commit to user
xxiii 2 Derajat II: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat jelas
dengan batas atas dapat dicapai. Sisa volume urine 50-100 mL. 3 Derajat III: pada colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba.
Sisa volume urine 100 mL. 4 Derajat IV: terdapat retensi urine total Sjamsuhidajat, 2005.
f. Penegakan Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan melalui: 1 Anamnesis
Dilakukan untuk menilai gejala obstruktif dan gejala iritatif. 2 Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau Digital Rectal Examination DRE merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, di samping
pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi kandung kemih. Dari pemeriksaan
colok dubur dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda keganasan prostat Hardjowijoto dan Taher, 2003. 3 Pemeriksaan pencitraan
a Ultrasonografi transabdominal Menilai saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan ini lebih akurat
dibandingkan urografi intravena untuk menilai residu urine. b Ultrasonografi transrektal
commit to user
xxiv Pemindaian dilakukan setelah pemasangan transduser ke dalam
rektum untuk menilai ukuran dan adanya massa yang terlokalisasi. Perbedaan penyakit yang jinak dan ganas dapat
dengan jelas dibuat tanpa biopsi untuk analisis histologis Patel, 2007.
4 Pemeriksaan pancaran urine atau flow rate Dapat dilakukan dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung mLdetik atau dengan alat uroflowmetre yaitu pencatatan tentang pancaran urine selama
proses miksi secara elektronik. Pada pasien BPH tampak laju pancaran urine berkurang. Hasil pemeriksaan pancaran urin tidak
spesifik menunjukkan penyebab kelainannya. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih atau
kelemahan otot detrusor Hardjowijoto dan Taher, 2003. 5 Mengukur volume residu urine
Residu urine atau Post Voiding Residual Urine PVR adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah miksi.
Jumlah residu urine pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan secara invasif dengan
kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non-invasif dengan mengukur sisa urine melalui USG. Pengukuran melalui
kateterisasi lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, dan
commit to user
xxv menimbulkan infeksi saluran kemih. Peningkatan volume residu
urine tidak selalu menunjukkan beratnya obstruksi. Namun, bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah terjadi
gangguan miksi Hardjowijoto dan Taher, 2003 .
g. Penatalaksanaan