Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula

(1)

PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO

TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA

PABRIK GULA

FARRY APRILIANO HASKARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja Pada Pabrik Gula adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2008

Farry Apriliano Haskari


(3)

ABSTRACT

FARRY APRILIANO HASKARI. Model Scheme of Macro Ergonomics Factor for Work System Productivity in Sugar Mill. Under supervision of SAM HERODIAN and LENNY SAULIA.

Sugar mill is a part of sugar industry representing a dynamic work system which occupies machine and human labour. The good scheme ergonomic covers the micro and macro ergonomics to improve productivity of work system. This research was conducted in order to learn and determine the macro and micro parameter of ergonomics at the work system in a sugar mill. The determination of these parameters was applied in model scheme of micro and macro ergonomic factors to improve work system productivity. The illumination, temperature, humidity, noise, vibration, and operator perceptions ware collected as data input for modelling system using artificial neural network. As the result, the optimum productivity level in PG Bungamayang can be reached if the combination of macro and micro ergonomic factors for the illumination 100-200 lux, temperature 25 0C, humidity 60-70%, noise 85 dB, vibration 1.6-2 m/s2 and very care to organizational work system of the operator perception level with the predicted productivity level equals to 1858-1865 ton cane/shift, and in PG Jatitujuh can be reached if illumination 220-260 lux, temperature 28-29 0C, humidity 62-66%, noise 80 dB, vibration 1.2-1.6 m/s2 and very care to organizational work system of the operator perception level, with the predicted productivity level equals to 1464-1592 ton cane / shift.


(4)

RINGKASAN

FARRY APRILIANO HASKARI. Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula. Dibimbing oleh SAM HERODIAN dan LENNY SAULIA.

Pabrik gula adalah bagian dari industri gula yang merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan ( turn-over) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi).

Produktivitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia

(human factor). Dalam rangka meningkatkan produktivitas, perbaikan prestasi

kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, pekerjaan dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan Produktivitas tenaga kerja.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. Penelitian ini telah dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas. Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei sampai Juni 2008. Prosedur penelitian yang digunakan secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, kalibrasi dan validasi, kemudian dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan.

Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik meliputi tingkat pencahayaan (illuminasi), suhu, kelembaban, kebisingan dan getaran. Pengukuran ini dilakukan di kedua pabrik gula pada stasiun gilingan, pemurnian, pemasakan, pengupan, puteran, boiler dan power house dengan mengukur kondisi lingkungan fisik di tempat operator bekerja. Pada PG Bungamayang dilakukan pada 24 titik pengukuran dan di PG Jatitujuh dilakukan pada 48 titik pengukuran dengan 10 kali ulangan pada masing-masing titik.

Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran detak jantung dengan heart rate dan menggunakan kuisioner. Pengukuran beban kerja


(5)

dilakukan pada tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Kegiatan yang diamati pada stasiun ini yaitu kegiatan mengatur bagas pada tungku pembakaran boiler. Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi dengan menggunakan kuisiner dilakukan pada 79 orang responden di PG Bungamayang dan 54 orang responden di PG Jatitujuh.

Data ergonomi mikro dan makro ini kemudian digunakan dalam simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) menggunakan software Matlab R2008a dengan menggunakan neural network toolbox. Model JST yang dibangun terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama terdiri dari enam parameter input antara lain pencahayaan, suhu, kelembaban, keisingan, getaran dan perspektif operator terhadap lingkungan organisasinya dengan tiga parameter output antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan kelelahan. Model JST tahap kedua menggunakan tiga parameter input antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan

kelelahan dengan satu parameter output yaitu tingkat produktivitas (ton cane/shift).

Dari hasil kalibrasi dan validasi model JST untuk PG Bungamayang, tahap pertama diperoleh model JST 6-2-1 dengan jumlah sepuluh node pada

hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.768 dan nilai validasi R2=0.765. Model

JST tahap kedua diperoleh model JST 3-1-1 dengan tiga node pada hidden

layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.789 dan nilai validasi R2=0.818. Sedangkan

untuk PG Jatitujuh, hasil kalibrasi dan validasi model JST tahap pertama diperoleh model JST 3-3-1 dengan jumlah node 300 pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R2=0.881 dan validasi R2=0.858. Dan untuk model JST tahap kedua diperoleh model JST 3-4-1 dengan 300 node pada hidden layer

menunjukkan nilai kalibrasi R2=0.6646 dan validasi R2=0.7018.

Optimasi model dilakukan untuk mendapatkan bentuk rancangan sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomi mikro dan makro yang optimum sehingga dalam proses produksi sesuai dengan kondisi ergonomi mikro dan makro yang sesuai dengan nilai ambang batas bagi operator. Berdasar hasil

optimasi disimpulkan bahwa tingkat produktivitas yang optimum di PG Bungamayang dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter

ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 100-120 lux, suhu 25 0C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 dB, getaran antara 1.6-2 m/s2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya, maka tingkat produktivitas yang dicapai antara 1858-1865 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 2.9-3.25% (174-195 ton cane/day), dan 1.5% (94.5 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 120 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. Tingkat produktivitas yang optimum di PG Jatitujuh dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara 220-260 lux, suhu 28-29 0C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 dB, getaran antara 1.2-1.6 m/s2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya dengan tingkat produktivitas yang dicapai antara 1464-1592 ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 5.7-12.1% (342-726 ton cane/day), dan 4.36% (196 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 260 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO

TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA

PABRIK GULA

FARRY APRILIANO HASKARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Judul Tesis : Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula

Nama : Farry Apriliano Haskari NIM : F151060081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian

Prof. Dr. Ir. Armansyah H.T, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan Rahmat-Nya sehingga dengan perkenan-Nya jualah Tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa akanlah sulit untuk dapat menyelesaikan penelitian tesis ini tanpa bantuan moril dan semangat dari banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada :

1 Dr. Ir. Sam Herodian, M.S, selaku Ketua Pembimbing yang selalu memberi bimbingan, arahan, waktu dalam penelitian dan penulisan tesis dan semangat untuk berkarya dengan sebaik-baiknya.

2 Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si., Pembimbing anggota yang memberikan bimbingan, arahan, waktu, bantuan dalam penelitian dan penulisan tesis.

3 Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si., sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji penulisan tesis ini.

4 Departemen Perguruan Tinggi Negeri (DIKTI) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program peningkatan kemampuan Strata-2 di Institut Pertanian Bogor melalui sumber dana BPPS.

5 PG Bungamayang dan PG Jatitujuh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan kegiatannya dalam rangka riset ergonomi pada proses pabrikasi gula.

6 Teman-teman Program Studi Keteknikan Pertanian 2006 yang telah banyak memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini, terkhusus pada tim peneliti (Lamto Widodo, Sukris TC, Budi Santoso, Ludi C, Heru, Bayu, Tania, Malik dan Vidy)

7 Keluarga besar Sagiman dan Fachsor Lanwi Gumay, khususnya istriku tercinta Nesty Gumayeka serta buah hatiku Azzahra Raudhah Ramadhani dan Muhammad Azmi atas kesabaran, dukungan dan do’anya.

8 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, 14 April 1976 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Mayor. Purn. Sagiman dan Ibunda Suparmi.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah di SDN No.2 Sukarami tahun 1982-1988, kemudian SMPN 40 Palembang tahun 1988-1991, dan SMAN 13 Palembang tahun 1991-1994. Pendidikan tinggi ditempuh di Universitas Sriwijaya, Palembang, Pada Fakultas Pertanian (FP) Jurusan Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun 2000.

Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pada program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Keteknikan Pertanian dengan mendapatkan Beasiswa BPPS dari DIKTI.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

1 PENDAHULUAN ... i

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Batasan Masalah dan Asumsi ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ergonomika ... 5

2.2 Ergonomi Mikro ... 5

2.2.1 Kebisingan ... 6

2.2.2 Suhu dan Kelembaban ... 9

2.2.3 Pencahayaan ... 9

2.2.4 Getaran ... 10

2.3 Ergonomi Makro ... 11

2.4 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja ... 12

2.4.1 Kelelahan ... 12

2.4.1.1 Definisi Kelelahan ... 12

2.4.1.2 Jenis Kelelahan ... 12

2.4.1.3 Gejala-Gejala Kelelahan ... 14

2.4.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan ... 15

2.4.1.5 Mekanisme Terjadinya Kelelahan ... 17

2.4.2 Beban Kerja ... 17

2.4.3 Kecelakaan Kerja ... 20

2.5 Produktifitas ... 20

3 METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Tempat dan Waktu ... 22

3.2 Obyek dan Alat ... 22

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.3.1 Studi Pendahuluan ... 23

3.3.2 Pengambilan Data ... 23

3.3.2.1 Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik ... 23

3.3.2.2 Pengukuran Beban Kerja... 26

3.3.2.3 Pengukuran Makro Ergonomi ... 30

3.3.3 Pemodelan Sistem ... 30

3.3.3.1 Proses Pembelajaran Model JST ... 32

3.3.3.2 Verifikasi dan Validasi Model JST ... 35

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Profil Perusahaan ... 36

4.1.1 Pabrik Gula Jatitujuh ... 36

4.1.1.1 Sejarah Perusahaan ... 36

4.1.1.2. Mesin dan Peralatan Produksi ... 38

4.1.1.3 Sarana Penunjang dalam Proses Produksi ... 39

4.1.1.3.1 Stasiun Boiler ... 39

4.1.1.3.2 Stasiun Instrument listrik ... 40 1


(12)

4.1.1.4 Proses Produksi ... 40

4.1.2 Pabrik Gula Bungamayang ... 49

4.1.2.1 Sejarah Perusahaan ... 49

4.1.2.2 Proses Produksi ... 50

4.1.2.2.1 Stasiun Penerimaan Bahan Baku ... 51

4.1.2.2.2 Stasiun Pemerahan Nira ... 51

4.1.2.2.3 Stasiun Pemurnian Nira ... 52

4.1.2.2.4 Stasiun Penguapan ... 53

4.1.2.2.5 Stasiun Kristalisasi... 54

4.1.2.2.6 Stasiun Puteran ... 55

4.1.2.2.7 Stasiun Boiler ... 56

4.1.2.2.8 Stasiun Listrik ... 58

4.2 Ergonomi Mikro ... 58

4.2.1 Pecahayaan ... 58

4.2.1.1 Shift Pagi ... 58

4.2.1.2 Shift Siang ... 59

4.2.1.3 Shift Malam ... 59

4.2.2 Suhu ... 60

4.2.2.1 Shift Pagi ... 60

4.2.2.2 Shift Siang ... 60

4.2.2.3 Shift Malam ... 61

4.2.3 Kelembaban ... 61

4.2.3.1 Shift Pagi ... 61

4.2.3.2 Shift Siang ... 62

4.2.3.3 Shift Malam ... 62

4.2.4 Kebisingan ... 63

4.2.4.1 Shift Pagi ... 63

4.2.4.2 Shift Siang ... 63

4.2.4.3 Shift Malam ... 64

4.2. 5 Getaran ... 64

4.2.5.1 Shift Pagi ... 64

4.2.5.2 Shift Siang ... 65

4.2.5.3 Shift Malam ... 65

4.3 Ergonomi Makro ... 66

4.3.1 Pabrik Gula Jatitujuh ... 66

4.3.1.1 Struktur Organisasi ... 66

4.3.1.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan ... 67

4.3.2 Pabrik Gula Bungamayang ... 68

4.3.2.1 Struktur Organisasi ... 68

4.3.2.2 Fasilitas dan Sistem Pengupahan ... 70

4.4 Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan ... 71

4.4.1 Beban Kerja Menggunakan Heart Rate ... 71

4.4.1.1 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Jatitujuh ... 72

4.4.1.1.1 Shift Pagi ... 73

4.4.1.1.2 Shift Siang ... 79

4.4.1.1.3 Shift Malam ... 82

4.4.1.2 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Bungamayang ... 84

4.4.1.2.1 Shift Pagi ... 84

4.4.1.2.2 Shift Siang ... 90

4.4.1.2.3 Shift Malam ... 97

4.4.2 Kuisioner Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan ... 104

4.5 Simulasi ... 106


(13)

4.5.2 Analisis Model ... 107

4.5.3 Verifikasi Model JST ... 107

4.5.3.1 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang ... 107

4.5.3.2 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang ... 108

4.5.3.3 Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh ... 108

4.5.3.4 Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh ... 109

4.5.4 Validasi Model JST ... 110

4.5.4.1 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang ... 110

4.5.4.2 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang ... 110

4.5.4.3 Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh ... 111

4.5.4.4 Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh ... 111

4.5.5 Prediksi Model ... 112

4.5.5.1 Illuminasi ... 113

4.5.5.2 Suhu ... 116

4.5.5.3 Kelembaban ... 120

4.5.5.4 Kebisingan ... 123

4.5.5.5 Getaran ... 127

4.5.5.6 Lingkungan Organisasi ... 130

4.5.6 Optimasi Rancangan Sistem Kerja ... 133

5 KESIMPULAN... 136

5.1 Kesimpulan ... 136

5.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 138


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Effek kebisingan dibawah 85 dB ... 6

2 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan ... 8

3 Pemandu untuk illuminasi ... 9

4 Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis ... 19

5 Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh ... 29

6 Katagori pekerjaan berdasarkan IRHR ... 29

7 Rincian penggunaan areal unit usaha Bungamayang ... 50

8 Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan ... 54

9 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi ... 58

10 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ... 59

11 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam ... 59

12 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi ... 60

13 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ... 60

14 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam ... 61

15 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi ... 61

16 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ... 62

17 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam ... 62

18 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi ... 63

19 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ... 63

20 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam ... 64

21 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi ... 64

22 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang ... 65


(15)

23 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan

PG Jatitujuh pada shift malam ... 65

24 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 72

25 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 72

26 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ... 73

27 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama ... 74

28 Denyut jantung operator kedua (mulyadi) pada saat step test ... 75

29 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua ... 76

30 Energy cost pada operator pertama dan kedua ... 79

31 Energy cost pada kedua operator pada shift siang ... 81

32 Energy cost pada kedua operator pada shift malam ... 84

33 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 84

34 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ... 85

35 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama ... 86

36 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 86

37 Denyut jantung operator kedua pada saat step test ... 87

38 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua ... 88

39 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift pagi ... 90

40 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 91

41 Denyut jantung operator pertama pada saat step test ... 91

42 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama pada shift siang ... 92

43 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 93

44 Denyut jantung operator kedua pada saat step test ... 93

45 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua ... 94

46 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift siang ... 97

47 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 97


(16)

49 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada

operator pertama pada shift malam ... 99

50 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler ... 99

51 Denyut jantung operator kedua pada saat step test ... 100

52 Tabel hubungan TECST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua ... 101

53 Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift malam ... 103

54 Indikator tingkat beban kerja secara subyektif ... 104

55 Indikator tingkat kecelakaan kerja secara subyektif ... 104

56 Indikator tingkat kelelahan secara subyektif ... 104

57 Indikator tingkat perspektif karyawan terhadap lingkungan organisasi ... 104

58 Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi secara umum pada proses produksi gula ... 105

59 Perspektif operator shift pagi terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula ... 105

60 Perspektif operator shift siang terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula ... 105

61 Perspektif operator shift malam terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula. .. 105

62 Sebaran data input pada enam parameter ergonomi untuk model JST tahap pertama ... 106

63 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama ... 107

64 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 6-2-1 (Training) dengan 10 node pada hiddenlayer ... 108

65 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ... 108

66 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama ... 109

67 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST 3-3-1 (Training) dengan 300 node pada hiddenlayer ... 109

68 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ... 110

69 Pengaruh variasi jumlah node dalam validasi model JST yang dibangun ... 110

70 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua ... 111

71 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun ... 111

72 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun ... 112


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pada pabrik

gula ... 3

2 Diagram alir metode penelitian ... 23

3 Alat ukur temperatur digital ... 24

4 Vibrationmeter ... 25

5 Tachometer ... 26

6 Skema pemodelan dengan Jaringan Syaraf Tiruan ... 30

7 Model JST tahap I yang dikembangkan pada tiap shift kerja ... 31

8 Model JST tahap II yang dikembangkan pada tiap shift kerja ... 32

9 Ilustrasi pembelajaran backpropagation ... 33

10 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi ... 73

11 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama ... 74

12 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi ... 75

13 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ... 76

14 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi ... 76

15 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi... 77

16 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja ... 78

17 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua (mulyadi) melakukan kerja pada shift pagi ... 78

18 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test sebelum bekerja pada shift siang ... 79

19 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang ... 80

20 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test sebelum bekerja pada shift siang ... 80

21 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang ... 81

22 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja pada shift malam ... 82

23 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam ... 82


(18)

24 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test

sebelum bekerja pada shift malam ... 83 25 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua

melakukan kerja pada shift malam ... 83 26 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test

pada shift pagi ... 85 27 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama ... 86 28 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada

shift pagi ... 87

29 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ... 88 30 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step

test sebelum bekerja pada shift pagi ... 88 31 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama

melakukan kerja pada shift pagi... 89 32 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test

sebelum bekerja ... 89 33 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua

melakukan kerja pada shift pagi... 90 34 Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test

pada shift siang ... 91 35 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator pertama pada shift

siang ... 92 36 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada

shift siang ... 93

37 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ... 94 38 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step

test sebelum bekerja pada shift siang ... 95 39 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama

melakukan kerja pada shift siang ... 95 40 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test

sebelum bekerja ... 96 41 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua

melakukan kerja pada shift siang ... 96 42 Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test

pada shift malam ... 98 43 Grafik Hubungan IRHR dengan TECST operator pertama ... 99 44 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada

shift malam ... 100

45 Grafik hubungan IRHR dengan TECST operator kedua ... 101 46 Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step


(19)

47 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama

melakukan kerja pada shift malam ... 102 48 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test

sebelum bekerja ... 102 49 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua

melakukan kerja pada shift malam ... 103 50 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 113 51 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 114 52 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 114 53 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada

beberapa tingkatan illuminasi (lux) ... 114 54 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 115 55 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 115 56 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa

tingkatan illuminasi (lux) ... 116 57 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada

beberapa tingkatan illuminasi (lux) ... 116 58 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 117 59 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 117 60 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 117 61 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada

beberapa tingkatan suhu (0C) ... 118 62 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 118 63 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 119 64 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa

tingkatan suhu (0C) ... 119 65 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada

beberapa tingkatan suhu (0C) ... 120 66 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa

tingkatan kelembaban (%) ... 120 67 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa


(20)

68 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa

tingkatan kelembaban (%) ... 121 69 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada

beberapa tingkatan kelembaban (%) ... 121 70 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa

tingkatan kelembaban (%) ... 122 71 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa

tingkatan kelembaban (%) ... 122 72 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa

tingkatan kelembaban (%) ... 123 73 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada

beberapa tingkatan kelembaban (%) ... 123 74 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 124 75 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 124 76 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 125 77 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada

beberapa tingkatan kebisingan (dB) ... 125 78 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 125 79 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 126 80 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa

tingkatan kebisingan (dB) ... 126 81 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada

beberapa tingkatan kebisingan (dB) ... 126 82 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa

tingkatan getaran (m/s2) ... 127 83 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa

tingkatan getaran (m/s2) ... 127 84 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa

tingkatan getaran (m/s2) ... 128 85 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada

beberapa tingkatan getaran (m/s2) ... 128 86. Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa

tingkatan getaran (m/s2). ... 129 87 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa

tingkatan getaran (m/s2) ... 129 88 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa


(21)

89 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada

beberapa tingkatan getaran (m/s2) ... 130

90 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 130

91 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 131

92 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 131

93 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 131

94 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 132

95 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 132

96 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 133

97 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi ... 133

98 Form untuk membuat model JST ... 154

99 Form untuk membuat parameter yang digunakan pada model JST ... 154

100 Proses training pada model JST yang dibuat ... 155

101 Grafik performance dari nilai MSE dan Ulangan ... 155

102 Grafik regresi hasil training, validasi dan test model JST ... 156

103 Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm .... 157

104 Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung ... 157

105 Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer ... 157


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang

dengan tiga shift kerja ... 141 2 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh

dengan tiga shift kerja ... 143 3 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada

PG Bungamayang ... 145 4 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada

PG Jatitujuh ... 148 5 Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja,

kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi ... 151 6 Teladan perhitungan laju penggunaan energi (kkal/menit) ... 153 7 Model JST yang dibangun dengan menggunakan

Neural Network Tools Box di MATLAB R2008a ... 154

8 Step Test dan Heart rate beserta interface ... 157 9 Titik pengukuran (tanda +) faktor ergonomi mikro dan makro di

PG Bungamayang ... 158 10 Titik pengukuran (tanda x) faktor ergonomi mikro dan makro di


(23)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan komoditas kedua di Indonesia setelah beras, konsumsi gula kristal yang tinggi sekitar 3.5 juta ton/tahun menjadikan gula sebagai salah satu kebutuhan pokok. Indonesia sebagai negara agraris dengan kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tebu belum mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan gula sebagai real sugar factory memegang peranan paling penting bagi industri gula sebagai pemasok bahan baku tebu. Pengembangan perkebunan tebu melalui pembukaan areal baru menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan tebu di luar jawa pada umumnya merupakan hak guna usaha (HGU) oleh swasta sehingga dalam

pengelolaanya sepenuhnya merupakan tanggung jawab perusahan (IKAGI 2007).

Pabrik gula yang merupakan bagian dari industri gula merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Pada waktu musim giling, pabrik beoperasi selama 24 jam. Para operator dibagi dalam 3 shift, setiap shift

selama 8 jam. Kondisi kerja di lingkungan pabrik secara ergonomi perlu penelitian lebih lanjut karena tingkat kebisingan di atas ambang batas (80 dB), temperatur kerja di beberapa titik mencapai 40-45 0C. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan dan keselamanatan kerja pegawai, apalagi jika harus bekerja dalam waktu yang cukup lama yakni 8 jam.

Nagamachi (1996) telah mengkaji masalah hubungan antara perancangan sistem kerja, ergonomi makro dan produktivitas. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa perlu dilakukan harmonisasi antara teknologi dan manusia sehingga didapat sistem yang produktivitasnya meningkat.

Hendrick (2002) mempublikasikan bahwa perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu


(24)

meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan ( turn-over) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi).

Produktifitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia

(human factor). Dalam rangka meningkatkan produktifitas, perbaikan prestasi

kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, operatoran dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan produktifitas tenaga kerja.

Kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayan dan kelembaban yang kurang baik dapat berakibat fatal bagi operator, seperti kehilangan pendengaran, terganggunya keseimbangan, gangguan konsentrasi, meningkatnya kadar emosi, dan juga dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh. Hal tersebut mungkin kurang disadari oleh para tenaga kerja yang bekerja sehari-hari di dalam pabrik.

Untuk mengetahui karakteristik kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban dan beban kerja yang dialami tenaga kerja dalam suatu lingkungan kerja serta tinjauannya dan aspek kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja dalam industri perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan ergonomika. Aplikasi ilmu ergonomika bertujuan untuk menghasilkan hubungan yang sinergi antara manusia, mesin, dan lingkungan kerja dengan tolak ukur kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan kerja sehingga dihasilkan produktifitas kerja yang optimal.


(25)

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan ergonomik secara mikro dan makro dalam hubungan dengan produktivitas kerja di dalam pabrik gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya belum terukur secara tepat.

Aspek ergonomi mikro dan makro sangat berhubungan dan menentukan tingkat kemampuan dan kenyamanan operator atau karyawan dalam menjalankan tugasnya di pabrik gula. Oleh karena itu perlu dikaji seberapa besar pengaruh ergonomi mikro dan makro terhadap kemampuan operator atau karyawan dalam menjalankan tugasnya di pabrik gula sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal. Secara keseluruhan parameter yang berpengaruh terhadap produktivitas kerja operator atau karyawan pada pabrik gula ditampilkan pada Gambar 1.


(26)

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula.

1.4 Batasan Masalah dan Asumsi

Penelitian ini dibatasi untuk ruang lingkup sebagai berikut :

1 Sistem kerja yang dikaji adalah sistem kerja di lingkungan pabrikasi gula mencakup stasiun-stasiun yang terlibat dalam proses pabrikasi gula.

2 Pengamatan mikro ergonomik mencakup illuminasi, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran. Sedang makro ergonomik mencakup pembagian kerja (shift kerja), sistem pengupahan, lingkungan organisasi (persepsi operator) serta sarana penunjang baik fisik maupun sosial.

3 Pemodelan sistem menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST).

4 Sistem kerja di pabrik pada waktu pabrikasi berjalan diamati dengan rentang selama 3 shift kerja per hari.

Dalam pengambilan dan pengolahan data, beberapa asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut :

1 Tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga optimasi sistem kerja dapat dilakukan dengan baik.

2 Perilaku operatoran yang diamati diambil secara rata-rata.

3 Suplai bahan baku tebu selalu tersedia dan kemacetan pada setiap stasiun minimal.

4 Faktor-faktor diluar parameter mikro dan makro ergonomi yang diamati dianggap tidak berpengaruh atau tetap.


(27)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomika

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu

ergos yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan atau hukum. Ergonomi

didefinisikan oleh Sutalaksana (1979) sebagai suat cabang ilmu yang sitematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang suatu sitem kerja yang baik, efektif, aman nyaman.

Menurut International Ergonomics Association (IEA) ergonomika dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dan elemen lainnya dalam sistem yang berhubungan dengan perancangan, operatoran, produk dan lingkungan untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia (Syuaib 2003). Human

factors (disebut juga human engineering) adalah nama lain dari ergonomika yang

biasa digunakan di Amerika Utara dan sebagian Amerika Serikat.

Pada dasarnya ergonomika memiliki dua tujuan penting, yaitu pertama adalah untuk menaikkan efektifitas dan efisiensi pakerjaan dan aktivias lain yang dilakukan, termasuk menaikkan kemampuan penggunaan, mengurangi kesalahan dan meningkatkan produktifitas dan yang kedua adalah untuk menaikkan keinginan tertentu manusia seperti keselamatan, kenyamanan, penerimaan pengguna, kepuasan kerja dan kualitas kehidupan, sama halnya dengan mengurangi kelelahan dan stres (Fitriyani 2003).

Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro.

2.2 Ergonomi Mikro

Pada awal perkembangan ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan pada kaitan kesesuaian kemampuan manusia dengan operatoran/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut pulat (1991) adalah ciri khas dari ergonomi mikro.


(28)

Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut: 1 Identifikasi masalah.

2 Pembandingan operatoran/tugas dengan kemampuan manusia. Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud.

3 Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif. 4 Memilih solusi terbaik.

5 Mengimplementasi solusi.

6 Melakukan tindak lanjut (follow up).

Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro. Pengukuran mikro ergonomik meliputi pencahyaan, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran.

2.2.1 Kebisingan

Bunyi atau suara didefinisiakan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara. Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan (Wilson 1989). Bunyi dikatakan bising apabila menggangu pembicaraan, membahayakan pendengaran dan mengurangi efektifitas kerja.

Woodson (1981), telah meneliti pengaruh kebisingan terhadap prestasi manusia, meskipun kebisingan dibawah 90 dB tidak menimbulkan ancaman terhadap telinga manusia, tetapi kebisingan dapat menurunkan prestasi kerja dan ganguan. Tabel 1 memperlihatkan dampak dari kebisingan tersebut.

Tabel 1 Effek kebisingan dibawah 85 dB Tingkat

Kebisingan (dB) Effek atau akibat

80 Kesulitan untuk berkomunikasi

75 Berbicara dengan keras bila saling berkomunikasi 70 Level tertinggi untuk berkomunikasi

65 Level tertinggi yang dapat diterima untuk lingkungan bising 60 Level yang diterima untuk kondisi siang hari

55 Level tertinggi untuk lingkungan tenang

50 Level yang diterima orang-orang yang menginginkan ketenagan

40 Sangat baik untuk berkonsentrasi <30 Level kebisingan terendah


(29)

Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma'mur (1988) adalah:

1 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state,

wide band noise) misalnya, mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar dan

lain-lain.

2 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steasy state,

narrowbandnoise) misalnya, gergaji sirkuler, katup gas,dan lain-lain.

3 Kebisingan terputus-putus (intermitten) misalnya, lalu lintas, pesawat terbang di lapangan udara, dan lain-lain.

4 Kebisingan impulsif (impact atau impulsif noise) misalnya, pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan lain-lain.

5 Kebisingan impulsif berulang misalnya, mesin tempa di perusahan. Kebisingan yang terjadi dalam pabrik dapat mengganggu kinerja operator dan pada taraf yang buruk dapat menyebabkan ketulian. Pada lingkungan kerja, kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi operator yang ada. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan perancangan lingkungan kerja yang nyaman.

Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a) Frekuensi

Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat persatuan waktu (cps = cycle per second), yang disebut Hertz. Bunyi yang dapat diterima oleh telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara 20-20000 Hz. Apabila kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila lebih dari 20000 Hz disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia.

b) Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi.

Lama mendengar ditentukan oleh beban bising, yaitu jumlah perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan, seperti pada Tabel 2.


(30)

Tabel 2 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan

Intensitas (dB)

Waktu kerja (jam)

ISO OSHA Indonesia

(MENAKER)

85 90 85 8

... 92 87.5 6

88 95 90 4

... 97 92.5 3

91 100 95 2

94 105 100 1

97 110 105 0.5

100 115 110 0.25

Sumber (Sudirman 1992 dalam Wijaya A 2005)

Perhitungan lama mendengar yang diizinkan dapat dihitung dengan menggunakan beberapa standar, diantaranya adalah The U.S. Department of

Defense standard (standar DOD) dan Occuptional Safety and Health

Administration standard (standar OSHA). Rumus yang digunakan pada pada

kedua standar adalah:

( ) DOD

jam

Waktu L 84 /4

2 8 )

( = ... (1)

( ) OSHA jam

Waktu L 90 /5

2 8 )

( = ... (2) Dimana : L = intensitas kebisingan (dB)

Untuk meminimalisasi efek kebisingan yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, upaya pengendalian kebisingan diantaranya sebagai berikut:

Pengendalian keteknikan, yaitu memodifikasi peralatan penyebab kebisingan, modifikasi proses dan modifikasi lingkungan dimana peralatan dan proses tersebut berjalan.

Pengendalian sumber kebisingan, yang dilakukan dengan subtitusi antar mesin, proses dan material terutama penambahan penggunaan spesifikasi kebisingan pada peralatan baru.

Perlindungan diri, yaitu dengan menggunakan sumbat telinga Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 30 dB.


(31)

2.2.2 Suhu dan Kelembaban

Sudah merupakan suatu kondisi umum bahwa di area pabrik dimana aktivitas mesin berjalan sepanjang hari akan menghasilkan panas yang cukup tinggi di lingkungan sekitar. Suhu kerja adalah suhu lingkungan tempat kerja yang merupakan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara (dinyatakan dalam %) dan sangat dipengaruhi oleh temperatur udara Dalam bekerja diperlukan suhu lingkungan yang baik, misalnya ditempat kita bekerja ditanami pohon-pohonan agar memberikan rasa sejuk bagi operator.

Seorang operator dalam melakukan kegiatannya sebaiknya dalam keadaan suhu badan yang normal agar konsentrasi operatorannya tidak tergangganggu. Berdasarkan penelitian suhu optimum kerja daerah tropis (di Indonesia) antara 24 - 26 °C. Suhu konstan den gan sedikit fluktuasi di sekitar 37 °C terdapat di bagian dalam otak, jantung, dan o rgan bagian dalam (suhu inti). Suhu inti yang konstan diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal, sedang perubahan yang menyolok tidak baik karena tidak akan sesuai dengan kehidupan makhluk yang berdarah panas (Sulistyadi dan Susanty 2003). Menurut Sulistyadi (2003) kelembaban relative normal pada saat bekerja antara 50-70%.

2.2.3 Pencahayaan

Menurut Susanty (2003), ada tiga aspek penting tentang pencahayaan yaitu kekuatan, arah datang dan jenis cahaya. Kesalahan sering dilakukan karena pemahaman yang tidak benar yaitu semakin terang berarti semakin baik. Pada kenyataannya kekuatan cahaya yang berlebihan akan cepat melelahkan mata sebagaimana halnya pencahayaan yang kurang: mata akan silau akibat pantulan cahaya yang terlampau kuat, dan bekerja berat bila cahaya tak mencukupi. Jumlah pencahayaan yang dibutuhkan pada berbagai aktivitas terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Pemandu untuk illuminasi

Kebutuhan illuminasi Hasil operatoran Jenis operatoran 80- 170

170 – 350 350 – 700 1000 - 10 000

Tidak cermat Agak cermat Cermat/Teliti Amat Teliti

Melihat Memasang Mambaca, menggambar Mencocokkan


(32)

Illuminasi didefinsikan sebagai “kepadatan (density) sinar yang mengalir dari sebuah sumber cahaya (sumber energi radian)”. Satuan internasional yang dipakai adalah ‘lux” ialah banyaknya cahaya yang menerpa sebuah bidang (1 lux = 1 lm m-2). Selain itu sering dipakai satuan lumen (lm) dan candel (Cd). Kecerahan (luminance) merupakan ukuran dari sebuah permukaan yang memancarkan sinar atau yang memantulkan sinar dan surnber cahaya. Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat obyek secara jelas, cepat, tanpa menimbulkan kesalahan. Kebutuhan akan pencahayaan yang baik akan makin diperlukan pada saat mengerjakan suatu operatoran yang memerlukan ketelitian pada penglihatan. Kemampuan mata untuk dapat melihat obyek dengan jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras diantara obyek dan sekelilingnya, luminensi (brigntness) dan lama kegiatan melihat.

Arah yang salah dari datangnya cahaya dapat menyebabkan silau sehingga menimbulkan bayangan pada permukaan pandang. Keadaan bayangan dapat ditentukan oleh jenis cahaya. Cahaya lampu pijar menimbulkan bayangan yang tajam, berbeda dengan lampu neon, sementara itu jenis lampu dapat berperan dalam mencitrakan warna.

2.2.4 Getaran

Getaran mekanis merupaka getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis. Besarnya getaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1 Intensitas 2 Frekuensi, dan 3 Lamanya getaran

Getaran tersebut dapat menyebabkan tergangunya konsentrasi kerja, mempercepat proses kelelahan dan menyebabkan gangguan pada anggota tubuh seperti: mata, telinga, syaraf, otot dan lain-lain (Sulistyadi 2003).

Menurut Bridger (2003), getaran dengan frekwensi antara 4-8 Hz sangat berbahaya. Menurut ISO (ISO 2631-1 1985), getaran dengan percepatan lebih besar dari 0.32 m/s2 dapat menimbulkan efek yang sangat serius bagi kesehatan seperti kesulitan dalam menulis atau minum, sulit bicara dan pandangan mata kabur.


(33)

2.3 Ergonomi Makro

Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisasi, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam operatoran. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has Come”, Hendrick menyampaikan bahwa ada 3 urutan generasi pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin, termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics.

Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan egonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Faktor Engineering. Menurut IEA, hal ini disebut dengan Cognitive Ergonomics.

Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational

Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro,

optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine

interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana

dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi , termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur.


(34)

2.4 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja 2.4.1 Kelelahan

2.4.1.1 Definisi Kelelahan

Tarwaka dkk (2004) mengatakan definisi kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja (Sedarmayanti 1996). Ramandhani dalam Budiono dkk (2003) mengatakan definisi kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap orang, yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatan. Kelelahan adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari hari yang mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Suma'mur 1989).

2.4.1.2 Jenis Kelelahan

Jenis kelelahan terbagi menjadi dua menurut Ramandhani dalam Budiono (2003), yaitu:

A Kelelahan Otot (MuscularFatique)

Adalah suatu kelelahan yang ditunjukkan melalui gejala sakit nyeri yang luar biasa, seperti: ketegangan otot pada daerah sendi. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot. Secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan operatorannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja.

Kelelahan otot adalah gejala nyeri atau sakit mendadak yang terjadi pada otot yang mengalami pembebanan berlebihan yang terlokalisir ditempat tersebut. Tanda-tandanya: kekuatan kontraksinya melemah, kontraksi dan relaksasi melamban serta fase laten memanjang. Otot yang lelah akan menyebabkan gangguan koordinasi, sehingga dapat meningkatkan resiko atau kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja, disamping itu pada otot yang lelah


(35)

kandungan asam laktat dan karbondioksidanya akan meningkat (Kurniawan 2000).

B Kelelahan Umum (General fatique)

Adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Beberapa jenis kelelahan fisik secara umurn dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1 Kelelahan penglihatan muncul dari terlalu letihnya mata

2 Kelelahan seluruh tubuh sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh

3 Kelelahan mental penyebabnya dipicu oleh operatoran yang bersifat mental dan intelektual

4 Kelelahan saraf penyebabnya oleh karena terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik

5 Terlalu monotonnya operatoran dan suasana sekitarnya

6 Kelelahan kronis sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu panjang

7 Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur

Menurut Nurmianto (1926) bahwa jenis kelelahan kerja terbagi menjadi dua, yaitu:

A Kelelahan Otot

Adalah kondisi dinamis dari operatoran yang akan meningkatkan sirkulasi darah yang juga mengirim zat-zat makanan bagi otot dan mengusir asam laktat. Suasana kerja dengan otot statis, aliran darah agak menurun, sehingga asam laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal, disamping itu juga dikarenakan beban otot yang tidak merata pada sejumlah jaringan tertentu yang pada akhirnya akan mempengaruhi kineria (performance) seseorang.

B Kelelahan Umum

Perasaan adanya kelelahan urnum yang ditandai dengan berbagai kondisi, antara lain:

1 Kelelahan visual (indera penglihatan) 2 Kelelahan seluruh tubuh

3 Kelelahan mental 4 Kelelahan urat saraf


(36)

5 Stress (pikiran tegang)

6 Rasa malas bekerja (circadian fatique)

2.4.1.3 Gejala-Gejala Kelelahan

Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatique symptom) secara subjektif dan objektif menurut Ramandhani dalam Budiono dkk (2003), antara lain:

1 Perasaan lesu, ngantuk dan pusing 2 Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi 3 Berkurangnya tingkat kewaspadaan 4 Persepsi yang buruk dan lambat

5 Tidak atau berkurangnya gairah untuk kerja 6 Menurunnya kinerja jasmani maupun rohani

Bila kelelahan telah merupakan keadaan penyakit, kelelahan tersebut telah bersifat medis dan gejala-gejala yang ditemukan pada tenaga kerja menurut Suma'mur (1989), adalah:

1 Pusing kepala

2 Jantung berdebar-debar 3 Nafas sesak

4 Hilang nafsu makan 5 Gangguan pencernaan 6 Tidak bisa tidur

Kelelahan klinis ini terjadi pada tenaga kerja yang memiliki konflik-konflik kejiwaan atau kesulitan psikologis. Gejala atau perasaan lelah akibat kegiatan menurut Sedarmayanti (1996), antara lain dapat menyebabkan:

1 Kepala berat

2 Lelah seluruh badan 3 Kaki terasa berat 4 Banyak menguap 5 Pikiran kacau 6 Mengantuk

7 Rasa berat pada mata

8 Gerakan kaku atau canggung 9 Berdiri tidak seimbang


(37)

Nurmianto (1996) mengatakan bahwa kelelahan dapat ditandai dengan kondisi yang cenderung untuk mengantuk, Gejala-gejalanya adalah

1 Rasa letih, lelah, lesu dan lemah (4 L) 2 Mengantuk

3 Motivasi kerja menurun 4 Rasa pesimis

2.4.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan

Terdapat 5 kelompok sebab kelelahan menurut suma'mur (1989), yaitu: 1 Keadaan monoton

2 Beban dan lamanya operatoran baik fisik maupun mental

3 Keadaan lingkungan seperti: cuaca kerja, penerangan dan kebisingan 4 Keadaan kejiwaan seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik 5 Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi

Budiono dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat 6 kelompok penyebab kelelahan, yaitu:

1 Intensitas dan lamanya upaya fisik dan psikis

2 Masalah lingkungan kerja: kebisingan dan penerangan 3 Irama detak jantung

4 Masalah-masalah fisik: tanggung jawab, kecemasan dan konflik 5 Nyeri dan penyakit lainnya

6 Gizi atau nutrisi

Menurut Grandjean (1991) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran.

Masalah lingkungan kerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1 Penerangan

Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Penerangan dapat berasal dari cahaya alami dan cahaya buatan. Banyak obyek


(38)

kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi.

Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan

yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Upaya mata yang melelahkan menjadi

sebab kelelahan mental, gejala yang ditimbulkannya yaitu: sakit kepala, penurunan intelektual daya konsentrasi dan kecepatan berfikir (Suma'mur 1988). Sinar yang terlalu kuat, menyilaukan atau terlalu lemah akan menimbulkan pembebanan bagi tenaga kerja yang menyebabkan kelelahan lebih mudah terjadi (Kurniawan 2000).

2 Kebisingan

Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan yang sangat mengganggu aktivitas atau kegiatan manusia sehingga dapat mengurangi konsentrasi dalam bekerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Kebisingan mengganggu perhatian yang perlu terus menerus dicurahkan, maka dari itu tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap satu proses produksi atau hasil dapat membuat kesalahan-kesalahan, akibat dari terganggunya konsentrasi. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin reaksi psikologis, juga kebisingan berakibat meningkatnya tingkat kelelahan (Suma'mur 1988). Kebisingan adakalanya dapat diadaptasikan oleh telinga, sampai seberapa tinggi tingkat kebisingan dapat dianggap tidak mengganggu masih sulit ditetapkan. Perlu dijaga agar tingkat bising tidak sampai mengakibatkan hilangnya kesempatan istirahat karena akan menyebabkan lelah kronis (Sedarmayanti 1996)

3 Lingkungan Kerja Panas (Iklim kerja)

Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa operator di dalam lingkungan panas, seperti disekitar boiler, tungku pemanasan atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan salah satunya adalah


(39)

gangguan perilaku dan performance kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian.

2.4.1.5 Mekanisme Terjadinya Kelelahan

Suma'mur (1989) mengatakan bahwa kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat, terdapat sistem aktivasi dan sistem imbibisi. Kedua sistem ini saling mengimbangi tetapi kadang-kadang salah satu dari padanya lebih dominan sesuai dengan keperluan. Sistem aktivasi bersifat simpatis, sedangkan sistem imbibisi bersifat parasimpatis. Agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan, kedua sistem tersebut harus berada pada kondisi yang memberikan stabilitas kepada tubuh.

Kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex

cerebri, yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu: sistem penghambat

(inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam

thalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan

menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Adapun sistem penggerak terdapat dalam formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk

konversi ergotropis dari peralatan, dalam tubuh ke arah bekerja, berkelahi, dan

melarikan diri. Apabila sistem penghambat yang kuat, seseorang berada dalam kelelahan, sebaliknya manakala sistem aktivasi yang kuat, seseorang dalam keadaan segar untuk bekerja.

2.4.2 Beban Kerja

Menurut Mc.Cormick dan Sanders (1993), metabolisme merupakan proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk, yaitu energi panas dan energi mekanik. Energi panas terjadi akibat kita melakukan suatu operatoran, dan energi mekanik digunakan untuk kegiatan internal tubuh (proses pernafasan maupun pencernaan) dan kegiatan eksternal seperti bekerja, berjalan maupun kegiatan lainnya.

Energi yang tersedia dalam tubuh dihasilkan melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam sel-sel otot tubuh. Metabolisme ini berkaitan dengan kelancaran transportasi bahan-bahan metabolik ke seluruh tubuh yang diedarkan oleh sistem transportasi tubuh. Kelancaran sistem peredaran darah ini dapat dipantau melalui jumlah denyut jantung dan nadi per satuan waktu yang berperan layaknya pompa darah. Semakin besar kebutuhan tenaga dalam


(40)

melakukan suatu aktifitas maka akan semakin cepat pula jantung dan nadi itu berdenyut.

Beban kerja merupakan beban seseorang ketika melakukan suatu operatoran. Beban ini akan diketahui pada saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keringat yang keluar. Kapasitas kerja manusia dibatasi dan terutama ditentukan oleh kemampuan untuk menyediakan oksigen dan makanan yang cukup. Konsumsi energi sebesar 20 kJ per menit, termasuk energi untuk metabolisme basal sebesar 4.2 kJ adalah nilai tetap maksimum yang dapat dihasilkan seorang pria dewasa. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan empat parameter fisiologis sebagai berikut (Zanders 1972):

1 Suhu Tubuh

Peningkatan beban kerja akan menaikkan suhu tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dijadikan parameter pengukuran beban kerja fisik. Pada operator yang bekerja pada suhu udara tinggi, peningkatan suhu tubuh tidak proporsional dengan laju konsumsi O2, sifat ini dapat dijadikan indikasi pengukuran heat

stress.

2 Konsumsi Oksigen (O2)

Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi memerlukan O2, dengan demikian konsumsi O2 dapat dijadikan parameter untuk pengukuran benda kerja, dengan mengequivalenkan antara kebutuhan energi dan kebutuhan O2 diperoleh hubungan yang nyata antara keduanya. Konsumsi energi bersih per kegiatan dapat diukur dengan cara menguranginya dengan energi yang diperlukan untuk metabolisme basal.

3 Laju Paru-Paru dan Frekuensi Pernafasan

Laju paru-paru dan frekuensi pernafasan seimbang dengan konsumsi O2, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernafasan dapat dihitung besarnya konsumsi O2 dan dapat diketahui besarnya beban kerja.

4 Denyut Jantung

Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk operatoran statis (Zander 1972 dan Sanders 1987).


(41)

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan parameter-parameter di atas, tingkat beban kerja fisik dapat digolongkan dalam beberapa tingkat, seperti terdapat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis

Tingkat kerja

Konsumsi energi dalam

8 jam (kkal)

Konsumsi energi (kkal/menit)

Konsumsi oksigen (liter/menit)

Denyut jantung/menit Isirahat < 720 < 1.5 < 0.3 60-70

Sangat Ringan 768-1200 1.6-2.5 0.32-0.5 65-75

Ringan 1200-2400 2.5-5.0 0.5-1.0 75-100

Sedang 2400-3600 5.0-7.5 1.0-1.5 100-125

Berat 3600-4800 7.5-10.0 1.5-2.0 125-150

Sangat Berat 4800-6000 10.0-12.5 2.0-2.5 150-180 Luar Biasa Berat >6000 >12.5 >2.5 >180 Sumber: American Industrial Hygiene Association dalam Mc. Cormick 1970.

Pengukuran beban kerja fisik yang termudah untuk dilakukan pada kondisi lapang adalah dengan mempergunakan pengukuran denyut jantung. Tetapi, pengukuran ini memiliki kelemahan, karena hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan (Hayashi. et al 1997).

Salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan mempergunakan metode step test atau metode langkah, selain dari sepeda ergometer. Dengan metode step test dapat diusahakan suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat dilakukan dimana-mana, terutama di lapang, dibandingkan dengan mengguanakan sepeda ergometer (Hayashi. et al 1997).

Menurut Hayashi. et al (1997), denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test).

Step test mempunyai komponen pengukuran yang mudah, selalu tersedia

dimana saja dan kapan saja, sehingga dengan demikian dengan metode ini ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Hayashi. et al 1997). Dengan metode ini beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Herodian 1998).


(42)

2.4.3 Kecelakaan Kerja

Keberhasilan seseorang operator dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut harus diperhatikan agar dapat memaksimalkan fungsi kerja operator sehingga marnpu menyelesaikan operatoran dengan cepat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja Untuk menghindari kecelakaan kerja dari awal seseorang operator perlu memperhatikan faktor tersebut Secara garis besar faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua (2) kelompok, yaitu:

1 Kelompok faktor diri (individual), dan 2 Kelompok faktor situasional

Kelompok faktor diri terdiri dari beberapa faktor yang datang dari diri operator itu sendiri. Beberapa hal seperti penalaran, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang bekerja.

Kelompok faktor situasional terdiri dari faktor yang dapat diubah atau diatur. Faktor ini berada di luar diri manusia Kelompok faktor situasional terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu:

1 Faktor sosial keorganisasiannya seperti kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja

2 Faktor fisik operatoran yang bersangkutan seperti keterkaitan antara seseorang yang bekerja dengan alat, mesin dan lingkungan kerja

2.5 Produktifitas

Rendahnya produktivitas tenaga kerja yang terlibat dalam sektor industri merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab atas rendahnya sumbangan industri pada produk domestik bruto. Dalam konsep manajemen, manusia diharapkan mau memanfaatkan tenaga sepenuhnya atau seoptimum mungkin untuk meningkatkan produktivitas, yang diikuti oleh terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi yang menyenangkan. Usaha ini menuntut keterlibatan seluruh perusahaan dimana setiap orang dapat merasakan pentingnya produktivitas yang meningkat lalu berperan serta (Kussriyanto 1986).

Unsur utama yang menyebabkan suatu lingkungan tertentu memberikan motivasi adalah gabungan dari kondisi fisik dan sikap mental. Sejauh mana salah satu unsur tersebut lebih penting, bergantung pada sifat dan pentingnya operatoran bagi karyawan. Hasil kerja yang sangat memuaskan dapat dicapai


(43)

dalam suatu keadaan yang buruk, manakala hasrat karyawan untuk berprestasi amat kuat. Sebaliknya, kondisi yang sangat baik tidak berarti menghalangi munculnya hasil kerja yang justru sangat mengecewakan apabila para karyawan tidak mempunyai gairah untuk berprestasi.

Karyawan yang bermotivasi tinggi dapat membuat "keajaiban" di dalam lingkungan yang buruk. Sebagai contoh misalnya operatoran-operatoran teknik para tawanan perang yang mereka laksanakan dalam usaha melarikan diri. Tanpa peralatan yang lengkap, terpaksa bekerja di tempat yang gelap, terputus-putus dan dibayangi rasa ketakutan kalau-kalau ketahuan, mereka membuat terowongan, mendesain dan memasang sistem ventilasi serta merancang cara membuang berton-ton tanah tanpa diketahui oleh lawan. Dengan motivasi tinggi para tawanan itu tidak menghiraukan kondisi lingkungan kerja yang buruk dan mereka terus maju untuk mencapai sasaran. Mereka benar-benar dipimpin oleh orang-orang yang mernberikan berbagai pengarahan secara jelas dan yang selalu memberikan dorongan, sehingga semangat kerja mereka terjaga terus dalam keadaan apa pun. Kepemimpinan yang baik membantu orang mengatasi lingkungan kerja yang buruk (Kussriyanto 1986).


(44)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas.

Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Agustus 2008.

3.2 Obyek dan Alat

Obyek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

Sistem kerja di tempat pabrikasi:

Penelitian difokuskan pada jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, alat/mesin yang ditangani, lingkungan kerja dan fasilitas pendukung.

Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan untuk mengukur kondisi kerja operator dan lingkungan kerja adalah sebagai berikut ;

1 Kuisioner persepsi 2 Timbangan badan

3 Vibration meter

4 Humidity & IR Temperatur Meter

5 Lux & Light Meter

6 Sound Level Meter

7 Disto-meter Digital

8 Heart Rate Monitor

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2, yang secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, kemudia dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan, penjelasan masing-masing tahap adalah sebagai berikut.


(45)

Gambar 2 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Studi Pendahuluan

Penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan meliputi studi awal lapangan dan studi pustaka/ literatur. Berdasarkan studi pendahuluan, kemudian masalah dapat dirumuskan yaitu rancangan sistem kerja berbasis pendekatan ergonomi makro.

3.3.2 Pengambilan Data

3.3.2.1 Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik

Data yang diambil adalah data jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, pembagian kerja, lingkungan kerja, alat yang digunakan sampai fasilitas pendukung. Lingkungan kerja yang dimaksud meliputi luas ruang, temperatur, kelembaban, kebisingan, getaran, pencahayaan. Sedangkan fasilitas pendukung antara lain poliklinik, tempat ibadah, sarana sosial dan pendidikan.


(46)

Teknik pengukuran lingkungan kerja adalah sebagai berikut:

1 Pengukuran Luas Ruangan

Pengukuran luas ruangan dimaksud disini adalah luas ruangan yang akan menjadi objek penelitian. Alat yang digunakan untuk pengukuran luas ruangan ini yaitu meteran dan distro meter. Alat distro meter ini digunakan karena lebih praktis dan teliti karena telah memanfaatkan sinar infra merah sebagai sebagai sensor alat ukurnya.

2 Pengukuran Temperatur dan Kelembaban

Pengukuran temperatur dan kelembaban dilakukan pada stasiun kerja. Alat yang digunakan yaitu pengukur tempertur digital dengan menggunakan sensor infra merah (Gambar 3) dan alat pengukur kelembaban (RH meter).

Gambar 3 Alat ukur temperatur digital

Pengukuran akan dilakukan pada beberapa titik pada masing-masing stasiun pengukuran dan pada tingkat waktu tertentu (diseuaikan dengan shift

kerja), sehingga sebaran temperatur dan kelembaban pada suatu waktu di dalam stasiun kerja dapat diketahui.

3 Pengukuran Pencahayaan

Pengukuran pencahayaan dilakukan pada stasiun kerja. Pengukuran ini menggunakan alat ukur pencahayaan digital dan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan untuk melihat pola sebaran intensitas cahaya. Pengukuran juga dilakuan pada tingkat waktu tertentu untuk melihat adanya perubahan pola sebaran intensitas cahaya berdasarkan waktu.


(47)

4 Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara memetakan tingkat kebisingan pada stasiun-stasiun pengolahan. Pengukuran kebisingan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya.Tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter dengan tinggi alat pada saat pengukuran ± 160 cm dari lantai atau setara dengan rata-rata tinggi telinga orang Indonesia.

Memberikan kuesioner kepada beberapa operator yang bekerja di stasiun-stasiun pengolahan untuk mengetahui keluhan-keluhan atau dampak yang ditimbulkan dari kondisi lingkungan kerja.

5 Pengukuran Getaran

Data tingkat getaran mekanis yang dihasilkan mesin, diukur dengan cara :

1 Mengukur getaran mekanis pada mesin searah sumbu x, y, dan z menggunakan vibrationmeter (Gambar 4). Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui nilai getaran sumber.

Gambar 4 Vibrationmeter

2 Mengukur putaran poros mesin (rpm) menggunakan tachometer

(Gambar 5). Pengukuran ini bertujuan mengetahui frekuensi getaran sumber.


(48)

Gambar 5 Tachometer

3 Mengukur getaran yang merambat ke lantai atau tempat lain dimana getaran merambat dengan menempelkan vibrationmeter.

3.3.2.2 Pengukuran Beban Kerja

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh rancangan sistem kerja terhadap karyawan adalah dengan mengukur beban kerja. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan metode subyektif yaitu dengan kuisioner persepsi karyawan dan secara obyektif dilakukan dengan mengukur kelelahan dan melihat prestasi kerja karyawan. Data beban kerja operator dapat diketahui berdasarkan parameter denyut jantung operator, yang diukur dengan Heart Rate Monitor. Alat ini disetel secara otomatis merekam denyut jantung operator setiap 5 detik untuk mengetahui tingkat beban kerja yang dialami operator pada saat bekerja.

Verifikasi pengukuran beban kerja dengan parameter denyut jantung dilakukan dengan metode step-test. Verifikasi ini dilakukan sebelum pengukuran denyut jantung dilakukan pada beberapa subyek yang berbeda.

Metoda step test dilakukan dengan cara melangkah naik turun bangku step test setingi 30 cm dengan ritme kecepatan langkah yang berbeda yang diatur dengan alat digital metronome. Ritme kecepatan langkah yang diukur yaitu 20 siklus/menit, 25 siklus/menit, dan 30 siklus/menit. Setiap masing-masing ritme dilakukan selama 3 menit dengan diselingi istirahat selama 5 menit. Rata-rata denyut jantung dan tenaga yang digunakan saat melakukan step-test diplotkan dalam bentuk grafik dicari persamaan hubungan antara denyut jantung dan tenaga.

Untuk menghindari subjektivitas nilai denyut jantung (HR) yang umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal, psikologis dan lingkungan, maka perhitungan nilai HR harus dinormalisasikan agar diperoleh nilai HR yang objektif (Syuaib 2003). Normalisasi nilai denyut jantung dilakukan dengan cara


(1)

Gambar 100 Proses training pada model JST yang dibuat


(2)

156


(3)

Gambar 103 Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm

Gambar 104 Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung

Gambar 105 Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer


(4)

158

Lampiran 9 Titik pengukuran (tanda +) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Bungamayang


(5)

1

5


(6)