Itsbat nikah dalam perkawinan (analisis yudiris penetapan nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS)

(1)

(Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS. )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh Indro Wibowo NIM: 207044100425

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh :

Indro Wibowo NIM: 207044100425 Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP.196404121994031004

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

Skripsi berjudul Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS) Telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2011 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Jakarta, 20 Juni 2011

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.19550505198201012

Panitia Ujian

1. Ketua Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.19550505198201012

2. Sekertaris Mufidah, S.HI

3. Pembimbing I Drs.H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640121994031004

4. Penguji I Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 150326893

5. Penguji II Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP.19720224199803100


(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Juni 2011

Indro Wibowo


(5)

i

Segala puji bagi Allah ta‟ala Rabb semesta alam. Dzat yang maha pengasih dan maha penyayang tak pandang sayang. Sesungguhnya tidak ada seorang hamba yang lebih mulia di sisi Allah kecuali yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk kepada kita dengan risalah Islam yang mulia. Pembela hak-hak kaum wanita yang sebelumnya telah diabaikan oleh masyarakat jahiliyah terdahulu dengan adanya diskriminasi dan pemasungan hak-hak bagi mereka. Dengan adanya pencatatan perkawinan maka hak – hak yang terabaikan dapat di penuhi dalam keluarga sehingga timbul ketenteraman serta rasa keadilan dalam perkawinan.

Syukur Alhamdulillah karena dukungan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, segala kesulitan akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Selanjutnya teristimewa penulis persembahkan ”segalanya” untuk istriku tercinta (Irdha Fajaryani) dan anakku tersayang (Nadindra Kirana Maheswari), serta sembah bakti penulis kepada Ibunda Sri Rahayu, Ayahanda Kadarisman dan Ibunda Sukesi yang tak henti – hentinya memberikan dorongan semangat serta doa bagi penulis.


(6)

ii kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana M.A., Ketua dan Sekretaris Program Studi Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. H. Ahmad yani, MA, dan Mufidah, S.HI, Koordinator Teknis dan Sekertaris Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.A., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis. 5. Bapak Drs. Agus Yunih, S.H, M.HI Hakim pada Pengadilan Agama

Jakarta Selatan serta Bapak TB. Zamroni, S.Ag Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama dan segenap jajaran Karyawan/karyawati (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Segenap Bapak/Ibu dosen dan staf pengajar di lingkungan Program Studi Al Ahwâl Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam


(7)

iii

bagi penulis selama duduk di bangku kuliah.

7. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Sahabat-sahabat penulis di Peradilan Agama Non reguler angkatan 2007/2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. ‟‟Jangan menjadi pohon kaku yang mudah patah, jadilah bambu yang mampu melengkung melawan terpaan angin‟‟ serta Terima kasih atas semua bantuan dan dukungan serta doanya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik kita semua di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan serta doa yang penulis terima tidak akan dapat terbayar oleh apa pun. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan, semoga balasan kebaikan berlipat ganda dilimpahkan oleh Allah SWT kepada kita semua. Âmîn

Jakarta, 20 Juni 2011


(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

E. Studi Review Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KERANGKA TEORI A. Dasar dan Tujuan Perkawinan ... 14

B. Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Islam... 20

C. Urgensi Pencatatan Perkawinan ... 26

BAB III ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA A. Definisi Itsbat Nikah ... 32

B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan ... 33

C. Dampak Itsbat Nikah sebelum dan sesudah Adanya Penetapan Pengadilan Agama ... 42


(9)

v

PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat ... 47 B. Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama

Jakarta Selatan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama ... 65 C. Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan

tidak tercatat ... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN


(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat penting baik ditinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan adalah mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat.

Ditinjau dari segi yuridis perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan tersendiri tentang perkawinan. Sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan.1

Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan

1 Abdurrahman dan Syahrani,

Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,


(11)

yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari pihak manapun juga, maka ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu suatu

aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Sehingga dengan demikian kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya masing-masing, tata atau aturan-aturan yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.2

Adapun yang termasuk macam-macam norma agama, hukum dan kesusilaan, norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber kepada hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadits. Sedangkan norma hukum bersumber kepada:3

1. Undang-undang; 2. Kebiasaan (custom);

3. Keputusan-keputusan (Yurisprudensi);

4. Traktat (Treaty).

Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan.

2 Mufti Wiriadhihardja,

Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit

Gadjah Mada, 2002), Cet. Ke-7, h. 6 3 C.S.T. Kansil,

Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas,


(12)

Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah merupakan pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan ciptaan-Nya ialah adanya ketentuan-ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami isteri yang bahagia.4

Di samping wajib mengikuti ketentuan hukum syara‟ muslim warga negara Indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada undang-undang negara, yang dimaksud dengan undang-undang ialah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan negara yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang yakni presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di mana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang menyatakan:

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Ini berarti dengan diundangkannya undang-undang perkawinan merupakan suatu pedoman bagi seluruh warga Indonesia, baik muslim maupun non muslim, undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya. Namun oleh karena

4 Abdul Wahab Khalaf,

Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya li


(13)

undang-undang tersebut belum sepenuhnya memasyarakat, maka masih terdapat keragu-raguan, khususnya sahnya perkawinan jika dikorelasikan dengan pasal yang mengatur tentang catatan perkawinan dan akta nikah ataukah sekedar syarat administratif belaka yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan, karena prilaku mencatatkan perkawinan memiliki urgensi yang vital dalam tatanan kehidupan sosial.

Dengan dalih tidak ada ketentuan mengenai catatan perkawinan dan akta nikah dalam Islam, masih banyak warga negara Indonesia khususnya muslim yang melangsungkan perkawinan mereka tanpa dicatatkan pada lembaga resmi pemerintah. Catatan perkawinan merupakan ibadah ghairu makhdhoh yang memiliki sifat terbuka dan dalam hukum syar‟i ketentuan

adanya dua orang saksi laki-laki merupakan bukti adanya perkawinan hanya saja sifatnya limitative, hal ini sangat penting untuk kemaslahatan kedua belah pihak, apabila ada tuduhan melakukan perzinahan dan sebagainya, maka kedua belah pihak dapat mengemukakan saksi bahwa mereka sebenarnya telah melakukan perkawinan (nikah). Demikian pula baik isteri maupun suami tidak mudah untuk memungkiri perjanjian perkawinan yang suci tersebut terutama kelak adanya sanggahan terhadap keturunannya. Untuk meyakinkan umat Islam dalam perilaku perkawinan mereka khususnya mengenai pentingnya catatan perkawinan, dan untuk menghilangkan keragu-raguan mereka terhadap undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, berikut pendapat Hazairin,

… ia (Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974) merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan).


(14)

Di samping hal tersebut unifikasi bertujuan hendak melengkapi segala apa yang diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena dalam hal tersebut negara berhak mengatur sendiri sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat serta tuntutan zaman.5 Dalam implementasinya masih ada keragu-raguan serta berbagai macam pelanggaran sehingga perkawinan tidak bisa mencapai tujuan yang diidam-idamkan yakni membina rumah tangga yang kekal dan bahagia yang berujung pada perceraian.

Jika pada waktu melangsungkan perkawinan mereka mendaftar dan mencatatkan perkawinan tersebut pada lembaga resmi pemerintah yaitu Kantor Urusan Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi warga negara yang beragama non Islam.

Dengan adanya akta nikah, perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan akan terjamin hak-haknya sebagai suami isteri, selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis.

Oleh karena itu ternyata adanya keharusan catatan perkawinan bagi mereka yang ingin melangsungkannya, mempunyai nilai yuridis yang sangat urgen, sebagai bukti autentik bahwasanya mereka telah melangsungkan pernikahan dan membina rumah tangga, selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak sebagai suami isteri.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

5 Hazairin,

Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,


(15)

perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 di atas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) yaitu, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu; (1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Undang-undang menentukan terhadap ketiadaan catatan nikah dapat dilakukan melalui itsbat nikah dengan merujuk pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974, dan pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan dilakukannya itsbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk

menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan. Dengan ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.6 Sedangkan yang kedua adalah manfaat represif berkaitan dengan

perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena lain hal, bisa mengajukan itsbat nikahnya (penetapan) kepada pengadilan.7

6 Ahmad,

Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-III,

h. 111-112 7


(16)

Berdasarkan uraian di atas dan itsbat nikah Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS) penulis ingin lebih mengetahui bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah bila hal tersebut dilakukan sesudah munculnya Undang – undang Nomor. 1 Tahun 1974 apakah telah sesuai dengan hukum positif yang ada. Banyaknya pembahasan itsbat nikah pada skripsi terdahulu membuat penulis ingin lebih melengkapi skripsi yang ada dalam hal ini penulis ingin menelisik apa kendala yang dialami oleh pasangan suami istri dalam mengitsbatkaan pernikahannya. Dan dalam pengitsbatan nikah di Pengadilan Agama terdapat pula keterkaitan dengan Kantor Urusan Agama sebagai suatu instansi dalam pencatatan akta nikah sehingga nantinya suami istri tersebut mendapatkan salinan akta nikah sebagai bukti ketercatatan mereka. Penulis ingin pula mengetahui bagaimanakah pencatatan perkawinan antara pencatatan melalui itsbat nikah dengan pencatatan nikah yang langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis membuat satu judul yaitu : Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis yuridis Penetapan Nomor : 083/Pdt.P/2010/PA. JS)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Banyaknya pengajuan permohonan itsbat nikah pada masyarakat Kecamatan Kebayoran Lama yang diajukan pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan membuat penulis ingin mengetahui bagaimana hakim


(17)

memberikan penetapan itsbat nikah dan penulis mendapatkan salinan penetapan Nomor: 083/Pdt.P/2010/PA.JS. Dalam penetapan tersebut perkawinan dilakukan pada tahun 2002 sedang pada KHI pasal 7 ayat 3 huruf (d) dinyatakan adanya itsbat nikah yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi, agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas dan penulis membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup:

Apa yang menyebabkan M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti Matsanih mengajukan itsbat nikah dan apa pertimbangan hakim, sehingga mengabulkan itsbat nikah

2. Perumusan Masalah

Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya itsbat nikah karena perkawinan tidak tercatat di Pengadilan Agama itu dapat terjadi. Adapun rincian permasalahan penelitiannya sebagai berikut:

a. Bagaimanakah proses penetapan keputusan itsbat nikah dan relevansinya terhadap perkawinan tidak tercatat?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang Nomor. 1 tahun 1974?

c. Mengapa Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan permohonan itsbat nikah?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Mengetahui dan menjelaskan gambaran substansi itsbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama.

b. Mengetahui dan menjelaskan penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan bila perkawinan terjadi setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganalisis ketentuan aturan hukum Perkawinan Undang – undang No. 1 Tahun 1974, khususnya ketentuan tentang hukum perkawinan.

b. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum itsbat nikah, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.

D. Metode Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat apakah sesuatu itu lebih baik ataukah buruk, benar atau salah dan seterusnya berdasarkan norma-norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif merupakan penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subjektif, mencakup penelaahan dan pengungkapan sosial dan kemanusiaan. Selain itu penelitian ini dikatakan jenis penelitian kualitatif karena objek


(19)

penelitian ini adalah isi/content dari aturan-aturan hukum Undang-Undang Perkawinan. Dan dalam penelitian skripsi ini juga menggunakan jenis penelitian kuantitatif jenis penelitian lapangan (field research).

Data penelitian pada skripsi ini meliputi; sumber data dan jenis data. Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

1. Data Primer

Pertama, data primer meliputi berkas-berkas Penetapan itsbat

nikah Nomor : 083/Pdt/2010/PA. JS.) yang diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Kedua, wawancara dengan ketua majelis Bapak Drs. Agus Yunih,

S.H, M.HI. sebagai hakim yang telah memberikan pengesahan itsbat nikah Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS dan Bapak TB. Zamroni, S.Ag selaku kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama yang mengeluarkan salinan akta nikah

Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkannya dengan masalah yang dikaji.

2. Data Sekunder

Pertama, pada sumber data, sumber data primer terdapat pada

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Kedua,

Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pasal-pasal yang berkenaan dengan perkawinan. Ketiga,

aturan hukum yang dalam fikih, khususnya yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Pada jenis data, jenis data yang dikumpulkan


(20)

dalam skripsi ini adalah jenis data kualitatif yaitu data yang tidak disuguhkan dalam bentuk angka-angka, dalam hal ini data yang dikumpulkan tersebut berupa pemikiran yang relatif.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Menganalisis terhadap berkas penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 083/P.dt/2010/PA.JS 2. Interview/wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan penulis

dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang mensahkan putusan itsbat nikah Nomor : 083/P.dt/2010/PA.JS dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Lama

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi dokumenter dan studi doktrinal. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi.

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Studi Review Terdahulu

Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif


(21)

hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis ketahui, belum ada seorangpun yang menulis itsbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis penetapan nomor : 083/Pdt.P/2010/PA.JS.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya:

Skripsi yang berjudul “Itsbat nikah karena perkawinan tidak tercatat setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Timur )” yang ditulis oleh Ahmad Taridi, Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun 2005. Lebih fokus kepada itsbat nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang tejadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Kemudian yang ke dua “Itsbat nikah dan proses penyelesaiannya dipengadilan agama (Studi analisis Jakarta timur) yang disusun oleh Ulfa Fouziah pada tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus pada banyaknya kasus itsbat nikah yang terjadi dipengadilan agama Jakarta timur dan ingin mengetahui bagaimana proses persidangan itsbat nikah sesudah dan sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Kemudian yang ketiga “Dampak penolakan itsbat nikah terhadap hak perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam itsbat nikah.


(22)

F. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan yang meliputi; Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Metode penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan. BAB II : Kerangka teori, Pembahasan dalam bab ini mengenai dasar dan

tujuan perkawinan, rukun dan syarat dalam perkawinan Islam, Urgensi pencatatan perkawinan.

BAB III : Itsbat nikah di pengadilan agama, Bab Ini Membahas definisi itsbat nikah, hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan, dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan pengadilan agama.

BAB IV : Analisis yuridis itsbat nikah dalam perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Bab ini membahas Deskripsi penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatat, Aplikasi penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Kantor Urusan (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Analisis yuridis penetapan itsbat nikah terhadap perkawinan tidak tercatatat


(23)

14

KERANGKA TEORI

A. Dasar dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.1 Perkawinan atau pernikahan jika dalam bahasa Arab disebut dengan dua kata ) حاكن _ اوز( 2 yang artinya adalah nikah atau kawin. Secara etimologi nikah (kawin) berarti “al-wath‟u wa al-dhammu” (bersenggama atau bercampur). Begitu pula dalam pengertian majazi (kiasan) orang menyebut nikah untuk arti akad. sebab, akad ini merupakan landasan bolehnya melakukan persetubuhan.3 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan diperintah oleh agama dan dengan telah

1 Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991,

KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora

Utama Press, 2001),h. 14

2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry,

Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara

Sumber Widya, 2001), cet 13., h. 191 3 Dedi Junaedi,

Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002), cet. II, h. 4


(24)

berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.4Islam diyakini umatnya sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil-‟alamiin). Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, salah satunya adalah hukum perkawinan.5

Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.6 Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullâh yang artinya perintah Allah dan RasulNya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja, karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan sebagaian dari syariah agama Islam. Islam sebagai Agama fitrah, dalam arti tuntunannya selalu sejalan dengan fitrah manusia, menilai bahwa perkawinan adalah cara hidup yang wajar.7

Allah SWT menganjurkan perkawinan lewat firman-Nya QS. An-Nur (24): 32:

4 Amir Syarifuddin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. I. h. 43

5 Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga,

Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), cet. I, h. 39

6 Mohammad Daud Ali,

Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),

(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, h. 3 7 M.Quraish Shihab,

Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟,


(25)

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. An-Nur (24): 32)

Dalam hal ini Allah SWT menyeru para wali agar mengawinkan orang-orang yang masih sendirian (Laki-laki yang belum beristri dan perempuan yang belum bersuami yang ada di bawah perwaliannya). Laki-laki yang dibekali rasa senang terhadap wanita begitu juga sebaliknya, dalam menempuh hidup di dunia sebagai khalifah tidak dibiarkan hidup sekehendak nafsunya, akan tetapi diberi aturan hidup bersama dengan pasangannya itu. Tujuannya agar mereka hidup dengan tenang dan damai diliputi rasa kasih sayang yang dapat menghibur dikala susah dan pemulih gairah dikala lelah.8 Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum (21) : 21:

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum (21) : 21)

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Hukum Islam juga ditetapkan

8 Dedi Junaedi,

Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, h. 7-15.


(26)

untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Dalam al-Qur‟an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.9

Perkawinan bukan semata-mata perintah dan anjuran yang tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali. Tetapi sebaliknya, perkawinan ini merupakan realisasi kehormatan bagi manusia sebagai makhluk bermoral dan berakal dalam penyaluran naluri seks yang telah ada sejak lahir. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.10

Pada hakekatnya, perkawinan adalah rasa cinta kasih, kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan. Dalam Islam, rasa cinta kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan, bahkan merupakan motivasinya. Sedang kewajiban dalam perkawinan adalah kerja sama kedua pihak, suami-isteri, dalam mengarungi kehidupan. Dan inilah yang akan

9 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari‟a

t dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka

Firdaus, 1993), cet. IV, h. 59-60. 10 Sayyid Sabiq,


(27)

menjamin rasa cinta kasih berikut perkembangannya, sebagaimana rasa cinta kasih itu sendiri menjadi pendorong kuat bagi suami – isteri dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing. Kalau kita kembali kepada pokok syari‟ah untuk menafsirkan makna kewajiban di dalam kehidupan suami - isteri , yang terlihat oleh kita adalah kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Selain itu kita tidak melihat adanya suatu ketentuan yang membatasi tugas-tugas. Hak-hak suami atas isterinya adalah sebanding dengan hak-hak isteri atas suaminya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-qur‟an :

”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf.” Terbukti agama ini tidak menganggap memadai bila dalam perkawinan hanya terdapat perasaan cinta kasih dan sayang saja. Lebih dari itu, Islam menekankan kewajiban mempergauli isteri dengan baik. Hal ini berdasarkan nash alqur‟an : ”Dan pergaulilah mereka secara patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”11

Islam menganjurkan seseorang berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik. Demikian pula dari segi ketentuan bertambah dan berkesinambungannya amal kebaikan, dengan berkeluarga akan dapat dipenuhi.12 Pemenuhan hasrat seksual adalah kebutuhan biologis manusia. Pada umumnya, kebutuhan itulah yang menjadi

11 Ibid, h. 59-60.

12 Abd. Rahman Ghazaly,

Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), cet. I, h. 12.


(28)

faktor utama suatu perkawinan. Pemenuhan seksual adalah kenikmatan sekaligus kewajiban. Oleh karena itu, seorang suami dan isteri berhak atas lainnya secara timbal balik. Setiap dari keduanya berhak menuntut pihak lain yang mengabaikan hubungan tersebut. Meninggalkan hubungan biologis dengan sadar dan sengaja oleh suami - isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya dapat membatalkan perkawinan.

Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama halnya dengan menghambat pengembangbiakan.13 Karena tujuan pernikahan tidak lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga yang mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.14

B. Rukun dan syarat dalam perkawinan Islam

Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, syarat dirumuskan

13 Al- Thahir Al-Hadad,

Wanita dalam Syari‟at & Masyarakat, h. 72.

14 Daud Ali,


(29)

dengan, ‟‟sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri‟‟.15 Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan dengan ihwal rukun dan syarat nikah, ada hal – hal tertentu yang oleh sebagian ulama dikategorikan kedalam syarat nikah. Jadi rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad.16

Apabila kedua unsur tidak dipenuhi, maka perbuatan dianggap tidak sah menurut hukum, demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syarat.

1. Rukun dalam perkawinan a. Adanya calon mempelai pria b. Adanya calon mempelai wanita c. Adanya wali

d. Adanya dua orang saksi

e. Adanya ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya) dan qabul ( dari calon mempelai laki - laki atau wakilnya )17

2. Syarat dalam perkawinan

15 Tim Penyusun

, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jil.

5, h. 1691

16 Muhammad Amin Suma,

Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), h. 95-96 17 Aslih kurniawan, dkk,

Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010), h. 24


(30)

Pada garis besarnya syarat – syarat sahnya perkawinan itu ada dua : a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki – laki yang

ingin menjadikannya istri. perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram untuk dinikahi

b. Akad nikahnya dihadiri para saksi

Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan di jelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :

a. Adanya laki-laki dan perempuan

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, adapun syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut :18

Bagi calon mempelai laki - laki 1) Beragama Islam

2) Pria

3) Tidak dipaksa

4) Tidak beristri empat orang 5) Bukan mahramnya calon istri

6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya 7) Mengetahui calon istrinya tidak haram dinikahinya

8) Tidak sedang melakukan ihram Bagi calon mempelai perempuan

18 Amir Syarifuddin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 64


(31)

1) Beragama Islam 2) Wanita

3) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya 4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah

5) Bukan mahramnya calon suami 6) Jelas orangnya

7) Tidak sedang dalam ihram19 b. Adanya wali

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas orang lain dan dalam perkawinan wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah . akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki – laki yang dilakukan oleh mempelai laki – laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.20

Syarat wali sebagai berikut 1) Beragama Islam 2) Baligh Berakal 3) Tidak dipaksa 4) Terang lelakinya 5) Adil bukan fasiq

19 Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,

Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009), h.15 - 16

20 Amir Syarifuddin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 69


(32)

6) Tidak sedang ihram atau umroh

7) Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)

8) Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya c. Adanya saksi:

Sabda nabi SAW :

”Dari Ibnu Abas, R.A berkata tidak sah nikah tanpa wali dan kedua saksi yang adil” (HR.Imam Ahmad)21

Syarat saksi: 1) Beragama Islam 2) Laki-laki 3) Balig 4) Berakal 5) Adil 6) Mendengar 7) Tidak tuli

8) Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) 9) Tidak pelupa(mughoffal)

10)Menjaga harga diri mengerti ijab dan qabul

11)Tidak merangkap menjadi wali22

21 Abdullah Ahmad bin Hanbal,

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Beirut: al-Maktab

al- Islami, 1985), h. 250 lihat juga Ala al-din Ali Ibnu Balban al Farisi shahih ibn Hibban Bitartibi Ibnu Balban (Beirut: Muassasah al-risalah, 1997), h.386


(33)

d. Ijab dan qabul syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai23

3) Ijab dan Qabul harus berbentuk dari asal kata ‟‟ inkah ‟‟ atau

‟‟tazwij ‟‟ atau terjemah dari dua kata tersebut yang dalam bahasa

berati ‟‟menikahkan‟‟ Contoh:

1) Ijab dari wali calon mempelai perempuan ‟‟ hai fulan bin fulan, saya nikahkan fulanah, anak kandung saya dengan engkau, dengan mas kawin (mahar)...dibayar tunai (hutang).

2) Qabul dari calon mempelai pria ‟‟ saya terima nikahnya dan kawinnya fulanah binti...dengan mas kawin yan tersebut

tunai.24

a) Antara ijab dan qabul bersambungan b) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

c) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

22 Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta,

Membina Keluarga Sakinah, h. 25

23 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan

, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana,

2006), Cet. 1, h. 63


(34)

d) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.25

e. Mahar

Di samping rukun dan syarat yang tersebut di atas, menurut para ulama, mahar itu hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah Pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki – laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah.26 Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada surat an –Nisa‟ ayat 4 yang bunyinya :

































4

Artinya : ”Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS, an – Nisa‟(4): 4 )

Dan Nabi SAW bersabda kepada seorang laki - laki yang ingin menikah

25 Ibid, h. 63

26 Amir Syarifuddin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 85


(35)

‟‟Dari Sahal bin Sa‟ad bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wa Sallam berkata pada seorang laki-laki nikahilah oleh kamu walaupun dengan mas kawin berupa cincin dari besi‟‟(HR. Bukhari)27

C. Urgensi Pencatatan Nikah

Al-qur‟an dan Al-hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan pada hukum Islam.28 Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh Undang-undang. Juga dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati.

Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.29 Mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.

27 Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah al Bukhari, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th), Juz III, h. 252

28 Zainuddin Ali,

Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet

1, h. 26

29 Khairuddin Nasution,

Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang – Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS,


(36)

firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).

Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar‟I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada awal masa Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama.30 Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.

Dengan alasan-alasan yang disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah

30 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan

, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 120-121


(37)

maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut Akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab fikih ataupun fatwa-fatwa ulama.31

Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat.32 Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: Tiap - tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

31 Ibid, h. 122

32 Zainuddin Ali,


(38)

Ini adalah satu-satunya Ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat didalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan:

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) di lakukan sekurang- kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat(atas nama) bupati kepala daerah.

Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun didalam undang-undang perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini sangat dominan.33 Dalam kompilasi hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut.

Pasal 5

(1).Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2).Pencatatan perkawinan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor. 32 Tahun 1954.

Pasal 6

(1).Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

(2).Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

33 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan

, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, h. 122-123


(39)

Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.” Ketertiban disini menyangkut Ghayat al-Tasyri‟ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hukum.” Dan dapat diterjemakan dengan makna tidak sah. Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah.34 Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undang-undang yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki legalitas di mata hukum sehingga hak-hak suami dan istri serta anak-anak yang dilahirkan tidak memiliki jaminan perlindungan secara hukum.

Di sini perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undang-undang Negara kita. Sah secara syariat Islam dan mendapatkan perlindungan Negara merupakan terminologi wajib yang seharusnya dilakukan oleh setiap warganegara sehingga tidak muncul pilihan yang memisahkan kedua term tersebut. proses awal dari mekanisme pertumbuhan kependudukan. Naiknya jumlah penduduk atau menurunnya angka perkawinan turut menjadi bagian dari proses prediksi kondisi masa depan.35

34 Ibid, h. 124

35 Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ Mimbar Hukum No 23( Tahun VI 1995), h.49


(40)

Masih banyaknya perkawinan yang tidak tercatat yang berakibat tidak adanya bukti perkawinan yang sah. Mereka umumnya telah memiliki anak-anak yang membutuhkan akses pelayanan sipil sebagai warganegara dan juga pelayanan sosial. Mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan seperti, KTP, Akta Kelahiran, Kartu keluarga, dan lain sebagainya. Mereka juga kehilangan kesempatan meraih hak-hak kewarisan, mengurus passport dan hak mendapatkan tunjangan keluarga.36

Adanya peraturan yang mengharuskan agar suatu perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya – upaya negatif dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi dari pengingkaran akad nikah oleh seorang suami dibelakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi tetapi sudah tentu akan lebih dapat terlindungi dengan adanya pencatatan resmi dilembaga yang berwenang untuk itu. Namun apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama

sehingga akan mempunyai kekuatan hukum dalam perkawinannya.37

36 Anwar Saadi, “

Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”. No.

460/XXXVIII/2011, h. 24

37 Satria Effendi M. Zein,

Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:


(41)


(42)

33 A. Dasar Hukum Itsbat Nikah

Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab ( تابثا (yang merupakan masdar dari kata (تابثا -تب ي – تبثا)yang mempunyai makna penetapan, penentuan atau pembuktian.Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan tertentu.38 Yang menjadi dasar hukum dari itsbat nikah adalah BAB XIII Pasal 64 ketentuan peralihan Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijadikan menurut peraturan lama adalah sah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Pasal 7, yang terkandung dalam Pasal 64 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “itsbat nikah”.39

Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan :

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.

38 Yayan Sofyan, “

Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah Diberlakukan UUNo. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, (Ahkam IV, No.8 ,

2002), h.75


(43)

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.40

Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

40 Ahmad Mukti Arto,

Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,

(Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51-52


(44)

undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu : Pasal 5 ayat (1) ; Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

setiap perkawinan harus dicatat.

Pasal 5 ayat(2) ; pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1946 jo dan Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang republik indonesia tanggal 21 november No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura.

Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 6 yang menyebutkan :

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.41

Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang :

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang - undang No.32 Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.

41 Ahmad Rafiq,

Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995).


(45)

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.42

Dalam pasal 3 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.

42 Abdul Ghani Abdullah,

Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, h.32


(46)

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 peraturan pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.43

Tindakan yang harus diambil oleh pegawai pencatat nikah setelah menerima pemberitahuan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut :

1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apabila tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meliputi pula :

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir. Dapat dipergunakan

43 Ahmad Rafiq,


(47)

surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.

b. Keterangan mengenai nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c. Izin tertulis atau izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri. e. Dispensasi pengadilan atau pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal

perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.

h. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.44


(48)

Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama : memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat nikah. Kedua : menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya, seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Penelitian pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan di atas.

Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan memberi alternatif atau kelonggaran kepada pihak-pihak karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan izin tertulis, izin pengadilan agama, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.45 Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai berikut :

45 Ahmad Rofiq,


(49)

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b) Hilangnya akta nikah

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkwinan itu.46

Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, dalam Al Qur'an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada kita untuk mencatatkan.

firman Allah SWT dalam QS. Al-Bâqârâh (2): 282 :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua‟malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (QS. Al-Bâqârâh (282): 2).

Para pemikir Islam (faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan


(50)

pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih.

“Menolak kemudhoratan lebih didahulukan dari pada memperoleh

kemaslahatan”47

Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntunan perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.48 Dan usaha ini dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah tangga. Menurut Ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah :

Pertama : Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar

tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau

47 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148.

48 Zainuddin Ali,


(51)

menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.

Kedua : Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang

karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada pengadilan agama, pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak mementingkan aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdatannya juga perlu diperlukan secara seimbang.49

Dalam pembahasan di atas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan. Di mana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan bukti autentik, telah terjadinya perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yang belum mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (pengesahan nikah). Dalam pasal 5 KHI disebutkan bahwa:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang – undang no. 22 Tahun 1946 jo. Undang – undang no. 32 Tahun 1945.

49 Ahmad Rafiq,

Hukum Islam Di Indonesia, h. 111-112


(52)

C. Dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan Pengadilan Agama

1. Dampak sebelum diitsbatkannya perkawinan

Menurut hukum Islam, apabila suatu perkawinan dilakukan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka perkawinan tersebut adalah sah menurut hukum Islam walaupun perkawinan tersebut tidak mempunyai akta nikah, tetapi akibat hukumnya adalah sama dengan perkawinan yang mempunyai akta nikah.50 Namun menurut ketentuan hukum positif yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang – undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, pada pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Bila dilihat dari teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dapat dikatakan sebagai perbutan hukum karena itu maka berakibat hukum, maka tidak dapat dianggap sebagai perbuatan hukum sekalipun tindakan itu tidak melawan hukum, dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat hukum yang diakui dan dilindung oleh

50 Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut

Undang –Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas


(53)

hukum.51 Karena perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai perkawinan yang tidak memenuhi syarat – syarat perkawinan seperti dalam Undang – undang No. 1 Tahun 1974 maka perkawinan di bawah tangan tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sehinngga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Walaupun demikian dampak dari perkawinan sebelum diitsbatkannya perkawinan tersebut atau dengan kata lain perkawinan tanpa akta nikah yaitu sebagai berikut:

a. Makna historis Undang – undang No.1 Tahun 1974 akan tidak efektif sehingga tujuan dari lahirnya Undang – undang perkawinan tersebut tidak akan tercapai. Maka dengan demikian pengorbanan bangsa dan Negara untuk lahirnya Undang – undang perkawinan akan sia – sia b. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti

yang dikehendaki oleh Undang – undang No. 1 Tahun 1974 pasal (2), sehingga akan menciptakan kondisi ketidak teraturan di dalam mekanisme kependudukan

c. Naik turunnya jumlah penduduk dan pengaturan umur kawin atau angaka kelahiran tidak akan dapat terkendali dan pada akhirnya akan berulang kembali ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penduduk dengan mekanisme konsumsi nasional.

d. Masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat Islam dipandang tidak lagi mempedulikan kehidupan bangsa dan kenegaraan dalam

51 Abdul Gani, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟. Mimbar Hukum No 23 (Tahun VI, 1995), h. 47-48


(54)

bidang hukum yang pada akhirnya akan sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran agama Islam tidak memerlukan keterlibatan negara. e. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perkawinan maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas. Kondisi seperti ini akan berakhir tanpa keterlibatan produser hukum sebagai akibat langsung dari pemenuhan pelaksanaan unsur tata cara pelaksanaan perkawinan.

f. Apabila perkawinan di bawah tangan terjadi maka secara hukum hanya dapat diikuti dengan perceraian di bawah tangan juga.52

Dan apabila dampak tersebut ditinjau dari para pelaku sebelum diitsbatkanya perkawinan mereka tersebut adalah sebagai berikut :

1) Perkawinan tidak dianggap sah.

Meskipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama .

2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

Anak – anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu ( Pasal 42 dan 43 Undang – undang perkawinan ) sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak

52 Mufidah Ulfah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut


(55)

3) Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.

Akibat lebih jauh dari perkawinan tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah maupun warisan dari ayahnya harta yang didapat dalam perkawinan tersebut hanya dimiliki oleh masing – masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono – gini/harta bersama

4) Terhadap suami

Hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan dan merugikan bagi suami yang melakukan perkawinan, sebelum diitsbatkannya perkawinan yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami bebas menikah lagi, sebab perkawinan sebelumnya dianggap tidak sah menurut hukum, sehingga ia bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah kepada istri dan anak – anaknya.53 2. Dampak sesudah diitsbatkannya perkawinan

Akibat hukum dari diitsbatkannya perkawinan oleh pengadilan agama adalah sebagai berikut :

a. Timbulnya hak – hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga.

b. Anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut menjadi anak yang sah dimata hukum Negara

53 Intan Ghina, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan

Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan/


(56)

c. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak – anak dan istrinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama

d. Berhak saling waris mewarisi antara suami dan istri dan anak – anak dengan orang tua

e. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perampuannya

f. Bila di antara suami atau istri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak – anak dan hartanya54

54 Idris Ramulyo,

Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet 4, h. 49-50


(1)

agamis (Islam) tetap sah selama terpenuhinya syarat dan rukun yang menjadi patokan kebolehan perkawinan, tetapi secara prosedural – administratif perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, dan selain itu perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Indonesia dan dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti serta menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan. Juga dalam perkawinan tidak mementingkan aspek fiqh saja, tetapi aspek – aspek keperdataannya juga diperlukan secara seimbang. Oleh sebab itu dengan tercatatnya suatu perkawinan pihak yang bersangkutan akan mendapatkan akta nikah sebagai bukti autentik.

2. Dalam hal penetapan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974, hakim menitik beratkan pada Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3 huruf (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang – undang No. 1 Tahun 1974 karena dalam UU tersebut mengatur tentang syarat dan hukum perkawinan. Sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974 maka itsbatnya akan disahkan, hakim juga mempertimbangkan aspek maslahat dalam memutuskan itsbat nikah setelah adanya Undang – undang No. 1 Tahun 1974


(2)

3. Di kabulkannya itsbat nikah oleh hakim di karenakan seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Itsbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan pencatatan dan masa depan anak dan hakim melihat pada aspek „‟Dar‟ul mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil mashalihi‟‟

B. Saran – saran

Dari apa yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diberikan suatu saran – saran sebagai berikut :

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, dari pemerintah maupun pemuka agama akan dampak – dampak negatif pernikahan dibawah tangan 2. Bagi perempuan, perlu dipertimbangkan kembali untuk menikah dibawah tangan, karena dampak hukum sangat merugikan pihak perempuan dan anaknya kelak

3. Perlu adanya penegakan hukum khususnya pada Undang – undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan agar hakim dapat selektif dalam hal mengabulkan itsbat nikah.

4. Dan perlu adanya aturan kedepan, bagi yang menikah dibawah tangan harus dikenakan sanksi untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku agar tidak menimbulkan dampak – dampak negatif dikemudian hari.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an

Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)

Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumi, 2001)

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993)

Anshor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004)

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa‟id Fiqhiyyah Dalam Presfektif Fiqih, ( Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya Dengan Anglo Media, 2004)

Aulawi, Wasit, “ Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Amarulah Ahmad, ed, Dimensi Hukum Islam Dalam System Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani, 1996)

Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar Al Fikr, t.th),

Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2009)

Bin Nuh, Abd dan Bakry, Oemar, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT . Mutiara Sumber Widya, 2001)

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surutnya Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Effendi M. Zein , Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,


(4)

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003)

Gani, Abdul, “ Perkawinan di Bawah Tangan‟‟ , Mimbar Hukum No 23( Tahun VI 1995)

Ghina, Intan, ” Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan‟‟,

artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari

http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Tinta Mas, 2001)

Hanbal , Abdullah Ahmad bin , Musnad Imam Ahmad bin Hanbal ( Beirut: al-Maktab al- Islami, 1985)

Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama Press, 2001)

Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 2002)

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A‟la al-Indonisiya li al-Da‟wah al-Islamiyyah, 2002)

Kansil, C.S.T., Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 2001)

Kurniawan, Aslih, dkk, Pedoman Pelaksanaan Akad Nikah dan Beberapa Kasus Perkawinan, (Jakarta: Seksi Urusan Agama Islam Kemenag Jakarta Selatan, 2010)

Mukti Arto, Ahmad, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996)

M. Situmorang, Viktor dan Sitanggang, Cormentya, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991)

Maimun, Aqib, “Pencatatan Pernikahan Beda Agama Dikantor Urusan Agama (KUA) Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kec. Cilandak”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010)

Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006)


(5)

Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhada Perundang – Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002)

Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1995)

Shihab, M.Quraish, Pengantin Al-Qur‟an “Kalung Permata Buat Anak-anakku‟‟, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980)

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)

--- Kedudukan Dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia, (kumpulan perkuliahan dan seminar, T.tp, 2009)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007) Saadi, Anwar, “Pentingnya Pencatatan Nikah, BP4 Perkawinan dan Keluarga”.

No. 460/XXXVIII/2011

Sofyan, Yayan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catatat Setelah Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, (Ahkam IV, No.8 ,2002)

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980)

Tim Penyusun, Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007)

Ulfah, Mufidah, “ Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dan Kaitannya Dengan Hukum Islam‟‟, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara Medan, 2008)


(6)

Patly Parakasi,‟‟Kajian Yuridis Pengesahan Perkawinan di Pengadilan Agama Jember‟‟ artikel di akses pada 8 Mei 2011 dari http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf

Panduan Pengajuan itsbat/Pengesahan nikah” artikel di akses pada 16 Mei 2011 dari www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANITSBATNIKAH.doc

Penetapan Putusan Nomor ; 083/P.dt/2010/PA.JS, Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Wiriadhihardja, Mufti, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada, 2002)

wulansari Suci, artikel diakses pada 9 Mei 2011 dari http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=158583027518190

Wawancara Pribadi dengan Agus Yunih, Hakim Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Jakarta, 12 April 2011

Wawancara Pribadi dengan TB. Zamroni, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta, 05 Mei 2011