Implementasi pasal 105 huruf akhi tentang hadhanah (analisis Yuridis putusan nomor: 666/Pdt.G?2009/PAJH

(1)

IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh: Deni Hamdani NIM: 207044100261

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh:

Deni Hamdani

NIM: 207044100261

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.

NIP: 196404121994031004

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.

NIP: 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

Sekretaris : Mufidah, S.Hi.

Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. NIP: 196404121994031004

Penguji I : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

Penguji II : Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum. NIP: 196509081995031001


(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, hidayah dan inayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI tentang Hadhanah (Analisis Yuridis Putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB) ini penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.) pada program studi Ahwal Syakhshiyyah, konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

ii

2. Drs. H. A. .Basiq Djalil, S.H.,M.A. dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. masing-masing sebagai Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Ketua Koordinator Teknis Program Non Reguler. Hj. Rosdiana, M.A. dan Mufidah, S.Hi., yang keduanya adalah Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Sekretaris Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., dosen pembimbing yang telah membimbing, memberikan perhatian dan memotivasi yang besar selama proses bimbingan sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. H. Muhyiddin, S.H., M.H., selaku Hakim Humas yang bersedia untuk berwawancara dan Adri Syafruddin Sulaiman, S.H., sebagai Panitera Muda Hukum yang memberikan informasi, fotocopi data dan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat tempat mengadakan penelitian.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas didikan dan curahan ilmu pengetahuan serta civitas akademika , staf Perpustakaan Utama dan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi, akademik, fasilitas berupa literatur buku dan referensi untuk penulisan skripsi. 6. Ayahanda H. Zulkipli dan ibunda Darliyeti yang senantiasa memberikan do’a,

pengorbanan, nasihat dan arahan masa depan serta ibunda Sulastri, aa Irfan, uni Mira, Iskandar atas segala kebaikan. Adik-adikku Rahmi, Faisal, Rahma dan Keponakanku Maya, Lisa, Rafi yang meluluhkan hati penulis dengan tangisan dan kenakalan mereka sehingga termotivasi untuk segera menyelesaikan studi.


(6)

iii

7. Sahabat seperjuangan di kelas PA Aripin, Aris, DK, Hakim, Indro, Mila, N-din, pak Tamim, Royhan, Tiram, /rif dan di kelas PH-PS Amin, Ani, bang Syam, Fadli, UIN, Vina serta sahabat-sahabat lain yang tidak disebutkan dengan tidak mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka.

Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik moril maupun materil yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdo’a semoga Allah SWT. senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah kepada kita semua. Dengan selesainya karya tulis ini, penulis tentunya sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi meningkatkan kualitas keilmuan penulis. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 23 Juni 2011


(7)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Kerangka Teori ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II LANDASAN TEORI ... 18

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah ... 18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif ... 25

C. Syarat dan Hak Hadhanah ... 29

D. Masa dan Hikmah Hadhanah ... 34

BAB III PASAL 105 HURUF A KHI ... 40

A. Latar Belakang Pembentukan KHI ... 40

B. Landasan dan Kedudukan KHI ... 45


(8)

v

D. Substansi Pasal 105 Huruf a KHI ... 48

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN ... 54

A. Potret Pengadilan Agama Jakarta Barat ... 54

B. Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI dalam Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB ... 57

C. Analisa ... 70

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lampiran 1 : Lembaran Mohon Data/ Wawancara ... 83

2. Lampiran 2 : Lembaran Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi Program Non Reguler ... 84

3. Lampiran 3 : Lembaran Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Barat . 85 4. Lampiran 4 : Lembaran Hasil Wawancara... 86


(9)

vi

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Juni 2011


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan biologisnya termasuk aktifitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan perkawinan. Aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.1

Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah

1


(11)

2

tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawiann antara suami dan istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.2

Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat Islam.3 Dalam bentuknya yang kecil, hidup berkomunitas itu dimulai dengan adanya keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Karena fungsi keluarga yang sedemikian itu, sangatlah wajar jika keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang terpenting dan terbentuk oleh paling tidak seorang laki-laki, seorang perempuan beserta anak-anaknya.4

Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti

2

Ibid., h.31. 3

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), h.61. 4

Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h.1.


(12)

3

makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.5

Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga seperti inilah yang merupakan bangunan umat yang dicita-citakan oleh Islam.6 Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.

Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan. Ketegangan suami istri biasanya timbul dari hal kecil seperti perasaan kurang dihargai bagi istri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi bom atom yang sewaktu-waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.

5

Ghozali, Fiqh Munakahat, h.10. 6

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) h.17.


(13)

4

Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh al-Qur‟an dan al-Hadits.7

Suatu gugatan perceraian bisa mengundang berbagai macam permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah lain sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta bersama dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula permasalahan tentang siapa yang lebih berhak melakukan Hadhanah

(pemeliharaan terhadap anak).8 Anak yang lahir dari perkawinan itu, tentu memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orang tuanya, terutama menyangkut hak anak untuk mendapatkan makan dan minum serta pakaian dan tempat tinggal di samping hak-hak pemeliharaan dan pendidikan. 9

Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemashlahatan dirinya), maka istrinya yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia

7

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.73. 8

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah) (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.

9

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.rev.II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.26.


(14)

5

mengerti akan kemashlahatan dirinya.10 Dalam waktu itu si anak hendaknya tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.11

Ditegaskan juga dalam pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal terjadinya perceraian: “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Pengadilan Agama adalah Institusi yang

akan menerapkan hukum materil dari Kompilasi Hukum Islam ini, terutama masalah yang berkaitan dengan Hadhanah itu sendiri. Sebab, di Indonesia tidak ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah pemeliharaan anak, yang ada hanya Undang-Undang yang mengatur masalah kesejahteraan anak, pengadilan anak, larangan mengeksploitasi anak dan perlindungan terhadap anak.

Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun dengan putusan pengadilan.12 Seyogyanya, Pasal 105 huruf a KHI tersebut, diimplementasikan dalam putusan di Pengadilan Agama. Letak masalahnya

10

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.426.

11

Ibid., h.427. 12

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 1974 sampai KHI, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2004), h.295.


(15)

6

adalah bagaimana jika ada sesuatu hal yang menyebabkan Pengadilan Agama memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak berpindah kepada ayahnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkajinya dalam bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH (Analisis Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB)”.

Hal yang memotifasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban dan penjelasan mengenai status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yang dipelihara oleh ayahnya, yaitu dengan menganalisis putusan yang ada.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak meluas dan simpang siur, maka penulis memfokuskan penelitian untuk menganalisis implementasi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

2. Perumusan Masalah

Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun pada pasal 105 huruf a KHI, dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan hak ibunya yang melahirkan untuk mengasuh. Kenyataan yang terjadi, seorang ayah dapat memelihara anaknya yang belum mumayyiz berdasarkan putusan yang ada di Pengadilan Agama.


(16)

7

Adapun rumusan masalah tersebut, penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah?

2) Bagaimana implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat?

3) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/ PAJB tentang Hadhanah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana sesungguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam lingkup status pemeliharaan anak di bawah umur 12 tahun setelah perceraian orang tuanya. Adapun tujuan penulis dari penelitian ini sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah. 2) Untuk mengetahui implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat. 3) Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/ Pdt.G/

2009/ PAJB tentang Hadhanah.

2. Manfaat Penelitian

1) Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah dan implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat.


(17)

8

2) Turut berkontribusi dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pemeliharaan anak.

3) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan

masukan bagi para calon sarjana syari‟ah di Universitas, Institut maupun

Perguruan Tinggi.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis Judul Skripsi Persamaan Perbedaan

Aziz Angga

Riana pada tahun 2010 di bawah bimbingan Dr. H.Azizah,M.A.

dan Hj.

Rosdiana,M.A.

Kewajiban Pembiayaan

Hadhanah Akibat

Perceraian (Studi Kritis Pasal 105 Poin c Jo Pasal 156 Poin d KHI)

Studi tentang Hadhanah dalam pasal Kompilasi Hukum Islam Analisis penetapan hak Hadhanah dalam

putusan di Pengadilan Agama Muhammad

Ansory pada

tahun 2010 di bawah bimbingan Prof. Dr. H. A. Sutarmadi

Hak Hadhanah Ibu Wanita Karir (Analisis

Putusan Perkara

Nomor:458/Pdt.G/2006 / PADepok)

Hadhanah dalam putusan Pengadilan Agama

Studi pasal

KHI dan

penetapan Hadhanah kepada Ayah


(18)

9

Khaslaili binti Lahuri pada tahun 2008di bawah bimbingan Drs.H.A. Basiq Djalil,S.H.,M.A.

Hak Hadhanah Menurut Undang-Undang

Keluarga Islam di

Mahkamah Syariah

Negeri Selangor,

Malaysia

Penetapan hak Hadhanah di Instansi

pemerintahan

Hak Hadhanah menurut KHI di Pengadilan Agama

Rizal Purnomo pada tahun 2008

di bawah

bimbingan Kamarusdiana, S.Ag.,M.H.

Gugat Rekonpensi

dalam Sengketa Cerai Gugat dan Implikasinya

Terhadap Hak

Hadhanah di

Pengadilan Agama

Cerai Gugat

dan Hak

Hadhanah di Pengadilan Agama

Studi kritis terhadap pasal Kompilasi Hukum Islam

Mohd Norman

Shah bin Yaziz pada tahun 2008

di bawah

bimbingan Drs.H.A.Basiq Djalil, SH,MA

Pelaksanaan Sulh dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah : Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan

Kuala Lumpur,

Malaysia

Penyelesaian sengketa hak Hadhanah di Instansi pemerintahan Pelaksanaan hukum materil Pengadilan Agama


(19)

10

E. Kerangka Teori

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan Hadhanah. Secara etimologis, Hadhanah berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.13

Dalam kitab Fathul Mu‟in Hadhanah yaitu mendidik anak yang belum bisa

mengatur dirinya sendiri sampai mumayyiz, yang lebih utama adalah ditangani oleh ibu yang tidak bersuamikan orang lain, lalu para ibunya ibu dan terus ke atas, kemudian ayah , lalu para ibunya ayah, kemudian saudara wanita, kemudian anak wanitanya saudara wanita, kemudian anak wanitanya saudara lelaki, kemudian saudara wanita ayah.14

Para ahli fiqh memberi definisi bahwa Hadhanah ialah suatu ungkapan tentang melaksanakan penjagaan anak kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang kurang waras akal fikirannya dan belum cukup umur; Hadhanah ini tidak berlaku buat orang yang sudah besar, baligh dan berusia dewasa.15

Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi, keterangan-keterangan dan sebagainya).16 Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan

13

Ibid.,h.292.

14 Aliy As‟ad, Terjemah Fathul Mu’in

, jil.III, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h.246. 15

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad Abbas, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h.105.

16

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


(20)

11

dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/ tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.17

Kata hukum barasal dari bahasa arab al-hukm. Kata al-hukm merupakan bentuk mufradat (singular), jamak (plural)-nya adalah al-ahkam. Al-hukm secara etimologi berarti ketetapan, keputusan penyelesaian suatu masalah. Kata al-hukm, merupakan bentuk masdar dari hakama yahkumu. Hakama artinya memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan masalah.18

Islam adalah nama agama yang diberikan oleh Allah SWT; sumber ajaran Islam adalah wahyu (revelation), bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu hakikat agama Islam adalah terjemahan dari ad-Diin (

نيدلا

), karena mempunyai ciri khusus yakni bersumber dari wahyu; bukan terjemahan dari kata

religion yang artinya agama, yang mengatur urusan manusia dengan Tuhannya tetapi bersumber dari cipta, rasa dan karsa manusia (kebudayaan), tidak dari wahyu.19

17

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.11.

18

Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: UIN Press, 2006), h.11.

19

Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tirmidzi (Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh) (Jakarta: Logos, 1998), h.1.


(21)

12

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan Islam. Kedua

kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat

menemukan kata itu dalam al-Qur‟an, Hadits atau literatur Arab lainnya. Kata hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di Indonesia; Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan

berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama

Islam”.20

Dalam literatur Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam. Yang terpenting adalah syariah/ syariat Islam, fikih Islam dan undang-undang Islam. Seperti dikemukakan para ahli ilmu hukum

Islam (ushul fiqh) ialah “Doktrin Allah SWT yang berhubungan dengan tindakan orang dewasa (mukallaf), baik itu dalam bentuk tuntutan (iqtidha‟) maupun

berupa kebebasan untuk memilih (takhyir) antara melakukan atau tidak

melakukan dan/atau dalam bentuk penetapan (wadha‟).21

Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai

20

Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata Publising, 2010), h.7.

21

Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia (Jakarta: t.p., 2009), h.18.


(22)

13

kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.22 Adapun isi dari Kompilasi Hukum Islam adalah kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.

Dalam literatur bahasa Indonesia, pasal secara bahasa mengandung arti bab, paragraf (bagian dari bab) atau artikel (dalam undang-undang)23. Sedangkan huruf adalah unsur abjad yang melambangkan bunyi, aksara24. Pasal 105 huruf a KHI, dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;”25

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan- pernyataan yang menggunakan penalaran.26 Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum

22

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.14. 23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.650. 24

Ibid., h.316. 25

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.397.

26


(23)

14

yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan dan putusan Pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.27

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan yang ada di lapangan serta mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian yaitu putusan Pengadilan dan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian.

3. Sumber Data

a. Data Primer

1) Putusan No. 666/Pdt.G/2009/PAJB.

2) Wawancara langsung ke tempat objek penelitian untuk memperoleh informasi yang dikehendaki.

b. Data Sekunder

Penelitian kepustakaan lainnya yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-undangan, buku, artikel, internet dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.

27


(24)

15

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi pustaka yaitu pengumpulan data dari berbagai macam literatur yang relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan skripsi. b. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil

informasi berupa data dan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas. c. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan

pihak yang bersangkutan yaitu Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta Barat dan staf-staf yang berwenang.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta di lapangan, kemudian membaca, mengamati dan menganalisa dengan pengamatan kualitatif secara mendalam, melacak dan menemukan berbagai faktor yang terkait dengan masalah tersebut. Kemudian menghubungkan antara teori dan praktek yang menimbulkan masalah. Setelah itu, ditelaah dan dianalisis sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai yang dikehendaki dalam penulisan karya ilmiah ini.

6. Analisa Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan analisa isi (content analisis), yaitu menganalisis isi putusan dengan cara


(25)

16

membandingkan teori yang ada dengan praktek di lapangan, serta menghubungkannya dengan wawancara yang didapatkan dari tempat objek penelitian, dideskripsikan sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang objektif dan konkret sesuai dengan masalah yang ada.

7. Teknik penulisan

Standar penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada

Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu dari masalah yang diteliti. Adapun sitem penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi landasan teori, memuat pengertian dan dasar hukum Hadhanah, Hadhanah menurut fuqaha dan hukum positif, syarat dan hak Hadhanah serta masa dan hikmah Hadhanah.

Bab ketiga berisi pasal 105 huruf a KHI, memuat latar belakang pembentukan KHI, landasan dan kedudukan KHI, eksistensi KHI di Pengadilan Agama dan substansi pasal 105 huruf a KHI.


(26)

17

Bab keempat berisi deskripsi dan analisa hasil penelitian, memuat potret Pengadilan Agama Jakarta Barat, implementasi pasal 105 huruf a KHI dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB dan analisa.

Bab kelima berisi penutup, memuat kesimpulan dan saran-saran. Daftar Pustaka


(27)

18

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah 1. Pengertian Hadhanah

Hadhanah (

ةناضح

) jamaknya ahdhan (

ناضحا

) atau hudhun (

نضح

),

terambil dari kata hidhn (

نضح

) yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang).1 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan.2 Burung dikatakan (

هضْيب رئاَّلا نضح

)

manakala burung itu mengerami telornya karena dia mengumpulkan (mengepit) telornya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. Demikian pula sebutan Hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada serta pinggulnya.3

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, Hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang

1

Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99 2

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jil.II, (Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1984/1985), h.206.

3


(28)

19

membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.4

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menjaga atau mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.5

2. Dasar Hukum Hadhanah.

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya adalah mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri. Firman Allah SWT Surat al-Baqarah (2) ayat 233:









































4 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,

Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37.

5 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed.,

Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 269.


(29)

20















Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti warisan yang menjadi hak anak dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu.


(30)

21

Betapapun, ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak.6

Dalam Surat At-Tahrim (66) ayat 6:

























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan oleh Allah SWT memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.7 Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat-ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju pada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga

6

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.XI, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.505.

7

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, h.208


(31)

22

pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan suatu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.8

Jumhur ulama berpendapat bahwa hak mengasuh anak kecil diserahkan kepada ibu, jika suami menceraikannya berdasarkan hadits dari Abu Ayub al-Anshari, Nabi SAW bersabda:

9

Artinya: ”Dari Abu Abdurrahman al-Hubuliy, dari Abu Ayyub berkata: aku

mendengar Rasulullah SAW, bersabda: „Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT akan memisahkan antara dirinya dan para kekasihnya pada hari kiamat”(Hadits Hasan Riwayat at-Tirmidzi/ 1283).10

Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain berhati-hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan

8

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Cet.VIII, h.327

9

Abu Isya Muhammad, al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.580.

10

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.112.


(32)

23

anaknya mengingatkan ancaman Rasulullah SAW dalam hadits di atas.11 Di dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah SAW:

Artinya: ” Dari Abdullah ibnu Amr bahwa ada seorang wanita berkata:

„Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi

tempatnya, payudaraku yang menjadi tempat minumnya dan pangkuanku menjadi pelindungnya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia bermaksud mengambilnya dariku. Maka Rasulullah SAW, bersabda kepadanya „kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah’(dengan orang lain)”. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)13

Hadits tersebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain.

11

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h.179.

12

Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), h. 529.

13 Al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqalani,

Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad, dkk, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2007), h.56.


(33)

24

Apabila ibunya menikah, maka praktis hak Hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri.14

Ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan baginya mempunyai seorang anak dari istri itu, maka sang istrilah yang lebih berhak merawat si anak tersebut sampai melewati umur 7 tahun. Kemudian (anak tersebut) diperintahkan untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Maka mana yang dia pilih di antara keduanya, maka hendaknya diserahkan si anak kepadanya.15

Artinya: “Dari Ziyad ibnu Sa’d . Abu Muhammad mengatakan, “aku menduganya Hilal ibnu Abi Maimun dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW, menyuruh memilih pada anak kecil antara (ikut) bapaknya dan (ikut) ibunya. (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi/ hadist 1357)16

14

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998), h.251.

15

Musthafa Daib al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma, (Semarang: Toha Putra, 1993), h.102.

16 Abu Isya Muhammad,


(34)

25

Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut

kepada salah seorang di antara keduanya”.17

Dengan demikian, bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak.18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif 1. Hadhanah Menurut Fuqaha

Para Ulama Fiqh mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.19 Sedangkan para imam madzhab berikhtilaf20 dalam mengartikan Hadhanah:

17

Muhammad Abid as-Sindi, Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.1107.

18

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.252 19

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 215 20

Ikhtilaf ialah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat

ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), disebabkan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.48.


(35)

26

Madzhab Syafi’i, mengatakan Hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak

mampu untuk mengurus diri mereka sendiri.

Madzhab Hambali, mengatakan Hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau orang gila atau orang cacat atau orang tidak sadar.

Madzhab Hanafi, mengatakan Hadhanah untuk mendidik anak-anak yang sepatutnya mendapat hak penjagaan.

Madzhab Maliki, berpendapat Hadhanah sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan hak-hak kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.21

2. Hadhanah Menurut Hukum Positif

Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah Hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.22

Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

21

Mohd Norman Shah, "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.30.

22


(36)

27

Perkawinan dinyatakan: apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.23

Menyangkut hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Bab X mulai pasal 45-49,24

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

23

Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, h.338 24


(37)

28

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas segala-galanya. Semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya.25

25


(38)

29

C. Syarat dan Hak Hadhanah 1. Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut

hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan, ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan/atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.26

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh, disyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, ed.I.,cet.III, (Jakarta: Kencana, 2009), h.328.


(39)

30

3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah, tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.27

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.28

Dalam kitab Kifayatul Akhyar29, bahwa mengasuh anak setelah perceraian itu adalah penguasaan atas anak yang diasuh dan ibu lebih utama daripada ayah karena kasih sayang ibu lebih banyak. Kalau ibu berkeinginan mengasuh anak setelah perceraian, maka ia harus memenuhi beberapa syarat:

27

Ibid., h.329 28

Ibid., h.330 29

Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, jil.II. Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Ma‟ruf Asrori (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h.645.


(40)

31

1. Berakal.

Ibu yang gila tidak berhak mengasuh anak, baik gilanya terus menerus maupun terputus-putus. Kalau gilanya kadang-kadang ada masanya tidak lama. Misalnya, dalam beberapa tahun gilanya satu hari, maka hak asuhnya tidak batal seperti yang sesekali terjadi lalu hilang.

2. Merdeka

Budak perempuan kemanfaatannya adalah milik tuan pemilik budak itu. Jadi, ia tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak. Disamping itu, mengasuh anak termasuk jenis penguasaan sedangkan budak tidak memiliki hak penguasaan.

3. Beragama Islam

Ibu yang kafir tidak berhak mendidik anaknya yang Islam, sebab si ibu akan menipu si anak dan si anak akan tumbuh menjadi seperti kebiasaan ibunya. Disamping itu, mengasuh anak adalah penguasaan terhadap anak tersebut, padahal orang kafir tidak berhak menguasai orang Islam.

4. Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik. 5. Dapat dipercaya.

Ibu yang fasiq tidak berhak mengasuh anak setelah perceraian karena mengasuh anak berarti menguasai anak tersebut, sedangkan ibu yang fasiq tidak terjamin amanahnya dalam memelihara anak, serta anak dikhawatirkan akan tumbuh dewasa meniru cara hidup ibu yang fasiq.


(41)

32

6. Ibu tidak menikah lagi.

Kalau istri yang dicerai itu menikah lagi pasti akan sibuk melayani suami yang baru sehingga akan menyengsarakan anak. Kerelaan suami yang baru tidak berpengaruh dalam hak asuh ini sebagaimana kerelaan tuan juga tidak berpengaruh pada hak asuh budak perempuan (yakni walaupun suami yang baru itu rela, ibu tetap tidak berhak mengasuh anak).

7. Menetap (tidak musafir).

Ibu lebih berhak mengasuh anak setelah perceraian apabila ayah dan ibu setelah perceraian menetap di suatu negara. Apabila salah satunya akan bepergian ke negara lain maka dilihat dahulu persoalannya. Kalau berpergiannya untuk keperluan tertentu seperti haji, maka tidak boleh membawa anak. Karena biasanya perjalanan seperti ini berbahaya dan banyak kesulitannya. Maka diasuh oleh ayahnya.

Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan Hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama.


(42)

33

2. Hak Hadhanah

Para ulama sepakat bahwasanya hukum Hadhanah, mendidik dan merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah Hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan maliki misalnya berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut Jumhur Ulama, Hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak Hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan si anak.30

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan Hadhanah maka urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama31 adalah:

1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas; 2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;

3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas; 4. Ibunya kakek melalui ayah dan seterusnya ke atas;

5. Saudara-saudara perempuan dari ibu; 6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.

30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293 31


(43)

34

Lain dari urutan yang disebutkan di atas, ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak Hadhanah itu beralih. Sebagian ulama berpendapat hak Hadhanah berpindah kepada ayah. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.32

D. Masa dan Hikmah Hadhanah 1. Masa Hadhanah

Anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat memerlukan bimbingan dan asuhan serta didikan dari orang tuanya hingga ia menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluannya. Pemeliharaan anak tersebut pada saatnya akan berakhir dan yang menjadi persoalan adalah sampai kapankah berakhirnya masa pemeliharaan anak.

Para fuqaha pada umumnya membagi masa usia anak kepada dua yaitu: 1. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur

antara 7 dan 9 tahun. Pada masa ini anak belum dapat mengurus dirinya sendiri. Ia memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pendidiknya.

32


(44)

35

2. Masa kanak-kanak. Masa ini mulai sejak anak berrmur 7 atau 9 atau 11 tahun. Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri.33

Tidak terdapat ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang menerangkan dengan tegas tentang masa Hadhanah, hanya terdapat isyarat-asyarat yang menerangkan masa tersebut. Karena itu para ulama melaksanakan ijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.34 Adapun pendapat fuqaha sebagai berikut:

a. Menurut madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereka yang terdahulu bahwa mengasuh anak kecil laki-laki itu berakhir apabila ia telah sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia baligh (batas timbul syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas. Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberi batasnya berdasarkan ijtihad karena pertimbangan kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan batas usia untuk anak laki-laki berusia 7 tahun dan untuk anak perempuan berusia 9 tahun.

b. Madzhab Maliki menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh ialah sejak anak itu lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan ialah sejak

33

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.136. 34

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, h.214.


(45)

36

lahir sampai ia kawin, bahkan sampai ia dicampuri suaminya, demikian menurut madzhab ini.35

c. Madzhab Syafi‟i , tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal

bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah dengan ayahnya; tetapi bila si anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak memberikan pilihan), dia ikut bersama ibunya.36

d. Madzhab Hambali, masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah 7 tahun dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.37

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak Hadhanah, maka si anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan

35

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.405.

36

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.417.

37


(46)

37

selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya imam ahmad dan Imam

Syafi‟i.38

Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat39, yaitu:

Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak, maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih untuk si anak.

2. Hikmah Hadhanah.

Hikmah Hadhanah (mengasuh anak) dapat dilihat dari dua sisi:

Pertama, sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa merawat diri dan keluarganya. Sedangkan, pengasuhan anak menjadi kewajiban wanita. Pendidikan anak adalah hal utama yang perlu mendapatkan perhatian dimasa kecilnya, khususnya dari pihak ibu. Karena umumnya, ibulah yang sering berinteraksi dengan anak.

Kedua, ibu umumnya lebih peduli dan mengasihi anaknya dibanding seorang ayah. Dengan demikian, sang ibu tidak memiliki banyak waktu untuk

38

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.330 39


(47)

38

memperhatikan keserasian pakaiannya, makannya, minumnya dan kesehatannya.40

Hikmah penetapan masa pengasuhan bagi anak laki-laki dalam rentang waktu 7 tahun pertama dan juga anak wanita dalam 9 tahun pertama, lebih berdasar bahwa anak laki-laki pada usia 7 tahun umumnya telah siap menerima pelajaran, ilmu pengetahuan, sastra, keterampilan dan segala hal yang mengantarkannya kepada kehidupan dunia dan akhiratnya. Berbeda dengan anak wanita yang terlebih dahulu harus diajarkan bagaimana ia bisa menjaga diri dan kehidupannya dengan baik. Pada umumnya ibu mampu dan sabar dalam mendidik anak pada kondisi seperti ini. Setelah masa pengasuhan berlalu, maka pada saat itulah peran ayah mulai tampak.

Dalam masa pengasuhan, sang ibu mengajarkan anaknya semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah, khususnya bagi putrinya, karena kelak ia akan menjadi seorang istri. Dengan demikian pada usianya yang kesembilan, ia telah mampu menjaga dirinya dan mempelajari banyak hal dari ibunya, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan rumah. Masa pengasuhan sembilan tahun tersebut cukup untuknya untuk memahami apa yang seharusnya dilakukannya. Bahkan, ia pun bisa mengetahui bagaimana kelak ia mengasuh anaknya setelah pernikahannya setelah ia melihat semua pekerjaan ibunya padanya dan juga pada saudaranya.

40

Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam. Penerjemah Faisal Saleh, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h.406.


(48)

39

Setelah melewati masa pengasuhan, maka mulailah seorang ayah memegang peranan penting. Ia bertanggung jawab untuk mengajarkan moral dan agama hingga dengannya anak bisa mendapatkan kemenangan di dunia dan akhiratnya. Seorang ayah adalah orang yang paling mampu menjaga kesucian anaknya hingga sang anak kelak akan membangun rumah tangganya dan menjadi anggota masyarakat yang bisa dibanggakan. Dengan pola inilah, maka tercapailah kebahagiaan sejati bagi anak.41

41


(49)

40

BAB III

PASAL 105 HURUF A KHI

A. Latar Belakang Pembentukan KHI

Pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam adalah karena hukum Islam yang dipergunakan oleh peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama di masa yang lalu, terdapat dalam berbagai kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad yang lalu. Sebagai kitab fiqh, di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di antara para fuqaha yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh itu wajar mempengaruhi Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa sehingga sering terjadi putusan hakim pada suatu Pengadilan Agama berbeda dengan putusan hakim pada Pengadilan Agama yang lain, padahal sengketanya sama. Jadi, maksud pemerintah mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan di Pengadilan Agama.1

Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan agama sudah menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Keluarnya surat edaran kepala biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 februari 1958 tentang

1

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), h.157.


(50)

41

pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 45 tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di luar pulau jawa dan madura menunjukan salah satu bukti tentang hal tersebut. 2

Dalam lingkungan Peradilan Agama, dari segi Hakim memang sulit mengetahui madzhab apa yang dianutnya. Namun berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam mengambil putusan atau ketetapan, sebagian besar para Hakim merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah.3 Namun, dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, kecendrungan madzhab Syafi’i ini mulai bergeser dari satu madzhab ke multi madzhab yang terdapat di dunia Islam. Ini tidak berarti madzhab Syafi’i telah ditinggalkan.4

Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Gagasannya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.

2

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Instruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991: Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), h.119.

3

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.86. 4


(51)

42

b. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menyebabkan hal-hal: (1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (Maa anzalallahu), (2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (tanfidziyah), dan (3) akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan lainnya.

c. Di dalam sejarah Islam, pernah di tiga negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan negara: (1) Di India pada masa Raja An Rijeb yang membuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri. (2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan (3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Sudan.5

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.7/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985. Di dalam SKB tersebut, ditentukan para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dengan jabatan masing-masing, jangka waktu, tata kerja dan biaya yang digunakan.6

5

Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.11.

6

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh (Jakarta: Kencana, 2006), h.111.


(52)

43

Sebagai pemimpin umum pelaksana proyek ini adalah Prof. H. Busthanul Arifin, S.H., ketua muda Mahkamah Agung RI urusan lingkungan Peradilan Agama. Disamping ada pelaksana bidang kitab/yurisprudensi, bidang wawancara dan bidang pengumpul/ pengolah data. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak saat ditetapkannya SKB. Tata kerja dan jadwal waktu pelaksanaan proyek telah ditetapkan sebagai lampiran dari SKB. Sedang biaya dibebankan kepada dana bantuan yang diperoleh dari pemerintah,

Keppres No.191/SOSRROKH/1985 (Bantuan Presiden RI) dan

No.068/SOSRROKH/1985.7

Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum Islam. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, maka proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara:

a. Pengumpulan data, pengkajian kitab-kitab fiqh Islam khususnya ketiga belas kitab fiqh yang ditetapkan pemerintah menjadi pegangan Hakim Pengadilan Agama. Para ahli dari sejumlah IAIN merumuskan garis-garis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab itu disertai dalil-dalil hukumnya yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

7


(53)

44

b. Wawancara, dengan para ulama di sepuluh ibukota propinsi di Indonesia. Para ulama baik secara perorangan maupun sebagai pimpinan organisasi sosial keagamaan, mengemukakan berbagai pendapat hukumnya mengenai berbagai hal yang ditanyakan kepada mereka dan menyatakan dukungan mereka atas usaha pengumpulan atau penghimpunan kaidah-kaidah atau garis-garus hukum Islam tersebut.

c. Penelitian yurisprudensi Peradilan Agama. Yurisprudensi Peradilan Agama sejak zaman Hindia Belanda dahulu sampai saat penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang terhimpun dalam berbagai dokumen, dipelajari, dikaji dan ditarik garis-garis hukum dari padanya.

d. Studi perbandingan ke luar negeri, yakni negara-negara yang penduduknya beragama Islam, mengenai hukum dan penerapan hukum Islam di negara tersebut serta sistem peradilan mereka. Hasil-hasil dari seluruh kegiatan tersebut setelah diolah dan dirumuskan, disetujui dalam lokakarya ulama Islam Indonesia pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988.8

Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan dan buku III tentang Wakaf mengalami penghalusan Redaksi yang intensif di Ciawi-Bogor yang dilakukan oleh tim besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden, oleh Menteri Agama dengan surat 14 Maret 1988 No:MA/123/1988

8

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, h.157


(1)

77

kepada anaknya yang menjadi korban perceraian. Hakim melihat fakta hukum yang senyatanya bahwa anak tersebut sejak semula berada di rumah ayahnya dan si anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan usianya yang masih kecil. Tampaknya tidak ada bukti yang menunjukan anak itu tidak betah di rumah ayahnya dan tidak terbukti pula ditelantarkan dan dihalang-halangi untuk tetap berhubungan dengan ibunya. Majelis Hakim juga tidak mengurangi hak-hak ibunya untuk tetap menyalurkan kasih saying terhadap anaknya dan memerintahkan ayah agar membebaskan ibunya untuk melihat/ mengajak dan membawa anak. Hai ini demi kepentingan, perkembangan dan memberi perlindungan kepada anak. B. Saran-saran

1. Meskipun telah terjadi perceraian antara ibu dan ayah, hak Hadhanah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dialami si anak apakah berat kemana, tetapi jika umur si anak masih memerlukan asupan gizi berupa ASI dari si Ibu hendaknya hak Hadhanah diberikan kepada si Ibu secara mutlak, apabila si Ibu mengajukan haknya untuk mengasuh anak kandungnya.

2. Siapapun yang dimenangkan di Pengadilan untuk memelihara anak mereka, janganlah semata-mata karena mengedepankan ego masing-masing. Tetapi pikirkanlah mental anak, sebab ia mempunyai riwayat orang tua yang telah bercerai karena keegoan keduanya.

3. Diharapkan masyarakat umum disosialisasikan pengetahuan mengenai Hadhanah baik itu melalui buku maupun melalui ceramah, kuliah subuh, atau


(2)

78

diskusi dalam lembaga masyarakat yang ditausiyyahkan oleh ulama setempat. Mengingat, begitu pentingnya menjaga mental anak yang menjalani kehidupan yang diikuti dengan riwayat perceraian orang tuanya.

4. Diharapkan pemerintah tetap terus mengupdate Undang-Undang/ Peraturan yang ada di negeri ini ke arah yang lebih baik, terutama menyangkut hak asuh dan perlindungan anak.

5. Menetapkan hukum keluarga Islam sebagai kurikulum wajib dalam jenjang pendidikan, baik dari Tsanawiyah, Aliyah maupun Universitas Islam. Karena pada fitrahnya setiap orang pasti berkeluarga.


(3)

79

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Kariim

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V. Jakarta: Akademika Pressindo 2007.

Ahmad, Amrullah. dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:

Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Ali, Mohammad Daud (ed.). Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

______________. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. ______________. Metode Penelitian Hukum, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Andrian, Dika dan Samino. “Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Barat”.

Artikel diakses pada 18 april 2011 dari

http://www.pajb.net/?halaman=modul/artikel_static.php&id=4

Aripin, Jaenal dan Lathif, Azharudin. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: UIN Press, 2006.

As‟ad, Aliy. Terjemah Fathul Mu’in, jil.III. Yogyakarta: Menara Kudus, 1979.

„Asqalani, al, al-Hafizh Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad, dkk. Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2007.

Bagha, al, Musthafa Daib. Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma. Semarang: Toha Putra, 1993.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem

Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam

Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang,


(4)

80

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : asy-Syifa, 2000). Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.

Ilmu Fiqh, jil.II. Jakarta, Departemen Agama RI, 1984/1985.

______________. Instruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991: Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam Departemen Agama, 1997.

______________. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997. Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum

Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat

Islam Aceh. Jakarta: Kencana, 2006.

______________. Peradilan Islam. Jakarta: t.p., 2007.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, cet.III. Jakarta: Kencana, 2008.

“Hadhanah”. Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam,

vol.I.Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997: h.37.

“Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h.269.

Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Husaini, al, Taqiyuddin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar, jil.II. Penerjemah Achmad

Zaidun dan A. Ma‟ruf Asrori. Surabaya: Bina Ilmu, 1997. Indra, Hasbi. dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004.

Jamal, al, Ibrahim Muhammad. Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad Abbas. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.

Jarjawi, al, Ali Ahmad. Indahnya Syari’at Islam. Penerjemah Faisal Saleh, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.


(5)

81

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.I, ed.VII. Yogyakarta: Liberty, 2006.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk. Jakarta: Lentera Basritama, 1996.

Muhammad, Abu „Isa. al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia :Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 1974 sampai KHI, cet.II. Jakarta: Kencana, 2004.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.

Bandung: Alumni, 1982.

Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.III. Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Sabiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah, jil.II. Beirut: Dar al-Kitab al-‟Arabiyyah, 1981. Sajastani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1952.

Salim, Arskal. dkk. Mengungkap Sensitifitas Jender Hakim Agama: Sebuah

Dokumentasi Program. Jakarta: Puskumham, 2009.

Shah, Mohd Norman. "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.


(6)

82

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.XI dan VIII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sindi, al, Muhammad Abid. Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.

Sopyan, Yayan. Metode Penelitian. Jakarta: t.p., 2009.

______________. Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publising, 2010.

Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004.

______________. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.rev.II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

______________. Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum

Indonesia. Jakarta: t.p., 2009.

Sutarmadi, Ahmad. Al-Imam al-Tirmidzi (Peranannya dalam Pengembangan Hadits

dan Fiqh). Jakarta: Logos, 1998.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, ed.I.,cet.III. Jakarta: Kencana,

2009.

Tihami, M.A. dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Wawancara Pribadi dengan Muhyiddin. Jakarta. 25 April 2011.

Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer

(Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah). Jakarta: Prenada