seluruh kewajibannya kepada bank sesuai dengan kesepakatan awal Kuncoro, 2002.Jika tidak ditangani dengan baik, maka pembiayaan
bermasalah dapat menjadi sumber kerugian bagi bank. Oleh karena itu, pembiayaan bermasalah perlu penanganan yang sistematis dan
berkelanjutan. Menurut Mahmoeddin 2004, NPF Non Performing Financing sangat berpengaruh terhadap pengendalian biaya dan
sekaligus berpengaruh terhadap kebijakan pembiayaan yang akan dilakukan oleh bank itu sendiri. NPF Non Performing Financing
dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan, terlebih lagi jika NPF pada bank dalam jumlah besar.
Semakin tinggi NPF Non Performing Financing maka kualitas aktiva produktif bank juga akan semakin buruk yang akan
mempengaruhi biaya dan permodalan bank tersebut karena NPF yang tinggi akan membuat bank mempunyai kewajiban dan harus
mengeluarkan biaya untuk memenuhi PPAP Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang terbentuk. Apabila ini terus-menerus terjadi
maka modal bank akan tersedot untuk PPAP sehingga akan menurunkan profitabilitas dari bank itu sendiri. Salah satu implikasi
lain bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan bermasalah adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh income
pendapatan dari pembiayaan yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan akan berpengaruh buruk bagi rentabilitas bank.
Maka dari itu, semakin tinggi NPF yang dimiliki oleh bank, bank akan
lebih berhati-hati dalam melakukan pembiayaan, yaitu dilakukan dengan
penyaringan dari
setiap pembiayaan
yang akan
didanaidibiayai.
6. Return On Asset ROA
Return On Asset ROA adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada waktu tertentu dan kemudian
dapat diproyeksikan ke masa yang akan dantang untuk melihat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada periode yang
akan datang. ROA merupakan ukuran efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memenfaatkan aktiva yang
dimilikinya.Selain itu, ROA adalah rasio yang menunjukkan hubungan antara tingkat keuntungan yang dihasilkan manajemen atas dana yang
ditanam baik oleh pemegang saham, maupun kreditur. Rasio ini menggambarkan kemempuan aktiva perusahaan dalam menghasilkan
laba. Semakin besar nilai ROA maka semakun baik dan nilai minimalnya adalah 5,5 Haryono, 2009:185.
Bank Indonesia biasanya tidak memberlakukan ketentuan yang ketat terhadap rasio ini. Sepanjang kecenderungan untuk mengalami
kerugian pada masa yang akan datang, bagi bank sentral hal tersebut cukup dapat dipahami Umam, 2013:257.
C. Hipotesis
1. Pengaruh Tingkat Bagi Hasil terhadap Pembiayaan Mudharabah
Tingkat bagi hasil adalah rata-rata tingkat imbalan atas pembiayaan mudharabah. Tingkat bagi hasil menjadi faktor penting karena jenis
pembiayaan berbasis bagi hasil, yaitu mudharabah dan musyarakah ini bersifat Natural Uncertainty Contract NUC yang cenderung
memiliki tingkat resiko yang tinggi dibandingkan dengan jenis pembiayaan lainnya karena return yang di peroleh bank tidak pasti.
Bagi hasil yang diterima oleh bank ditentukan oleh seberapa besar tingkat keuntungan pembiayaan mudharabah. Oleh karena itu,
besarnya bagi hasil yang diterima oleh bank sangat mempengaruhi
besarnya pembiayaan mudharabah.
Penelitian yang dilakukan oleh Giannini 2013 menunjukkan bahwa tingkat bagi hasil berpengaruh positif terhadap pembiayaan
mudharabah. Penelitian yang dilakukan oleh Nuryani 2015 menunjukkan bahwa tingkat bagi hasil berpengaruh positif signifikan
terhadap pembiayaan mudharabah. Artinya, semakin tinggi tingkat bagi hasil maka semakin tinggi pula pembiayaan mudharabah,
sebaliknya apa bila tingkat bagi hasil yang diberikan bank rendah maka semakin rendah pula pembiayaan mudharabah yang dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menetapkan hipotesis 1 sebagai berikut:
H
1
: Tingkat bagi hasil berpengaruh positif terhadap pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah.