Hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian (analisis putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara nomor: 0305/Pdt.G/2010?pa.JS)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapat Gelar

Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Imamatul Azimah

NIM : 107044102245

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh :

IMAMATUL AZIMAH

NIM : 107044102245

Dibawah Bimbingan :

Drs. H. A. Basiq Djalil SH, MA NIP : 19500306 197603 1001

K O N S E T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

1432 H / 2011 M JAKARTA


(3)

(4)

i

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima hukuman dan sangsi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 April 2011


(5)

ii Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada umat manusia yang ada di muka bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan yang datang silih berganti. Namun berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Yang Maha Kuasa. Serta dengan wujud yang berbeda-beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat-nasihat atau dukungan yang diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis.

Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Kepada Bapak :

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pembantu Dekan I, II, III Fakultas Syariah dan Hukum.


(6)

iii

penulis serta ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku sekretaris Jurusan Peradilan Agama yang telah menjalankan fungsinya dengan baik.

3. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai harganya, seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagian Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

4. Terima kasih juga kepada Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., yang telah menguji skripsi penulis dengan cermat kritik dan saran yang penguji berikan sangat bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi penulis mempunyai tingkat kesempurnaan yang lebih baik.

5. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yaitu ayahanda H. Usman Khotib dan ibunda Hj. Mu'inah Khoiriyyah yang telah memberikan motivasi dan arahan yang tak pernah jenuh serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Juga kepada saudara-saudara Isnaini, Muhammad Arif Rohman, Imamul Hafidin, S.HI., dan adik penulis Ahmad Rifa'i Aidzin yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.


(7)

iv

7. Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Cikembulan Garut 2010 yang selalu memberikan semangat dan hiburan kepada penulis.

8. Teman-teman Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2007 (Syahri Fajriyyah dan Kumala) yang terkenang dalam suka maupun duka serta memberikan dukungan yang tidak terhingga kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mempunyai tingkat kesempurnaan, banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis terima dengan baik. Dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 5 April 2011


(8)

v

Kata Pengantar ………... ii

Daftar Isi ………..… v

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……….……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 8

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ………. 9

E. Metode Penelitian ……….……….. 12

F. Sistematika Penulisan ……….. 13

BAB II HADHANAH DALAM FIQH………... 15

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah ……... 15

B. Syarat-syarat Hadhanah ……….……… 22

C. Pihak-pihak yang Berhak dalam Hadhanah ... 23

BAB III HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ……….…………... 29

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 29 B. Kompilasi Hukum Islam …………..………...……... 31

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ……….. 34


(9)

vi

C. Pertimbangan Hakim ………... 46

D. Analisis Penulis... 50

BAB V PENUTUP ……….…….. 55

A. Kesimpulan ………. 55

B. Saran-saran ………..………. 56

DAFTAR PUSTAKA ……….…….... 57

LAMPIRAN – LAMPIRAN A. Surat Mohon Data/Wawancara ………..……… 60

B. Lembar Disposisi ……….…...……… 61

C. Surat Bukti Wawancara ………..……….. 62

D. Pedoman Wawancara Hakim ………..………. 63

E. Hasil Wawancara Hakim ………..…. 64

F. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan Agama Jakarta Selatan ...…………... 67


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Dikatakan sakral karena dalam akad pernikahan yang dilangsungkan tersebut pihak suami mengucapkan akad nikah dimana dia dengan suka rela telah menyatakan qabul dari ucapan ijab wali calon isteri. Sebab dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah".1

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fikih, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya saja. Yakni:

1) Menurut ulama Hanafiyah: Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.

2) Menurut ulama Syafi„iyah: Nikah adalah akad yang mengandung

maksud untuk memiliki kesenangan (wathi‟) disertai lafadz nikah,

kawin atau yang semakna.

1

Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama", Cet. Ke- 3, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), h. 307.


(11)

3) Menurut ulama Malikiyah: Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.

4) Menurut ulama Hanabilah: Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.2

Dalam fikih dijelaskan bahwa nikah mengakibatkan kehalalan dalam berjimak. Pernikahan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seksual.3

Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya pernikahan tersebut.4

Pernikahan juga merupakan jalan untuk menyalurkan naluri manusia untuk memenuhi nafsu syahwatnya yang telah mendesak agar terjaga kemaluan dan kehormatannya. Jadi pernikahan adalah kebutuhan fitrah manusia yang harus

2„Abd ar

-Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-’Arba‘ah, (Beirut: Dar al Fikr, 2002), Cet. I. h. 3.

3

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. (Kairo: Daar al-Fath, 2000). Cet. Ke-1, Jilid I, h. 7.

4


(12)

dilakukan oleh setiap manusia. Begitu pentingnya pernikahan dalam Islam, Rasulullah pun sangat menekankan pernikahan terhadap umatnya untuk melaksanakan pernikahan.

Syariat Islam juga merupakan ajaran yang mengatur hubungan antara sesama manusia maupun hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki. Melindungi keturunan salah satu dari lima hal yang harus dijaga oleh manusia.5

Orang yang lebih berkewajiban mengasuh anak adalah ibu.6 Karena anak dimasa kecil membutuhkan kasih sayang yang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh kembang anak tersebut terpelihara.

Yang dimungkinkan bapak sibuk untuk mencari nafkah, maka ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya. Oleh karena itu Islam memeberikan kewajiban hadhanah itu kepada ibu. Serta mewajibkan suaminya untuk menafkahi anak dan ibu dari anak tersebut.

5

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999). h. 171.

6

Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Pustaka Amani, 2002). h. 318.


(13)

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya.

Apabila dua orang suami bercerai sedangkan keduanya mempunyai seorang anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang berkewajiban untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.7

Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya, sedangkan yang satu lagi menetap di tempat lebih berhak mendapatkan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik karen atidak ada resiko tersebut bagi si anak.8

Dalam hal pindah tempat juga ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan pernikahannya dulu, ibu yang lebih berhak tapi bila ke tempat lain, maka ayahlah yang berhak. Ulama

7

Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003). Cet. 3. h. 426.

8

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009). Cet. Ke-3. h. 332.


(14)

lainnya termasuk Imam Malik dan al-Syafi'i yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.9

Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.10

Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab dalam rumah tangga, mereka harus saling membantu, saling pengertian, saling membina, agar keutuhan itu tetap harmonis dan terlaksana, maka haruslah ada komunikasi yang baik dan efektif antara anggota keluarga.

Akan tetapi sebaliknya, jika dalam suatu keluarga tidak ada komunikasi yang baik maka kan timbul permasalahan dan semua akan berdampak pada psikologi seorang anak. Diantara hal yang akan terjadi adalah anak akan menjadi stress, perubahan fisik dan mental, yang semua itu akan berdampak timbulnya kecemasan dalam diri seorang anak. Selain itu dampak yang akan terjadi hilangnya hak anak dan kepentingan anak, seperti kasih sayang dari sebuah keluarga yang utuh dan tingkat kecerdasan anak demi pengembangan diri mulai terabaikan. Ini semua disebabkan orang tua yang sibuk meyalahkan siapa yang menjadi awal

9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.h. 332.

10

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 7.


(15)

penyebab dari keretakan rumah tangganya dan semua itu akan berujung kepada perceraian.11

Perceraian memang berpangkal pada perselihan antara suami dan istri. Salah satu pihak menghendaki perceraian, oleh karena pihak yang lain berbuat sesuatu yang menyebabkan hubungan keluarga goyang.12 Dalam pasal 116 KHI menyebutkan ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan perceraian diantaranya bahwa salah satu pihak berbuat zina, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Perceraian mengakibatkan putusnya hubungan ikatan pernikahan antara suami dan isteri, begitu juga hubungan orang tua dan anak yang berubah menjadi pengasuhan. Karena itu, jika pernikahan dipecahkan oleh hakim maka harus pula diatur tentang pemeliharaan terhadap anak terutama anak yang masih dibawah umur.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 105 (a): pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Akan tetapi dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:

11

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, h. 8.

12

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Sarioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), h. 109.


(16)

0305/Pdt.G/2010/PAJS bahwa hak pemeliharaan anaknya yang masih dibawah umur jatuh ke pihak bapak bukan berada di pihak ibu seperti sebagaimana yang diatur dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba meninjau lebih dalam mengenai hadhanah seorang anak kepada bapaknya setelah perceraian orang tuanya, dalam bentuk skripsi dengan judul "Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor: 0305/Pdt.G/2010/PA.JS)".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1) Pembatasan Masalah

Jika dilihat dari latar belakang masalah, ternyata permasalahan yang ada begitu luas. Agar dalam penelitian masalah ini tidak terlalu melebar dan dapat terarah serta tersusun secara sistematis, maka penulis membatasi permasalahan dalam hal apa yang menjadi pertimbangan hakim tentang hak pemeliharaan anak akibat perceraian yang diperoleh bapak.

2) Perumusan Masalah

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa pemeliharaan anak yang dibawah umur ketika terjadi perceraian adalah jatuh pada ibu. Akan tetapi pada kenyataannnya terdapat kasus perkara dimana hak-hak asuh anak jatuh kepada bapak. Inilah yang ingin penulis selusuri dalam pembahasan skripsi ini.


(17)

Rumusan tersebut penulis rinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Siapakah yang berhak menurut hukum atas pemeliharaan anak sebagai akibat terjadinya perceraian dari kedua orang tuanya?

2. Apakah hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan dalam memutus perkara?

3. Apakah yang menjadi pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutus hak asuh anak kepada bapak sebagai akibat perceraian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini tidak lain untuk turut serta memberikan kontribusi peneliti terhadap wacana, pemikiran, kajian dan praktik kehidupan rumah tangga yang sedang berlangsung. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pihak yang berhak menurut hukum atas pemeliharaan anak sebagai akibat terjadinya perceraian dari kedua orang tuanya

2. Untuk mengetahui gambaran hakim dalam memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan dalam memutuskan perkara.


(18)

3. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutus hak asuh anak kepada bapak sebagai akibat perceraian.

Adapun manfaat yang diharapkan oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberi masukan dalam bidang munakahat bagi kalangan ibu-ibu, mahasiswa yang sudah menikah dan mempunyai anak dan orang tua lainnya.

2. Sebagai dokumentasi ilmiah di dalam maupun di luar kampus.

3. Dapat memberikan informasi serta pengetahuan lebih mendalam kepada penulis terkait dengan hadhanah.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Berdasarkan penulusuran yang telah penulis lakukan di Fakultas Syariah dan Hukum, maka terdapat beberapa skripsi dengan tema yang sama, diantaranya: 1. Hak Hadhanah Ghairu Mumayyiz Kepada Ayah Karena Perdamaian. Pada

tahun 2009. Oleh Widya Eka Rachmawati.

Skripsi ini berisi tentang hak pemeliharaan anak akibat perceraian yang dipandang menurut fikih dan Kompilasi Hukum Islam. Skripsi ini menjelaskan tentang pengasuhan anak kepada bapaknya karena sudah terdapat perdamaian dan perjanjian sebelumnya oleh kedua ornag tua tentang siapa yang mendapat hak hadhanah. Dan dalam pengasuhannya dilakukan secara bersama-sama.


(19)

2. Hak Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata. Pada tahun 2005. Oleh Rini Zaitun.

Bahwa didalam penulisan Skripsi ini hanya berisi tentang hak-hak dalam pemeliharaan anak akibat perceraian menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata. Dimana dijelaskan antara hak orang tua dengan hak anak.

3. Penyelesaian Perkara Perceraian Bersama Dengan Gugatan Pengasuhan Anak. Pada tahun 2006. Oleh Ariyanih.

Di dalam Skripsi ini lebih melihat efisiensi gugatan perceraian dan gugatan pengasuhan anak yang diajukan secara bersamaan. Skrispi ini menjelaskan alasan hakim memberikan putusan dalam bentuk talak raj'i.

4. Hak Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Pada tahun 2006. Oleh Hilaluddin Safary.

Skripsi ini memaparkan hak anak dalam hukum Islam dan hukum Positif. Kemudian bentuk hak-hak anak serta adanya persamaan dan perbedaan hak anak menurut hukum Islam dan hukum Positif.

5. Hadhanah Menurut Perspektif Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i serta Prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1185/Pdt.G/2006/PA Jakarta Selatan). Pada tahun 2008. Oleh Sabaruddin.

Di dalam Skripsi ini menjelaskan tentang pemikiran Abu Hanifah dan Imam


(20)

dibawah umur secara praktisi menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

6. Hak Hadhanah Bagi Ibu yang Mengidap Penyakit Menular (HIV/AIDS). Pada tahun 2008. Oleh Rizka Damayanti.

Skripsi ini menjelaskan tentang hak penderita AIDS dalam kaitannya dengan hadhanah dan penyebab penyakit HIV/AIDS serta gejala-gejalanya, cara penularannya dan bagaimana cara pencegahannya.

7. Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir (Analisa Putusan Perkara Nomor: 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok). Pada tahun 2010. Oleh Mochammad Anshory.

Skripsi ini menjelaskan tentang hak seoarng ibu sebagai wanita karir tetapi tidak mampu mangasuh anaknya sehingga diserahkan kepada neneknya yang beragama protestan.

Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba

menganalisis yurisprudensi putusan Majelis Hakim tentang “Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian.”

Adapun kajian pustaka yang digunakan dari penulisan ini adalah;

1. Sumber primer, yaitu wawancara langsung dari seorang Hakim yang memutus perkara tersebut.


(21)

2. Sumber skunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang ada dan penulis data-data memperolehnya dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0305/Pdt.G/2010/PAJS.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan yuridis. Data kualitatif pada umumnya dalam bentuk pernyataan kata-kata atau gambaran tentang sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk penjelasan dengan kata-kata atau tulisan.

2. Sumber Data 1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama berupa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Data Skunder

Data skunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan.13

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang diperoleh meliputi transkip interview dari wawancara dengan hakim yang memutus perkara tersebut, catatan

13

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), Cet. XXI. Hal. 6.


(22)

lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain. 4. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisis yaitu menganalisis isi dengan mendeskripsikan putusan hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian dan menghubungkan hasil wawancara.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, penulis membagi menjadi beberapa uraian yang diantaranya mempunyai beberapa sub-sub bab dan masing-masing bab itu saling terkait satu sama lainnya, sehingga membentuk rangkaian kesatuan pembahasan.

Bab pertama merupakan pendahuluan dimana dikemukakan suatu latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(23)

Bab kedua memuat mengenai pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, sebab-sebab terjadinya hadhanah, syarat-syarat hadhanah, dan pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah.

Bab ketiga memuat mengenai hadhanah dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Bab keempat mengenai analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian. Yang terdiri dari profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, duduknya perkara, pertimbangan hakim dan analisis penulis.

Bab kelima berisikan tentang penutup. Yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(24)

HADHANAH DALAM FIQH

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah

Secara etimologis hadhanah ini berarti “disamping” atau berada “dibawah ketiak”.1

Hadhanah berasal dari kata نضتْحا ـ ًا ْضح - نضْحي - نضح, yang artinya pemeliharaan atau pengasuhan.2

Sedangkan secara terminologisnya, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya.3

Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak.4

Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak.

1

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid 2. h. 415.

2

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 104.

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 326.

4


(25)

antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.

Menurut Amir Syarifuddin, pengertian Hadhanah di dalam istilah fikih digunakan dua kata namun ditunjukkan untuk maksud yang sama yaitu kafalah

dan hadhanah.5

Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana adalah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadi putusnya perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.

Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharan ini mencakup masalah pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.6

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.

Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat berkelanjutan sampai

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 327.

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. hal. 293.


(26)

mampu berdiri sendiri.7

Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 (a) menyebutkan bahwa batas mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun.8 Sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak dikatakan mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau telah melangsungkan pernikahan.9

Beberapa ulama Mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak. Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali berpendapat masa asuh anak lelaki dan perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal.10 Menurut Imam Syafi'i berpendapat bahwa batas mumayyiz anak adalah jika anak itu sudah berumur tujuh atau delapan tahun. Sedangkan Imam Malik memberikan batas usia anak mumayyiz adalah 7 tahun.11

Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut

7

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. h. 293.

8

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.

9

Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47.

10

http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.html

11

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. Ke V. h. 397.


(27)

dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua.12

Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah diartikan sebagai lambung. Yang diartikan dengan “Burung itu mengeram telur di bawah sayapnya”. Begitu pula

dengan perempuan (ibu) yang memelihara anaknya.13

Beranjak dari ayat-ayat al-Qur’an seperti yang terdapat di dalam surat Luqman ayat 12-19, setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya seperti berikut ini:

1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT. 2. Tidak mensyariatkan Allah dengan sesuatu yang lain.

3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak. 4. Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma’ruf).

5. Setiap perbuatan apapun akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

6. Menaati perintah Allah SWT seperti shalat, amar ma’ruf dan nahi munkar, serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.

7. Tidak sombong dan angkuh.

12

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. h. 294.

13


(28)

Menurut Kamal Muchtar “Hadhanah”, berasal dari perkataan “al-hidl

berarti rusuk.15 Menurut penulis, proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika kedua orang tua saling bekerja sama dan saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.

Sebenarnya sejak dahulu masalah persengketaan orang tua mengenai anak ini, telah mendapat pengaturan hukum adat. Contohnya, dapat kita temui secara faktual pada masyarakat hukum data yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal. Pada masyarakat ini penguasaan anak tidak diberikan pada ayah atau keluarga ayahnya, akan tetapi pada ibu atau pada saudara laki-laki si ibu, sedangkan bagi masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal ditekankan pada pihak bapaknya.

Demikian hukum dari praktek hadhanah itu sendiri wajib bagi kedua orang tuanya, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, anak yang diasuh akan terancam masa depannya apabila tidak dapat pengasuh dan pemeliharaan dari orang tua maka dari itu wajib bagi hadhin (pengasuh) untuk menjaganya, sebagaimana kewajiban memberikan nafkah kepadanya serta menjauhkannya dari keburukan dan bahaya. Adapun yang

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. h. 295.

15

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bandung: Bintang, t.th.). h. 129.


(29)

SWT surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut:

























)

مي رحتلا

:

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengertian hadhanah juga telah dirumuskan di dalam pasal 1 huruf (g) bahwa yang dimaksud dengan pemeliharaan dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.16

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini, hadhanah (pemeliharaan) anak dipegang oleh ibu yang telah diceraikan oleh suaminya. Akan tetapi kalau sang istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain maka gugurlah hak pemeliharaan anak dari si ibu tadi.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 105 (a) yang mengatur tentang hak asuh anak berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105:

16

Daud Ali. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Ciputat: Logos, 1999), hal. 139.


(30)

a. Pemeliharaan anak yang ghairu mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaan anak;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.17

Umar bin Syu'aib meriwayatkan dari ayahnya, bahwa : Seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata : "Ya Rasulullah, anak ini telah ku kandung di rahimku, telah kususui dengan air susuku, telah bernafas dikamarku, Ayahnya (suamiku) menceraiku dan menghendaki anak ini dariku".18

Rasulullah bersabda kepadanya :

ْيحكْت ْملام ب قحا تْنا

.

)

ْْدواد ْيبأ اور

(.

19

Artinya: "Kamu lebih berhak (memeliharanya) dari pada ia (suamimu) sebelum kamu menikah lagi". (HR. Abi Dawud).

Kalau anak sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang benar maupun salah), ia bebas memilih ikut ayah atau ibunya. Sebab keduanya mempunyai hak untuk memelihara dan anak mempunyai hak untuk memilih.

17

Abdurahman Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia, h. 138.

18

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah (Terjemahan), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), Jilid III, Cet. Ke-1, h. 240.

19

Abi Daud Sulaiman bin al-Asy'asy as-Sajastani al-Azdiy, Sunan Abi Daud, (Qahirah: Dar al-Hadis, 1988), Juz II, h. 292.


(31)

B. Syarat-Syarat Hadhanah

Seorang Hadhin (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, haruslah memilki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan ini memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja, gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah.20 Adapun syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:

 Berakal Sehat.

Dengan demikian maka tidak boleh diserahkan anak untuk diasuh kalau si ibu gila, baik sifatnya gila terus-menerus ataupun putus-putus.

 Merdeka

Perempuan hamba sahaya tidak berhak mengasuh kendati mancapai izin tuannya.

 Sudah Dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

 Mampu mendidik. Orang yang buta, sakit menular, atau sakit yang melemahkan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk mengurus kepentingan anak kecil, juga tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri belum

20


(32)

anak kecil yang diurusnya.

 Amanah dan berbudi. Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan ia tidak dapat dipercaya untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik.

 Beragama Islam. Disyaratkan oleh kalangan Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang muslim, karena akan ditakutkan akan membahayakan aqidah anak tersebut.21

Adapun syarat untuk anak yang diasuh (mahdhun) itu adalah:

 Si anak masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

 Si anak berada dalam keadaan tidak sempurana akalnya. Oleh karena itu, dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuh apapun.22

C. Pihak-Pihak Yang Berhak dalam Hadhanah

Jika pasangan suami istri bercerai yang dari hubungan mereka menghasilkan anak yang masih kecil, maka istrilah yang paling berhak

21

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Terjemahan), h. 241.

22


(33)

biasanya lebih telaten dan sabar.23

Selama waktu itu, hendaklah si anak tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan laki-laki lain. Meskipun anak itu tinggal bersama ibunya, tetapi nafkahnya menjadi kewajiban ayahnya.24

Jika si anak tersebut sudah mumayyiz dan mampu menjaga dirinya sendiri, maka perlu adanya pihak berwajib untuk melakukan penyelidikan, siapakah diantara keduanya yang lebih berhak dan lebih pandai untuk memelihara anak tersebut. Pada saat itu, anak diserahkan kepada pihak yang lebih cakap untuk merawat dan memeliharanya.

Tetapi kalau keduanya sama, maka anak itu harus disuruh memilih siapa diantara keduanya yang lebih ia suka. Dalam Syarh As-sunnah disebutkan: “Jika seorang suami menceraikan istrinya, sedangkan diantara mereka terdapat anak yang masih dibawah tujuh tahun, maka ibunya lebih berhak kepadanya. Dan jika istrinya tidak berkeinginan memelihara anaknya, maka bapaknya berkewajiban membayar wanita lain untuk mengasuhnya. Dan jika istrinya itu tidak dapat dipercaya atau kafir, sedangkan bapaknya muslim, maka tidak hak bagi istrinya untuk memelihara anaknya”.25

23

Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 451.

24

Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 451.

25


(34)

anaknya. Tetapi bagaimanapun juga suatu hal yang mustahil pelaksanaan dan pemeliharaan itu dilakukan secara bersama serta harus dicari cara untuk melaksanakan hubungan dari hak yang sama. Supaya jangan terjadi pembenturan dan peperangan dalam pelaksanaan pemeliharaan anak.

Sebagaimana hak pengasuh pertama diberikan kepada ibu, maka para ahli fikih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga bapaknya. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut:

1) Ibu

2) Nenek dari pihak ibu dan terus keatas 3) Nenek dari pihak ayah

4) Saudara kandung anak tersebut 5) Saudara perempuan seibu 6) Saudara perempuan seayah

7) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9) Saudara perempuan ibu yang sekandung

10)Saudara perempuan yang seibu dengannya (bibi) 11)Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12)Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 13)Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung


(35)

15)Anak perempuan dari laki-laki seayah 16)Bibi yang sekandung dengan ayah 17)Bibi yang seibu dengan ayah 18)Bibi yang seayah dengan ayah 19)Bibi dari pihak ibu

20)Bibi ayah dari pihak ibunya 21)Bibi ibu dari pihak ayahnya 22)Bibi ayah dari pihak ayah.26

Apabila anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram atas, atau ada tapi tidak bisa mengasuhnya, maka pengasuhan akan beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau masih ada hubungan darah (nasab) yang sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris sebagai berikut:

1) Ayah kandung anak

2) Kakek dari pihak ayah dan terus keatas 3) Saudara laki-laki sekandung

4) Saudara laki-laki seayah

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

26


(36)

8) Paman yang seayah dengan ayah 9) Pamannya ayah yang sekandung

10)Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.27

Jika tidak ada seorangpun kerabat dari mahram laki-laki atau tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuh anak itu beralih mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu:

1) Ayah ibu (kakek) 2) Saudara laki-laki seibu

3) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 4) Paman yang seibu dengan ayah

5) Paman yang sekandung dengan ibu 6) Paman yang seayah dengan ayah.28

Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.

27

Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. h. 290.

28


(37)

hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.29

Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.

Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.

29


(38)

HADHANAH DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah hadhanah ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada kehakiman di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih.

Baru setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebar Luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.1

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1

http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.html, diakses Pada hari Rabu, 23 Juni 2011.


(39)

mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.2

Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlangsung terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan anak dibawah umur, dimana disebutkan bahwa:

Pasal 46:

1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik. 2) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang

tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.3

2

Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 45.

3


(40)

tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49:

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali.

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan tersebut pun tetap berlaku meskipun pernikahan orang tuanya putus. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kekuasaan orang tua itu dapat dicabut jika orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan salah satu orang tuanya berkelakuan buruk sekali. Tetapi meskipun kekuasaannya dicabut mereka masih berkewajiban memberi pemeliharaan dan mengasuh anaknya tersebut.

B. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah pemeliharaan anak atau yang dalam Islam disebut Hadhanah diatur dalam beberapa pasal di dalamnya, seperti yang terdapat pada Pasal:

Pasal 105:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;


(41)

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya. Hadhanah merupakan sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh menurut para jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:

Periode Sebelum Mumayyiz

Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mumayyiz. KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa “batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan”. Pada pasal 105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi dalam pasal 156, merumuskan sebagai berikut:

Pasal 156:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu. 2. Ayah.

3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.


(42)

7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah

dari ayah atau dari ibunya.

8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;

9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun);

10.Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

11.Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.4

Periode Mumayyiz

Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI Pasal 105 ayat (b) bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayah.

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (Pasal 98

4


(43)

itu, kalau anak itu memilih ikut ayahnya maka hak mengasuh pindah pada ayah. Sebagaimana pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah:

Pasal 98:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsunngkan pernikahan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.5

C. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 26 yang berbunyi:

Pasal 26:

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak.

2) Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.6

Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan: "Bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga,

5

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,h. 137.

6


(44)

secara terus-menerus demi terlindungnya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik mental, spiritual maupun sosial".7

Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Setiap anak berhak untuk berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tuanya. Karena anak memerlukan kebebasan dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Dan pengembangan anak yang belum cukup umur masih harus dalam bimbingan orang tuanya.

Melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, ada beberapa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktek. Pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh Negara sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi

7


(45)

umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara dan wajib ditaati oleh masyarakat.

Dengan demikian Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dapat dikatakan pengejewantahan dari Fiqh Hadhanah yang memiliki cakupan yang lebih luas bukan dalam keluarga saja, tetapi masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang besar dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari pengembangan Fiqh Hadhanah. Dalam hal ini dapat diketahui juga transformasi Fiqh Hadhanah dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Maka selayaknya sebagai masyarakat wajib menaatinya karena tujuannya tidak lain untuk mencapai kemaslahatan bersama.


(46)

HADHANAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN

A. Profil Pengadilan

1) Tempat Gedung Pengadilan

a. Pada bulan September 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung Baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung Baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya Kh, Ya’kub, kh. Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.1

b. Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H. Djabir Manshur, SH, Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru. Digedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah kantor Pemerintah setingkat walikota, karena gedungnya berada ditengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Bapak

1

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(47)

terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Ahmad KamiL, SH pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai mengenal computer walaupun hanya sebatas pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs. Rif’at Yusuf.2

c. Sejak Tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai dengan prototype Mahkamah Agung RI di Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan.3

2) Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970; 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983; 7. Peraturan/instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI;

2

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.

3

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(48)

9. Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;

10. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan tata Kerja dan Wewenang Pengadilan Agama.4

3) Visi dan Misi Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu ujung tombak dari Mahkamah Agung RI, maka sebagai Lembaga Negara pemegang kekuasaan Yudikatif, tentu mempunyai Visi yang tidak jauh beda dari Visi Mahkamah Agung RI, yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang :

- Mandiri

- Efektif dan Efisien.

- Mendapatkan kepercayaan publik.

- Profesional dalam memberikan layanan hukum yang berkwalitas. - Etis.

- Terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat. - Mampu menjawab pelayanan panggilan publik.5

4

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.

5

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(49)

Selatan mempunyai Misi sebagai berikut :

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berlaku dalam masyarakat.

2. Mewujudkan institusi peradilan agama yang mandiri dan independen, bebas campur tangan dari pihak lain.

3. Meningkatkan akses pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat sejalan dengan penggunaan teknologi informasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan dengan mendayagunakan secara maksimal sarana dan prasarana dan anggaran yang tersedia bagi Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif efisien dan bermartabat serta dihormati dengan menimgkatkan dedikasi dan integritas seluruh Sumber Daya Manusia yang tersedia di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.6

4) Sejarah Singkat Pengadilan

Pengadilan Agama Jakarta selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu :

6

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(50)

2) Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah ;

3) Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk ;

4) Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk Wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tangga;l 16 Desember 1976. semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).7

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta di pindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.

5) Yuridiksi Pengadilan

Secara geografis, Pengadilan Agama Jakarta Selatan terletak di Kotamadya Jakarta Selatan, luas wilayah Kotamadya Jakarta Selatan adalah

7

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(51)

kotamadya Jakarta Selatan terletak dan berada pada posisi 06’15’40,8’ Lintang Selatan dan 106’45/0,00’Bujur Timur, dan berada pada kemiringan 26,2 meter diatas permukaan laut. Jakarta Selatan bercirikan daerah yang beriklim khas Tropis dengan temperature udara sekitar 27,7’ celcius dan kelembaban udara rata-rata 75% yang disapu angin dengan kecepatan sekitar 0,2 knot sepanjang tahun. Curah hujan mencapai ketinggian 2,596,7 mm setahun atau rata – rata sekitar 85,8 mm perhari yang terjadi selama 182 hari dalam setahun.

Curah hujan tertinggi terjadi dalam bulan Januari (737,5 mm) dan Februari (425,3 mm) Didaerah Jakarta Selatan terdapat Rawa / setu ( Setu Babakan) wilayah ini cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dengan iklimnya yang sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk. Di daerah Jakarta Selatan juga banyak terdapat kegiatan usaha dan perkantoran.8

B. Duduknya Perkara Dalam Konvensi

Pada tanggal 10 Agustus 2001 Pemohon dan Termohon telah melakukan pernikahan dengan akta nikah nomor 1256/57/VIII/2001. Selama pernikahannya dikaruniai anak perempuan yang berumur 7 tahun 8 bulan.

8

http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=290 sejarah-2010&catid=35:sejarah&Itemid=27, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2011.


(52)

sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan termohon sering bertindak sekehendak hatinya dan sewenang-wenang mempermasalahkan hal-hal kecil. Pada bulan September tahun 2002 setelah anak pertama lahir perselisihan dan pertengkaran berlanjut. Termohon dengan marah-marah melarang pemohon pulang telat dari kantor, melarang bersosialisasi dengan teman-teman yang membuat pemohon merasa terkekang oleh tindakan termohon yang seperti itu.

Perselisihan dan pertengkaran kembali terjadi bulan april 2003 yang pemohon ditiduh selingkuh oleh termohon. Dan pada bulan Mei 2003 pemohon pulang dari kantor pada pukul 23.30 dalam keadaan sangat lelah, termohon mengajak untuk ngobrol sesuatu tetapi termohon mengatakan agar pembicaraan ditunda besok saja. Tetapi termohon sepertinya tidak terima dan mencoba bunuh diri dengan gunting yang terdapat di meja riasnya. Pemohon pun kaget dengan tindakan termohon tersebut. Peristiwa serupa juga terulang lagi ketika bukan Oktober 2006 ketika pemohon hendak pergi kerumah temannya bersama sepupunya dan telah menjelaskan maksud kepergian tersebut kepada termohon akan tetapi termohon kurang percaya. Sampai suatu saat ketika termohon hendak melarang pemohon untuk pergi, tanpa diduga tiba-tiba termohon membenturkan badannya ke lemari berulang kali dengan keras.

Pada bulan November 2007 termohon tanpa meminta izin kepada pemohon telah pergi dari rumah kediaman bersama selama 2 (dua) minggu tidak kembali dan tidak memberi kabar dan meninggalkan anaknya begitu saja.


(53)

kalinya dengan tanpa izin, sampai 2 (dua) tahun lamanya. Sehingga termohon sudah menelantarkan rumah tangga dan anaknya yang berusia 7 (tujuh) tahun 8 (delapan) bulan.

Berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;

2. Menetapkan, memberi izin kepada pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan; 3. Menyatakan perkawinan pemohon dan termohon putus karena perceraian

dengan segala kaibat hukumnya;

4. Menetapkan pemohon sebagai pemegang hak hadhanah seorang anka perempuan hasil perkawinan antara pemohon dan termohon;

5. Memerintahkan termohon sebagai ibu kandungnya untuk memberikan baiaya alimentasi setiap bulan sesuai dengan keikhlasannya;

6. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum.

Dalam Eksepsi

Bahwa termohon menolak dengan tegas seluruh isi permohonan dari permohonan yang terdaftar di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang diajukan kepada pemohon, kecuali secara tegas dan dinyatakan dan nyata diakui kebenarannya oleh termohon. Gugatan dalam permohonan a quo kurang cermat


(54)

Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk memutus terlebih dahulu eksepsi termohon sebelum dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara.

Dalam Pokok Perkara

Termohon menolak dan membantah untuk seluruh dalil-dalil pemohon dalam permohonan a quo, kecuali yang termohon anggap benar. Guna mempertegas penolakan tersebut akan termohon uraikan sebagai berikut:

1. Bahwa sejak menikah sebagaimana yang didalilkan pemohon jelas mengada-ngada karena faktanya sejak awal pernikahan, termohon dan pemohon hidup rukun dan harmonis;

2. Termohon menolak keterangan pemohon terkait termohon yang suka melarang berteman dengan temannya dan sering pulang malam, faktanya termohon hanya bisa sabar dan menangis ketika pemohon memiliki wanita idaman lain; 3. Termohon menolak telah melakukan percobaan bunuh diri seperti yang

didalilkan pemohon, karena termohon masih dalam keadaan sehat baik psikis maupun fisik. Bahwa tidak ada satu orang pun yang sehat akal dan pikirannya melukai dirinya sendiri;

4. Bahwa termohon membantah dengan tegas dalil pemohon yang termohon menelantarkan anaknya, fakta sesungguhnya termohon pernah menengok anaknya saat di sekolah, di rumah pemohon an mengantar anaknya saat lomba mewarnai di TMII;


(55)

diajukan pemohon yakni benar adanya antara pemohon dan termohon adalah suami isteri.

Dalam Eksepsi :

1. Menerima eksepsi termohon untuk seluruhnya;

2. Menolak seluruh dalil-dalil, dasar atau alasan permohonan Cerai Talak dan hadhanah dari pemohon;

Dalam Pokok Perkara:

1. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya;

2. Menetapkan anak pemohon dan termohon dibawah pengasuhan dan pemeliharaan termohon;

3. Menghukum kepada pemohon untuk membayar biaya perkara; 4. Mohon putusan yang seadil-adilnya.

Pemohon dan termohon di depan sidang Pengadilan selain mengajukan alat-alat bukti tertulis juga mengajukan saksi-saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah.

C. Pertimbangan Hakim Dalam Konvensi

Bahwa karena permohonan pemohon konvensi tidak tepat kepada tempat tujuan termohon konvensi, maka majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan


(56)

diterima dan mohon pula kepada majelis hakim untuk memutus terlebih dahulu eksepsi termohon konvensi sebelum memutus perkara.

Permohonan pemohon konvensi harus ditujukan ke alamat termohon konvensi yang sebenarnya sesuai ketentuan Pasal 118 ayat 1 HIR.

Dalam Pokok Perkara

1. Bahwa rumah tangga pemohon konvensi dengan termohon konvensi sudah tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran sejak 2002.

2. Bahwa sebab-sebab terjadi perselisihan dan pertengkaran diantara pemohon konvensi dan termohon konvensi karena tidak ada lagi rasa saling percaya, saling menghargai dan saling pengertian satu sama lain.

3. Bahwa sejak Desember 2007 berlangsung selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan lamanya pemohon konvensi dan termohon konvensi telah pisah tempat tinggal.

4. Bahwa majelis hakim, hakim mediator telah berusaha mendamaikan, namun tidak berhasil.

Berdasarkan fakta-fakata yang ada ternyata anak pemohon konvensi dan termohon konvensi lebih nyaman bersama pemohon konvensi selaku ayah, pemohon konvensi lebih banyak perhatian ketimbang termohon konvensi dan kedekatan anak tersebut kepada pemohon konvensi. Tetapi tidak berarti memutuskan hubungan komunikasi dengan ibunya. Termohon konvensi selaku ibu


(57)

bersamanya pada hari-hari libur sekolah sesuai yang disepakati sejauh tidak mengganggu kepentingan anak serta memberikan kasih sayangnya terhadap anaknya. Beban biaya pemeliharaan anak ditetapkan kepada pemohon konvensi.

Dalam Rekonvensi

Bahwa apa yang telah dipertimbangkan dalam konvensi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pertimbangan gugatan rekonvensi. Bahwa tuntutan tergugat rekonvensi tentang nafkah iddah bertentangan dengan hukum karena nafkah iddah pada dasarnya diberikan terhadap istri yang taat terhadap suami. Sedangkan dengan adanya sikap penggugat rekonvensi yang telah pergi meninggalkan tergugat rekonvensi tanpa izin tergugat rekonvensi selaku suami merupakan kualifikasi nusyuz yang tidak berhak mendapatkan nafkah iddah, kecuali tergugat rekonvensi tetap memberikan nafkah iddah karena kerelaannya, oleh karena itu tuntutan penggugat rekonvensi sejauh nafkah iddah harus ditolak sesuai pasal 14 angka b Kompilasi Hukum Islam.

Bahwa perkawinan putus Karena talak maka bekas suami wajib memberikan mutah yang layak kepada bekas istri. Dengan dihubungkan pada kemampuan tergugat rekonvensi untuk wajib memberikan mutah kepada penggugat rekonvensi sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, gugatan penggugat rekonvensi harus dinyatakan dikabulkan sebagian dan menolak selebihnya.


(58)

Bahwa karena perkara a quo perceraian yang termasuk bidang lingkup perkawinan, sesuai ketentuan pasal 89 ayat 1 Undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2003 tentang Peradilan Agama, biaya perkara dibebankan kepada pemohon konvensi/tergugat rekonvensi.

Memperhatikan segala ketentuan dan peraturan yang berlaku dan berkaitan dengan perkara ini.

AMAR PUTUSAN Dalam Eksepsi

Menolak eksepsi termohon konvensi

Dalam Pokok Perkara

1. Mengabulkan permohonan pemohon konvensi sebagiannya.

2. Mengizinkan pemohon konvensi untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap termohon konvensi di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 3. Menetapkan bahwa anak penggugat konvensi dan tergugat konvensi dibawah

asuhan dan pemeliharaan pemohon konvensi selaku ayah kandungnya.

4. Memerintahkan kepada pemohon konvensi untuk memberikan kepada termohon konvensi untuk memeberikan kesempatan bertemu dengan anaknyadan ikut bersamanya pada hari-hari libur sekolah atau hari-hari yang disepakati dan memberikan kasih sayangnya kepada anak tersebut sepanjang kepentingan anak tidak terganggu.


(59)

Dalam Rekonvensi

1. Mengabulkan gugatan penggugat rekonvensi untuk sebagiannya.

2. Menghukum tergugat rekonvensi untuk memberikan mutah kepada penggugat rekonvensi sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

3. Menolak gugatan penggugat rekonvensi untuk selain dan selebihnya.

Dalam Konvensi dan Rekonvensi

Membebankan biaya perkara kepada pemohon konvensi/tergugat rekonvensi sejumlah Rp. 281.000,- (dua ratus delapan puluh satu ribu rupiah).

D. Analisis Penulis

Setelah mengamati kasus antara pemohon dan termohon seperti yang diuraikan diatas. Ada hal yang menarik untuk disoroti yaitu jatuhnya hadhanah atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada bapak.

Dalam kaitannya dengan putusan tersebut ada hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti dari sudut pandang fikih dan peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan hadhanah terhadap anak yang masih dibawah umur akibat perceraian, apa hal yang menyebabkan hadhanah seorang anak ada di tangan bapak, apa yang menjadi pertimbangan sehingga hakim memutuskan hak tersebut ada di tangan bapak.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam permasalahan hadhanah ibu lebih berhak mendapatkan hadhanah ketika seorang anak masih


(60)

hadisnya:

نع

دج

مع نب ها د ع

أ

تلاق أ ما َّ

:

ل طب ّاك ا ب َّ إ ها س ا

ءاع

،

ب دث

ٌءاقس ل

،

د

ب

ٌءا ح ل جح

،

قلط ابأ ّإ

،

عز َ ّأ دا أ

م

،

ها َلص ه س ا ل اقف

ح ت ملام ب قحا تنأ مَلس لع

.

(

بأ ا

د اد

).

9

Artinya: "Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasul, anakku ini aku yang mengandung, air susuku yang diminumnya dan dipangkuanku tempat kumpulnya. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku. Rasulullah bersabda: kamulah yang berhak memeliharanya selama kau tidak menikah lagi". (HR. Abi Daud) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap kasih saying serta kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak yang masih dalam usia menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.

Kalau kita lihat kasus diatas bahwa ibu sering kali mencoba untuk melukai dirinya sendiri yang semestinya tidak dilakukan dan meninggalkan rumah tanpa adanya pemberitahuan sehingga dikhawatirkan tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu bagi anak-anaknya di masa depan nanti.

9

Abi Daud Sulaiman bin al-Asy'asy as-Sajastani al-Azdiy, Sunan Abi Daud, (Qahirah: Dar al-Hadis, 1988), Juz II, h. 292.


(61)

dewasa. Anak membutuhkan orang lain (orang tua) untuk membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahannya sehingga tanpa bantuan orang dewasa anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.

Kalau kita melihat kembali hak asuh anak diatas, termohon selagi hidup bersama dengan pemohon ada hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh termohon seperti mencoba untuk melukai dirinya sendiri dan sering meninggalkan rumah tanpa izin selama 2 tahun. Melihat dari tingkah laku tersebut termohon sudah tidak layak untuk mendapatkan hak asuh anaknya.

Dalam hal terjadinya perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian mereka, persoalan akan dapat diselesaikan nanti setelah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Oleh karena itu, dalam kasus perceraian diatas anak merupakan salah satu subjek. Dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Seorang anak yang belum mumayyiz masih berhak atas pengasuhan kedua orang tuanya, walaupun orang tuanya sudah bercerai seperti dalam kasus


(62)

tersebut. Bila nantinya terjadi perselisihan dan penguasaan anak maka Pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak.

Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-Undang, bahwa dalam menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya.10 Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan sosial da kesejahteraan yang lebih baik atau tidak.

Oleh karena itu penulis sependapat dengan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memutuskan bahwa pemeliharaan anak jatuh kepada pemohon selaku ayah kandungnya bukan kepada termohon sebagai ibu kandungnya. Karena dalam hal ini seperti yang dijelaskan sebelumnya, kedekatan anak dengan pemohon (ayahnya) sangatlah erat. Dan anak merasa lebih nyaman berada disamping ayahnya. Disinilah hak-hak anak yang dimaksud harus bisa diutamakan.

Seperti juga halnya manusia, anakpun memiliki haknya sendiri yakni hak perlindungan anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai

10

Muhayah, Wawancara dengan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Perkara Nomor: 0305/Pdt.G/2010/PA.JS, Pada tanggal 7 April 2011.


(63)

kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Menurut Dra. Muhayah ketika ibu tidak mampu mengurus anaknya, misalnya ibu mempunyai moral yang jelek, murtad, pengguna obat-obatan terlarang, dll yang bisa membawa dampak buruk kepada tumbuh kembang si anak, maka ayahnya lah yang lebih berhak atas permasalahan pemeliharaan dan pengasuhan yang seperti ini.

Masalah hadhanah sangatlah cukup luas jangkauannya. Dalam menyelesaikam masalah hadhanah ini tidak hanya mengacu kepada ketentuan formalnya saja, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah Agama, lingkungan dan keadaan ayah serta ibu yang akan diberi hak untuk melakukan hadhanah dan juga aspek lain yang mungkin berpengaruh demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.


(1)

Moleong, Lexi. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Cet. 21.

Muchtar, Kamal. t.tp. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Bandung: Bintang.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2009. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. Cet. 29.

Mutawally, Abdul Basit. t.p. Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, Mesir: t.t.

Sholeh, Asrorun Ni'am. 2008. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas. Cet. Ke- 2.

Peunoh Daly. 2005. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Cet. Ke-2.

Prawirohamidjojo, Soetojo dan Asis Sarioedin, 1986. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Penerbit Alumni.

Rasyid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. 36. Sabiq, Sayyid. 2000. Fiqh Sunnah. Kairo: Daar al-Fath. Cet. Ke-1, Jilid I.

Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqh Sunnah (Terjemahan). Jakarta: Pena Pundi Aksara, Jilid III. Cet. Ke-1.

Slamet Abidin dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat, Jakarta: CV. Pustaka Setia.

Subekti dan Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undan-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Syaikh, Hasan Ayyub. 1999. Fikih Keluarga. Jakarta: Dar At Tauji Wa An Nashr Al-Islamiyah. Cet. Ke-I.


(2)

Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media. Cet. Ke-1.

Tarigan, Azahri Akmal dan Amiur Nuruddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 Sampai Kompilahi Hukum Islam. Jakarta: Kencana. Cet. Ke-3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. Cet. Ke-8.

Zaini, Muderis. 1992. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.html http://www.pajakartaselatan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&


(3)

Pedoman Wawancara

Nama : Dra. Muhayah, SH

Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus hak asuh anak yang jatuh kepada bapak?

2. Dalam kurun waktu Tahun 2010, terdapat berapa kasus yang menjatuhkan hadhanah kepada bapak?

3. Berapa banyak kasus serupa (hadhanah kepada bapak) yang pernah ditangani Ibu Hakim selama menjadi hakim di Pengadilan Jakarta Selatan ini?

4. Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), apakah ada Undang-Undang lain untuk Hakim gunakan dalam memutuskan suatu perkara hak asuh anak tersebut?

5. Hambatan apa bagi hakim dalam memutuskan perkara hadhanah tersebut? 6. Kasus/hal-hal apa saja yang menyebabkan gugurnya putusan hadhanah kepada

ibu?

7. Apa sebenarnya yang menjadi kriteria seseorang itu layak mendapatkan hadhanahnya ketika terjadi perceraian?

8. Bagaimana proses pengambilan putusan yang terkait masalah hadhanah kepada bapak ini?


(4)

Hasil Wawancara

Nama : Dra. Muhayah, SH

Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1. Tanya: Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus hak asuh anak

yang jatuh kepada bapak?

Jawab: Ketika jatuh kepada bapak, maka yang harus dipertimbangkan adalah

syarat-syarat pengasuhan anak. Melihat keadaan anak yang nyaman bersama bapak, agamanya terjamin, pendidikan terjamin, moral, akhlak, tumbuh kembang masa depan terjamin dan lingkungan. Serta bapaknya mampu dan anak tersebut dekat dengan ayahnya.

2. Tanya: Dalam kurun waktu Tahun 2010, terdapat berapa kasus yang

menjatuhkan hadhanah kepada bapak?

Jawab: Kalau masalah berapa banyak kasus itu silahkan tanyakan kepada

bagian yang berkepentingan dalam hal data.

3. Tanya: Berapa banyak kasus serupa (hadhanah kepada bapak) yang pernah

ditangani Ibu Hakim selama menjadi hakim di Pengadilan Jakarta Selatan ini?

Jawab: Saya tidak menghitung satu per satu kasus serupa yang saya tangani


(5)

4. Tanya: Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), apakah ada Undang-Undang lain untuk Hakim gunakan dalam memutuskan suatu perkara hak asuh anak tersebut?

Jawab: Iya ada, selain memakai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), saya (hakim) juga memakai Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

5. Tanya: Hambatan apa bagi hakim dalam memutuskan perkara hadhanah

tersebut?

Jawab: Hambatan secara luas biasa-biasa aja karena hambatan itu pada

umumnya hanya karakter. Tidak ada hambatan yang berarti kalau karakter masing-masing itu tidak terjaga ketika emosional di dalam persidangan itu tidak teratasi. Hambatan yang lainnya, apabila keduanya (suami dan istri) tetap bersih keras ingin mengasuh anaknya. Dan kita (Majelis Hakim) tidak mungkin menetapkan untuk jatuh pada kedua orang tuanya. Kecuali ada kesepakatan, dan anak kalau perlu dihadirkan dalam persidangan walau dibawah umur. Karena Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memungkinkan anak untuk mengemukakan pendapat. Tetapi ketika memeriksa si anak, para majelis hakim tidak memakai toga (baju resmi yang dipergunakan untuk sidang) jadi tidak sidang.

6. Tanya: Kasus/hal-hal apa saja yang menyebabkan gugurnya putusan hadhanah

kepada ibu?

Jawab: Ketika seorang ibu itu tidak mampu mengurus anaknya. Misalnya, ibu


(6)

bisa membawa dampak buruk kepada anaknya kelak di masa depan, maka hak asuh anak itu bisa jatuh kepada bapak.

7. Tanya: Apa sebenarnya yang menjadi kriteria seseorang itu layak

mendapatkan hadhanahnya ketika terjadi perceraian?

Jawab: Seseorang bisa mendapatkan hak asuh anaknya ketika bapak / ibu bisa

dekat dengan salah satu orang tuanya. Dan anak merasa nyaman bersama bapak/ibunya tersebut. Karena dalam perkara hak asuh anak itu hal yang paling penting adalah kepentingan anak tersebut. Orang tuanya harus cakap dan mampu mengurus anak. Jika orang tua tidak cakap, tidak mampu, ataupun kedua orang tuanya meninggal maka hak pengasuhan anak itu jatuh kepada walinya.

8. Tanya: Bagaimana proses pengambilan putusan yang terkait masalah

hadhanah kepada bapak ini?

Jawab: Ketika anak itu merasa nyaman bersama bapak, dan terdapat bukti

bahwa anak itu bisa dekat dengan bapaknya. Maka harus mementingkan kepentingan anak terlebih dahulu dari pada kepentingan orang tua masing-masing. Apalagi jika Majelis Hakim hanya memutus perkara hak asuh anak tersebut tanpa mementingankan anak, melainkan kepentingan orang tua. Maka tidak akan bisa dijamin tumbuh kembang anak, moral anak, pendidikan serta agama anak di masa depan.