C. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian mempunyai pengertian tersendiri, menurut Sudikno Mertokusumo, pengertian asas hukum adalah suatu pemikiran dasar yang
bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam peraturan
yang konkret akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai atau melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan oleh sifat dari asas tersebut
yaitu abstrak dan umum. Adapun fungsi-fungsi asas hukum, antara lain:
18
1. Pengundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya;
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan kepada asas-asas hukum; 3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan
analogi; 4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan,
karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya. Jika diperhatikan keempat fungsi asas-asas hukum tersebut di atas fungsi
kedua, ketiga dan keempat diberikan kepada hakim sesuai dengan fungsi dan tugas menurut jabatannya.
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan
asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan sebagai berikut:
18
Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, Uniba Press, Medan, 2011, hal. 119
a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kebebasan berkontrak bersifat esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri didalam kehidupan pribadi maupun didalam kehidupan
bermasyarakat serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan, sehingga hal-
hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.
19
Adapun asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
20
1 Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta 4 Menetukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini
juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Menurut paham individualisme setiap
19
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 99
20
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 9
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
21
Walau dunia barat telah terjadi pergeseran Hukum Perdata pada umumnya, hukum perjanjian pada khususnya yang tetap berada dalam sistem individualisme yang
merupakan unsur primair di dalam masyarakat adalah kepentingan individu.
22
Akan tetapi, dalam hukum perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap
dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan
kepentingan masyarakat.
23
b. Asas Konsensualisme Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti
kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak. Dalam asas konsensualisme yang
ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak sebagai inti dari hukum kontrak. Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul
dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal
ini disebabkan adanya cacat kehendak yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
21
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.109
22
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Op.Cit, hal. 17
23
Ibid. hal. 19
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1, yang menyatakan bahwa
perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme
yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi
komitmen dan tanggung jawab serta orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”.
24
c. Asas Pacta Sunt Servanda Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan perjanjian yang
dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa: 1 Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya;
2 Ingkar terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-
undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
24
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.122
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”.
d. Asas Iktikad Baik Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad baik, perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan. Iktikad baik juga
dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik yang nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad
baik yang mutlak atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya.
Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu:
25
1 Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-
syarat yang diperlukan telah terpenuhi ketika dimulai hubungan hukum. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang
beriktikad baik, sedang pihak yang beriktikad tidak baik harus bertanggung jawab dan menanggung resiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari
ketentuan Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata,
25
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 56
dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2 Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik
berat iktikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
e. Asas Kepribadian
Asas ini memberikan pengertian bahwa seseoarang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
mengacu pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KH Perdata. Pasal 1315 menyatakan bahwa : “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ini berarti bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian adalah untuk dirinya sendiri.
Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana dalam pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ke tiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal ini menyebut bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, hanya mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-
orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas. Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dapartemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil
dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut, yaitu:
26
1. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras. 3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
26
Salim, Op.Cit, hal. 13
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. 4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. 5. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang yang tidak dapat menuntut haknya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela. Yang bersangkutan mempunyai
kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nuraninya.
6. Asas Kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. 7. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal
yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari pihak dalam menetukan dan membuat kontrak.
D. Wanprestasi