Kesimpulan Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka perlu penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan hukum pidana di Indonesia dilakukan untuk mengiringi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dapat berakibat pada munculnya kejahatan dengan modus baru yang menggunakan alat komunikasi tersebut. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defense dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah ā€¯perlindungan 0masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakatā€¯. Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur perihal penyadapan yakni: a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Universitas Sumatera Utara d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. f. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika 2. Konsep perlindungan HAM di Indonesia dilindungi melalui sebuah negara hukum. Konsep negara hukum di akui di dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia. Negara hukum mengandung 3 unsur fundamental yakni: a. Supremasi aturan-aturan hukum supremacy of law, sehingga hukum dijadikan sebagai kekuasaan tertinggi bagi suatu negara b. Kedudukan yang sama di depan hukum equality before the law. Setiap orang siapapun dia, apapun jabatannya memiliki kedudukan yang sama di depan hukum c. Terjaminnya hak asasi ole hundang-undang maupun keputusan pengadilan. Penambahan perumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemasukannya kedalam UUD NRI 1945 bukan karena semata-mata kehendak isu global, melainkan karena itu merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi, dan kemajuan suatu bangsa. Di dalam UUD Universitas Sumatera Utara NRI 1945 telah menjamin perlindungan hak asas imanusia. Perlindungan hak asas imanusia dalam sistem peradilan pidana kemudian diakui di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Secara prinsip perlindungan hak asasi manusia dilindungi dalam KUHAP melalui beberapa asas yakni: Asas Legalitas, Asas Keseimbangan, Asas Praduga tak bersalah, Prinsip Pembatasan Penahanan, Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Asas Unifikasi, Prinsip Diferensiasi Fungsional. 3. Kedudukan alat bukti penyadapan diakui undang-undang sebagai sebuah alat bukti yang sah. Aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan telah diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan. Dalam pedoman melakukan penyadapan,aparat penegak hukum menggunakan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11PERM.Kominfo022006 Tentang Intersepsi Terhadap Informasi.Hak privasi merupakan hak asasi manusia yang dapatdiderogasikan, namun penderogasian tersebut harus dilakukan dengan suatu undang-undang yang mengatur pedoman dan tata cara melakukan penyadapan. Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pengaturan hukum acara mengenai tata cara penyadapan bukan peraturan yang setingkat undang-undang. Sehingga dapat dinyatakan bahwa secara Universitas Sumatera Utara pedoman dan tata cara alat bukti penyadapan yang diperoleh telah melanggar hak asasi manusia. Belum adanya sistem pengujian terhadap perolehan keabsahan alat bukti pada sistem peradilan pidana Indonesia, maka alat bukti yang diperoleh dan atau dipergunakan dengan melanggar hak asasi, namun alat bukti tersebut tetap digunakan oleh majelis hakim dan menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan sebuah putusan sepanjang alat bukti tersebut diakui di dalam undang-nndang.

B. Saran