BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI DALAM PENGATURAN
PENYADAPAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan masyarakat serta didorong dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dewasa ini, akan menimbulkan
konsekuensi bahwa negara yang dalam hal ini adalah pemerintah dan hukum harus mengambil kembali peranannya, yakni dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terlbih pernanan dalam melinduingi dan mensejahterakan setiap masyarakatnya.
Pembaharuan tersebut termasuk didalamnya hukum pidana, hukum pidana tidak hanya berfungsi melindungi nilai-nilai moral semata, hukum pidana dalam
era modern ini lebih condong digunakan sebagai sarana atau alat untuk mencapai kesejahteraan sosial atau kesejahteraan social social welfare, namun tetap tetap
memberikan keamanan bagi setiap warga masyarakatnya social defense
51
.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
kebijakan hukum pidana criminal policy adalah memberikan perlidungan masyarakar social defense untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
52
Fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya yakni menciptakan hukum yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat social engineering, oleh karena itu, hukum tidak harus dipandang .
51
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hlm. 132
52
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 4
Universitas Sumatera Utara
sebagai kaidah semata-mata, tetapi juga harus dipandang sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum yang berfungsi sebagai pengarah dan jalan tempat
berpijak kegiatan pembangunan. Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ke arah yang lebih maju progresif, sehingga
memperhatikan faktor-faktor sosiologis, antropologis, dan kebudayaan masyarakat.
53
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana criminal Policy
Sudarto, mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu
54
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dan reaksi terhdap pelanggaran hukum yang berupa pidana; :
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegeak hukum
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;, c.
Dalam arti paling luas beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah keleuruhan kebijakan, yng dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Marc Ancel yang memberikan defenisi “the rational organization of the control of crime by
society”.
55
53
S.F.Marbun, Deno Kemelus, Saut P. Panjaitan, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, cetakan I, hlm. 184-185
54
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Jakarta:Alumni, 1981, hlm. 113-114
55
Marc Ancel, Social Defense A Modern Approach to Criminal Problem, London: Rouledge, 1965, hlm. 209
Bertolak dari pengertian yang diberikan oleh Marc Ancel ini, G. Peter
Universitas Sumatera Utara
Social
Policy
Social
Welfare Policy
Social
Defence Policy
Criminal Policy Penal
Non Penal Tujuan
Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime.”
56
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defense
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik criminal ialah
”perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Secara skematis hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
57
Skema.1 Kebijakan Hukum Pidana
Oleh karena itu, penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, hal ini mempunyai arti sebagai: adanya keterpaduan
56
G. peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology an Invension of The Concept of Crime,
Holland: Kluwer-zdeventer, 1963, hlm. 57
57
Ibid, hlm.
Universitas Sumatera Utara
integritas antara politik kriminal dan politik sosial, serta adanya keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal.
58
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan diambil dari istilah Policy Inggris atau Politiek Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah ”kebijakan hukum
pidana” dapat juga disebut dengan istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy”,
atau “strafrechtspolitiek”. Menurut Sudarto, yang dimaksud politik hukum pidana adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dn situasi pada suatu saat.
59
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicitakan.
60
Sementara menurut Marc Ancel, Penal Poilicy atau Kebijakan Hukum Pidana, adalah:
61
58
Yesmin Anwar dan Andang, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2008, hlm. 57
59
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana Bandung: Alumni, 1981, hlm.159
60
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Bandung: Sinar Grafika, 1983, hlm. 20
61
Marc Ancel, Op.cit, hlm. 4-5
“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan definisi diatas, maka yang dimaksud “peraturan hukum positif” itu adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana yang digunakan untuk
menanggulangi kejahatan, sehingga istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menggunakan sarana penal dan sarana
nonpenal. Secara garis besar, modern criminal science atau hukum pidana modern terdiri dari tiga komponen utama yang mendasarinya, yaitu:
62
a. Kriminologi;
b. Hukum Pidana; dan
c. Kebijakan Penal
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana, merupakan sebuah penghubung antara realitas
kehidupan dengan hukum, antara konteks dengan teks. Sehingga diharapkan tercipta suatu hukum dan penegakkan hukum yang baik dan tepat yang senantiasa
mengikuti perkembangan masyarakat. 3.
Kebijakan Hukum Pidana Criminal Policy kaitannya dengan Pembaharuan Hukum Pidana Penal Reform
Berdasarkan penejalasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa criminal policy
akan sangat berpengaruh pada pembaharuan hukum pidana pada suatu negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana
criminal policy akan memberi petunjuk, akan memberikan arah dan kajian atau
masukan terkait perlu tidaknya pembaharuan hukum
62
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. vii
Universitas Sumatera Utara
Pembaharuan hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa latar belakang, diantaranya
a. Hukum pidana saat ini berlaku tidak lengkap atau tidak dapat menampung
berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru;
b. Hukum pidana saaat ini berlaku kurang atau bahkan tidak sesuai dengan nilai-
nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio kultural yang hidup di dalam masyarakat;
c. Hukum pidana yang berlaku saat ini kurang atau tidak sesuai dengan
perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan kebutuhan masyarakat;
d. Hukum pidana yang saat ini berlaku bukanlah merupakan sistem hukum
pidana yang utuh karena masih terdapat pasal-pasal yang bertentangan satu sama lain;
Sehingga apa yang dikemukakan oleh mantan ketua Mahkamah Agung Purwoto S Gandasubrata, bahwa hukum harus menggali dan menemukan nilai-nilai hukum
yang baik dan benar sesuai dengan Pancasila dan juga terhadap hukum yang diakui oleh masyarakat internasional secara universal.
63
Dalam rangka mencegah atau menanggulangi kejahatan atau tindak pidana, hukum pidana dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yakni menciptakan masyarakat yang damai, tentram, dan sejahtera. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana
63
Purwoto S. Gandasubrata, Tugas Hakim Indonesia-dalam sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H,
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Desember 1984, hlm. 516
Universitas Sumatera Utara
dapat dijalankan atau dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap formulasi, tahap penerapan hukum, dan tahap pelaksanaan pidana.
Tahap formulasi hukum merupakan tahap yang paling penting karena pada tahap ini akan menentukan produk hukum yang telah dibuat dapat ditegakkan
enforceable atau tidak.
64
Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program pembuat undang-undang mengenai apa
yang akan dilakukan dalam mengahadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan itu.
65
64
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.cit, hlm. 154
65
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulngn Kejahatan dengan Pidana Penjara
Disertasi Semarang: Universitas Diponegoro, 1994 hlm. 63
Ini artinya, pada tahap formulasi peraturan perundang- undangan telah terjadi proses kriminalisasi yang mengatur baik ruang lingkup
perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, bahkan cara dan alat untuk
dapat membuktikan telah terjadinya suatu tindak pidana yang pembuktiannya sangat sulit dan rumit. Sehingga peraturan perundang-undangan yang digunakan
tidak serta merta dilakukan pemerintah dengan melanggar hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan penyadapan, pada tahap ini akan ditentukan
apakah tindakan penyadapan diperlukan, bagaimana konsep tindakan penyadapan yang sesuai dengan norma hukum di Indonesia, bagaimana konsep penyadapan
yang tidak melanggar hak asasi manusia, bagaimana apabila ada pihak-pihak yang melakukan penyadapan tidak sesuai hukum, sehingga pada tahap ini akan
menentukan peraturan yang mengatur penyadapan baik secara konseptual maupun secara teknis.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan ini akan digunakan oleh pemerintah yang akan memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi
instrumental.
66
B. Pengaturan Penyadapan dalam Hukum Positif di Indoensia