Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia

Beberapa uraian diatas, tidak dapat dilihat ketegasan bahwa kejaksaan dapat melakukan penyadapan, sehingga diperlukan suatu penjelasan lebih lanjut. Hal ini menyebabkan kejaksaan belum dapat memaksimalkan kewenangan penyadapannya dan hasil penyadapan sebagai alat bukti di persidangan. Oleh karena itu ada kekhawatiran hasil dari tindakan penyadapan yang dilakukan kejaksaan dan dijadikan alat bukti akan dipermasalahkan keabsahannya di persidangan. 125

B. Alat Bukti Penyadapan di tinjau dari Hak Asasi Manusia

Dalam pedoman melakukan penyadapan, kejaksaan juga menggunakan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11PERM.Kominfo022006 Tentang Itersepsi Terhadap Informasi. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, konsep dasar hak asasi manusia pada dasarnya adalah adanya pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Sehingga hak asasi yang dasar atau kodrati melekat pada setiap individu yang merupakan anugerah Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dijaga, ditegakkan, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Pada era kemajuan teknologi dan informasi yang sekarang telah membuat komunikasi antar individu menjadi lebih mudah, murah, praktis, dan dinamis. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan kerawanan dalam pelanggaran hak asasi manusia khususnya terhadap hak privasi seseorang dalam berkomunikasi. Teknologi informasi tersebut dapat digunakan aparat penyidikpenyelidik dalam 125 Reda Manthovani, Op.Cit, hlm.133 Universitas Sumatera Utara mendengarkan percakapan antar individu dilokasi yang berbeda. Titik kerawanan dari tindakan penyadapan adalah tindakan intrusi atau penerobosan untuk melakukan akses secara paksa ke saluran komunikasi yang sedang digunakan oleh para individu tanpa diketahui oleh pihak-pihak yang sedang berkomunikasi tersebut. 126 Secara teori, hak asasi manusia terbagi menjadi 2 bagian besar, yakni hak asasi manusia yang dapat diderogasi atau dikesampingkan derogable rights dan hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan non derogable rights . Hak-hak yang tidak dapat diderogasi atau tidak dapat dikesampingkan diantaranya ha katas kehidupan, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipidana karena tidak memenuhi kewajiban perdata, hak untuk diakui sama sebagi subjek hukum, dan hak untuk bebas beragama. Sedangkan selain hak-hak tersebut, hak-hak lain yang melekat pada diri manusia dapat diderogasi atau dapat dikesampingkan karena adanya kepentingan hukum atau karena kepentingan umum. 127 126 Ibid, hlm. 36 127 Kristian Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm, 235 Penderogasian atau pengeyampingan penegakan dan penjaminan hak asasi manusia dalam kepentingan penegakan hukum law enforcement eering kali beringgungan dan menimbulkan gesekan hukum hal ini dikarenakan terdapat kontradiksi dalam penerapannya. Sehingga kerap kali penegakan hukum law enforcement akan menderogasikan hak ssasi manusia. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Penyadapan Penegakan Hukum Perlindungan hak asasi manusia Gambar.1 Persinggungan antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pada prinsipnya hukum melarang penyadapan alat komunikasi karena melekatnya hak privasi orang yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Hanya dalam hal-hal yang sangat khusus saja larangan tersebut tidak dapat berlaku, yakni ketika adanya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kepentingan tersebut mendesak untuk memperoleh informasi rahasia tersebut. Oleh karena itu muncul konsep “penyadapan sesuai hukum” legal interception, yaitu penyadapan yang diperkenankan oleh hukum. 128 Penyadapan informasi hanya dapat dilakukan dan dibenarkan jika ada undang-undang yang memperbolehkannya, sehingga diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan negara, dimana tanpa menggunakan penyadapan informasi penting itu tidak mungkin didapatkan. Dalam ilmu hukum dikenal beberapa teori tentang larangan penyadapan tersebut, yakni: 129 1. Teori Per Se. 128 Munir Fuady dan Silvia Laura Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, Jakarta: Prenada Media Grup, 2015, hlm. 276 129 Ibid, hlm, 281 Universitas Sumatera Utara Menurut teori ini, bahwa penyadapan itu sendiri sudah bertentangan dengan hukum, terlepas apakah informasi yang disadap tersebut oleh penyadapnya sudah mau digunanakan atau tidak 4. Teori Divulgensi Bahwa yang dimaksudkan sebenarnya informasi yang disadap tersebut merupakan informasi rahasia, sehingga yang dilarang oleh hukum adalah membuka rahasia tersebut kepada pihak lain. 5. Teori Pihak ke Tiga Bahwa menurut teori ini, hanya pihak yang berkomunikasi yang dapat mengajukan keberatan atas dipergunakannya informasi yang disadap tersebut. Pihak lain tidak boleh mengajukan keberatan, termasuk keberatan sebagai alat bukti manakala dia bukan pihak dalam percakapan yang menghasilkan informasi tersebut. 6. Teori Kepemilikan Pihak Lawan Bahwa menurut teori ini, bahwa informasi yang sudah diterima oleh pihak lawan bicara yaitu sudah merupakan milik dari pihak lawan bicara tersebut., sehingga pihak lawan tersebut sudah bebas menggunakan informasi tersebut, termasuk memberikannya kepada pihak lain atau membiarkan pihak lain untuk menggunakan informasi yang bersumber darinya. 7. Teori Pembuktian Menurut teori ini, bahwa informasi yang didapatkan tetapi didapatkan secara bertentangan dengan hukum boleh saja dipergunakan atau dibuka tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Universitas Sumatera Utara Dalam konstitusi di Indonesia, perlindungan terhadap hak privasi tersebut diakui didalam Pasal 28G ayat 1 UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Pengaturan dan perlindungan terhadap hak privasi sebagaimana didalam UUD NRi 1945 bukan merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut atau hak asasi manusia yang tidak dapt dikurangi non derogable rights, hak privasi adalah suatu hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan dengan undang-undang. 130 Menurut Ifdhal Kasim pembatasan hak asasi manusia melalui peraturan penyadapan, harus dapat memuat syarat: Pembatasan atau pengurangan tersebut semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain untuk memnuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. 131 1. Adanya otoritas resmi yang jelas memberikan izin penyadapan; 2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; 3. Pembatasan penanganan materi penyadapan; 4. Pembatasan mengenai orang yang mengakses penyadapan; 130 Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 131 Kristian Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 243 Universitas Sumatera Utara Hal senada juga diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh, bahwa pengaturan penyadapan harusnya mengatur dengan tegas dan jelas tentang: 1. Wewenang untuk melakukan, memerintahkan, maupun meminta dilakukannya penyadapan; 2. Tujuan penyadapan secara spesifik; 3. Kategori subjek hukum tertentu yang diberi wewenang penyadapan; 4. Otoritas atasan, atau izin hakim yang diperlukan sebelum petugas melakukan penyadapan; 5. Cara menyadap; 6. Pengawasan atas penyadapan; 7. Penggunaan hasil penyadapan; Dari sisi legalitas pengaturan di Indonesia, peraturan di Indonesia pada umumnya hanya mengatur kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun dalam legislasi belum diatur alasan, cara, prosedur pelaksanaan sesuai dengan undang-undang. Pertimbangan dari fakta atau informasi yang didapat diterima akal bahwa tindakan tersebut perlu diambil, siapa yang berwenang memberikan otoritasnya. Akan tetapi, yang mengatur hukum acara bukan peraturan yang setingkat undang-undang. 132 Keberlakuan penyadapan sebagai salah satu kewenangan penyelidikan dan penyidikan telah membantu banyak proses hukum yang memudahkan para aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana. Namun demikian, kewenangan 132 Reda Manthovani, Op.Cit,, hlm. 265 Universitas Sumatera Utara aparat penegak hukum tersebut tetap harus dibatasi juga agar penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi Mahkamah Konstitusi sependapat lewat putusannya Nomor 006PUU-I2013, Putusan Nomor 012-016-019PUU-IV2006, Nomor 5PUU-VIII2010 menyatakan bahwa pembatasan terhadap perlindungan hak asasi yang diakui harus dibatasi dengan undang-undang, karena tindakan penyadapan merupakan salah satu bentuk pelanggaran manusia. Jadi, Mahkamah berpendapat diperlukan suatu aturan setingkat undang-undang untuk memberikan suatu tata cara penyadapan guna melindungi hak asasi manusia.

C. Adsimibilitas dan Standar Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia