); %let vaxis=axis1; %end; proc gplot data=&out &GOUT; plot dim2 * dim1 = _type_/ anno=&anno frame &legend href=0 vref=0 lvref=3 lhref=3 vaxis=&vaxis haxis=&haxis vminor=1 hminor=1 name="&name" des="Biplot of &data"; symbol1 v=&v1 c=&c1 i=&i1; symbol2 v=&v2 c=&c2 i=&i2; run; quit; %if &warn %then %do; %put WARNING: No VAXIS= or HAXIS= parameter was

specified, so the biplot axes have not; %put WARNING: been equated. This may lead to

incorrect interpretation of distance and;

%put WARNING: angles. See the documentation.; %end; goptions reset=symbol; %end; /* %if &gplot=YES */ %done: %mend BIPLOT;

data kecap;

input id$ umur pengalaman bebankerja kecelakaankerja kelelahan lingkunganorganisasi;

cards;

1 47 23 20 21 44 21 2 47 24 22 44 25 20 3 53 24 22 38 19 17 4 48 24 18 25 44 19 5 46 25 31 25 21 15 6 51 24 20 23 18 17 7 50 24 18 36 23 15 8 48 24 9 29 15 15 9 48 22 20 52 29 17 10 49 26 22 25 23 15 11 44 24 20 34 21 19 12 50 24 12 30 21 19 13 49 24 16 26 23 13


(5)

14 44 24 22 50 43 20 15 48 24 14 43 23 19 16 42 24 16 36 25 19 17 42 12 20 36 35 19 18 35 12 18 35 27 17 19 40 20 15 31 34 20 20 30 8 16 50 32 20 21 25 3 16 50 32 20 22 45 20 15 29 37 17 23 37 10 15 42 37 17 24 43 24 15 38 28 17 25 46 21 18 32 19 18 26 44 24 8 13 15 15 27 47 24 18 48 35 16 28 49 25 14 34 23 21 29 46 22 10 21 22 19 30 46 22 10 38 15 15 31 43 20 12 42 20 16 32 48 25 10 28 15 15 33 45 25 22 42 39 17 34 47 20 24 45 19 17 35 45 23 22 47 22 17 36 49 23 24 38 19 17 37 46 23 18 30 19 17 38 47 23 24 30 19 17 39 45 20 16 31 38 16 40 46 15 16 27 38 16 41 46 20 16 30 35 16 42 40 15 16 31 37 14 43 48 25 17 32 27 17 44 37 15 22 27 38 19 45 27 4 19 16 21 17 46 38 16 16 33 21 21 47 48 23 19 36 25 21 48 42 20 16 36 23 20 49 36 15 16 44 43 15 50 41 18 18 36 23 17 51 45 20 18 36 23 15 52 46 24 12 29 18 16 53 33 6 12 30 21 15 54 38 12 14 32 19 17 55 40 20 16 14 15 19 56 45 22 15 46 35 15 57 45 21 10 42 25 14 58 39 15 16 38 17 17 59 37 12 12 32 17 16 60 48 24 12 32 19 15 61 44 24 12 32 19 15 62 40 18 22 36 20 17 63 52 28 16 28 20 19 64 28 4 20 36 32 15 65 48 23 20 30 21 15 66 41 20 18 31 35 16 67 42 20 19 33 34 16 68 47 22 16 38 41 21 69 53 23 14 44 33 17 70 47 23 14 44 29 17 71 45 22 14 42 29 17 72 43 24 16 32 29 16


(6)

73 43 22 14 30 29 17 74 40 16 18 28 28 17 75 50 24 20 27 22 11 76 45 24 18 36 33 17 77 41 20 18 36 35 17 78 48 24 20 35 21 19 79 39 18 16 27 25 17 ;

%biplot; run;